Prologue
On mulmed: Jungkook-Stay Alive
---
Wajah sayu itu mulai kebas diterpa angin malam. Air mata menggenang dan tidak perlu menunggu waktu lama untuk berjatuhan lagi. Tubuhnya menggigil bukan hanya karena dingin yang menggigit, tapi juga sesuatu di hatinya siap meledak.
Dia berjalan sembarang arah, nyaris tertabrak karena dia menghamburkan diri begitu saja di jalan raya, memotong jalan tanpa berpikir. Klakson dan makian tidak dia pedulikan. Kakinya terus melangkah hingga berhenti persis di tengah jalan layang.
Kedua tangannya menumpu di besi pembatas yang dingin. Menormalkan napasnya yang tersengal.
Indira tidak ingat kapan terakhir dia menonton adegan dalam film di mana tokoh utamanya berusaha untuk mengakhiri hidup. Biasanya dia akan menertawakan tindakan bodoh si tokoh yang berpikiran pendek dan sempit. Mati memang bisa menghilangkan rasa sakit tapi tidak menyelesaikan masalah apa pun.
Sekarang, lebih tololnya, terlintas dalam benaknya untuk melakukan adegan yang pernah dia komentari dengan sengit itu. Mungkin untuk dirinya, tidak hanya rasa sakit, tapi masalah akan selesai dengan sendirinya jika dia mati.
Dia menanggalkan sepatu kets dan mengumpulkan keberanian untuk memanjat besi pembatas. Jika dia nekat lompat risiko entah kepala atau kaki duluan yang sampai di aspal bawah sana, yang jelas remuk. Itu belum termasuk terlindas truk yang lewat. Badannya mungkin akan serupa dendeng. Jangan dibayangkan jika terlalu ngeri buatmu. Indira juga sebenarnya mual membayangkannya, tapi untuk mundur juga terasa berat. Terlampau sulit untuk menanggung perasaan lelah yang satu ini.
Sudah berapa lama penderitaan ini dimulai? Barangkali sejak dia hadir di dunia ini. Dia tidak bisa memilih lahir dari rahim siapa, besar di keluarga seperti apa. Kalau dia masih hidup sampai sekarang itu karena kebaikan Tuhan.
Setiap hari hidupnya seperti di neraka. Dia tidak pernah merasa bahagia dan tertawa lepas seperti seharusnya. Rumah dan keluarga seperti menjadi barang mewah yang tidak pernah terbeli olehnya.
Dia tidak berharap ada pahlawan rupawan di detik-detik krisis hidup dan matinya. Datang lalu mencegahnya mengakhiri hidup. Mengeluarkan kalimat bijak, gigih membujuknya turun, kemudian menikahinya-Indira tertawa sinis.
Astaga, selain wajah yang kebas, hati yang mati rasa, otaknya juga mulai tidak berfungsi. Tentu dia sadar betul ini bukanlah cerita dongeng favoritnya ketika kecil dulu.
Lima menit lagi berlalu, tapi Indira masih mematung. Satu kakinya yang naik ke besi pembatas kembali turun. Memijak di aspal yang terasa ngilu di kaki telanjangnya. Dia bukannya sedang mengulur waktu atau merasa ragu di menit terakhir. Hanya saja tiba-tiba dia berpikir apakah di belahan bumi yang lain, di waktu yang sama, ada manusia bodoh seperti dirinya yang juga sudah muak dan berniat mengakhiri hidup.
Mungkin ada.
Baiklah, dia memang tidak sendirian. Pasti ada. Kalaupun tidak di waktu yang sama, mungkin beda beberapa menit dan detik saja. Atau malah orang itu sudah mati duluan. Lebih bagus kalau orang itu berubah pikiran dan percaya kalau hari esok mungkin lebih baik. Sayangnya bagi Indira tidak demikian. Besok akan sama. Akan selalu sama. Dia sudah menjalaninya sejak lama.
Pikiran aneh ini berhasil mengalihkan kesedihannya sejenak. Dadanya yang terhimpit sesak sedikit lebih lega. Tangisannya juga berhenti dengan sendirinya. Bukankah dia sudah terbiasa begini? Menangis lalu bangkit sendiri.
Dia mengumpulkan lagi nyalinya ketika terdengar pemantik yang dibuka dan dinyalakan. Indira berjengit karena tahu-tahu ada manusia berdiri di sebelahnya. Yang mungkin datang mendekat ketika dia sedang melamun tadi.
Lelaki itu dengan santai menyulut rokok dan mengembuskan asapnya. Indira hanya menoleh sekilas, tidak mengambil pusing kehadirannya. Lelaki itu pasti sekadar cari angin atau kebetulan lewat. Mungkin karena stress pekerjaan atau masalah hidup yang mudah dijumpai di mana-mana.
Namun, makin lama Indira takut karena lelaki itu hanya diam dan terus merokok. Membuatnya waspada dengan mendekap dada menggunakan kedua tangannya. Matanya melirik awas ke sisi kirinya.
Konyol, bukan? Dia berniat mati tapi masih bisa mengkhawatirkan keselamatan diri. Berbagai skenario buruk muncul otomatis di kepalanya. Entah yang mana duluan, mutilasi atau pemerkosaan. Hei, tampangnya memang lumayan tapi kejahatan tidak mengenal dari rupa.
Di luar dugaan, lelaki itu mengulurkan bungkus rokok padanya. Indira menggeleng masih dengan waspada. "Nggak ngerokok."
Bungkus rokok kembali disimpan ke saku celana.
"Maaf, bisa nggak ngerokoknya agak jauhan?" tegurnya sopan. Maksudnya biar orang itu menjauh darinya.
Menyeringai. "Emang lompatnya nggak jadi sekarang?"
Indira terperangah karena niatnya bunuh diri terbaca. Orang ini sudah melihatnya sejak tadi?
"Lompat aja." Lelaki itu menjepit rokok yang menyala di sela jari. "Alergi asap rokok?"
Indira memang terbatuk-batuk. Kewaspadaannya pun berkurang.
Lelaki itu mendengkuskan tawa mengejek. "Lihat, takut mati sesak napas tapi gaya mau lompat."
Bukan sesak napasnya, tapi takut diperk-sudahlah. "Asapnya ganggu!" Indira mengibas di depan muka, menghalau asap yang menamparnya. Batuknya kian parah meski dia sudah menjauh beberapa langkah.
"Kamu kan mau mati, harusnya nggak perlu terganggu sama asap rokok."
Muka Indira merah padam sembari tangannya menyingkirkan asap. Dia merasa disindir habis-habisan padahal itulah kenyataannya.
"Kalau nggak punya nyali, pulang sana." Lelaki itu mendengkus lagi, geleng-geleng, lalu mengembuskan asap rokok dari sela bibir. Mereka sama-sama diam cukup lama.
Tapi saat Indira menoleh, rokok kedua malah dinyalakan. Benar-benar menguji kesabarannya. "Jadi kamu nggak mau pergi?"
"Tempat ini punyamu?"
"Aku yang duluan berdiri di sini!"
Lelaki itu tidak balas meninggikan suara, tetap datar tanpa emosi. "Lompat aja," suruhnya lagi dengan tenang.
Tidak ada gunanya Indira bersikap ramah lagi. "Mau mati aja masih ada orang yang ngeribetin!"
"Kamu yang bakal bikin ribet karena ganggu kenyamanan orang lain. Coba pikir, beberapa menit kedepan kamu bakal bikin ribet siapa aja? Banyak orang. Pikir juga ini udah jam berapa. Berapa yang bakal terhambat pulang? Nggak mikir sampai sana?"
Indira kesal karena kalimatnya dibalas lebih panjang dan sulit dibantah. Lelaki itu lanjut merokok. Ketika puntungnya tersisa sedikit, dia kembali mengeluarkan bungkus rokok. Menyelipkan sebatang lagi. Seakan tidak ada niatan untuk meninggalkan Indira sendiri di sini.
Saat tak sengaja memperhatikan lebih lama dari sebelumnya, Indira melakukan penilaian singkat. Muka lelaki itu memang datar, minim ekspresi, tapi gesturnya saat menyalakan ujung rokok terlihat tak tenang.
"Punya masalah juga?"
"Apa tadi aku tanya gitu?"
Indira mengatupkan bibir kesal. Untuk apa dia membangun percakapan. Sudah benar sikap acuh tak acuhnya malah dia sok peduli begini. "Ya udah sih, aku juga cuma basa-basi tanya."
Suara lalu-lalang mobil di belakang dan bawah sana tidak pernah surut. Indira tercenung dengan suara pikiran yang semakin bersahutan. Dia mesti mengembalikan fokusnya pada tujuan dan tekad bulat yang hendak dia-
"Dunia tetap berjalan walau kamu menghilang."
"Bagus. Aku bukan dunia buat siapa-siapa. Tentu kehilangan aku nggak akan ada artinya." Sudah cukup. Dia ke sini bukan untuk beramah tamah dengan orang asing. Sudah beberapa menit terlewat sia-sia. Dia rasa sudah siap untuk mewujudkan keinginan bodohnya sekarang.
"Nggak ada cara lain?"
Ya Tuhan, dia bersuara lagi! Indira tidak menjawab.
"Bisa kamu lompatnya kalau aku udah pergi dari sini?" tanyanya, berubah pikiran. Mungkin dia sebenarnya juga takut melihatnya.
Baiklah, Indira akan tunggu. Beberapa saat tapi lelaki itu tidak lekas beranjak dari tempatnya berdiri. "Mau kamu apa sebenarnya?!"
"Jangan mati." Suaranya tidak semenyebalkan tadi. "Sebenci apa pun dengan keadaanmu sekarang, tolong jangan mati."
"......"
"Demi dirimu sendiri, tetaplah hidup."
Air mata sialan kembali merebak. Dia tidak mungkin begitu mudahnya luluh hanya karena kalimat bujukan dari orang asing ini. Dia ingin sekali mendengarnya dari seseorang yang dia anggap seperti Ibu sendiri. Maka tidak perlu keras kepala, dia akan turun dan pulang tanpa berpikir dua kali. Tapi yang sering dia dengar hanyalah seruan untuk mati saja.
Pandangannya semakin buram.
"Kenapa diam? Kamu ingin dengar lagi? Bertahanlah sampai besok setidaknya. Atau tunggu lusa, jangan-jangan kamu masih pengin hidup."
Indira menggigit bibir, menunduk. Tidak pernah ada yang menyuruhnya untuk tetap bertahan. Dia terbiasa melalui hari-hari buruk sendirian. Hari ini satu di antaranya, hanya saja kali ini dia membiarkan sedikit celah muncul di hatinya. Yang membawanya ke satu keputusan gila untuk memilih mati.
"Kalau demi dirimu sendiri tetap nggak cukup, tetaplah hidup demi alasan yang belum kamu temukan."
Indira menatap jerih jalanan di bawah sana, mengangkat wajah dan beralih ke lelaki itu. Lamat-lamat menatapnya di bawah penerangan yang tidak begitu benderang.
Apa benar dia hanya ingin dengar bahwa dirinya masih layak hidup, walau dari seseorang yang tidak dikenalnya?
***
Haloooo~~ apa kabar? Semoga kalian baik dan sehat yaa🙌
Aku datang bawa angst lagi yeorobun😭🤣
Makin banyak aja anak fiksi yg kusakiti wkwkk. Doakan lancar nulisnya yaa 🥰🙏
Sabtu/10.06.2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top