Hurt. But it's the truth.




Luke memang selalu kelihatan keren. Lengan kemeja digulung dan dasi agak longgar, dia kelihatan modis tanpa perlu banyak usaha. Wangi parfumnya malah makin seksi karena sudah seharian menempel di bajunya. Luke memang bukan owner tour travel rekanan Win itu, dia hanya salah satu staf marketing senior. Tapi melihat ambisinya, Win yakin dia pasti bakal mati-matian untuk mencapai puncak.

Segelas green tea latte milik Win dan segelas espresso milik Luke diantar oleh waitress ke meja mereka. "Eh, Win, aku sudah punya list harga pesawat murah untuk enam bulan ke depan. Nanti aku e-mail ke kamu. Lumayan kan buat kamu jual di a la carte kayak biasa. Untuk yang nggak ambil full package." Luke menyeruput espresso-nya.

"Oh, thanks, Luke." Win releks menghela napas, nggak bisa menyembunyikan kekecewaannya karena Luke langsung membicarakan pekerjaan dan sama sekali nggak menyinggung penampilan Win. Mungkin dandanannya jadi terlihat biasa saja karena sudah direvisi Love, tapi masa sih? Hari ini kan baju yang Win pakai bukan ala ketemu sahabat, tapi lebih manis dari itu. Seingat Win, Luke belum pernah melihat Win pakai sweater semanis ini. Biasanya Win akan menemui Luke dengan pakaian modis yang wajar. Win nggak pernah mau terlihat too much di depan cowok itu.

"So, paket baru apa lagi nih yang kamu punya untuk masuk ke kantorku, Win? Keren nih, Honeymoon Express melebarkan sayap terus." Luke tersenyum lebar melengkapi pujiannya untuk Win.

"Sama kayak lo. Gimana, lo udah tanya Win kapan dia bakal balikin duit gue supaya gue bisa kasih proyeknya ke lo?"

Bagai adegan ilm horor yang setannya tiba-tiba muncul, Luke tercekat menatap Bright sudah berdiri di belakang Win. Dan bagai adegan drama pertengkaran rumah tangga dalam sinetron prime time, Win terbelalak kaget melihat siapa yang berdiri di belakangnya.

Win langsung berdiri. Memutar badan menghadap Bright. "Bright?! Kamu ngapain sih?! Maksud omongan kamu apa?!"

Luke ikut berdiri. Badannya kaku, matanya tajam dan panik menatap Bright. "Maksud lo apa ya, Bright? Gue lagi meeting nih sama Win. Lo kalau ada perlu sama gue, habis ini aja."

Rahang Bright mengeras. Dia nyaris menendang kursi karena emosinya mulai meluap. Untung dia berhasil menahan gerakan kakinya sendiri sebelum kursi kosong di dekat Win mental. Memang dasar laki-laki licik!

"Masih bersandiwara lo?"

"Ada apa sih? Kamu ngomongin apa?" Win menatap Bright gusar, minta penjelasan.

"Kamu tanya tuh sama dia! Denger ya, Win, sebaiknya kamu nggak usah berhubungan sama dia lagi. Pertemanan, bisnis, putusin aja semua. Dia cuma manfaatin kamu. Tatapan Bright seolah menghunjam Luke. Urat-urat bertonjolan di punggung telapak tangannya yang mengepal. Win terperangah sampai rahangnya seakan nyaris jatuh ke lantai. "A-apa?"

"Jaga mulut lo ya, Bright! Lo jangan bikin ribut di sini!"

"Jaga mulut? Lo yang harusnya jaga mulut dari awal dan nggak ngomong sembarangan. Elo itu sebenernya—"

"DIEM LO!!!"

Tiba-tiba kepalan tangan Luke mendarat ke pelipis Bright dengan sangat keras, sampai-sampai Bright terhuyung ke belakang.

Win memekik histeris melihat darah segar mengalir dari luka di pelipis Bright. "Stop! Luke, Bright! Apa-apaan sih?!" Dengan panik Win mendorong Luke mundur agar menjauh dari Bright.

Semua mata pengunjung coffee shop mulai tertuju pada mereka, belum ada yang berani melerai. Bright nggak peduli darah yang menetes sampai ke pipi dan mendarat di kerah bahunya. Dengan pelan Bright berdiri dengan mata menyala marah.

"Brengsek!" Bagai banteng mengamuk, Bright menyeruduk perut Luke.

"Ah!" Win yang berdiri di dekat Luke releks melompat mundur. Saking kencangnya, Luke nggak bisa menahan serangan dan ambruk dengan Bright berada di atasnya. Bright mengunci

posisinya tetap di bawah. Luke berusaha mengguncangkan bahu untuk menyingkirkan Bright, tapi percuma. Tinju balasan Bright melayang ke wajah Luke. Nggak sampai membuat luka dan berdarah, tapi cukup kuat membuat pipi dan sudut bibir Luke membiru.

Bright menekan tangannya di leher Luke sampai cowok metroseksual itu nggak bisa bergerak. "Eh, denger ya, Luke! Apa yang lo bilang sama gue kemarin itu bikin gue marah. Lo pikir gue mau nerima tawaran orang picik kayak lo?!"

Sambil berdiri mematung, Win menatap dengan tubuh gemetar. Lututnya lemas. Berbanding terbalik dengan emosinya yang melonjak ke ubun-ubun. "Ini ada apa sih? Bright! Luke! Ada apa? Udah dong berantemnya, please! Bikin malu, tauk!" Win berteriak panik.

Win maju mendekati punggung Bright yang sedang menduduki Luke. Dengan tangan masih gemetar dan lemas Win meraih bahu cowok itu, berusaha menariknya berdiri dan melepaskan Luke. "Bright, udah dong!" Win menarik- narik bahu Bright, tapi cowok itu masih bergeming. Napas Bright terengah-engah marah. Bright sama sekali nggak menoleh. Dan sesaat kemudian dia berbicara dengan suara rendah dan gemetar. "Win... mendingan kamu mundur. Aku nggak mau sampe pukulanku buat bajingan ini, malah kena kamu."

"Tapi—"

"Mundur, Win. Nanti aku jelasin."

Win nggak tahu lagi harus berbuat apa. Entah bagaimana, dia tahu sengotot apa pun dia melerai, nggak akan berhasil membuat Bright melepaskan Luke sebelum urusan mereka beres.

Win akhirnya mundur dengan wajah bingung. Tangan Bright terangkat ke atas. Siap-siap melayangkan pukulan selanjutnya. "Lain kali hati-hati kalau memperlakukan orang!"

"Ada apa ini? Berhenti!" Dua sekuriti mal berbadan sebesar beruang kutub datang dan langsung bertindak. Satu orang memegang Bright dan berusaha menjauhkannya dari Luke.

Bright meronta-ronta sambil berteriak marah. "Eh, Pak, lepasin saya! Dia penipu, harus dihajar! Luke, lo bilang sama Win kalau lo sudah punya cowok dan modus lo ngedeketin dia cuma karena proyek-proyek Honeymoon Express! Bilang sama dia kalau lo cuma pecundang tukang tipu yang memanfaatkan dia!" Sambil mengamuk, Bright menantang Luke.

Luke bangkit duduk sambil memegang pipinya kesakitan. Salah satu satpam menariknya berdiri. Win menatap Luke. Meminta penjelasan. "Luke?"

Bright kembali teriak. "Kamu tahu kenapa tiga klien kamu kabur? Tanya dia, Win! Dia yang nusuk kamu dari belakang! Dia yang merebut klien kamu dengan kasih harga murah! Dia juga nawarin aku untuk pakai jasa dia. Dia pikir aku ini tolol kali! Dia bahkan mencurangi

kantornya sendiri!"

Wajah Win memanas. Kembali menatap Luke. "Luke...?" tanya Win lagi, dengan suara bergetar. Dalam hatinya masih ada secil harapan supaya Luke menyangkal semuanya, tapi sebagian besar hatinya yakin Bright nggak mungkin bohong soal ini.

Luke cuma diam. Tapi dia memang nggak perlu mengatakan apa-apa. Karena dengan hanya mendengar perkataan Bright dan melihat kilatan marah di mata pria itu, Win tahu Bright nggak berbohong.

Win mematung melihat Bright dan Luke digiring ke ruangan sekuriti mal karena keributan tadi. Benak Win seakan membeku. Keadaan semakin kacau saja. Seharusnya, Luke yang jadi penghibur hati Win karena kekacauannya dengan Bright, tapi sekarang apa? Luke tiba-tiba jadi penjahat.

**

Di ruangan sekuriti, Bright dan Luke duduk agak berjauhan.

Win masuk. Wajah Luke ada memar biru besar akibat pukulan Bright. Matanya menatap Win. Sepertinya dia sudah sempat berpikir kejadian ini hampir pasti membuat dia kehilangan banyak pemasukan. "Win, tadi itu Cuma salah paham. Bukan begitu sebenarnya. Dia cuma ambil kesimpulan sembarangan. Aku—"

Win berjalan dengan ekpresi dingin, melewati Luke tanpa melirik sedikit pun. "Ayo," Win mengulurkan tangannya pada Bright.

Bright mendongak. Kerah bajunya berlepotan darah. "Ke mana?"

"Luka kamu kayaknya perlu dijahit."

**

Setelah mendapat dua jahitan kecil, pelipis Bright ditempeli plester khusus. "Jangan kena air dulu ya. Tiga hari lagi kembali dan ganti perban. Sekalian cek jahitan." Dokter UGD yang menjahit luka Bright mewanti-wanti. Bright mengangguk. Win muncul dengan membawa belanjaan dari minimarket.

"Nih."

"Apa ini?"

"Kaus oblong. Memangnya kamu mau keluyuran pakai baju banyak darah gitu? Cuma ada ini. Mudah-mudahan cukup."

Bright menerima kantong plastik yang Win sodorkan, lalu mengeluarkan kaus oblong abu-abu. Dengan cuek Bright membuka kancing kemeja dan menggantinya dengan pemberian Win.

Win terkesiap. Melihat Bright sekilas bertelanjang dada, dia baru tahu ternyata Bright nggak sekurus yang terlihat dari luar. Badannya cukup berisi dengan otot seperlunya. Win releks terbatuk kecil karena mendadak grogi. Matanya seperti ngotot menatap terus-terusan ke dada dan perut berotot Bright.

"Kamu sakit, Win? Kedinginan kali."

Win tersenyum garing. "Nggak, nggak. Cuma batuk karena tenggorokan kering." Dan pikiran nakal yang anehaneh, sambung Win dalam hati. "Bright, kita makan dulu ya? Di kafetaria Rumah Sakit aja. Aku mau ngomong."

Bright mengangguk. "Oke."

**

Kafetaria Rumah Sakit ini cukup keren dan sangat modern. Mungkin karena Rumah Sakit itu salah satu milik swasta yang mewah. Harga sesuai dengan fasilitas. Win memilih tempat duduk persis di samping jendela kafetaria yang seluruhnya kaca. Mereka sekarang seperti duduk di taman saking beningnya kaca jendela itu. Win mengetuk-ngetuk mug berisi hot chocolate dengan gelisah. "Bri..."

"Hm?" Bright meletakkan mug-nya lalu menatap Win.

Win menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan. "Makasih ya. Kalau bukan karena kamu, aku nggak akan sadar bahwa Luke itu—" Win menggantung kalimatnya. Rasanya dia nggak menemukan julukan yang pas untuk Luke.

Bright terdiam beberapa saat. "Aku sengaja tanya dia kapan kalian ketemu, supaya aku bisa konfrontasi dia di depan kamu langsung. Maaf ya, aku jadi bikin kamu malu."

"Beneran, Bright. Terima kasih. Berkat kamu, aku jadi tahu siapa Luke sebenarnya. Yah... biarpun aku kecewa...," suara Win tercekat.

Win berusaha mengatur napas dengan maksud menahan tangis, tapi percuma. Sia-sia. Akhirnya Win menangis. Sambil tertunduk bahunya berguncang Ternyata rasanya menyakitkan mengetahui bahwa Luke, orang yang Win anggap bisa diandalkan, ternyata pria kurang ajar yang hanya memanfaatkannya. Win marah dan malu. Dia ternyata cuma ge-er. Dan yang pertama tahu kedok Luke dan membela Win ternyata Bright—orang yang dia anggap jahat karena sudah membohonginya. Padahal kebohongan itu bahkan mungkin nggak ada hubungannya dengan Win.

Satu fakta lagi terlintas di benak Win. Win marah pada Bright karena egonya tersentil merasa Bright nggak menganggapnya "sedekat" itu sampai cowok itu merasa nggak perlu menceritakan semuanya pada Win. Bahu Win semakin berguncang. Kenapa hidupnya jadi berantakan begini sih?! Belum selesai satu masalah, datang masalah lain yang sangat menyakitkan!

"Hei...." Tiba-tiba Bright sudah duduk di sebelahnya. Sebelah tangannya merangkul hangat bahu Win dan sebelah lagi menyodorkan tisu. "Ikut aku yuk?"

"Ke mana?" Win mendongak. Menghapus air matanya dengan tisu pemberian Bright. Aneh, dia bahkan nggak marah merasakan tangan Bright di bahunya.

"Sudah, ikut aja." Bright membimbing Win berdiri lalu mengajak Win pergi dari situ dengan tetap merangkul bahunya.

**

Setelah naik lift sampai lantai paling atas, di sinilah mereka. Di helipad rumah sakit. Win baru tahu rumah sakit ini punya helipad tempat helikopter untuk pasien gawat darurat atau orang kaya yang ogah naik ambulans.

Win menatap Bright ragu. "Emangnya kita boleh ya naik ke sini?"

Tangan Bright menahan pintu lift yang hampir tertutup, mempersilakan Win keluar lebih dulu. "Dulu Nevvy pernah dirujuk ke sini karena harus menjalankan suatu metode pengobatan. Aku sama dia pernah naik ke sini. Selama kita nggak telentang di tengah-tengah helipad, kayaknya nggak masalah."

Win menahan napas. Canggung dan bingung harus bereaksi apa mendengar Bright menyebut nama Nevvy. Rasanya masih ada yang mengganjal. Bright terlihat tulus dan betul-betul menyayangi Nevvy. Apa iya dia setega itu melupakan Nevvy begitu aja?

"Ini, pegang sebentar." Bright menyodorkan dua gelas kertas berisi teh hangat yang mereka beli di kafetaria. Bright mengangkat kursi panjang kayu dari ruangan kecil yang sepertinya adalah pos sekuriti. Di dekat pos itu ada ruangan lain, semacam ruang perawat untuk menunggu.

Kursi itu Bright letakkan di depan tembok pembatas helipad. Beberapa saat kemudian mereka sudah duduk bersebelahan dengan pemandangan lepas Jakarta saat senja.

"Wah, lampu-lampu Jakarta mulai menyala...." Win menatap kagum pemandangan di bawahnya. Lampu-lampu kendaraan bekerlap-kerlip mirip kunang-kunang. Sementara lampu jalanan mulai menyala dan membentuk garis cahaya yang indah.

Bright tersenyum menatap ke arah yang sama. "Bagus ya? Dari sini, kita nggak tau, mungkin saja orang-orang di bawah sana, yang di dalam mobil, lagi marah-marah karena macet. Terkadang sesuatu jangan dilihat terlalu dekat supaya tetap kelihatan bagus."

Win tertawa kecil. "Kayak Luke maksudnya?" Win menyeruput tehnya lalu membuang napas berat, sekaligus membuang bebannya.

Angin menyapu pelan, membuat poni Win melayang ringan. Kejadian hari ini seperti mengubah masa depannya. Bayangkan kalau Luke nggak pernah menawarkan jasanya pada Bright, lalu bayangkan kalau Bright nggak peduli dan memutuskan untuk nggak memberi tahu Win? Sampai kapan Win bakal terus dibodohi Luke? Bayangkan sakitnya kalau perasaan Win sudah telanjur dalam untuk Luke.

Win melirik Bright. Mungkin Bright adalah cara Tuhan membocorkan kebusukan Luke. "Kamu boleh jelasin, Bright..." ujar Win pelan tapi mantap. Bright membatalkan niatnya menyeruput teh, lalu menatap Win nggak ngerti. "Soal Nevvy. Kamu udah melakukan sesuatu yang besar buatku hari ini. Aku rasa impas kalau aku kasih kamu kesempatan menjelaskan soal Nevvy sekarang. Kamu bilang, penjelasan itu akan bikin aku ngerti apa yang kamu lakukan. Iya kan?"

Bright mengangguk. "Aku harap begitu, Win." Pria itu menatap Win. "Kamu bukan pelarian, Win. Sekali lagi aku bilang, aku mencium kamu karena perasaanku untuk kamu."

Win terdiam seketika. Entah sejak kapan jantungnya mulai berdegup sekencang ini waktu bertatapan dengan Bright. Embusan napas pria itu rasanya hampir bisa terasa di ujung hidung Win karena jarak mereka yang cukup dekat dan Bright terus menatap Win selama bercerita.

"Seperti aku bilang sebelumnya, aku dan Nevvy sudah berpisah dan memutus pertunangan kami beberapa bulan sebelum Nevvy jatuh koma. Itu bukan keinginanku, Win. Nevvy yang memaksa."

"Kenapa? Kamu bikin dia marah?"

Bright tertawa pelan. "Keadaan yang bikin dia marah. Dia tahu penyakitnya sudah gawat, Win. Dia tahu, kalaupun dia tetap hidup, itu nggak akan lama dan dia nggak bisa berbuat apa-apa. Dia bergantung dengan semua alat yang menempel di tubuhnya. Intinya dia marah sama

semua yang ada di sekitarnya. Marah karena dia sakit, marah karena dia nggak bisa lagi berbicara, bersalaman, atau memelukku tanpa masker. Penyakit itu nggak Cuma menggerogoti badannya, tapi juga jiwanya." Bright berhenti sejenak.

Win diam menunggu kalimat Bright selanjutnya.

"Nevvy itu gadis kuat dan sabar. Sampai sebelum dia koma, dia seperti orang lain. Dia bisa begitu marah melihat aku atau teman-temannya. Dia mengusir aku dan baru berhenti mengamuk setelah aku setuju memutus pertunangan kami. Dia ngotot, katanya dia bisa melihat tatapan iba di mataku."

Win masih diam. Dia tahu Bright belum selesai bicara. "Aku sayang sama dia, Win. Tapi bukan lagi sebagai kekasih. Aku sayang sama dia sebagai sahabat, sebagai adik. Aku kagum sama perjuangannya karena aku menyaksikan langsung. Aku juga harus realistis, hubungan kami memang nggak mungkin diteruskan. Perhatianku cuma membuat dia marah dan akhirnya kesehatannya turun drastis." Sekilas Bright tersenyum miris, "Yah, mungkin memang tugasku menemani dia hanya bisa sampai sebatas itu, atau malah sebaliknya, tugas dia untuk menghiasi hidupku cuma sesingkat itu. Perasaanku buat dia, dan buat... kamu itu beda."

"Terus, buat apa kamu bikin perjalan bulan madu itu? Bahkan kamu berbohong dengan menyebut itu sebagai perjalanan survei."

Bright tersenyum hangat. "Aku tahu kamu mengerjakan semua itu dengan maksimal. Makanya hasilnya bagus banget, dan aku yakin itu sesuai dengan keinginan Nevvy— kalau dia masih ada."

Win mengernyit nggak paham.

"Dua hari setelah dia meninggal, aku melayat dan menemukan sesuatu di kamarnya. Impian terakhirnya yang belum tercapai, dan itu melibatkan aku."

"Maksud kamu?"

Bright menghela napas. Sedih dan berat. "Besok aku tunjukkan semua ke kamu. Supaya kamu betul-betul ngerti, apa yang membuat aku melakukan semua itu."

Ternyata benar kata Love, seharusnya dia memberi kesempatan Bright untuk bicara. Dia nggak marah lagi sama Bright. Sekarang Win merasa simpati dan penasaran, dengan sedikit debaran di dada. Mungkin karena kagum mendengar cerita Bright tadi. "Nggak nyangka kamu jadi animator," celetuk Win iseng.

Mata Bright membulat. Senang Win membahas topik lain dan itu menyangkut dirinya. Bright mengedipkan sebelah mata sambil tersenyum hangat. "Nggak nyangka kamu jadi honeymoon organizer."

Win tertawa pelan. "Itu kan memang cita-citaku. Konsisten dari awal. Kamu? Kamu memang hobi gambar, gambaran kamu keren, tapi kan yang kamu peduliin dan omongin cuma hutan, gunung, laut, beruang kutub, lumba- lumba, paus. Giliran ngomongin orang, malah ngebahas

orang utan." Win menatap Bright serius lalu meringis usil. "Aku pikir kamu bakalan jadi pelatih lumba-lumba. Atau pawang gajah Lampung."

Bright tertawa pelan. Win juga ikut tertawa. Tiba-tiba mereka berdua tertawa terbahak-bahak karena alasan yang kurang jelas. Mungkin membayangkan Bright memberi hormat pada penonton pertunjukan lumba-lumba dengan baju ketat. Atau... tertawa lepas karena itu yang mereka perlukan sebelum menutup hari ini.





[w/n : oke, tinggal beberapa cahpter menuju END ya. Persiapkan hati kalian. Kita bakal berpisah dengan BrightWin di Honeymoon Express segera bahkan sebelum episode 13 2gether tayang. Kkkkk. Selamat Tidur! Salam Sayang! Badut! En]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top