Just you and I-professionally
"Pagi ini kita watersport dulu. Check in-nya nanti siang. Habis itu terserah kamu kalau mau istirahat dulu atau mau jalan-jalan ke mana. Tapi, aku mau ke pameran pariwisata sebentar ya. Oh ya, Bri, acara kempingnya nggak bisa malam ini, soalnya kalau malam minggu, pantai di depan vila selalu ramai karena ada acara. Jadi kempingnya dialihin ke besok malam. Gimana?" cerocos Win, nyaris tanpa jeda.
Begitu mendarat di Bali, mendadak Win jadi kelebihan energi. Padahal waktu di pesawat tadi Win gagal tidur. Jantungnya berdegup dengan irama asal-asalan karena excited duduk bersebelahan dengan Bright. Ini malu-maluin, macam anak SMA aja!
Touchdown Bali
Sial! Semakin lama omongan Love terbukti benar.
Win melirik Bright. Loh, malah tidur. Pria itu tidur di bangku sebelah Win. Sandaran bangkunya direbahkan ke belakang dan kakinya diselonjorkan ke ruang kosong yang berbatasan dengan kursi depan.
Win sengaja menyewa mobil van ini. Biasanya dipakai untuk orang-orang yang berkeluarga sih. Win pikir, akan lebih enak kalau mobilnya luas dan kakinya bisa selonjor. Dan terbukti kan, Bright sampai ketiduran nyenyak begitu.
"Bright! Bright!" Win menepuk-nepuk dengkul Bright, gemas. Mata Bright terbuka. Dengan muka masih mengantuk dan rambut agak acak-acakan Bright menatap Win.
"Mm... apa, Win? Sudah sampe?"
"Sampe apaan? Kamu dari tadi tidur, nggak dengerin aku ngomong panjang lebar soal rundown kegiatan di sini." Win merengut manja, berlagak ngambek.
Bright menegakkan duduk. Mukanya masih kelihatan ngantuk. Rambutnya yang sedikit acak-acakan nggak berusaha dia rapikan—kayaknya sih nggak sadar. Bright menggosok wajahnya dengan tangan lalu menatap Win lagi.
"Sori, Win. Ngantuk banget. Flight kita pagi banget. Semalam aku habis lembur. Kamu ngomong apa tadi?" Memang tadi penerbangan mereka pagi banget. Win sampai menyalakan dua alarm ponsel dan dua weker karena takut kesiangan. Sekarang masih jam sembilan pagi waktu Bali—jam delapan waktu Jakarta. Duh, itu... wajah Bright menggemaskan dan... seksi banget. Pengin dicubit.
Tanpa sadar, Win menelan ludah. Mungkin begini ya wajah Bright kalau bangun pagi di rumah. Lucu banget. Win nggak keberatan kalau bangun pagi mendapati wajah itu di sebelahnya.
"Uhuk! Uhuk!" Win terbatuk-batuk sendiri, tersedak karena pikiran ngaconya.
"Win?" panggil Bright lagi.
"Eh, iya, tadi aku jelasin rundown di sini. Tetep sama sih, cuma ada perubahan jadwal kemping aja. Malam ininggak bisa, jadinya besok."
Bright menyisir rambutnya dengan jemari. "Oh, nggak pa-pa. Aku setuju aja, Win. Malah bagus kan, berarti malam ini kita punya waktu bebas."
Win menelan ludah lagi. Kita? Malam ini? KITA?!
Tahu-tahu ponsel Win berdering. Luke. Melihat nama pria itu berkedap-kedip membuat napas Win kembali normal.
"Ya, Luke? Aku lagi di Bali. Lusa baru pulang. Kenapa? Oh... pas aku pulang dari Bali aja ya. Sekalian nyoba resto baru deket kantor kamu. Gimana? Oke... sip. Bye... see you." Senyum di bibir Win masih tersisa waktu dia menekan tombol End.
"Luke yang waktu di rumah sakit itu?" Bright melirik Win penasaran.
"Iya. Dia tadinya mau ngajak ketemuan. Aku lupa bilang kalau aku mau ke Bali hari ini."
Bright menatap Win dengan tatapan menyelidik. "Kamu sama Luke...?"
"Oh, nggak sih. Emang lagi deket aja. Aku ngerasa cocok dan nyaman bareng dia. Lagian, aku masih..." Win menggantung kalimatnya. Dia nyaris mengungkit masalah Mil. Bright ngga perlu tahu masalah itu. Nggak penting. Cukup orang-orang tertentu yang tahu soal kegagalannya dengan Mil.
"Masih apa?"
Win tersenyum canggung. "Yaaa... masih penjajakan aja," katanya betul-betul gagal menyembunyikan nada aneh karena berusaha ngeles.
Bright masih menatap Win. Entah kenapa dia masih penasaran soal Luke, atau soal apa pun yang tadi batal Win ceritakan. Gelagat Win jelas menunjukkan dia nggak mau membahas apa-apa lagi.
"Aku tidur lagi sebentar ya, Win. Nanti kasih tahu kalau sudah sampe. Kamu nggak ngantuk? Tidur dulu deh...." Bright menepuk-nepuk santai tangan di pangkuan Win lalu rebahan lagi. Dan tepukan itu sukses membuat Win mematung, nyaris nggak bisa menggerakkan tangan. Sepertinya dia juga sempat berhenti bernapas. Parah. Ini pasti gara-gara suasana Bali. Padahal dia baru aja teleponan sama Luke.
Semua perasaan dari masa lalu itu memang kembali. Dan sekarang rasanya dua kali lipat!
Biarpun sebetulnya ada dua tanda tanya besar yang masih belum terjawab dan membuat Win penasaran. Apakah Bright... pernah punya perasaan yang sama untuk Win, walaupun cuma sedikit? Apakah dulu Bright pernah menyadari perhatian Win?
**
Oh no! No way!
There's no way
He's going to ride that thing!
Win menatap ngeri pada perahu berbentuk balon pipih warna kuning-biru di depannya. Setelah naik banana boat, parasailing, dan jetski—sesuai rangkaian kegiatan watersport yang direncanakan—sebetulnya ini adalah puncaknya.
Win sudah menyiapkan sesuatu yang sangat istimewa. Tapi... rencana awalnya Win nggak perlu ikut naik flying fish ini juga! Tadi dia juga sudah berhasil menolak ikut parasailing.
"Ayo dong, Win. Masa nggak mau coba?" bujuk Bright, merasa naik flying fish sendirian sungguh nggak seru dan aneh.
Waktu naik jetski, Win memang menolak diboncengi Bright, dia naik sendiri dan dipandu seorang instruktur. Kalau tadi dia menerima tawaran Bright untuk berboncengan, itu sama aja cari gara-gara. Jadi, dengan alasan demi mendapat foto yang lebih bagus, Win lebih memilih
naik jetski lain.
Tuh, terbukti kan, Win bisa menahan diri dan profesional. Biarpun Bright mengajaknya berboncengan bukan dengan maksud aneh-aneh—cuma biar ngirit dan nggak perlu sewa jetski lain.
"Win, jangan bengong. Ayooo... ini kan nggak terbang kayak parasailing," bujuk Bright lagi.
Sejak dulu bolak-balik ke Bali dan ke pantai-pantai lain di berbagai negara, sedikit pun Win nggak tertarik dengan parasailing. Menurutnya, terlalu menakutkan melayang- layang di tengah laut dengan mengandalkan seutas tali yang dikaitkan pada speed boat. "Sama aja ah ngerinya."
Win bergidik ngeri membayangkan dirinya harus telentang di atas lying ish dan harus pegangan kuat-kuat. Bagaimana kalau pegangannya lepas?
"Kan pakai pelampung, Win. Dicoba dulu. Kalau takut banget, kamu bisa udahan. Ya kan, Bli?" Bright menatap salah satu operator, dan operator itu mengangguk sopan.
Win masih ragu. Kalau pegangannya lepas dan dia terlempar ke laut, pasti sakit. Belum lagi kalau ada hiu.
No, no, no... terima kasih.
"Katanya ini puncak acara. Jadi kamu harus coba supaya kamu tahu gimana hasilnya." Win tahu kalimat itu bakal bikin dia menyerah. Kalau sudah soal kerjaan, dia pasti menyerah. Sejujurnya Win memang pengin lihat apakah semuanya sebagus yang dia rencanakan.
Akhirnya Win mengangguk.
"Oke. Bener ya, Bli, dijamin aman?"
Operator yang Win tanyai mengangguk sambil terus sibuk mengikat tali-temali.
Bright menepuk tangan Win. "Nah, begitu dong!" Lalu mengangkat tangan kanan. "Tos dulu!"
Mau nggak mau Win tersenyum dan membalas ajakan tos Bright.
Operator yang sejak tadi menunggu Bright ikutan senyum. "Lagi bulan madu ya, Mas?" tanyanya sok tahu.
Bright dan Win spontan saling tatap. Diam sesaat, lalu tertawa bareng.
"Yaaa... bulan madu sih, Bli. Tapi yang bulan madu itu dia." Win menunjuk Bright. "Saya cuma nemenin karena istrinya belum bisa ikut."
Dan si Bli melongo dengan ekspresi yang mengagumkan.
**
Win mencengkeram erat-erat tali pegangan di kanan kiri. Kakinya menginjak kuat-kuat ke bawah. Seharusnya tadi dia nggak usah sok bilang iya! Ini sih namanya kemakan rayuan Bright. Padahal kalau dipikir-pikir, tanpa harus naik ke benda ini, dia masih bisa melihat semuanya dari pantai. Apa gunanya teropong diciptakan?! Sudah terlambat untuk mundur.
"You're so brave," kata Bright sambil menoleh ke arah Win.
Huh! Seharusnya pujian tadi bisa dianggap romantis, tapi... boro-boro gemetar gara-gara ge-er, jantungnya sekarang sibuk jedar-jeder ketakutan. Harap maklum kalau Win nggak menjawab apa pun. Daripada dia berbasa-basi, mendingan berdoa.
"Siap ya!" kata si operator yang tampak canggih berdiri di perahu tanpa pengaman apa pun. Dia yang bertugas menyeimbangkan perahu pada saat melayang nanti. Bright mengangkat jempol.
"Yok!" kata si Bli, memberi aba-aba pada temannya yang bertugas mengendarai speed boat.
Awalnya pelan, lalu semakin kencang, dan kencang, dan Win mulai melayang naik. Naik semakin tinggi... sampai badan Win terasa enteng.
Siapa bilang terbang rendah?! Ini tinggi banget!
Win memejamkan mata rapat-rapat.
"Win! Buka mata dong!" Win membuka mata pelan-pelan. Si operator tampak berdiri sambil memegang kamera.
"Smile, Win!" Bright menginstruksi dari samping. Win menatap Bright panik. "Eh, ngapain motret aku? Jangan dong! Ini kan buat Nevvy. Masa ada fotoku? Lagian, tampangku pasti nggak enak dilihat banget."
Bright tersenyum lebar. "Justru itu! Ini dokumentasi khusus buat kamu. Bukti bahwa kamu berani naik ini. Biar kelihatan muka kamu yang nyaris mewek."
"Hah?! Reseh! Nyebelin kamu, Bri! Eh, Bri... lihat ke sana!" Dengan buru-buru Win menunjuk ke atas. Kejutannya sebentar lagi dimulai. "Siap-siap foto!"
Di atas sana, di depan mereka, tampak sebuah parasailing dengan seorang petugas operator melayang di udara. Parasailing itu berputar mencari posisi yang bisa dilihat jelas oleh Bright dan Win. Beberapa detik kemudian... orang itu membuka gulungan yang dia bawa terbang. Seperti gerakan slowmotion, bunga-bunga kesukaan Nevvy dengan indah bertaburan bagai hujan bunga. Kelopak bunga berputar-putar dan melayang indah bagai rombongan penari yang meluncur pelan ke permukaan laut. Beberapa saat kemudian, perahu lying ish mereka berhenti tepat di bawah bunga-bunga yang berjatuhan. Bunga-bunga jatuh di sekitar mereka.
Dada Win berdesir hangat. Bagaimana rasanya jadi calon istri pria yang membuatkan hujan bunga untuknya?
Semuanya lancar, sempurna, dan romantis. Sesuai bayangan Win. Dia bahkan merinding. Andai dia yang dapat hadiah seindah tadi, dia pasti menangis terharu.
Tapi, apakah itu cukup untuk Nevvy?
Bright memang nggak spesifik meminta hal-hal seperti ini, tapi Bright memercayakan semuanya pada Win. Jadi, Win tentu saja punya kewajiban untuk memberikan yang terbaik.
Win melirik Bright. "Gimana, Bright? Kamu suka? Kira-kira Nevvy bakal suka nggak?"
Bright nggak menjawab. Pria itu tampak terpana menatap langit. Matanya tak berkedip. Dia suka, atau nggak?
Apakah yang tadi itu biasa saja? Padahal Win sudah setengah mati membujuk operatornya. Masalahnya, mereka juga harus menurunkan tim pembersih untuk membersihkan bunga-bunga itu nantinya.
Win pasrah sih kalau yang tadi itu kurang oke dan Bright minta ganti. Toh Bright nggak keberatan mengeluar uang lagi. Hanya saja, itu berarti Win dan tim harus memutar otak lagi.
Bright berdehem pelan. "Bagus banget, Win. Thanks ya," kata Bright pelan, dengan parau.
Win menoleh cepat. Flying fish mereka menepi pelan-pelan. "Jadi kamu setuju sama kejutan yang tadi? Kalau kamu mau tambahin sesuatu, kasih tahu aja. Nanti kami yang siapkan."
"Itu sudah cukup, Win. Semuanya bagus, tanpa perlu tambahan apa-apa. Nevvy pasti suka. Aku nggak kepikiran untuk bikin kejutan kayak tadi, kalau bukan karena kamu."
"Eh, kamu mau nambahin spanduk yang ada tulisan nama dan tanggal pernika—"
"Nggak, nggak perlu," potong Bright cepat dan agak kaku.
Win terenyak.
Bright tersadar dengan perubahan ekspresi Win. Dia buru-buru pasang senyum lagi. "Kan aku sudah bilang, Win, tanpa perlu tambahan apa-apa, semuanya sudah bagus. Perfect."
Perahu mereka akhirnya benar-benar berhenti di tepian. Bright melompat turun. Win pelan-pelan bangkit, mencoba menyeimbangkan diri sebelum melompat turun. Perahunya bergoyang-goyang terus.
"Sini... aku bantu." Tahu-tahu Bright mengulurkan tangan. Tadinya Win mau minta tolong salah satu operator sih, tapi dia tetap membalas uluran tangan Bright. Dan begitu Bright menggenggam telapak tangannya untuk membantunya lebih seimbang, rasanya semua darah di badan Win meluncur ke jantung, membuat jantungnya nyaris meledak.
Kalau dia nggak bisa menahan diri, mungkin dia sudah melompat langsung ke pelukan Bright. T-shirt Bright yang basah agak sedikit menerawang, memamerkan dadanya yang bidang. Win menelan ludah berkali-kali. Seandainya ini bulan madu sungguhan, Win pasti akan minta digendong manja dengan alasan pasirnya panas.
Bright sendiri terenyak ketika Win menangkap uluran tangannya. Rasanya ada dinding yang mendadak retak di dada. Tekad yang sudah dia bulatkan untuk melakukan semua ini demi Nevvy, seperti luntur sedikit demi sedikit. Perasaan yang dipendam bertahun-tahun ternyata menyusahkan. Setengah mati dia berusaha menjaga supaya dirinya dan Win tetap sebagai teman lama dan profesional, bukan sebagai "cinta yang terpendam". Ah! Sial. Cinta yang nggak kesampaian betul-betul jauh lebih berbahaya daripada mantan. Bright yakin, jauh lebih mudah mengabaikan mantan.
Win menarik napas. Kalau begini caranya, dia betul-betul harus setengah mati menahan diri. Win melompat kecil dari atas perahu sambil berpegangan pada Bright. Ini bukan adegan yang biasa terjadi di novel-novel romantis ketika si tokoh utama terpeleset dan nggak sengaja jatuh ke pelukan si cowok, dilanjutkan dengan saling tatap dan berpelukan sesaat.
Win cuma melompat, dan dia merasa kurang seimbang kalau kedua tangannya berpegangan pada tangan Bright. Jadi, waktu mendarat, Win memutuskan tangan kanannya harus berpegangan ke bahu kiri Bright, sementara tangan kirinya tetap bertahan di tangan kanan Bright—dan sukses!
Yang Win nggak tahu, posisi itu membuat darah Bright mengalir deras ke segala arah. Bright nggak yakin bisa menahan diri lebih lama. Entah berapa lama lagi, sebelum semuanya selesai.
"Thanks, Bri." Win buru-buru melepas semua pegangannya sebelum dia lepas kendali dan memaksa Bright berpaling padanya.
Win terlalu buru-buru melangkah melewati Bright menuju tempat mereka menaruh sandal, sampai-sampai dia nggak sadar bahwa Bright terdiam kaku karena salah tingkah.
"Win...." gumam Bright pelan—sangat pelan karena hanya untuk dirinya sendiri.
Win bukan sekadar cinta terpendam di masa lalu. Bright yakin dirinya masih jatuh cinta pada pemuda itu sampai sekarang. Selama ini perasaan itu bukannya menghilang, melainkan cuma bersembunyi karena Bright nggak pernah mengira mereka akan bertemu lagi.
Tenggorokan Bright terasa kering.
Apakah betul dia memakai jasa agen bulan madu Win hanya karena dia yakin Win bisa melakukan yang terbaik untuk Nevvy? Atau... itu karena alam bawah sadarnya spontan berbicara... mencari alasan untuk bisa bertemu Win lagi?
Mendadak semuanya menjadi buram. Bertahun-tahun Bright nggak pernah merasa sebimbang ini. Terakhir dia bingung begini adalah ketika dia memutuskan untuk melamar Nevvy, satu setengah tahun yang lalu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top