After The Funeral
Lee Youngho (1971-2021; 50 tahun)
(This picture was taken in 1996)
- Pewaris terakhir kediaman Lee di Savernake Hills sekaligus pemegang sementara seluruh aset kekayaan keluarga Lee. Anak terakhir yang jarak usia dengan kakak-kakaknya cukup jauh, dan anak terakhir yang masih hidup sebelum kejadian naas itu tiba-tiba merenggut kehidupannya.
- Statusnya sebagai aristokrat Lee terakhir lebih tersohor daripada profesinya sebagai seorang jaksa. Meski begitu, Youngho dikenal sebagai pribadi yang ramah dan mudah berbaur dengan semua kalangan.
- Seorang pria setengah baya yang masih berjiwa muda, menyukai kegiatan di luar seperti olahraga dan berkuda. Memiliki karakteristik seorang ayah yang baik dan menyenangkan meski tidak memiliki anak sama sekali.
- Sangat menghormati dan menghargai istrinya meski hampir semua orang menganggap mereka pasangan aneh karena tampak seperti tanpa perasaan satu sama lain.
Lee Sicheng/ Dong Sicheng (48)
- Istri Lee Youngho yang terkenal pendiam dan tertutup. Mantan ballerino yang kemudian berhenti setelah pernikahannya dengan bungsu Lee.
- Semua orang yang melihatnya setuju bahwa beberapa kata ini cocok disemangatkan sebagai deskripsi dari rupanya; cantik, tajam, dan misterius.
- Bertemu Youngho melalui sebuah pertemuan yang sulit dijelaskan kepada orang-orang.
- Tipe seorang nyonya rumah yang baik yang disenangi oleh seluruh pelayan; tidak banyak mengatur, tenang, dan jarang sekali memprotes pekerjaan mereka.
- Memiliki ruang pribadi yang letaknya berada di lantai dua. Sebuah ruangan luas berisi piano besar tanpa dekorasi apa-apa melainkan hanya beberapa buah lukisan mahal.
- Perasaannya adalah sesuatu yang banyak menarik perhatian orang lain, bahkan Youngho sendiri.
....
Setelah Pemakaman,
Misa pemakaman di hari kamis yang muram itu selesai sebelum jam makan siang. Para anggota keluarga yang menghadiri upacara kremasi kini sudah kembali dengan rombongan mobil masing-masing . Pelayan yang kompak mengenakan pakaian hitam berjajar di halaman muka rumah, menyambut kedatangan sanak mendiang sang tuan dengan sebagaimana mestinya. Hampir dari semua tamu yang datang memang cukup familier bagi para pengurus rumah, mengingat kebanyakan dari mereka adalah keponakan-keponakan yang terakhir mengunjungi kediaman ini dalam perayaan chuseok seminggu yang lalu.
Mobil yang pertama terbuka adalah mobil mewah Pengacara Park. Lelaki yang sudah berada di awal usia tujuh puluh tahunannya itu keluar dari kursi kemudinya dengan tas tangan yang kelihatannya menampung berbagai macam berkas penting. Tampang pria paruh baya itu juga terlihat serius, seolah otaknya tengah dipenuhi banyak substansi yang siap dimuntahkannya dalam pertemuan penting setelah ini. Ia tak langsung memasuki rumah melainkan terlebih dahulu menyapa Ketua Pelayan yang ikut menyambut di depan halaman, Mr. Shin namanya.
"Aku benar-benar terkejut dan berduka. Youngho sudah seperti anakku sendiri, ah, adikku maksudnya."
Mr. Shin tahu bahwa Tuannya, Lee Youngho, terlalu muda untuk berada di sekitar teman-teman lingkungan bangsawannya. Pengacara Park memang tidak dapat dikategorikan sebagai aristokrat macam keluarga Lee, tapi pria tua itu merupakan ahli hukum yang sudah dipercaya oleh keluarga tuannya ini selama berpuluh-puluh tahun. Park Jungsoo yang ramah dan baik hati selalu berhasil menjalin kedekatan dengan setiap Lee, termasuk si bungu Youngho yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri.
Mobil kedua yang terbuka adalah miliknya si generasi muda Lee yang terkenal akan figurnya yang rupawan, Jeno Lee namanya. Ia keluar dari kursi kemudi dengan wajahnya yang muram, sebuah ekspresi berduka yang semakin memperjelas fitur wajahnya yang tajam. Orang-orang yang tak kenal mungkin akan mengira bahwa ekspresinya itu tak tepat dipasang dalam pertemuan kematian seperti ini. Jeno serta fitur mengintimidasinya benar-benar satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan dalam keadaan apapun.
Namun setelahnya, wajah yang terlampau muram itu dapat sedikit melunak saat indranya menangkap keributan kecil yang dibuat sang anak, yang langsung mendapat peringatan halus dari ibunya. Chenle sudah menjadi anak yang tenang selama misa pemakaman di gereja tadi, jadi pekikan cerianya sekarang bisa Jeno maklumi.
Mereka berjalan menuju muka rumah utama sementara para pelayan kembali membungkuk hormat. Renjun Lee yang tengah berbadan dua terlihat lebih segar dengan tubuhnya yang berisi meski di balik pakaian berkabungnya yang gelap, sangat kontras dengan sang suami yang tampak sedikit pucat dan kurus. Jeno sepertinya sangat sibuk belakangan ini dan semakin disibukkan saat sang paman secara tiba-tiba meninggal dunia.
"Haiiiiii~"
Saat melewati dan saling memberi penghormatan kepada pelayan, Lee Chenle kecil melambai-lambai dengan riang. Bocah itu seolah menutup mata bahwa ia tengah diikat norma untuk menampilkan wajah berduka, dan itu sontak membuat sang mama kembali memperingatinya.
"Aku mohon, jangan bicarakan apapun tentang perceraian kita untuk saat ini."
Sementara di mobil ketiga yang pintunya masih belum kunjung dibuka, pasangan Mark Lee dan istrinya tampak tegang setelah keterdiaman mereka yang rumit. Jaemin Lee menjadi pihak yang paling bungkam sejak misa pemakaman dan fokusnya hanya tertuju pada sang putra di pangkuan selama perjalanan dari gereja menuju kediaman paman suaminya.
"Tenang saja, aku bahkan tidak tertarik untuk bicara apa-apa dengan keluargamu sekarang." ujarnya lantas segera keluar dari mobil. Mark yang mendengar jawaban itu hanya menghela napas berat lantas mencengkram stir kemudi dengan erat, mencoba meluapkan amarah. Ia keluar dari mobil kurang dari semenit setelahnya lantas segera memasang senyum berwibawa saat Pengacara Park menghampirinya dengan wajah kebapakannya yang khas.
"Bagaimana kabarmu? Siap untuk membantuku berbicara dengan Sicheng-ssi? Kurasa kau dekat dengan Bibimu itu, Mark."
Mark tersenyum simpul, berusaha menyembunyikan seraut lelah yang bercongkol di dalam dada. Sebagai generasi muda Lee yang paling tua, Mark tahu bahwa ia akan dibebankan tanggung jawab dalam hal semacam ini setelah kematian pamannya.
....
Mereka berkumpul di ruang keluarga yang terletak di sebelah timur dari muka utama rumah. Ruang keluarga merupakan salah satu ruangan yang ada di kediaman Lee yang nuansanya cocok untuk berkumpul secara tertutup. Kudapan dingin yang disajikan pelayan tak lagi menarik minat saat Pengacara Park maju ke depan dan mulai memimpin pembicaraan penting yang sejujurnya tak siap mereka pikirkan.
"Aku dengan hormat meminta izin kepada Lee Sicheng selaku istri dari Youngho untuk memimpin pembicaraan mengenai warisan.
Sebelumnya, barangkali ada yang ingin Anda sampaikan terlebih dahulu, Sicheng-ssi?"
Aristokrat di akhir kepala empatnya itu hanya menggeleng murung. Ia tampak muram tapi juga terlihat paling bersinar. Bukan rahasia umum bahwa Lee Sicheng memang benar-benar memiliki aura seorang bangsawan. Ia anggun dan tenang, bahkan di hari kepergian suaminya yang terkesan mendadak dan misterius itu.
"Saya percaya dan akan menyerahkan semuanya kepada Anda, Pengacara Park."
Mark mengangkat tangan sebelum Pengacara Park kembali melanjutkan,
"aku yang akan mewakili Bibi Sicheng jika memang diperlukan adanya urusan mengenai dokumen keluarga kami atau hal internal lainnya."
Pengacara Park mengangguk dengan bijaksana. Sementara di kursinya, Jaemin mendesis sinis sembari melipat lengan di dada.
"Kau terlihat memuakkan, Mark." Gumamnya dengan lirih, merasa tak seorang pun akan mendengar. Renjun yang berada di sampingnya langsung mengalihkan tatap tepat setelah Jaemin berpikir bahwa ucapannya tadi aman dari telinga orang sekitar.
"Kau baik-baik saja, Jaemin?"
Sembari meneguk black label yang disuguhi pelayan bersama beberapa sekoci sejumlah tamu, Jaemin mengangguk samar. "Ya, anggap saja tadi kau tidak mendengar apa-apa."
Pembicaraan mengenai warisan dilanjutkan dengan pembuka yang sedikit bertele-tele. Pengacara Park menjelaskan bahwa Lee Youngho belum menyiapkan wasiat apapun mengenai pembagian harta milik keluarga Lee selepas kepergiaannya, dan hal itu sejujurnya dapat dimaklumi karena mungkin ia sendiri tidak menyangka bahwa napasnya akan berhenti dalam sekejap mata ini. Pria di awal usia lima puluhannya itu hanya sempat meninggalkan beberapa lembar tiket sebagai bukti dari rencana liburannya ke daerah pegunungan Jeonju untuk libur natal nanti, bukan selembar surat wasiat atau apapun itu yang bersifat esensial yang kini keberadaannya justru sangat mereka harapkan untuk pembagian harta peninggalan.
"Setengah harta akan diberikan kepada Sicheng-ssi, sementara bagian sisanya akan dibagi rata kepada para keponakan.
Apakah pembagian ini cukup adil?"
"Berapa total dari setengah harta itu?"
Suara lain yang datang bersama pintu ruangan yang terbuka mengalihkan seluruh perhatian. Keponakan termuda Yougho, Lee Haechan, datang dengan raut tenang. Ia lantas melangkah dengan santai setelah sebelumnya membungkuk hormat ke arah Pengacara Park dan sang bibi, Sicheng.
Haechan bukannya tak tahu bahwa ada tatapan tajam Lee Jeno untuk aksinya barusan yang pasti pria kaku itu anggap tidak sopan dan memalukan.
"Kau bahkan tidak menghadiri misa pemakaman dan datang hanya untuk menanyakan total warisan?"
Sembari meminum whiskey-nya, Lee Haechan berujar dengan santai untuk ujaran sinis Jeno barusan, "aku akan minta maaf nanti. Sekarang aku lebih tertarik dengan itu, aku butuh uang."
"Ada satu juta won yang akan dibagi dua untuk Sicheng-ssi dan para keponakan. Masih ada beberapa aset berupa saham di perusahaan. Aku akan mengenyampingkan aset itu dan untuk saat ini fokus kepada warisan utama."
Dengan anggun, Lee Sicheng mengangkat tangan tepat selepas Pengacara Park menyelesaikan ucapan.
"Sebaiknya aset itu tidak perlu dibagi atau dipermasalahkan. Beberapa perusahaan dengan saham kami di dalamnya terhubung langsung dengan yayasan kemanusiaan. Aku yakin sekali bahwa keluarga Lee berkomitmen untuk menjaga loyalitasnya terhadap yayasan tersebut."
Acungan tangan lainnya muncul dan itu adalah milik Mark.
"Soal saham yayasan mungkin akan aku atur juga bersama Jeno. Jeno secara khusus mengerti soal itu dan aku sebagai keponakan tertua akan bertanggung jawab bersamanya."
Satu lagi dengusan sinis Jaemin tunjukkan untuk ujaran suaminya barusan, dan sialnya itu kentara sekali bagi seorang Lee Haechan.
"Apa kau juga muak dengan kakakku itu? Aku kira hanya aku saja yang berpikir demikian."
Jaemin terkekeh anggun dengan suara lirih, "aku kira kau tidak mengengarnya, Haechan."
Pembagian warisan itu tak berlangsung selama yang mereka duga. Sebelum kembali ke rumah masing-masing, Sicheng secara tenang menawarkan tamu-tamunya jamuan makan siang. Rupanya para pelayan sudah menyiapkan banyak masakan dan tak ada alasan bagi mereka untuk tidak memenuhi tawaran.
Toh, akan sedikit tidak etis juga kalau mereka segera pergi meninggalkan tuan rumah yang sedang berduka, bukan?
"Aku berharap ini tidak akan membuatku dipandang tidak menghormati kalian. Tapi, bisakah aku izin untuk ke ruanganku?"
Mereka semua sudah duduk di masing-masing kursi waktu suara si tuan rumah bergema dengan sedikit canggung. Pengacara Park selaku orang paling tua di sana langsung memasang wajah terkejut dan mengangguk-angguk penuh simpati. Di antara semua orang yang sedang berduka itu, Park Jungsoo menjadi satu-satunya orang yang paling ekspresif dan mampu membawa suasana bagi para Lee yang sedang berduka ini.
Atau lebih tepatnya, bagi para Lee yang terlihat aneh.
"Silakan-silakan! Aku mengerti bahwa kita memang seharusnya memberi Anda tempat untuk menuntaskan sedih."
Lee Sicheng tersenyum samar. Dengan anggun ia beranjak dari sana, meninggalkan para tamunya yang dalam sekejap mendadak hening. Tarikan bibir yang samar itu perlahan menipis kala kakinya menapaki tangga, dan hilang sepenuhnya saat ia tiba di ruangan pribadinya.
Ruangan itu tetap sama bagi Sicheng; senyap dan menenangkan. Hanya saja kali ini rasanya berbeda dan ia tak mengerti itu karena apa.
Mengabaikan piano yang bertakhta anggun bak esensi dari segala yang ada di ruangan, Sicheng lebih memilih untuk menempatkan dirinya di sisi jendela besar yang menampilkan hamparan cakrawala yang gelap dan muram. Irisnya yang terukir dalam bingkai mata yang indah perlahan menajam kala berjumpa dengan sebotol anggur merah yang isinya nyaris habis. Botol wine itu terlihat begitu menarik mata sejak Sicheng masuk ke ruangannya dengan kerlip cantik yang menegaskan bahwa ia terbuat dari bahan kaca yang tidak biasa.
Helaan napas berat keluar begitu saja saat ia menyadari bahwa botol ini memang tak biasa. Dan sayangnya, ia harus membiarkan botol yang bersinar ini menghantam lantai hingga rupanya hancur tak beraturan.
Sicheng kembali menghela napas berat saat lagi-lagi ia menyadari satu hal--bahwa ukiran emas yang sengaja disematkan di bagian bawah botol itu tak ikut hancur dan justru malah memisahkan diri dengan sempurna dan tetap indah.
Butuh waktu lama untuk dirinya memutuskan apa yang harus ia lakukan terhadap ukiran itu sebelum pelayan datang dan membereskan kekacauan. Dan dengan tangan bergetar, ia akhirnya membungkuk untuk memungut ukiran itu. Ukiran yang ia tahu bahwa akan sangat sulit lepas dari genggaman.
With Love, JJ.
Ukiran yang menyadarkannya bahwa selama ini ia terikat oleh sebuah takdir yang tak seharusnya.
.......
Who is JJ? And who is the most sus here? *emot mata dua*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top