Api Unggun, Api di Hatiku, Api di Hatimu.
Tenda. Check.
Api unggun. Check.
Perahu rahasia. Check.
Makanan. Check.
Win mengecek lagi sekeliling tempat kemping, memastikan persiapan untuk kemping bulan madu di pantai nggak ada yang kurang. Semua harus lengkap karena ini puncak perjalanan singkat Bright dan Nevvy di Bali.
Win menghela napas, teringat kemungkinan Nevvy belum tentu mau menerima semua ini. Kalau ditolak, lalu apa artinya Bright susah payah begini? Itu artinya, pekerjaan Win juga sia-sia. Kalau secara materi sih mungkin nggak sia-sia. Tapi kepuasan Win bukan cuma materi. Salah satu yang membuat Win bahagia dan dia anggap sebagai prestasi adalah saat klien puas dengan hasil kerjanya.
"Win...." tahu-tahu Bright berdiri di samping Win sambil menyodorkan segelas jus.
"Thanks. Gimana, ada yang kurang nggak nih kira-kira buat nanti malam? Kalau mau tambah sesuatu, bisa langsung aku siapin sekarang. Coba cek deh. Untuk kejutannya, nanti kamu liat langsung aja ya? Kalau diliat sekarang, nanti kurang ah. Yang penting detail-detailnya ini lho, Bright."
Bright menahan napas. Setelah kejadian di Tanjung Benoa itu, Bright nggak bisa berhenti memikirkan Win semalaman. Dia memikirkan perasaannya sendiri juga. Kenapa di saat dia sedang melakukan semua ini untuk Nevvy, dia malah gagal menahan perasaannya terhadap
Win. Semua ini sebetulnya bisa Bright siapkan sendiri tanpa perlu bantuan Honeymoon Express. Toh dari awal sebenarnya Bright berniat mengerjakan perjalanan ini cukup dengan ide dan kreativitasnya sendiri. Apalagi semua tempat dalam list Nevvy, sudah pernah Bright datangi.
Semua berubah begitu dia bertemu Win di resepsi Tawan dan tahu bahwa Win pemilik Honeymoon Express. Semua ini seperti releks, terjadi begitu saja. Dia yakin meminta Win menangani semua ini merupakan hal yang tepat. Mengingat betapa berharganya semua ini untuk Nevvy jelas Bright memilih yang terbaik. Lagi pula, segala sesuatu yang dikerjakan sang ahli hasilnya pasti akan lebih baik.
Bright menatap semua yang sudah Win siapkan. Bahkan sambil setengah melamun, Bright yakin semuanya pasti sudah sempurna.
"Bri, gimana?" tanya Win lagi. Wajahnya mulai agak cemas karena ekspresi Bright yang sulit dibaca.
"Sudah, Win. Semua sudah oke." Bright menjawab cepat.
Win mengangkat alisnya. "Yakin?"
"Yakin."
Win mengusapkan kedua telapak tangan sambil tersenyum lega. "Oke. Nanti makanannya kita keluarin kalau udah mau mulai. Eh tapi, Bri, kalau nanti tahu-tahu kamu sadar ada yang kurang, langsung bilang ya? Aku udah minta orang yang sering bantu aku di sini untuk stand by. Kalau ada apa-apa aku tinggal kasih tahu dia."
"Iya, Win, iyaaa. Tenang aja. Aku percaya sama kamu kok. Kamu juga percaya deh sama aku, kerjaan kamu dan tim sudah oke." Sebelah tangan Bright menepuk dan meremas bahu Win pelan, mencoba meyakinkannya.
Detik itu juga darah Win langsung mengalir deras, sebagian ke jantung, sebagian lagi ke muka. Perpaduan yang sangat kurang pas saat ini—bisa-bisa dia pingsan. Bahkan dengan intensitas deg-degan yang sangat sering akhir-akhir ini, Win bersyukur dirinya masih hidup.
Bisa-bisa dia mati sewaktu-waktu. Kalau sekarang dia pingsan, pasti bakal sangat memalukan.
"Eh...." Bright tiba-tiba menarik tangannya dari bahu Win. Kalau memegang bahu Win lebih lama lagi, bisa-bisa dia nekat menggandeng tangan pemuda itu, menariknya ke pelukan, dan—Bright menelan ludah. Perasaannya semakin tak terkendali. Bisa-bisanya dia membayangkan hal-hal seperti itu! Dia melakukan ini buat Nevvy, seharusnya dia bisa menahan diri.
"Bright?"
Bright menelan ludah lagi. Kali ini lebih susah karena dia harus menghapus ekspresi grogi dari wajahnya, segera. Kalau nggak, Win bisa curiga. "A-aku, aku bilang kerja tim kamu sudah oke."
Alis Win berkerut. "Iya, aku udah denger kok tadi."
Shit! Bright betul-betul grogi sampai mengulang kalimatnya, padahal Win nggak nanya. Bertahun-tahun sekampus dengan Win, dia selalu membayangkan bisa seakrab dan sedekat ini. Dan perasaan itu sekarang sangat sulit dibendung. Bright sudah berusaha mati-matian, tapi percuma saja. Perasaan itu malah semakin kuat. "Cuma meyakinkan kamu aja. Soalnya
muka kamu cemas banget dari tadi bolak-balik ngecek list."
Tak lama kemudian ponsel Win berbunyi lagi.
Foei.
"Sebentar ya, Bright. Foei, ya halo? Iya... Apa? Kok bisa? Kenapa? Kamu nggak bisa bujuk lagi, biar nggak batal? Oh, gitu?" Win menghela napas kecewa. "Ya sudah, nanti begitu saya pulang kita evaluasi. Sekarang fokus aja sama kerjaan yang lagi jalan. Saya juga selesaikan
yang di sini dulu. Oke, Thanks." Win lalu tertegun.
"Ada apa, Win? Foei orang kantor kamu itu, kan? Ada masalah di kantor?"
Win menatap Bright lalu mengangguk lemas. "Iya, ada masalah sedikit. Barusan Foei bilang ada dua klien yang tiba-tiba membatalkan kerja sama dengan Honeymoon Express." Win berusaha terdengar tenang, padahal dia sebenarnya gelisah. Tapi, sebisa mungkin dia meyakinkan Bright bahwa masalah apa pun yang terjadi di kantor tidak akan mengganggu performanya di sini.
Kepala Win mendadak pening. Baru pertama kali ini ada kasus klien sampai membatalkan kerja sama seperti ini—dua sekaligus. Apa yang salah dengan Honeymoon Express? Kepala Win semakin berdenyut, mencoba memikirkan penyebabnya.
Rasa-rasanya belum pernah ada data atau laporan soal masalah serius dengan klien. Pembatalan kerja sama nggak mungkin hanya karena hal sepele. Pasti ada alasan kuat atau masalah yang cukup besar. Tapi apa?
Diam-diam Bright mengamati Win. Dari ekspresi Win, Bright tahu pemuda itu betul-betul mencemaskan kondisi kantor. "Win, kamu yakin nggak apa-apa? Kalau kamu perlu balik ke Jakarta, aku nggak apa-apa di sini. Ada staf kamu yang bisa bantu, kan?"
Win mengernyit. Pulang ke Jakarta? Segala pertimbangan berkecamuk di benaknya. Memangnya kalau dia pulang, klien itu pasti kembali?
Buat apa dia pulang kalau meeting evaluasi masih bisa menunggu sampai urusannya di sini selesai. Lagi pula, hanya gara-gara kekacauan satu atau dua klien, Win nggak bisa mengacaukan proyeknya bersama klien lain— Bright kan klien juga.
Win memejamkan mata sejenak, berusaha mengembalikan fokusnya, lalu tersenyum setenang mungkin pada Bright. "Nggak, Bri.... Aku nggak perlu ke Jakarta sekarang, di sana kan ada Foei. Aku mau fokus di sini. Kamu kan klienku juga."
Bright tahu Win hanya berlagak tenang. Biarpun Win tersenyum selebar itu, Bright masih bisa melihat pemuda itu sedang berusaha menyembunyikan kecemasannya.
"Bener kamu nggak pa-pa?"
Senyum Win tetap mengembang. "Iyaaa... bener. Udah lah, kita kan di sini untuk kamu. Lagian, sebagai klien, apa pun masalah yang terjadi di kantorku, kamu nggak perlu cemas. Kamu tetap bakal dapat servis terbaik." Win mengacungkan jempol. Keceriaan yang berlebihan. Jurus paling standar yang digunakan untuk menyembunyikan perasaan.
Langit meredup. Tanda-tanda bakal segera sunset. Seperti tersadar akan sesuatu, mata Win membulat antusias. Secepat kilat dia menyambar pergelangan tangan Bright dan menarik pria itu sambil berlari kecil.
"Win... eh... kenapa? Mau ke mana?" Bright bingung tangannya ditarik tiba-tiba.
"Udah ikut aja!" Win terus berlari kecil menyusuri pantai sambil tetap menggenggam pergelangan tangan Bright.
Sesampainya mereka di depan sebuah tumpukan karang yang lumayan tinggi, langkah Win melambat. Dengan sigap dia melepas sepatu coklat mudanya dan mulai memanjat karang itu sambil menenteng sepatu.
Bright melotot panik. "Win!"
"Buruan ikut naik! Aku hampir lupa, seharusnya sambil nunggu sunset, kita naik ke sini." Sambil berdiri di karang, Win mengulurkan tangan memberi kode pada Bright supaya ikut naik. Dengan kebingungan, Bright menyusul Win naik.
"Win?"
Melihat pemuda itu duduk bersila di pinggir karang, Bright ikutan bersila di sampingnya. Lima detik kemudian langit berubah oranye, matahari turun perlahan. "Bocoran dari pegawai resort, ini spot paling bagus untuk liat sunset di pantai ini." Win bergumam pelan sambil menatap lurus ke depan. Napasnya seolah tersekat. Pegawai resort itu benar. Pemandangan matahari terbenam di depan mereka menakjubkan. Di samping Win, Bright menatap ke arah yang sama dengan napas tertahan. Hening.
"Aduh..." Bright bergumam tiba-tiba. "Kenapa, Bri?"
"Nggak difoto. Bagus banget padahal. Nevvy pasti suka. Sunset dari jendela gedung bertingkat aja bisa dia bilang bagus kok." Bright tersenyum tipis.
Win meringis canggung. "Yah, sori ya, Bright. Tadi bener-bener kelupaan, tapi nanti kan kamu akan ke sini lagi sama dia. Kalau cerah, sunset-nya pasti sebagus tadi. Lebih bagus liat langsung juga, kan?"
Win melihat Bright tersenyum aneh, lalu mengangguk kikuk. Mungkin karena Bright nggak tahu apakah dia bakal ke sini lagi bareng Nevvy atau nggak. Sepertinya dia masih harus menunggu keputusan tunangannya.
Tanpa sadar Win mendengus pelan.
Pakai susuk apaan sih si Nevvy itu sampai bisa biki cowok kayak Bright bertekuk lutut habis-habisan begini?
Bahkan, bisa dibilang ini sudah bukan sekadar bertekuk lutut, tapi tiarap!
"Jadi... habis sunset apalagi, Win?" tanya Bright membuyarkan lamunan Win.
"Oh... kita ke tenda aja yuk?" Win meluruskan kakinya, siap-siap berdiri.
"Sini." Bright releks mengulurkan tangan membantu Win berdiri. Tiga detik tangannya mengambang di udara karena Win tak langsung menyambutnya. Cowok itu malah terdiam menatap tangan Bright dengan ekspresi tak terbaca. Bright nyaris berpikir dirinya kelewat lancang dan berniat menarik kembali tangannya, tapi tiba-tiba ekspresi Win berubah normal dan menyambut uluran tangannya.
"Thanks, Bright." Win tersenyum lebar setelah berhasil berdiri dengan bantuan Bright.
Seandainya cowok itu tahu jantungnya nyaris meledak menahan perasaan waktu tangannya digenggam dan dibantu berdiri tadi.
"Turun yuk?" Bright mengangguk mengikuti Win turun dari karang.
**
"Sudah dapet tempat bikin undangan atau suvenir?"
Bright terbatuk pelan mendengar pertanyaan Win. Tangan Bright berhenti membolak-balik ikan yang sedang dia bakar lalu menatap Win yang duduk di sebelahnya asyik membakar cumi-cumi.
Karena di pantai, tema barbeque-nya juga berganti menjadi seafood, bukan kambing guling lagi. "Kok nanya kayak gitu?"
Win mengangkat bahu pelan. "Hmm... ya nggak papa. Siapa tahu aja kamu lagi cari-cari, aku tahu yang murah tapi bagus." Rasanya Win pengin mengeplak mulutnya sendiri karena nggak bisa menahan diri. Sepertinya kalimat itu otomatis meluncur dari mulutnya tanpa lewat saringan otak. Win betul-betul penasaran tentang Bright dan Nevvy, biarpun dalam hati dia masih yakin kesimpulannya soal telepon Bright dan Gun itu benar. "Beneran murah lho, Bright. Hasilnya juga bagus. Mau model kayak apa aja bisa, kamu tinggal—"
"Kayaknya belum sekarang," potong Bright
"Ha?"
"Kayaknya belum sekarang," ulang Bright dengan nada yang persis sama.
"Ooo...." Bibir Win membulat, mendadak bingung mau ngomong apa lagi.
Bright mau nggak mau tersenyum melihat tampang melongo Win. "Tenang aja, kalau pas mau pesan aku pasti nanya kamu. Makasih infonya. Nanti... aku sampein ke Nevvy juga," Bright berdeham pelan, mengusir gugup. Ini gila, benar-benar gila. Seharusnya waktu ketemu di resepsi Tawan, Bright nggak perlu meminta Win dan Honeymoon Express mengurus bulan madunya. Seharusnya dia tahu, itu sama aja menggali lagi perasaan yang sudah lama dia pendam, dan akhirnya menjadi rumit begini.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top