Chapter 7

Si Gigi Kelinci: Ar, makan siang pake menu apa? Masih marah sm aku? Jgn lama2 ya marahnya. Aku sayang kamu.

Si Gigi Kelinci: aku nginep di rumah ibu malam ini ya

Arsad: oke

Sudah satu jam sejak Arsad pulang dan mendapati rumah kosong. Tidak coba menelepon istrinya, memilih tenggelam di ruang kerja hingga pukul sepuluh ada pesan dari Indira. Mengabari jika menginap di rumah Ibu. Hal yang wajar tapi untuk apa sering-sering ke sana jika Indira sudah membayar seseorang untuk menjaga ibunya. Untuk apa bersikeras ke sana kalau kehadirannya tidak pernah diinginkan. Cari penyakit sendiri namanya.

Atau perempuan itu coba mengujinya?

Salah besar jika mengira Arsad menyesal dengan sikapnya yang berlebihan kemarin malam hanya karena Indira membuka dompetnya demi mengamati sebuah foto. Belum saatnya Indira tahu segalanya tentang dirinya. Silakan saja kalau perempuan itu berpikir macam-macam, memendam marah dan menginap di rumah ibunya. Dia tidak sudi menjemput lalu memaksanya pulang, apalagi ikut-ikutan menginap di sana.

Sampai kemudian pukul duabelas, jangankan tidur, hatinya malah berkhianat. Sesuatu telah mengusiknya. Dia menutup laptop yang hanya dia tekuri dengan pikiran yang ke mana-mana. Sambil menggerutu dia mencari kunci mobil. Sepanjang jalan pun tak henti mengutuk dirinya sendiri atau mengumpati timer lampu merah yang terlalu panjang. Sempat pula mengeluhkan hujan yang membuat lalu lintas tersendat.

Apa yang sebenarnya sedang dia lakukan. Untuk apa dia cemas mengetahui Indira menginap di rumah ibunya. Juga mengunjungi rutan, dia akan kelimpungan saat tahu istrinya datang ke sana sendiri. Dengan bodoh dia menyusul, seperti sekarang.

Dia benci mengakui satu dan beberapa hal. Untuk memikirkannya lebih lama pun dia tidak sanggup. Sebaliknya, terus membiarkan semuanya tanpa jawaban pasti. Jika terlalu dituruti akan menimbulkan perasaan tidak perlu lainnya.

Arsad berkali-kali harus mengingatkan diri alasan menikahi Indira. Segala empati dan simpati yang berlebihan hanya merepotkan nantinya. Dia harus tahu batasan. Sejauh ini dia merasa masih di garis aman kecuali empati sialan yang satu ini.

Sampai di depan rumah Ibu, dia semakin mempertanyakan keberadaannya di sini. Rumah yang bercahaya cukup lembut itu tampak tenang di bawah guyuran hujan. Arsad memandangi cukup lama pintu utama dari celah pagar.

Kalau satu saja yang bisa dia katakan tentang Indira adalah rasa kasihan. Mengesampingkan sebentar perasaan bencinya pada keluarga ini, dia tidak bisa membayangkan bagaimana berdiri di kaki Indira. Mempunyai dua ibu yang sama-sama menolak kehadirannya. Dia juga sering bertanya-tanya tanpa pernah mengatakannya, bagaimana dulu Indira tumbuh, bagaimana cara perempuan itu melalui hari-hari yang sulit, dan bagaimana-bagaimana yang seperti tidak ada habisnya.

Arsad menyeringai masam, menyadari jika mereka tidak jauh berbeda. Hanya saja papanya memilih meninggalkan rumah, hidup bahagia dengan selingkuhannya dan tidak pernah pulang membawa anak haram. Mana yang lebih baik? Apakah Arsad bisa mengatakan bahwa dirinya sedikit lebih beruntung? Menyaksikan wanita yang dia panggil ibu menghabisi nyawa sendiri di depan mata, apakah lebih beruntung?

Arsad mengusap wajah. Lebih baik segera pulang sebelum kenangan menyakitkan lainnya ikut datang. Saat menyalakan mesin mobil, Indira justru meneleponnya.

Satu panggilan dia biarkan berhenti dengan sendirinya. Bukan sesuatu yang serius, paling iseng seperti biasa.

Panggilan kedua. Arsad kembali dikhianati hati sendiri. "Apa?"

Suara lembut membalas pertanyaan ketusnya. "Kamu di mana?"

"Rumah."

"Aku ganggu kamu tidur?"

"Menurut kamu?"

"Menurut aku, kenapa nggak bilang nyusul ke sini?"

Arsad menghela napas dan mengumpat tanpa suara. "Ini mau pulang."

"Bentar ya, aku cari payung. Lama nih nggak ke sini jadi lupa payungnya di mana."

"Aku bilang aku mau pul—"

"Ketemu. Kamu tunggu bentar."

Arsad melepas lagi sabuk pengaman, menunggu Indira membukakan gerbang dan dirinya memasukkan mobil ke halaman. Dengan terpaksa melakukannya daripada mesti berdebat, mencari alasan untuk pulang, lagi pula dia sudah ketahuan ada di sini.

Senyum Indira menyambutnya, ada lelah yang coba disembunyikan. Arsad tahu tapi memilih mengabaikannya. Dia jarang bertanya dan menghargai Indira yang memang maunya begitu. Nanti kalau butuh juga istrinya ini akan cerita sendiri.

Arsad mengambil alih gagang payung yang menaungi mereka berdua. "Ibu kenapa?"

"Aku lagi pengin ke sini aja."

Arsad tidak puas dengan jawaban itu tapi tidak bertanya lagi. Indira membuatkan teh manis hangat, kemudian terlihat sibuk membersihkan bekas kamarnya dulu. Arsad melihatnya dari celah pintu kamar yang terbuka. Perempuan itu mengganti sarung bantal guling serta seprai dan mengeluarkan selimut bersih dari dalam lemari, mengatur suhu AC, lantas menghilang ke ruang belakang sambil memeluk gumpalan seprai.

Secangkir teh sudah tandas, Arsad beranjak ke kamar ketika Indira melintas di ruang tengah dan sudah berganti baju tidur. Tapi istrinya itu tidak masuk ke kamar, justru hendak menutup pintu kamar dari luar.

Arsad urung melangkah masuk lebih dalam, mendecak sambil menahan pintu tetap terbuka. "Mau ke mana lagi? Bisa nggak berhenti? Capek lihatnya."

"Kamu kelihatan udah ngantuk, tapi aku belum."

"Terus mau ngapain? Ngitungin hujan?" Tidak lucu? Arsad memang tidak sedang membuat lelucon.

Indira menarik napas, seketika baru mengerti. Arsad mungkin takut karena pernah mendengar cerita darinya kalau kamar itu memang agak horor. Cuma gengsi mau jujur.

"Kamu pasti keinget sama ceritaku. Ya udah oke, mau tidur, 'kan? Ayo aku temenin."

Meski tidak terima dibilang takut, Arsad tidak membantahnya langsung. Yang penting Indira tidak mondar-mandir lagi. Apa? Peduli? Kalian pikir sendiri saja. Pusing lihat orang sok sibuk.

Arsad memunggungi Indira yang menghadap ke arahnya. Hendak menutup mata tapi terasa usapan lembut di punggungnya.

"Cerita itu kan udah lama, waktu aku awal-awal nempatin rumah ini, cuma diganggu sekali aja. Nggak nampak rupanya kayak gimana, cuma suara. Habis itu udah nggak pernah. Mungkin dia kasihan sama ak—"

"Bisa diem nggak?"

Indira tersenyum, sungguhan diam agar Arsad lekas bisa tidur. Tangannya tidak menyingkir dan menepuk-nepuk ringan punggung di depannya. Saat suaminya sudah terlelap dia bisa menyelinap keluar, mungkin Ibu sudah membuka pintu kamarnya.

Percobaan pertama gagal karena Arsad terbangun dan mencekal tangannya. Bertanya serak, "Ke mana?"

"Pipis." Dia punya cara agar dilepaskan. "Kalau kamu takut, boleh ikut aku ke kamar mandi."

Tangannya langsung dilepaskan. Indira melangkah keluar dan menuju kamar Ibu. Kali ini dia mengetuknya pelan. Menempelkan wajah di daun pintu yang masih terkunci saat dia coba menggerakkan handle-nya. "Ibu udah tidur? Butuh sesuatu nggak?"

Sedekat apa pun dia menempelkan telinga, tidak ada sahutan apalagi suara lain. Akhirnya dia duduk di kursi panjang. Hujan sudah reda, meninggalkan udara yang semakin dingin.

"Mana yang katanya pipis?"

Indira mendongak, memberi senyum biar bayi besarnya tidak marah. "Utututu, kebangun ya. Sini, sini aku peluk."

Arsad memang duduk tapi memberi jarak. Tidak menyambut kedua rentang tangan yang menawarkan pelukan dengan wajah yang meledek itu.

"Kamu nggak ada kunci cadangan?"

"Ada."

"Terus kenapa milih hal sulit kayak gini?"

"Ibu lebih nyaman begini."

Arsad mendesah, tidak bisa memahami istrinya. Lebih tidak paham lagi ke dirinya yang memang mengantuk memilih ikut duduk di sini. Sama-sama menatap daun pintu dengan bodoh.

"Tahun lalu, Ibu juga mengurung diri."

"Hm."

"Ibu memang marah, Ar, tapi dia nggak bisa membenci Ayah. Bukannya itu sakit banget, ya?" Dia melanjutkan. "Besok tiga tahun peringatan meninggalnya Ayah."

Arsad bergeming. Kantuknya lesap seketika. Sama seperti perempuan di sampingnya, dia termenung karena ingatan miliknya juga datang bersama rasa sakit yang tidak pernah berhasil dia atasi.

"Hari yang sama saat Bang Fadil mengalami kecelakaan."

Hari yang sama ketika dirinya kehilangan kakak perempuannya. Satu-satunya yang dia punya setelah keluarganya hancur. Satu-satunya yang ingin dia jaga. Arsad menoleh kaku, menatap lamat istrinya yang betah dengan daun pintu. Indira tidak pernah melihat Nadia, tidak mengenalnya, hingga tidak ada satu pun puzzle penjelasan apa pun di kepalanya. Tidak ada benang merah yang harus perempuan ini rangkai kemarin dan hari ini tentang kehadiran Arsad dalam hidupnya.

Arsad pernah membayangkan. Indira akan mengetahuinya sendiri suatu hari nanti, menyadari kepalsuan sikap suaminya, menelan kenyataan pahit bahwa dirinya tak lebih dari objek balas dendam. Lalu apa lagi? Tentu saja perempuan ini pergi dari hidupnya sambil membawa sakit hati yang mendalam, yang tidak pernah bisa dilupakan. Dia bisa mengatakan demikian karena cinta dan ketergantungan Indira padanya cukup besar.

Pilihan itu ada di tangannya beserta sebuah gunting. Dia bisa memotong tali satu per satu atau memotongnya sekaligus.

"Ah, aku lupa." Indira menoleh hingga mata mereka bertemu. "Besok juga hari yang bahagia."

Arsad menampilkan raut tanpa ekspresi. Tapi jauh di dalam sana, terasa getir dan hampa. Setengah mati dia menahan gulungan badai yang datang. Dia ingat tentang besok, tanpa harus diingatkan oleh siapa pun.

"Besok kamu ulang tahun." Mengoreksi cepat. "Hari ini."

Bukan hanya Indira dan keluarganya saja yang runtuh hari itu, dirinya juga. Ironis sekali memang. Tuhan banyak bercanda hari itu.

"Mau kado apa?"

Lidahnya kelu bahkan untuk satu kata pendek. Mana mungkin dia tetap bisa merayakan hal-hal seperti itu lagi sementara kado yang sangat dia inginkan bukanlah dari siapa pun selain kakaknya. Juga ucapan selamat, doa-doa baik. Rasanya memuakkan setiap tahun harus mendengarnya dari orang sekitar.

"Aku harusnya nggak nanya. Tunggu nanti ya."

Arsad bangkit, berniat kembali ke kamar. Sudah cukup. Telinganya tidak ingin mendengar apa pun lagi.

Selang satu menit, lelaki itu muncul seraya memeluk satu bantal dan selimut. Indira yang masih duduk di posisi semula tidak tahan untuk meledeknya lagi.

"Beneran takut, 'kan? Udah sih jujur nggak apa-apa, itu manusiawi kok, Ar." Suaranya melirih dengan mata yang mengerling. "Aku nggak akan bilang ke siapa pun kalau kamu takut kecoak sama hantu."

Arsad menaruh bantal di ujung kursi, membentangkan lipatan selimut dan menggunakannya untuk menutupi tubuh Indira yang hanya mengenakan baju tidur berlengan pendek. Tanpa bilang sepatah kata, dia pun berbalik pergi.

Apa kalian bisa memaklumi jika perhatian-perhatian kecil seperti ini, diterima Indira dengan segenap hati? Arsad adalah orang pertama, mungkin satu-satunya, yang menyuruhnya untuk tetap hidup. Orang yang kemudian dia percaya terus berada di sisinya sampai nanti. Tempat terbaiknya untuk meletakkan sebentar dunianya yang berat. Menjadi tempat yang bisa dia sebut sebagai rumah ketika dia nyaris asing dengan kata itu.

Beberapa menit berlalu, Indira memastikan ke kamar. Merunduk di sisi ranjang yang ditempati Arsad. Mendaratkan kecupan ringan di pipi setelah menatapinya cukup lama. Masih betah berjongkok di sana, jemarinya hati-hati mengusap pipi yang dia kecup, menyingkirkan rambut yang mulai panjang jatuh mengenai mata yang terpejam itu.

Kemudian terakhir, satu doa sepenuh hati yang dia katakan serupa bisikan. "Ar, hiduplah yang lama. Aku juga bakal demikian. Ayo kita sama-sama untuk waktu yang lama."

***

Sampai di sini, ini jadi chapter favoritkuu😭🙌

Next chapter insyaAllah Minggu yaa, update malem seperti biasa.

Makasih buat dukungan kalian yg meninggalkan jejak ataupun yg nyusulin prekuelnya ke KK wkwk luv u 💕

Kamis, 03/08/2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top