Boleh Maju Nggak Sih? Sedikiiit Aja...




"Dipelet gue rasa."

Love melotot. "Sembarangan!"

Win memasang kacamata hitamnya lalu langsung rebahan di kursi santai di pinggir kolam lantai empat apartemennya. "Habisnya aneh. Sampe segitunya lho, Pasti ada sesuatu!"

Love ikut rebahan di kursi di samping Win. "Ya cinta mati lah! Lo nggak adil. Kalau lo sendiri fanatik sama hal-hal romantis, seharusnya lo percaya dong ada cinta buta kayak gini. Kenapa malah ngatain Bright dipelet? Lo aja yang nggak rela karena Bright segitu cintanya sama ceweknya, kan?"

Uh, resek!

Win manyun. "Emang aneh kok! Iya, gue percaya ada yang namanya cinta buta, cinta mati, cinta sejati, tapi... ini tuh aneh. Masa sih sampe segitunya si Bright sama cewek yang kelihatannya nggak bakal menghargai apa yang udah dia lakuin?"

Love memutar kepalanya ke samping lalu mengangkat sedikit kacamatanya. Dia mengernyit menatap Win.

"Emangnya, ceweknya nggak bisa menikmati karena apa? Lo juga nggak tahu jelas, kan? Mungkin aja Bright mau ngasih surprise tapi takut salah."

Ah, Love memang menyebalkan. "Habis apa lagi coba? Si Mas Gun itu jelas-jelas tahu soal perjalanan Bright. Kalau ceweknya nggak aneh, ngapain Mas Gun itu sampe komentar dengan khawatir begitu. Pasti ceweknya ini workaholic sejati yang udah nggak mikirin hal lain, termasuk pernikahannya sendiri. Lagian ya, Love, waktu itu Bright gue tanya soal tanggal pernikahan tapi dia nggak jawab. Jangan-jangan nikahnya juga belum pasti."

"Nggak jawab karena emang nggak mau gembar-gembor kali? Kayak artis-artis itu. Butuh privasi."

"Soal privasi mungkin juga, tapi bisa juga karena emang belum pasti, kan?" Win masih ngeyel.

"Mmm... iyeee... bisaaa. Apa sih yang nggak mungkin di dunia ini. Biarpun gue tahu, emang lo aja tuh yang berharap pernikahan Bright belum pasti." Love menengadah, sok-sok menikmati matahari.

"Gue miris aja lihatnya. Orang sebaik Bright masa dapet cewek yang kayak gitu?" Win menghela napas. Tetap nggak habis pikir.

Love menyeruput jus kiwinya. "Ah, lo bisa nge-judge begitu, padahal nggak kenal orangnya. Si Bright sama aja anehnya, mau-maunya melakukan hal kayak gitu buat cewek yang nggak cinta sama di—Eh, tunggu!" Love mendadak bangkit, dan dengan cepat pindah ke tepi kursi

Win. Tangannya mencabut kacamata Win.

"Aw, silau! Ngapain sih?"

Mata Love menyipit menatap tajam mata Win yang terpaksa ikut menyipit gara-gara matahari. Daripada kacamata dibuka tiba-tiba dan silau begini, sekalian aja Love colok matanya sampai perih. "Gue baru ngeuh. Jangan bilang lo berpikir karena Bright belum pasti menikah dan ceweknya aneh begitu, lo jadi punya kesempatan buat—?"

"Hah?!" Win buru-buru memakai kacamatanya lagi. Kalau Love menatap matanya, dia pasti bisa menebak saat Win salting atau bohong. "Lo ngomong apa sih? Gue kan cuma bilang miris ngeliat hubungan mereka."

SET! Love mengangkat kacamata Win lagi. "Miris, terus lo berpendapat, seharusnya Bright dapet yang lebih baik. Contohnya lo gitu?"

"Lahh... apaan sih?" Win sok melirik jam tangan. Dengan sadis Love memegang dagu Win. "Tatap mata gue!"

Kenapa Love jadi kayak pesulap? "Ngapain lo? Mau ngehipnotis gue? Kayak bisa aja..."

Love nggak senyum sama sekali. "Jangan aneh-aneh ya, Win." Lagak Love bagaikan ahli pembaca pikiran orang. "Gue tahu pikiran lo. Jangan bertindak ngaco, oke? Inget, dia calon suami orang. Lo fokus aja sama Luke tuh! Biar lambat, asal selamat. " Love memang bisa membaca pikiran orang.

Win memutar bola mata, bete. "Iya... iyaaa... Tenang aja, kenapa sih? Gue masih inget gimana sakitnya gara-gara perselingkuhan Mil dan Mon. Gue nggak akan bikin orang lain ngerasain hal yang sama, oke?"

"Mana mungkin gue bisa tenang. Kelihatan banget lo suka beneran sama Bright. Kalau dia benar-benar nggak jadi nikah dan jomblo lagi, terserah deh, lo mau mepet dia pakai cara normal atau abnormal. Tapi selama dia masih berstatus calon suami orang, mendingan lo nggak usah macem-macem. Urusan lo sama dia ini masih berapa lama lagi sih? Kalau terus kayak gini, gue curiga lo nggak bisa tetap profesional. Muka lo itu kayak siap merobek-robek

baju Bright dengan liar, tauk!"

"Sinting lo, Gue nggak semesum itu!" Win mendelik, langsung tertegun. Berapa lama lagi ya? Win menimang- nimang. "Mmm... nggak lama lagi kelar kok. Minggu depan kan ke Bali, terus Singapura, terus udah."

"Pffftt!" Minuman Love menyembur keluar. Matanya juga nyaris melompat keluar. "Apa lo bilang? Ke Bali? Lo ikut ke Bali dan Singapura?"

Reaksi histeris Love yang seperti ini sudah Win perkirakan sejak awal. Win menggoyang-goyangkan tangan, menyuruh Love santai. "Biasa aja dong, Gue sekalian ada urusan di Bali, jadi sengaja dibarengin."

Alis Love berkerut. "Urusan di Bali yang pameran pariwisata itu?"

Win mengangguk dengan senyum masih mengembang. "Yup. Eh, tapi kok lo tahu sih?"

Ekspresi Love berubah datar. "Tahu dong. Kita kan ngobrolin soal ini bulan lalu karena hotel gue juga ikutan. Bukannya Tharn yang lo suruh ke sana? Lo bareng Tharn?"

Shit! Salah lagi nih. Win meringis, berusaha memaksakannya seperti senyuman. "Mmm... Tharn nggak jadi."

"Terus, lo yang gantiin supaya bisa dibarengin acaranya Bright," sambung Love.

Win meringis lagi. "Iya, sekalian."

"Kenapa lo harus batalin Tharn?" desak Love.

"Mmm... yaaa... boros aja. Kan kalau cuma ke pameran, gue juga bisa. Toh bukan acara resmi, jadi nggak buang-buang ongkos. Lagian, lo tahu Bright suka canggung. Dia lebih nyaman kalau yang dampingin dia itu gue."

Win nggak bohong. Dia memang nggak punya niat terselubung dengan membatalkan keberangkatan Tharn. Semua demi mengirit ongkos operasional. Lagian, itu berarti Tharn bisa disuruh stand by karena semua konseptor di Honeymoon Express sudah pegang klien. Love terdiam. Sahabatnya itu cuma menyeruput jus kiwinya lagi.

Win menatap Love dengan ganjil. "Kenapa? Kok lo diem aja?"

Kali ini Love nggak melotot atau merepet bawel. Dia duduk menghadap Win. "Gue khawatir aja, Win. Gue pikir, lebih baik kalau ada Tharn, jadi lo nggak berduaan aja sama Bright di Bali."

Win ikutan bangkit dan duduk menghadap Love. Biarpun bawel dan suka nyebelin, Win tahu sahabatnya itu sayang dan perhatian. "Gue tahu lo khawatir, tapi tenang aja. Gue bisa jaga diri. Lagian gue juga cowok ellah ! Gue masih memegang komitmen kita: Pantang jadi pengganggu hubungan orang. Lagian, masa lo menganggap gue bisa ngelakuin hal kayak gitu sih? Kan gue udah bilang, kalaupun gue ada rasa sama Bright, gue bakal simpen sendiri—buat luculucuan."

"Tapi—"

"Eit... terlepas dari teori lo tentang sinyal antar sesama manusia itu," potong Win cepat, sebelum Love mulai pidato. "Pokoknya, lo tenang aja.... Gue nggak ada niat aneh-aneh. Cuma mau menjalani pekerjaan dengan profesional. Kebetulan aja klien gue kali ini Bright dan dengan permintaan khusus kayak gini. Oke?"

Love masih nggak percaya.

"Love?"

Love mengangkat tangan. "Iyaaa.... Oke! Lo udah gede. Lo tau yang terbaik buat lo."

Win mencubit pipi Love. "Ya jangan manyun lagi dong. Muke lo kayak ikan! Senyuuum..."

Love tersenyum paksa, lebih tepatnya menyeringai. Jenis seringai yang bisa banget buat nakut-nakutin anak TK biar ngompol berjamaah.

**

Win sudah melenggang keluar toko sambil menenteng kantong belanjaan saat lima detik kemudian ringtone ponsel Win berbunyi. Dia buru-buru menekan tombol Answer.

"Hei, Bri. Aku udah di lantai dasar nih. Jadi ketemu di Kopi Pojok?" Waktu Win selesai berenang sama Love tadi, Bright mengirim BBM dan bilang dia mau mampir sebentar untuk membicarakan beberapa detail di Bali nanti. Pria itu sudah duduk manis di salah satu sofa dekat pantry Kopi Pojok, coffee shop kecil di deretan kafe dan resto.

"Sudah lama?" Win duduk di hadapan Bright.

"Lumayan. Mbak-mbak itu kayaknya sudah tiga kali melahirkan selama aku di sini."

Win terbelalak. "Lebay! Aku nanya serius!"

Gigi Bright yang rapi terlihat jelas waktu pria itu tertawa hangat. "Habis belanja?" Mata Bright tertuju pada kantong kertas di samping Win. Wajah Win langsung memanas. Mendadak dia ingat alasan yang sempat melintas di kepalanya tadi. "Barang diskon. Lumayan lima puluh persen."

Bright mengangguk-angguk. "Eh, Win, aku nggak ngerepotin kan mendadak mampir pas kamu lagi libur gini?"

"Nggak kok. Emang lagi nyantai. Tadi juga habis berenang dan fitness." Win pasang senyum manis.

Dulu waktu masih di kampus, Win nggak pernah membayangkan bisa semudah ini ngobrol sama Bright. Obrolan mereka selalu pendek-pendek dan dia harus mencari alasan khusus karena grogi setengah mati. Dulu, segala spontanitas dan sikap blakblakan Win langsung padam disergap sikap kalem Bright yang bikin salting. Sekalinya ngobrol agak panjang, itu pas Bright nggak sengaja mergokin Win browsing tempat-tempat romantis di Eropa dan baca majalah bulan madu. Sampai sekarang Win masih nggak nyangka Bright ingat kejadian itu.

Well, kalau dipikir-pikir, sekarang mereka sering ketemu dan ngobrol juga karena ada alasan khusus. Hanya saja... suasananya terasa berbeda. Biarpun lebih banyak seputar kerja sama mereka, tapi selalu terasa menyenangkan. Mungkin karena topiknya sangat Win sukai.

"Thanks ya, Win. Sori aku ribet."

"Ah, kamu bukan klien yang paling ribet kok. Aku pernah dapet klien yang minta dibikinin lunch di kantin SMA di kota tempat tinggal mereka sebelum pindah ke Jakarta. Di Medan."

Mata Bright melebar. "Hah? Beneran?"

"Bayangin aja, kan nggak mungkin mereka lunch di kantin pas jam sekolah. Jadi aku terpaksa ngerayu pihak sekolah supaya diizinin pakai kantinnya pas weekend. Mereka juga maunya makanan disediakan oleh para pedagang kantin. Jadi sambil jajan-jajan nostalgia gitu." Bright melongo.

"Kamu juga ribet sih, tapi nggak aneh." Win cengengesan.

"Kamu ya... terang-terangan ngatain klien ribet."

"Aku kan cuma berusaha jujur."

Bright tertawa pelan.

"Semuanya harus perfect banget ya, Bri? Pasti pesta nikahannya juga perfect."

Bright samar terlihat menegang.

"Emangnya kapan sih? Kasih bocoran tanggalnya dong." Win betul-betul nggak bisa menahan diri untuk nggak mencari tahu. Win masih merasa ada yang aneh waktu Bright kelihatan menghindar saat ditanya soal ini. Apalagi setelah Win mendengar obrolan Bright di telepon saat mereka di hutan pinus itu.

Bright terlihat nggak nyaman. "Mm... itu masih... tergantung Nevvy sih. Win, kamu masih suka futsal nggak? Kamu kan jago banget." Tuh kan, aneh. Lagi-lagi Bright menghindar soal ini.

"Masih sesekali. Kenapa? Kamu sekarang minat bersosialisasi sama manusia? Kalau mau, ntar aku—" Tiba-tiba ponsel Win berbunyi.

Love.

"Halo? Apa? Gue... nggak di kamar. Gue lagi di Kopi Pojok. H-halo, Love? Love?"

Diputus. Ngapain sih Love telepon nggak jelas gitu?

"Love?" tanya Bright penasaran.

"Iya, tapi nggak jelas. Dia nanya aku lagi di mana, habis itu teleponnya mati. Dia kan emang nggak jelas. Yang jelas dari Love cuma satu: berisik."

Bright tertawa. Suara tawa Bright itu keren. Win juga nggak tahu apakah memang ada ketawa yang keren, tapi buat Win, kalau ada suara ketawa yang keren, suara Bright salah satunya.

"Win."

Ha? Win spontan berhenti tertawa. Kok ada Love?!

"Lho... Kok balik lagi?"

"Gue mau ke apartemen lo. HP gue yang satu lagi ketinggalan sebelum berenang tadi. Pinjem kunci deh," cerocos Love sambil melirik Bright, lalu melirik Win dengan tajam karena sama sekali nggak dikasih tahu tentang kedatangan Bright. "Hei, Bri..." sapa Love, garing.

"Baru dateng? Tadi gue juga habis dari sini berenang. Si Win nggak bilang kalau lo mau ke sini."

Win mendelik. "Emang ngapain bilang-bilang sama lo?"

"Kan Bright temen gue juga. Ketemu temen lama, emangnya nggak boleh?"

Win malas menanggapi Love. Jelas-jelas si nenek bawel lagi nyindir.

"Gue cuma sebentar. Ada yang harus gue obrolin sama Win soal paket bulan madu gue. Kebetulan gue lagi ada kerjaan di deket sini, terus Win ada waktu, jadi gue mampir deh," jawab Bright santai, sama sekali nggak mencium aura mencurigakan dari omongan Love—yang sudah beberapa kali melemparkan tatapan ala detektif ke arah Win.

Bibir Love membulat sambil melemparkan tatapan penuh arti pada Win. "Eh, Bright, mumpung ketemu. Kantor lo spesialis digital dan animasi gitu, kan? Hotel gue mau ada event Hari Anak besar-besaran. Salah satunya parade profesi. Nah, profesi animator kan unik. Kantor lo mau ikutan nggak? Boleh bebas promosi lho pas event"

"Oh, boleh tuh."

"Gue forward by e-mail aja ya. E-mail lo apa? Gue kirim sekarang."

"Wah, thanks." Bright lalu menyebutkan alamat e-mailnya.

Love langsung mengutak-atik iPhone-nya. "Tuh sudah. Eh, mana kunci lo, Win. Gue ditunggu Dean di parkiran."

Win menyodorkan kuncinya. Nggak lama setelah Love melangkah keluar dari Kopi Pojok, WhatsApp Win berbunyi: "Bener dugaan gue! U're in love, Win. Bright bukan sekadar lucu-lucan masa kuliah. Lo beneran suka sama dia sampe sekarang. Kalau nggak, kenapa tadi nggak cerita sama gue kalo lo bakal ketemu Bright? Karena lo ngerasa gue bener, kan? Hati-hati ya, Win!"

Jantung Win berdegup kencang. Kalau dia bicara dalam hati, nggak bakal ada yang dengar, kan? Win mau mengaku bahwa yang dikatakan Love di WhatsApp semuanya benar. Dia memang jatuh cinta. Perasaannya untuk Bright bukan lagi lucu-lucuan. Perasaannya masih sama seperti dulu, bahkan semakin besar. Bright yang sekarang, membuat Win jatuh cinta, bukan sekadar naksir.

Pria itu seperti memenuhi nyaris semua persyaratan pria idamannya—kecuali satu, Bright sudah punya cinta. Nevvy.




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top