: HSH 0:6 | So Embrassed :

HOME SHIT HOME 0:6
So Embrassed

Sial! Sejak kapan Sasha cantik?"— Abelano.

Tanpa tahu siapa yang memulai terlebih dahulu, banyak murid yang berdatangan ke aula dan membentuk setengah lingkaran untuk menyaksikan pertandingan sengit antara Sasha dan Abelano dengan heboh. Tampak beberapa orang mengabadikan kejadian itu dalam bentuk video, dan ada juga yang hanya menonton dengan sesekali bersiul guna menambah kesan ramai.

Tepat di tengah aula, tampak genangan air di mana-mana. Sapu dan alat pel patah, dan juga sosok Sasha yang membawa ember berisi air setengah. Bersiap untuk menyiramkannya pada Abelano yang tengah menyeringai dengan raut mengejek.

“Sekali lagi lo ngomong kaya gitu, gue gak akan segan buat menyobek mulut sampah lo itu.” Sasha menarik napas dalam. Menatap tajam Abelano dengan amarah yang berada tepat di angka seratus.

“Lo marah karena apa yang gue ucapin bener.”

Tangan Sasha mengepal. Ia membuang kasar ember yang berada di tangannya ke lantai tanpa peduli air yang berada di dalam ember itu tumpah dan menggenangi lantai. Seringai Abelano semakin melebar kala Sasha menatap ke arahnya dengan garang. Membuat laki-laki itu semakin tak sabar menantikan pembalasan unik dari Sasha.

Sasha menarik napas panjang sebelum melajukan kedua tungkai kakinya ke arah Abelano. Kali ini, Sasha tak akan tinggal diam. Abelano sudah keterlaluan karena membawa nama kedua orangtuanya dalam perbincangan sengit mereka. Kendati Sasha membenci kedua orangtuanya, ia tetap tak akan terima jika seseorang menjelekkan nama mereka.

Kala jarak mereka hanya terpaut satu lantai, Sasha menarik kerah seragam Abelano. Menyeringai kejam tanpa tahu jika lantai yang ia pijak licin dan basah. Bergerak maju, Sasha justru tergelincir dan menabrak tubuh Abelano yang berada di depannya.

Gadis itu semakin mengeratkan genggamannya pada kerah seragam Abelano saat tubuhnya terhuyung ke depan. Ia memejamkan matanya dengan pikiran yang berkecamuk.

“Aduh!” keduanya terjatuh dengan posisi yang tak afdal. Abelano terlentang di bawah sedangkan Sasha berada di atas dengan dahi yang membentur bibir Abelano. Keduanya saling memejamkan mata, mengabaikan pekikan banyak orang dari luar aula.

Keempat teman Abelano—Vernon, Assel, Ranu, dan Kevlan— yang melihat keduanya terlibat dalam adegan memalukan langsung saja menghampiri keduanya. Bukan karena ingin menolong, mereka melakukannya karena ingin menonton adegan itu dari jarak dekat. Assel bersiul sedangkan Ranu dan Kevlan menatap dengan tatapan kagum, seolah kejadian di depannya merupakan hal baru.

“Lo mending bangun duluan deh,” usul Sasha dengan semburat merah menghiasi wajahnya. Ia benar-benar malu. Niat hati membenturkan dahinya dengan dahi Abelano hingga membuat laki-laki itu memekik kesakitan. Ia justru tergelincir dan berakhir dengan posisi memalukan yang disaksikan banyak orang.

“Jangan sinting! Gue gak bakal bisa bangun kalau lo gak bangun duluan.” Abelano menahan tawa, dalam jarak sedekat ini membuat ia ingin menjahili Sasha. “Kalau dilihat dari jarak sedekat ini, lo cantik juga, ya, Sha.”

Sontak, melihat wajah Sasha yang berubah merah padam tawa Abelano pecah seketika. Sasha mendelik dan bangkit dari posisi memalukan mereka seraya menyumpahi Abelano dengan berbagai nama tumbuhan.

Plak.

“Dasar mesum.”

Gadis itu melayangkan satu tamparan pada pipi Abelano, membuat tawa lelaki itu reda seketika. Para penonton yang melihat dari kejauhan hanya bisa memekik kaget. Terutama kaum hawa, karena tak terima prince charming mereka mendapat tamparan gratis. Kevlan dan Ranu tergelak melihat Abelano  yang mendapat tamparan. Sedangkan Assel dan Vernon hanya tersenyum geli.

Sasha menatap tubuh Abelano yang mematung untuk terakhir kalinya dan berucap, “kita impas kali ini.” Ia beranjak dari tempatnya dengan angkuh, seolah-olah tak pernah terlibat dalam kejadian memalukan bersama Abelano.

Sasha menendang ember dan patahan sapu yang menghalangi jalannya, memasang tampang dingin dan tetap berjalan lurus dengan dagu yang diangkat tinggi. Sesampainya di depan penonton, ia mendesis tak suka.

“Ngapain kalian masih berdiri di sini? Bubar sana! Ganggu pemandangan gue aja. Najis!”

Bagaikan kerbau yang dicucuk hidungnya, para penonton membubarkan diri tanpa bantahan. Mereka tahu jika mood Sasha dalam keadaan tidak baik. Maka dari itu mereka memilih tak membuat masalah dengan gadis itu.

Melihat murid-murid itu menuruti perintahnya begitu saja, seringai Sasha mengembang. Padahal, Sasha hanya bermain-main saat berucap. Gadis itu merasa tak punya muka saat berhadapan dengan mereka. Tapi, siapa sangka jika mereka masih tetap takut padanya. Keganasannya masih diakui di sekolah ini.

Terlepas menghilangnya sosok Sasha dari pandangan mereka, Assel dan Ranu segera mengangkat tubuh Abelano yang tak bergerak. Sedari tadi hanya mata Abelano saja yang berkedip dengan hidung kembang-kempis menghirup oksigen.

“No … No, bukannya berhasil balas dendam lo malah dipermaluin untuk kedua kalinya,” ujar Kevlan dengan kepala yang menggeleng tak percaya.

“Ditampar dua kali juga,” timpal Vernon.

“Eh yang bener bang? Lano ditampar dua kali sama Sasha?” tanya Ranu dengan wajah tak percaya. Abelano mengerang sebal. Habis sudah, ia tak memiliki muka untuk berhadapan dengan keempat temannya.

“Bang Vernon kok tahu?” tanya Kevlan dengan kernyitan di dahinya.

“Gue tadi lihat Abelano ditampar Sasha di depan ruang guru.” Vernon terbahak, mengingat wajah Abelano yang berubah kaku seusai ditampar Sasha sukses mengocok perutnya.

“Bang udah ih tawanya, gue malu.”

“Ciee, Lano kita shy shy like a cat.” Bukannya berhenti, Kevlan dan Assel justru semakin mengejek Abelano. Menambah merah pipi lelaki itu.

“Bukan shy-shy like a cat, but he shy-shy like a dog.” Assel semakin terbahak, laki-laki itu memegangi perutnya yang terasa sedikit keram. Puas menertawakan Abelano. Kapan lagi ia bisa menertawakan laki-laki itu jika bukan saat seperti ini?

“Tawa lagi gue beberin rahasia lo ke anak-anak!”

“Lano mah mainnya ngancem. Kita putus, gak usah telpon gue lagi.”

“Gue ogah nelpon lo.”

“Lano jahat!” Assel memasang tampang sedih sebaik mungkin, menampilkan mimik wajah seakan ia bersiap untuk menangis. “ Ayang Ranu, Abelano jahat.”

“Sumpah, ya, Sel. Lo ngomong gitu lagi, gue ceburin lo ke kolam piranha yang ada di rumah gue.” Ranu menjaga jarak dari Assel, seakan laki-laki itu adalah virus yang bisa membuatnya mati seketika. Kepala Ranu menggeleng kala Assel semakin bergerak maju.

“Tapi, Nu. Gue juga heran sama bokap lo. Di saat yang lain pelihara ikan hias, bokap lo malah pelihara piranha. Gak takut apa?” Kevlan mengetukkan jarinya di dagu, menandakan jika ia sedang berpikir keras.

“Gue gak tau juga. Tapi pas gue tanya, jawaban bokap bakal begini.

“Coba kamu lihat ikan-ikan itu saat memakan makanannya, darah yang tercipta dari mangsa mereka itu membentuk sebuah seni.”

“Orang kaya dengan kebiasaan anehnya memang unik,” ujar Vernon dengan tangan yang memungut patahan sapu.

“Dan mengerikan,” timpal Assel dengan ekspresi ngerinya.
Ranu menghela napas pasrah. Ayahnya memang memiliki kebiasaan aneh sejak dulu, terutama setelah bisnisnya berjalan lancar dan mulus.

“Tapi tindakan bokap lo itu termasuk ilegal, Nu. Lo harus sering nasehatin bokap lo buat ngurangin kegiatannya memelihara hewan liar. Belum lagi pajangan rumah lo yang terbuat dari bangkai hewan yang dilindungi negara. Kegiatan bokap lo tuh melanggar undang-undang,” nasihat panjang Abelano pada Ranu.

“Nyokap udah sering nasihatin bokap, sih, dan sekarang bokap juga udah mulai ngurangin kegiatan anehnya itu. Tapi kalau komunitas bokap gue ngadain party atau pelelangan lagi, siap-siap aja bokap pulang bawa hewan baru atau pajangan lagi,” jelas Ranu dengan ekspresi kesal luar biasa.

“Jangan bilang piranha itu hasil dari pesta aneh komunitas bokap lo?” tanya Kevlan menebak. Wajahnya menunjukkan ekspresi ngeri.

“Oh, gak. Black piranha tuh hadiah dari temen bokap gue yang tinggal di dekat perairan Amazon, saat bokap gue berkunjung ke sana. Lumayan, sih, dikasih selusin. Kalau dijual dapat uang dua belas juta.”

Assel menarik bahu Ranu agar menghadap ke arahnya. Mengguncangnya sebentar seraya berkata, “Lo gak bakal ngikutin hobi aneh bokap lo, kan?”

“Dibanding melihara hewan, gue lebih senang kalau memelihara organ tubuh lo, Sel.”

Back to topic … yang mau bersihin aula ini siapa?” Vernon menatap keempat kawannya bergantian.

“Kayanya gue butuh bantuan kalian buat bersihin aula sama gedung olahraga,” ujar Abelano dengan mata yang dikedipkan dan senyuman manis. Laki-laki itu tahu jika keempat temannya akan luluh dengan sikap memohonnya.

“Lano!!!” teriak keempatnya bersamaan sebagai ungkapan kesal karena tak bisa menolak permintaan Abelano setelah melihat raut Abelano yang menggemaskan.

🙌🙌🙌

Heyho! I'm back again.
Miss me? Wkwk.
Gimana part ini menurut kalian? Semoga memuaskan, ya

🙌🙌🙌

Sincerely,

Raingarda

Jumat, 17 April 2020
10.40 WIB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top