Apa yang Sudah Dimulai

Win menggosok bibirnya kuat-kuat dengan air shower di kamar mandi Love yang mengucur deras ke wajahnya. Air matanya sudah nggak jelas bercampur dengan air mandi dan ingusnya sendiri. Mungkin terdengar lebay. Tapi satu hal yang paling ingin Win lakukan begitu sampai ke tempat Love adalah mencuci muka sebersih mungkin. Win begitu marah, begitu malu, karena berciuman dengan Bright. Sampai-sampai dia merasa harus menggosok bibirnya sekuat mungkin sampai bersih. Berharap siapa tahu bisa sedikit menghapus rasa bersalahnya. Dari luar Love menggedor pintu kamar mandi dengan cemas.

"Win, lo kenapa sih? Lama banget di kamar mandi. Lo nggak kenapa-napa? Ayo, Win, keluar dulu dong. Cerita dulu deh sama gue."

Win terus menggosok bibir. Air matanya belum bisa berhenti. Sepanjang penerbangan menuju Jakarta, dia sudah setengah mati menahan air mata. Menahan jijik pada diri sendiri.

TOK TOK TOK! Love menggedor pintu lebih kencang. "Win... please dong keluar dulu. Gue khawatir nih. Keluar dulu keeek... lo udah bikin masker gue retak, masa masih mau bikin gue khawatir?"

Win berhenti menggosok bibir, lalu mematikan air shower. Memang sebaiknya dia keluar dulu, dan curhat habis-habisan pada Love. Dia butuh bercerita. Dia harus membagi beban mengerikan ini.

"Win?" Love menatap Win cemas begitu pintu dibuka dan Win berdiri di ambang pintu kamar mandi dengan wajah sembap mengerikan sambil tertunduk.

Sedetik... dua detik.. sepuluh detik... Win cuma diam mematung menatap Love.

"Win? Jangan diem dong. Ngomong, Win, ada apa? Lo kenapa pulang tiba-tiba? Lo nangis? Ada apa sih?"

Win perlahan mendongak menatap Love dengan sendu. "Love...." suara Win bergetar lemah.

"Iya, Win?"

Nggak satu kata pun lagi sanggup Win katakan sekarang. Sambil menangis kencang, Win nyaris melompat memeluk Love. Menangis sesenggukan di bahu sahabatnya. Dia perlu menangis habis-habisan sebelum mulai dia menceritakan apa yang terjadi di Bali. Cerita yang pasti akan membuat Love shock dan ingin berteriak:

"GUE BILANG JUGA APA!"



**



"Lo juga sih, Bri! Gue nggak nyangka lo bisa juga nyosor orang lain kek gitu. Bener kan, dari awal gue udah feeling bakalan kayak gini kejadiannya. Kusut."

Bright cuma menghela napas. Sudah tiga hari Win menolak menemuinya. Padahal dia perlu menemui Win untuk meluruskan semuanya. Tapi, sampai detik ini usahanya belum berhasil. Bright juga sebetulnya bingung apa yang harus dia luruskan.

Jujur saja, Bright sama sekali nggak menyesal mencium Win. Baginya, mencium Win bukanlah kesalahan, karena itu yang ingin dia lakukan sejak sekitar tujuh tahun lalu. Nggak ada yang perlu dia luruskan soal ciuman itu. Semua muncul dari hatinya. Perasaan yang sempat tertimbun muncul bagai harta karun yang terangkat ke permukaan.

Kalau ada yang harus Bright luruskan adalah kesalahan bahwa hal itu terjadi saat ini, ketika seharusnya dia fokus pada Nevvy. Ketika dia jelas-jelas meminta Win menjadi orang yang menangani perjalanan bulan madunya. Dan, ketika mereka sudah mempunyai kehidupan masing-masing.

Bright bisa mengerti kemarahan Win. Siapa pun pasti akan mengira dia memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Wajar Win marah karena momen romantis yang dia ciptakan seakan-akan jadi tempat Bright mencuri-curi kesempatan. Win pemuda baik-baik. Tentu dia menganggap Bright kurang ajar.

"Dia jadi nggak mau pulang ke apartemennya. Gue repot nih mendadak jadi ibu kos. Mana jadi mellow banget. Sensitif, sering nangis, sering bengong. Ribet tahu nggak! Lo sih!" Tapi Love mendadak nggak tega melanjutkan omelannya karena melihat tampang memelas Bright. Laki-laki itu tampak sama frustrasinya dengan Win.

Bright menatap Love pasrah. Tiap hari dia datang, yang dia dapat cuma omelan Love, tapi sama sekali belum bisa bertemu Win.

Bright nggak peduli harus berkali-kali kena omel Love, asalkan dia bisa ketemu Win. "Dia belum mau ketemu gue?"

Love mendengus pelan. "Menurut lo?" Love menggaruk- garuk kepala karena jadi pusing sendiri. "Gue pusing sama kalian. Kenapa nggak dari dulu aja pas kuliah kalian pacaran? Dia suka sama lo, dan ternyata lo juga suka sama dia sekarang. Dulu kenapa lo nggak naksir dia sih? Pening kepala gue sekarang. Si Win juga sih, udah gue wanti-wanti supaya jaga profesionalitas. Ini gara-gara dia nganggep enteng omongan gue. Sekarang jadi begini, kan? Amburadul!"

Bright terbelalak kaget. "Waktu kuliah Win suka sama gue?"

Gantian mata Love yang melebar. "Jangan bilang lo nggak tahu?"

Bright terdiam. Merasa nggak perlu menjawab pertanyaan Love. Toh mereka juga nggak bisa kembali ke zaman kuliah. Tapi Bright tetap nggak bisa menutupi rasa senangnya mendengar omongan Love barusan. Ternyata cintanya nggak bertepuk sebelah tangan, cuma nyalinya aja

yang melempem waktu itu.

Mata Love menyipit menyelidiki Bright. "Jangan-jangan waktu kuliah lo juga suka sama dia ya?" Nada suara Love yang rendah bernuansa interogasi.

Bright membalas tatapan Love. "Iya. Tapi gue nggak berani."

Love semakin heboh menggaruk-garuk. Dalam hati Love memekik: Jadi ini dua-duanya cinta nggak kesampaian?! Pantesan meledak!

"Sekarang kusut nih kalau sampe calon bini lo tahu. Bisa-bisa ada acara labrak-labrakan. Bakalan drama nih."

"Nggak. Gue jamin nggak bakal ada kejadian begitu. Nevvy nggak mungkin ngelakuin itu," potong Bright cepat.

Love mendelik. "Yakin banget lo!"

Bright terenyak sekilas. "Iya, gue yakin. Gue tahu banget Nevvy."

"Bri, Win tuh kecewa banget karena dia anti sama pengganggu hubungan orang. Dia paling nggak mau jadi kayak gitu. Pertunangan dia hancur gara-gara calon tunangannya kepincut cewek pengganggu. Dan setelah lo sama dia—" Love bikin gerakan seolah-olah tangan kiri dan tangan kanannya berciuman. "—dia merasa dirinya nggak ada bedanya sama cewek pengganggu itu. Mana ada orang baik-baik yang nyosor calon laki orang?" tukas Love sinis.

Bright menahan napas.

"Dan semua gara-gara lo nggak bisa menahan diri. Win udah gue bawelin terus supaya jangan sampe kelepasan. Eh, malah lo yang kelepasan," sambung Love esktra cepat sebelum sempat Bright buka mulut.

"Maafin gue. Gue nggak bisa nahan diri. Makanya gue juga harus minta maaf sama dia. Gue juga nggak nyangka, ternyata perasaan gue buat Win selama ini nggak pernah hilang."

Love kesal setengah mati pada Bright karena pria ini jelas nggak setia. Masa lagi merencanakan bulan madu, malah nyosor cowok lain? Biarpun ini juga salah Win. Love nggak bisa memungkiri tatapan Bright waktu bilang pengin minta maaf itu tulus.

Kalau masalah ini nggak beres, Win bakalan makin ngaco. Ogah kerja, ogah pulang juga ke apartemen sendiri.

"Gini deh, Bri. Gue tahu lo sama Win harus beresin masalah ini. Nanti gue coba lagi ngomong sama dia, tapi lo sabar dulu. Ngomongnya harus pelan-pelan. Nanti pasti gue kabarin lo."

Bright menghela napas lega. "Makasih..."

Love mengangguk. "Ya udah, lo balik dulu deh sekarang."

Seperti nggak rela pergi, Bright malah diam mematung.

"Bri? Lo balik dulu sana!"

"Ah... iya... oke. Gue permisi." Dalam hati Bright sebetulnya menolak pergi begitu saja. Pengin rasanya dia menerobos masuk sebelum Love menutup pintu.



**



"Heh, calon manusia gua! Bangun, bangun!" Love menggebuk- gebuk Win yang meringkuk di balik selimutnya dengan bantal menutupi kepala.

Mata Win sembap. Sejak pulang dari, entah sudah berapa kali Win menangis sesenggukan setiap kali membahas masalah Bright. Dia merasa dirinya begitu bodoh telah menerima job dari Bright, apalagi dia tergoda untuk bermain-main dengan debaran jantungnya, dan superekstra-duper idiot karena sempat membalas ciuman romantis Bright waktu itu. Sekarang dia benar-benar jadi perusak hubungan orang.

"Bright udah pergi?"

Love melompat ke kasur. "Sudah, Tuan. Sesuai instruksi Tuan, dia saya suruh pergi."

Brettt! Dengan sekali sentak, Love menarik selimut dari tangan Win waktu sahabatnya itu siap meringkuk lagi. "Lo itu sedih apa demam sih? Kok bawaannya meringkuk terus di balik selimut. Di rumah orang lagi!"

"Gitu banget sih. Emang lo nggak ikhlas ya nampung gue di sini?"

Ternyata betul, kalau lagi patah hati nggak cewek nggak cowok suka jadi supersensitif. Apalagi kalau kasusnya sudah dicium tapi nggak bisa jadian kayak begini, rutuk Love dalam hati. Love geleng-geleng. "Bukan gitu, Win. Tapi ini udah tiga hari. Lo juga nggak ngantor. Lo jadi nggak punya kehidupan. Sampe kapan lo mau kayak orang nggak punya tujuan hidup begini?"

"Gue kan udah bilang ke orang kantor kalau gue sakit," potong Win.

"Pura-pura sakit," ralat Love. "Si Bright udah berapa juta kali neleponin lo dan bolak-balik ke sini. Gue rasa, bagaimanapun lo harus ketemu dia, Win. Masalah ini harus kalian beresin. Kabur itu cuma menunda masalah, dan sama sekali nggak menyelesaikan masalah."

Win menegakkan duduknya. "Ini lagi gue beresin! Satu-satunya cara ya dengan nggak ketemu dia. Biar dia balik ke calon istrinya. Anggep aja nggak pernah ada kejadian apa-apa."

Alis Love bertaut sampai dahinya berkerut-kerut. "Ya itu namanya kabur! Cuma pengecut yang kabur dan nggak berani menyelesaikan masalah. Emang kalian berdua udah pikun, bisa ngelupain kejadian kayak gitu? Lo itu dicium hhhooot... bukannya digigit nyamuk."

Win merengut diam.

"Udahlah, Win, ngaku aja. Lo sampe ngebales ciumannya karena lo juga ngarep, kan? Pasti selama tiga hari terakhir ini lo ngebayangin terus rasa ciumannya si Bright—"

BUKKK!!!

"Love! Nggak sopan deh!" Dengan muka merah padam Win menggebuk Love pakai guling.

Love nyengir. "Ngambeeek... malu sendiriii, kan? Lo harus fair dong, Win. Ini bukan salah Bright sendiri. Tapi salah lo jugaaa, Bego! Kalau lo beneran nggak mau, sebelum bibirnya nyampe, lo tabok duluan. Lha ini? Dibales. Pake mau diajak ke kamar lagi."

Win siap melempar guling yang dia pakai menggebuk Love tadi. "Dia bilang dia jamin nggak bakal ngapa-ngapain gue karena cuma mau ngejelasin. Malah dia bilang gue boleh panggil sekuriti kalau gue butuh pertolongan. Lo nyimak nggak sih cerita gue?!"

Love mencibir dengan tampang menyebalkan. "Butuh pertolongan sekuriti? Pertolongan dari apa? Ciuman yang membara? Prettt!"

"Love!" Win memekik kesal. Siap menggebuk Love lagi.

"Eeeh, tunggu dulu... gue punya berita besar buat lo yang pasti lo suka. Si Bright itu ternyata juga suka sama lo waktu kuliah. Jadiii... kalian berdua itu suka sama suka."

APA?!

Win seperti tersengat listrik ribuan watt.

"AAHHH! Auk ah! Gue binguuung!" Jerit Win semakin mumet.

Nggak perlu Love jelasin juga dia tahu kok dirinya punya andil dalam skandal "ciuman tepi pantai yang dihiasi lampion" dan "ciuman hot di kamar hotel yang hampir kejadian" itu. Gampang banget Love ngomong supaya mereka ketemu dan meluruskan masalah. Win harus bersikap bagaimana kalau berhadapan dengan Bright?

"Si Bright itu juga kayaknya bukan tipe yang bakal menyerah begitu aja."

"Maksud lo?" Win menyipit penuh tanda tanya. Sejak kapan Love jadi ahli menganalisis sifat orang?

Love mengedikkan bahu. "Kayaknya dia bakalan terus nyariin lo sampe lo mau ketemu dia. Apalagi kasusnya cinta terpendam kayak gitu. Makanya, menurut gue, mendingan buruan lo tuntasin supaya kalian bisa move on."

"Nggak tahu, nggak tahu, nggak tahuuu...."

"Menurut gue...," lanjut Love, nggak peduli kepala Win makin nyut-nyutan. "Terima kenyataan aja bahwa kalian berdua udah memulai sesuatu. Pilihannya Cuma dua: terusin atau tuntasin."

Perasaan Win betul-betul kompleks. Sumpah mati dia girang mengetahui Bright juga memendam cinta sejak kuliah bahkan sampai sekarang. Tapi dia pusing setengah gila karena pria itu calon suami orang. Mereka nggak mungkin melanjutkan semua ini!

Pikiran lain melintas di kepala Win. Terus sekarang gimana urusan kontrak Bright dan Honeymoon Express?

Apakah akan dibatalkan? Itu artinya Win harus mengembalikan sisa uang Bright. Itu artinya ada pelanggaran kontrak dari pihak Win. Bagaimana kalau Bright nggak terima? Bagaimana kalau dia mengumbar kegagalan Honeymoon Express menyelesaikan kontrak? Terus... terus—

"AAA!" Win menutup kuping sambil menggelenggeleng.

"Kalau kelamaan stres kayak gini, bisa-bisa lo jadi gila. Kalau lo gila, gue nggak mau nampung lho. Bakal langsung gue kirim ke RSJ!"

"Tauk ah! Gue mo pulang aja ke apartemen gue! Makin pusing gue diceramahin sama lo! Gue mo mikir dulu!"

Love cuma mengangkat bahu.

Sekarang memang lebih tenang kalau Win merenung di apartemennya sendiri. Di atas kasurnya. Di balik selimutnya. Dia harus berpikir jernih, sendirian. Tanpa intervensi orang lain, apalagi opini reseknya Love. Cuma bikin tambah mumet!

Pulang. Win harus pulang!

"Win..."

Kaki Win langsung membeku begitu membuka pintu depan rumah Love.

Nggak mungkin.

Kata Love, dia sudah pergi, tapi kenapa dia masih ada di sini?

"Bright—?"






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top