Chapter 5
Acara aqiqahan Jasmine, putri cantiknya Naga, diadakan secara intim di kediaman mereka. Indira datang terlambat ketika para tamu sudah menikmati hidangan yang tersedia. Dia terpisah dari Arsad yang bergabung dengan para lelaki, sementara dia mencari Naina dan Jasmine. Ada satu kotak kado serta satu buket bunga yang cantik di pelukan Indira.
Naina melihatnya lebih dulu, lekas menyambut dan memeluk Indira.
"Maaf telat, Na. Arsad kalau weekend tuh susah bangunnya."
"Suami kita sama aja." Naina tertawa menanggapi. Menerima hadiah yang disodorkan Indira. "Aduh, Aunty, makasih banyak. Mau gendong Jasmine nggak?"
Dia sudah melihat bayi merah itu ketika Naina melahirkan bulan lalu, dia bersama Anya tergopoh datang ke rumah sakit saking tidak sabar ingin melihat keponakan mereka. Naina meletakkan kado di meja terdekat, lalu mengambil putrinya dari pangkuan sang Nenek untuk dibawa mendekat ke Indira.
"Na, tapi aku belum pernah gendong bayi."
"Anya tadi juga gendong, nggak apa-apa. Gampang kok, Jasmine nggak rewelan juga." Naina menunjuk kursi kosong dengan dagunya. Indira pun menurut.
"Anya ke mana?"
"Tadi pamit ke kamar mandi."
Ketika Jasmine sudah berada dalam dekapannya, dibantu Naina yang memberi intruksi agar posisi tangan Indira membuat bayi itu nyaman, Indira sempat tergugu. Tidak bisa dijelaskan apa yang sedang dia rasakan. Matanya terkunci di sepasang mata Jasmine yang balas menatapnya dengan binar yang lembut dan tenang.
Tanpa sadar, kedua sudut bibir Indira terangkat.
Ini bukan kali pertama Indira menggendong bayi, tapi perasaannya selalu berkecamuk. Ada rasa takjub, terpesona dan ingin terus memandanginya. Tapi jenis perasaan lainnya terasa sedikit getir. Tidak semua bayi yang lahir di dunia disambut dengan sukacita, dia salah satunya. Tapi dia turut bahagia ketika melihat bayi-bayi di sekitarnya begitu diinginkan dan disambut penuh kehangatan.
Indira memutus pandangannya sejenak dari Jasmine, mengangkat wajah dan menemukan Arsad sedang menatap lurus-lurus padanya.
"Ayo, kapan kalian nyusul." Naina menggodanya.
"Mereka baru nikah satu bulan, Na. Maaf nih." Anya yang sudah kembali, duduk di sebelahnya. "Jangan diburu-buru, siapa tahu Indira berubah pikiran dan nyari yang lain." Berdeham. "Yang lebih baik."
Indira mendecak mendengar kalimat terakhir itu. Dia memang tidak bisa mengharapkan Anya untuk mendukung hubungannya dengan Arsad. Naina yang netral pun tampak tidak tertarik untuk menanggapi sentimen Anya lebih jauh.
Arsad berdiri dari kursinya, meninggalkan para lelaki dan menuju ke tempat Indira.
"Bisa tolong geser?"
Anya pun mendadak jadi anak-anak. "Eh, gue duluan ya yang duduk di sini. Lo siapa mau ngerebut kursi gue."
Ketimbang mereka ribut, Naina yang mengalah, memberi kursinya ke Arsad agar bisa duduk di sebelah istrinya. Naina pindah ke kursi di sebelah Anya.
"Mau gendong?"
Arsad menggeleng. "Kamu aja masih takut gitu, apalagi aku."
Indira meringis. Sadar kalau dia memang kaku dan belum terbiasa. Jemarinya sebenarnya terasa dingin tapi dia masih betah berlama-lama mendekap Jasmine. Ditambah harum bedak bayi dan minyak telon yang menyegarkan.
Badan Indira sedikit bergerak, menimang-nimang Jasmine yang menguap, bahkan tanpa sadar dia menirunya.
"Makanya punya sendiri, Ar, nanti lama-lama terbiasa sama bayi."
"Doain ya, Na."
Bukan, bukan Indira yang menjawab, tapi Arsad.
Anya mencibir, Indira mesem-mesem. Tumben suaminya memberi respons yang tidak membuat orang lain kesal?
"Masih betah gendongnya? Mau diambilin makanan sekalian?"
Demi mendengar pertanyaan itu, Anya menoleh dengan dahi berkerut. Siap mencibir lagi kalau saja Naina tidak mencubit pahanya.
Dengan jarinya, hati-hati mengusap helai rambut Jasmine. "Aku nanti, kamu duluan aja."
Tiga perempuan itu beralih mengobrol soal ASI dan segala drama menjadi new mom setelah Arsad meninggalkan kursi. Naina terlihat benar-benar bahagia. Tidak heran, karena dia menikah dengan orang yang tepat, dan pula diberi titipan putri yang cantik dan sehat.
Mereka kira Arsad tidak datang lagi, tapi lelaki itu duduk di sebelah Indira dengan membawa piring. "Lanjutin aja ngobrolnya, aku nggak denger."
Lalu, Anya. "Naga juga minta jatah susu?"
Arsad tersedak.
***
Seperti kesepakatan yang mereka sepakati tanpa hitam di atas putih, mereka punya waktu untuk saling menyendiri. Menikah dan tinggal satu atap tidak membuat mereka mengubah kebiasaan ini. Masing-masing akan mengerti kapan mereka butuh hidup dalam satu gelembung saja. Bahwa tidak semua bisa dibicarakan meskipun selama ini Indira sering menginsiasi komunikasi di antara mereka.
Indira pun kadang merasa lelah. Dia banyak bercerita, sedangkan Arsad tidak. Menjadi pendengar pun juga melelahkan, 'kan? Tapi kebanyakan mereka tidak bisa mengatakannya.
Tapi malam ini, Arsad justru sedikit melanggarnya. Dia melihat Indira yang duduk di tepian kolam renang dengan kedua kaki yang terjulur ke dalam air. Kepalanya sering mendongak ke atas, kadang ke dasar kolam. Itulah yang selama satu jam Arsad perhatikan dari dalam rumah.
Karena tidak ingin menerka dan menunggu lebih lama, maka dia akhirnya memutuskan untuk bergabung.
Senyum dilemparkan ke arah Arsad. "Aku kira kamu udah tidur."
Arsad duduk membelakangi kolam renang, di sebelah Indira. "Angkat kaki kamu, nanti kedinginan."
Tidak perlu disuruh dua kali, Indira melakukannya dengan patuh.
"Kamu ada cerita nggak?" Indira mencoba mencairkan keheningan di antara mereka.
"Bukannya kamu yang kelihatan pengin cerita?"
"Lagi nggak pengin."
Arsad berdeham.
"Jangan salah paham. Kamu partner cerita terbaikku. Kamu orang pertama yang bakal tahu apa pun."
Kalian juga, jangan salah paham. Arsad tidak akan melambung hanya karena semua kalimat manisnya Indira. Karena sekali dirinya benar-benar jatuh, sangat menyulitkan suatu hari nanti.
"Ar, kalau Tuhan nitipin anak ke aku, apa aku bisa jadi Ibu yang baik?"
Ternyata itu yang sedang perempuan ini pikirkan. Cukup lama tadi siang Indira menggendong Jasmine dan mungkin menggerakkan hatinya. Selama ini, mereka tidak pernah bicara soal anak. Bukan menghindarinya dengan sengaja, tapi memang seolah begitu saja mereka lupakan.
"Gimana kalau aku nanti nyakitin dia?"
Pertanyaan yang sama diam-diam menyelinap di dada Arsad. Apakah dia juga bisa menjadi Ayah yang baik? Sementara figur Ayah yang pernah hadir dalam hidupnya hanya membawa kekacauan.
Tapi demi menenangkan riak gelisah itu, "Tuhan nitipin karena percaya. Kamu nggak akan nyakitin dia."
Indira mengembangkan senyum.
"Atau kita bisa adopsi anak kalau kamu mau." Arsad tercengang dengan kalimatnya sendiri. Adopsi anak? Memangnya pernikahan ini mau selamanya?
"Kita bicarain ini lagi ya nanti. Aku suka ide ini meski nggak ada yang tahu apa yang terjadi kedepannya."
Persis seperti yang sedang dibenak oleh Arsad. "Kenapa kamu takut punya anak? Karena Ibu?"
Indira menggeleng.
"Belas luka di punggung, perut samping, bukan karena kamu jatuh." Mata Arsad bergerak, mengerjap ke beberapa arah. Suaranya terdengar jauh. "Dari siapa?"
"Mama."
Hening beberapa lama. Arsad mulai menyesal dengan keputusannya ikut duduk di sini. Dia harusnya tidur lebih dulu, membiarkan Indira sendirian di sini karena memang itu inginnya.
Kedua tangannya perlahan terkepal. "Kamu benci mereka?"
"Iya." Indira menunduk. "Tapi mereka juga benci aku."
"Kamu maafin mereka?"
Mengangguk. "Tapi sulit dapat maaf dari mereka."
"Suatu hari, aku berharap kamu bisa berhenti. Bukannya sakit dan melelahkan? Nunggu maaf dari orang-orang yang kamu anggap sayang ke kamu. Seumur hidup kamu meminta maaf, tapi mereka sekali pun nggak melakukan hal yang sama. Bukan kamu yang salah. Orang-orang dewasa itu yang egois."
Indira tersenyum menatap pantulan dirinya dan punggung Arsad di dalam air. "Aku berhenti mengasihani diri sendiri sejak ketemu kamu. Mau dipotong nggak?" Ada nada jenaka saking seringnya Arsad berusaha menghentikannya bicara yang aneh-aneh.
"Silakan dilanjut pujiannya."
"Nggak ah. Kamu bete kelihatannya. Kusimpan buat nanti-nanti."
Arsad beranjak. Indira mendongak, mengulurkan kedua tangan. Suaminya lewat begitu saja tanpa mengindahkan kodenya yang minta digendong.
Tidak masalah, Indira terbiasa dengan sikap dingin dan anti romantic yang sudah mendarah daging itu. Jadi dia berdiri sendiri, menyusul masuk dan menemukan Arsad menunggunya di dekat pintu.
"Kamu suka nggak bener ngunci pintunya."
"Aku kasih kesempatan kedua buat gendong istrimu ini ke kamar."
Arsad mengunci pintu, lagi-lagi melewatinya. Indira berputar dan memeluk suaminya dari belakang bahkan ketika harus naik tangga. Seperti anak Koala yang nemplok di pohon.
"Kamu jatuh salah sendiri." Tapi dia juga memelankan langkah, memastikan pijakan Indira tidak meleset di anak tangga. Merepotkan sekali perempuan ini.
"Maafin kalau aku manja ke kamu. Aku cuma punya kamu, Ar."
Dia pernah bilang jika dua tahun tidak banyak punya arti baginya? Tidak sepenuhnya benar. Selang waktu itu dia benar-benar memahami perempuan ini dan segala yang ada di pikiran serta hatinya. Mungkin dia sudah kena cuci otak agar merasa kasihan dengan hidup Indira.
Kecuali satu. Dia tidak tahu sebesar apa perempuan ini mencintainya. Sampai sering merasa tidak seharusnya dia dicintai sebesar ini.
Dia takut tidak pernah bisa membalasnya, walau hanya sedikit. Hanya sebentar.
***
Makasiiiw masih lanjut baca✨🙏
Senin/24.07.2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top