: HSH 0:10 | Utusan Detektif :

HOME SHIT HOME 0:10
Utusan Detektif

Ada berapa banyak beban yang dipikul gadis itu? Tidakkah ia merasa lelah?”--Abelano.

“Jadi seperti ini rasanya makan bersama dengan keluarga? Terasa begitu hangat.” Sasha menatap satu per satu keluarga dan teman Abelano dengan pandangan kagum. Keluarga laki-laki itu begitu harmonis, tidak seperti keluarganya yang begitu berantakan. Mereka saling mengutarakan kasih sayang lewat kata-kata dan tindakan, begitu berbeda dengan ayah dan ibunya yang selalu tak memedulikan dirinya.

Apa pun tindakan yang ia lakukan selalu saja berakhir sia-sia. Ia masih saja menjadi anak yang tak dianggap di keluarganya. Sejak kecil yang paling peduli dengannya hanya Bibi Sunny dan Paman Andre---pembantu dan sopir di keluarga Sasha. Sejak dulu, Sasha begitu ingin merasakan perasaan hangat saat makan bersama penuh canda tawa dengan keluarganya. Namun, siapa yang akan menyangka … jika sampai akhir kehidupan ayah dan ibunya, ia bahkan tak bisa mewujudkan impian kecilnya itu.

Berbagai macam cara untuk mewujudkan impian kecilnya sudah ia coba. Mulai dari memasak, belajar agar bisa mendapat juara satu, membersihkan rumah, latihan bela diri, menari, bermain piano, dan masih banyak hal lain yang ia lakukan semata-mata hanya untuk menjadi anak yang sempurna agar ayah dan ibunya menganggap kehadirannya dan memedulikan dirinya. Ia rela memberikan masa kanak-kanaknya yang berharga demi mendapatkan kasih sayang mereka. Namun, pada kenyataannya ia tetap menjadi anak yang terbuang.

Mama aku dapat juara satu lagi loh.”

“Mama soal yang diberikan guru semuanya bisa aku kerjakan dengan mudah. Aku sangat senang.”

“Mama aku buatkan cemilan kesukaanmu.”

“Mama pasti capek, Sasha pijitin, ya?”

“Papa, kemampuan bela diriku semakin meningkat. Jadi kedepannya Papa tidak perlu repot untuk menjagaku."

“Papa, Mama, Sasha akan menjadi anak yang mandiri. Tidak akan merepotkan kalian.”

“Bibi, saat besar nanti aku pasti bisa sehebat papa. Aku akan menjadi pianis terkenal dan pembisnis yang sukses.”

“Bisakah kita makan malam bersama, seperti teman Sasha yang lain? Sasha sudah memasak makanan kesukaan kalian.”

“Tanganmu kenapa?” dengan tampang dingin, sang ayah yang baru saja pulang tak sengaja menatap tangan Sasha yang memiliki banyak goresan di lengannya.

“Ah. Tadi Sasha tidak sengaja melukainya.”

Dasar  tidak berguna.”

Sasha sadar jika pengorbanannya masih belum sepadan untuk mendapatkan hasil yang ia inginkan. Ayah dan ibunya masih begitu dingin kepadanya. Mereka hanya tinggal di rumah yang sama tanpa saling bertegur sapa satu sama lain. Seperti orang asing yang tak memiliki sebuah hubungan dan terpaksa tinggal di atap yang sama. Sasha selalu saja sendiri. Berdiam dalam kesepian tak berujung yang begitu menyiksa rohaninya. Ia telah begitu lama terkurung dalam lautan kegelapan. Tak memiliki harapan untuk kembali menemukan cahaya. Sampai kapan pun.

“Sasha … Sasha, kenapa kamu menangis? Apa karena masakan Tante tidak enak, ya?”

Sasha tersadar dari lamunannya. Ia mengusap pipinya yang terasa basah. Mindanya mulai bertanya-tanya alasan mengapa ia menangis. Seingatnya, ia hanya melamunkan beberapa kejadian yang terjadi di masa lalu. Apakah ia menangis karena itu?

“Ah. Masakan Tante sangat enak. Hanya saja tanganku terkena sambal dan tidak sengaja kuusapkan ke mata. Makanya aku menangis.”

“Apa kamu sudah selesai makan? Jika sudah, mari kita bicara.”

“Baik, Om," ujar Sasha sembari mengikuti ayah Abelano dari belakang.

"Tidak disangka kita bertemu secepat ini, Sasha Amelia Priyaldi."
Sasha tercenung. Seingat gadis itu semenjak kecil ia tak pernah memakai nama keluarga Priyaldi. Lantas, bagaimana bisa ayah Abelano mengetahui nama lengkapnya?

"Sebelum kita membahas topik yang lebih berat, om akan memperkenalkan diri." Ayah Abelano mempersilakan Sasha untuk duduk di sofa yang ada di ruang bekerjanya. Sasha menatap berbagai macam barang dan foto yang tertempel di dinding. Jika gadis itu tidak salah menebak, foto-foto yang tertempel di dinding merupakan foto sebuah korban dari kasus pembunuhan yang terkenal. "Om adalah detektif yang diminta Clasta untuk menyelidiki kasus kecelakaan yang menimpa keluargamu."

Gadis itu hanya terdiam. Sama seperti sebelumnya saat seseorang mulai mengungkit kejadian itu, pandangan Sasha berubah menjadi kosong.

"Bukankah kasus itu sudah ditutup?" tanya Sasha dengan wajah lelah yang begitu kentara.

"Memang benar kasus itu ditutup dua tahun yang lalu akibat kurangnya bukti. Namun, Clasta merasa ada yang janggal dengan kecelakaan itu. Dan setelah beberapa kali melakukan penyelidikan aku berhasil menemukan sebuah keanehan."

"Keanehan?" Sasha mengernyitkan dahinya. Memang benar jika gadis itu sempat beberapa kali merasa aneh dengan kasus keluarganya.

"Ya. Mobil yang kalian gunakan bukanlah mobil milik kalian. Dan setelah aku menelusuri, ayah maupun ibumu tak pernah membeli mobil itu sebelumnya. Menurut dugaan sementara, keluargamu tak mengalami kecelakaan, melainkan sebuah pembunuhan yang berencana."

"Kalau begitu, siapa dalang di balik tragedi itu? Dan apa motifnya?"
"Untuk itu kita perlu meneruskan penyelidikan. Kunci untuk menangkap pelaku itu hanya ada padamu, Sa. Selama ingatanmu kembali kita bisa membuka kembali kasus dua tahun silam. Karena, hanya kamu satu-satunya korban yang selamat dari kejadian itu." Tuan Luxif menepuk pelan pundak gadis yang duduk di depannya. Memberi sebagian kecil kekuatan agar gadis itu tetap kuat menjalani kehidupannya. "Tidak perlu dipaksakan. Cepat atau lambat ingatanmu pasti akan kembali. Saat itu tiba, kita bisa menghukum pembunuh keluargamu. Yang perlu kau lakukan sekarang hanya lah menjaga keselamatan dirimu, karena pembunuh itu pasti akan segera muncul."

------

"No, sepertinya sebentar lagi lo bakal punya istri deh," ujar Kevlan sembari terkekeh. Matanya mengedip, menggoda Abelano yang masih saja menampilkan wajah datar andalannya.

"Ini sudah dua jam bokap lo sama Sasha berbincang. Apa yang sebenarnya mereka bicarakan?" Assel menopang dagunya. Merasa bosan karena tak melakukan apa-apa.

"Jangan-jangan membicarakan masalah pernikahan lo dengan Sasha, No?" Abelano tersedak mendengar guyonan yang dengan gamblangnya dilontarkan Ranu kepadanya. Membuat keempat temannya tertawa keras.

"Sudah, sudah. Apa kalian tidak melihat wajah Lano yang memerah?" ujar Zhurif. Wajahnya menampilkan ekspresi menggoda dengan alis yang dinaik-turunkan.

"Sasha, untuk ke depannya jika beberapa ingatanmu pulih ... segera beritahu Om."

"Baik."

"Sasha kemarilah. Coba kamu cicipi kue yang dibawakan teman-teman Lano. Rasanya enak." Ibu Abelano memberikan sepiring kue pada Sasha. Tak lupa senyuman manis terpatri begitu apik menghiasi wajah ibu Abelano yang sama sekali tak memiliki kerutan di usianya yang tak lagi muda.

Sasha menarik napas panjang saat merasakan sesak yang kembali memenuhi relung hatinya. Gadis itu berusaha mati-matian menahan buliran air mata yang siap tumpah. Perasaan sedih dan senang bercampur menjadi satu.

"Oh iya, untuk ke depannya kamu boleh memanggil kami ayah dan ibu. Anggap saja kami sebagai orangtuamu." Nyonya Luxif mengelus rambut Sasha denyan lembut dan penuh kasih sayang. Sejak pertama kali bertemu dengan Sasha, wanita paruh baya itu sudah menganggap Sasha seperti anaknya sendiri.

"Benar. Aku akan memanggilmu kakak ipar kalau begitu. Oh iya kakak ipar, ini namanya bang Zhurif. Aku sarankan untuk berhati-hati dengannya. Ia begitu menyebalkan," bisik Keylano yang nyatanya masih bisa didengar oleh yang lainnya.

"Tan ... ah Ibu terima kasih atas jamuan makannya. Rasanya sangat enak. Karena sudah malam, Sasha pamit pulang."

"Lano, cepat antarkan anak perempuan kesayangan Mama ke rumahnya. Ingat untuk menjaga keselamatannya. Jika saja ia terluka sedikit, Mama akan mengeluarkanmu dari kartu keluarga kita."

"Sebenarnya siapa anak kandung di keluarga ini? Mengapa gue justru seperti anak tiri yang terbuang? Menyedihkan."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top