Chapter 47

"... kamu jangan khawatir, selagi kamu di sini, aku janji bakal jaga diri baik-baik. Kamu nggak akan dengar kabar yang bikin kamu harus pulang, sebelum kamu siap pulang."

Arsad kembali merasakan apa yang dia rasakan tiga tahun lalu. Saat datang menemui jasad Nadia.

Kakinya kembali melangkah untuk hal yang mungkin sama. Bayang-bayang kehilangan membuatnya ketakutan dan menggigil. Yang dia tuju hanya pintu keluar, yang kali ini terasa lebih jauh, lebih berat. Kesibukan bandara seperti kabut pekat yang merenggut kewarasannya. Sementara senyum Indira hari itu, di kunjungan terakhirnya, membayanginya lekat.

Juga percakapan terakhirnya di telepon beberapa jam lalu. Berputar-putar di kepala. Menjadi lagu pengiring ketakutan yang mencekiknya.

"Ar, setelah apa yang kita lalui, menurut kamu kita akan berakhir seperti apa?"

"Apakah kita akan saling kehilangan?"

"Aku harus apa? Aku kangen kamu, pengin lihat kamu setiap hari."

"Bisakah kamu yang datang ke aku?"

"Kamu nggak harus jawab sekarang. Aku nggak minta kamu datang sekarang, besok atau minggu depan. Hanya saat kamu siap aja."

Gedung-gedung bermandi cahaya telah terlewati. Ruas jalan yang tak pernah lengang. Kehidupan yang seperti tidak ada matinya. Langkahnya terus bergerak maju, membawa dirinya sampai di sebuah rumah sakit.

Di depan ruang jenazah. Seperti tiga tahun lalu.

***

Langit Jakarta cerah malam itu. Berbeda dengan belahan bumi yang lain, yang mungkin hujan badai. Indira pergi menuju alamat yang tertera. Arah yang berbeda dari bandara. Dengan berat hati, dia tidak memilih Arsad kali ini.

Harus ada yang dia akhiri, bukan? Ini bukan perkara melihat Ibu kesakitan di suatu tempat, yang sedang dia tuju sekarang. Atau Mama yang entah menyiapkan kejutan untuknya. Indira pergi untuk melihat akhir dari semua ini. Dendam tidak masuk akal milik mamanya ini melelahkan.

Taksi menurunkannya di sebuah bangunan terbengkalai, sesuai alamat yang dia sebutkan. Rumput tinggi menutupi jalan masuk, Indira harus menyibak kanan-kiri dan gemeletuk bebatuan terdengar dari pijakan sepatunya. Ada penerangan walaupun minim.

Instruksi dikirim saat di perjalanan tadi. Indira akan melihat bangunan lima lantai. Melewati tangga dan temui mereka di lantai teratas. Semakin masuk ke dalam, jalanan berganti dengan tanah merah. Tangga yang dimaksud sudah terlihat. Bulan purnama membuat isi gedung sedikit terlihat. Meski tidak ada yang bisa dilihat selain dinding yang penuh coretan pilox.

Dia meniti anak tangga tanpa pembatas itu. Seperti menghitung mundur takdir lain yang siap dia jemput malam ini. Sesekali menoleh ke arah kanan. Memperhatikan pemandangan kota di malam hari, juga mengingat Arsad. Hari-hari yang menyenangkan selama sebulan terakhir. Dia tidak tahu apakah minggu depan bisa datang menemuinya lagi.

Kalaupun tidak, semoga Arsad bisa melanjutkan hidup tanpa dirinya.

Soraya tersenyum menyambut kedatangan putrinya. "Terlambat beberapa menit. Tapi Mama yakin kamu pasti datang."

Indira menyapukan pandangan ke penjuru gedung. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Ibu. Hanya ada mereka berdua.

Menjentikkan jari, Soraya meminta perhatian Indira. "Kamu lihat, pipi Mama. Ini ulah ibumu bulan lalu." Menunjuk bekas garis memerah di tulang pipi. Seperti bekas cakaran yang dalam atau sayatan benda.

"Ibu mana?"

"Kamu ingat gedung ini? Terlihat dari jendela kamarmu, barangkali kalau kamu ingat. Tapi kamu nggak tahu kalau gedung ini mangkrak karena kamu keburu pindah, ikut ayahmu."

"Mama manggil aku ke sini untuk nostalgia?"

Soraya bersedekap. "Memangnya kamu datang buat Mama? Bukan demi perempuan sialan itu?"

"Mama masih ingin basa-basi?"

"Bunuh perempuan itu, Ndi. Lalu kamu akan tahu dia di mana."

Indira terhenyak tapi berusaha menutupinya. Bukankah dia sudah antisipasi hal ini? Tidak perlu terkejut mendengar sesuatu yang buruk keluar dari mulut Mama.

"Kamu nggak salah dengar." Soraya menyalakan ujung rokoknya. Mengisap dan mengeluarkan kepulan asap. Siulan senang terdengar dari bibirnya. "Ini akan menyenangkan."

Lantai lima itu lengang. Hiruk-pikuk kota samar terdengar. Orang-orang yang bergerak pulang, menemui orang terkasih di rumah. Indira selalu iri dengan mereka.

Soraya memperhatikan raut putrinya. Yang dalam beberapa saat berusaha tidak terbaca. "Atau kamu nggak bisa? Bukankah kamu membenci dia? Ayo, ini kesempatan kamu untuk balas dendam. Selama ini kamu diperlakukan buruk. Kamu dikucilkan di rumah itu. Tidakkah kamu muak? Belasan tahun kamu menyimpannya, Ndi. Saatnya membalas sakit hatimu. Sakit hati kita."

Dia justru mengulang pertanyaan. "Ibuku di mana?"

"Jangan bilang kamu tetap jadi orang baik setelah semua perlakuan dia. Terlalu naif, Indira. Kamu nggak bisa hidup dengan cara seperti itu!"

Indira mendongak ke langit yang luas. Mengembuskan napas. Percuma. Setiap jengkal tubuhnya seperti mendidih.

"Sebagai gantinya, kamu bisa hidup tenang. Mama nggak akan nyentuh kamu, apalagi suami kesayanganmu yang lagi di Surabaya. Mama ikut sedih dengan apa pun yang sedang kalian alami. Kamu berencana tinggal di sana? Kamu bisa segera pergi setelah ini. Mama pastikan kamu tidak akan dipenjara."

"Kenapa mesti aku? Mama lakukan sendiri!"

"Kamu kutukan terbesar di hidupnya. Lebih menyenangkan jika kamu yang melakukannya. Arsad menunggu kamu datang, kan? Putuskan cepat, Ndi."

Tangan Indira mengepal di samping tubuh saat nama Arsad kembali disebut.

Soraya tersenyum menang. Mengerti betul kelemahan terbesar putrinya. "Kamu takut membawa nama itu ke dalam percakapan kita. Mama belum tentu sejauh itu, Ndi. Belum tentu seperti yang kamu pikirkan."

Raut wajahnya mengeras. "Tapi Mama selalu seperti yang aku pikirkan."

"Seperti?"

"Kalau ingatan bisa manusia atur sesuka hati, Mama adalah bagian yang ingin aku hilangkan dari hidupku. Katakan Ibu di mana, lepaskan dia. Biar aku yang menggantikan Ibu. Mama butuh pelampiasan, kan? Jangan sakiti orang lain. Sumber sakit Mama datang dari aku. Bukan orang lain. Mereka nggak salah apa-apa."

Soraya membuang puntung rokok dan menginjaknya dengan ujung sepatu. "Maksudmu, kamu ingin aku melepaskan dia secara cuma-cuma? Lalu mengampuni dia?"

"Aku gantinya!"

Menggeleng-geleng. "Kamu salah paham. Bukan kamu yang aku inginkan, Indi. Bukankah aku cukup baik? Aku membiarkan kamu tetap hidup. Aku membiarkan kamu bahagia. Yang penting buatku perempuan itu lenyap. Kamu ngerti, kan? Mama udah pendam dendam ini belasan tahun!"

"Berhenti hidup seperti ini, Ma." Menurunkan suaranya, tidak lagi membentak, kali ini sarat permohonan. Bila perlu dia berlutut di depan mamanya agar menghentikan semua ini dan hidup masing-masing tanpa saling mengganggu.

"Kamu nggak tahu rasanya! Sementara kamu hidup enak di rumah itu, makan tinggal makan, aku harus berpindah-pindah tempat karena dikejar penagih utang. Uang pemberian ayahmu masih kurang. Saat aku minta ke dia, tahu apa jawabannya saat itu? Dia akan melapor ke polisi. Pemerasan, katanya. Aku jatuh bangun membangun bisnis. Nyaris mati beberapa kali. Dipenjara berkali-kali. Rupanya Tuhan masih baik. Aku punya kesempatan untuk lihat kamu dan ibu sialanmu itu!"

"Saat aku tidak perlu lari lagi, hidupku membaik, aku bisa datang beberapa kali. Melihatmu hampir mati malam itu, lalu Arsad datang? Aku lihat semuanya. Hidupmu cukup malang, aku nggak heran kalau kamu pengin mati. Aku nggak akan cegah karena paham rasanya. Rumah itu seperti neraka buatmu. Lalu Arsad datang seperti pahlawan."

"Kamu tahu, Ndi? Aku pernah berharap menempati rumah itu. Tapi sialan, mereka bertahan. Mereka tidak bercerai. Lelaki itu hanya menyelamatkan kamu, sementara aku dibuang seperti sampah. Kami saling mencintai, Ndi, tentu saja. Kamu pikir hanya aku yang merayu ayahmu untuk kesenangan sementara? Aku sungguhan mencintai dia!"

"Selama puluhan tahun, Mama hidup dengan angan-angan menyedihkan seperti ini?"

Wajah Soraya semakin kecut.

"Mama bilang apa tadi? Mengampuni Ibu? Mama yang seharusnya meminta ampun ke dia! Mama yang harusnya mengemis maaf ke dia! Mama bahkan nggak pantas bertemu dia!"

"Begitu?" Menampilkan senyum mengejek sebelum satu tamparan keras dia layangkan ke pipi putrinya.

Soraya mengibaskan tangannya yang kebas. Kali pertama dia menampar seseorang sekencang ini. Tapi tidak masalah. Anak ini sudah kuat dari dulu. Satu tamparan kencang tidak akan membuatnya menangis.

Dan benar, beberapa detik kemudian Indira menatapnya dengan sorot tajam. Ada kilatan marah yang ditunjukkan terang-terangan. Seperti tidak takut mati. Mengingatkannya pada diri sendiri. Anak ini mewarisi sebagian dari dirinya.

Tapi apa boleh buat. Dia juga ingin sakit hatinya hilang.

"Mama kecewa. Kamu nggak bisa diandalkan. Kamu keberatan kalau kita sudahi percakapan sia-sia ini?" Mengangkat tangan untuk melihat jam, mengetik singkat di ponsel. Menggoyangkan benda itu sebelum menyimpannya di saku mantel. "Kamu masih punya waktu beberapa menit, atau mungkin sudah terlambat. Sayang sekali, kamu menolak tawaran Mama. Setidaknya kamu sempat melihatnya sebentar."

Indira maju, menggamit kedua lengan Mama. Hebatnya masih bisa bicara tanpa menaikkan suara. "Bisa tolong berhenti mempermainkan aku, Ma?"

"Kamu sebegitu ingin menemuinya? Menyelamatkannya?" Menepis tangan Indira dari tubuhnya. "Aku yang melahirkanmu. Kalau saat ini kamu harus milih, siapa yang akan kamu selamatkan? Aku atau dia?"

Indira melihat Mama berjalan mundur, menjauh darinya dan mendekat ke tepian gedung. Kemudian dia berhenti. "Kamu keterlaluan kalau sampai membuat keputusan yang salah."

"Mama juga naif, menganggap aku masih Indira yang dulu. Aku bisa mengambil keputusan apa pun yang aku mau. Aku bukan anak kecil yang takut saat Mama marah. Aku bukan lagi Indira yang seperti itu."

Egonya seketika terluka. Soraya benci dengan situasi yang kini berbalik menyerangnya. Dia benci mendapati orang lain menjadikannya opsi sekian dalam hidupnya. Dia muak melihat apa yang seharusnya menjadi miliknya, membalas budi padanya, justru tidak tahu cara berterima kasih.

"Berani kamu pergi satu langkah, aku akan jadi mimpi burukmu seumur hidup."

"Aku sudah sering memimpikan Mama." Itu hanya gertakan. Mama sedang mengulur waktunya, berkelit tidak mau menyebutkan tentang keberadaan Ibu. Indira terus berpikir keras hingga akhirnya terlintas satu tempat. Sesuatu yang sudah mamanya katakan di awal.

Indira tidak mau membuang waktu lebih lama. Sebelum berbalik berkata, "Aku harap bisa melihat Mama lagi suatu hari nanti, tanpa benci, tanpa marah. Aku pergi."

"Berhenti di situ!"

Langkahnya semakin cepat. Sedikit pun Indira tidak menoleh. Tergesa menuruni anak tangga.

"AKU BILANG BERHENTI! KAMU HARUS PILIH MAMA, INDIRA!"

***

Dia terbangun di sebuah ruangan yang asing. Kepalanya berdenyut hebat. Tangannya terangkat untuk meraba pelipis yang terluka. Tidak hanya wajah, sekujur tubuhnya terasa sakit dan ngilu. Dia ingat berbagai siksaan yang menyasar tubuhnya beberapa jam lalu. Tapi untuk sekadar mengumpat, dia sudah tidak punya tenaga.

Satu yang pasti, dia belum ada di tempat yang aman. Dia tertatih bangkit dari kasur yang apek. Terbatuk lalu meringis karena perutnya terguncang.

Dia berpegangan dinding untuk mencapai pintu. Memegang handle, berusaha membukanya. Terkunci. Dia menggedor-gedor dengan sisa-sisa tenaga. Berteriak sekencang yang dia bisa, tapi suaranya habis.

Gagal membuka pintu, gagal memanggil siapa pun yang bisa mendengarnya, mata sayu itu meneliti sudut-sudut ruangan.

Sebuah kamar yang usang. Beberapa titik dinding sudah berlumut. Dia tidak tahu sedang ada di mana sebelum akhirnya menangkap guratan nama di dinding. Coretan khas anak kecil. Dia pun mendekat, melihatnya lebih jelas.

Beberapa huruf. Nama yang dia kenal. Nama yang dia benci setengah mati.

Tidak cuma guratan nama. Matanya bergeser sedikit, dan terlihatlah guratan lain yang cukup banyak. Dia mulai tergugu. Dinding yang menguning membuat gambar-gambar itu masih terlihat. Gambar yang dibuat dengan garis hitam, hanya ada warna hitam di sana. Di saat anak-anak seusianya senang mencampur banyak warna. Tapi pemilik gambar ini tidak.

Hanya gambar anak-anak, pikirnya. Tapi selama beberapa saat mampu membuatnya lupa dengan rasa sakit yang mendera. Tangannya yang penuh luka terjulur ke dinding. Dengan ujung jari meraba permukaannya yang dingin dan lembap. Anak ini jelas-jelas marah, sedih, dan berbagai perasaan buruk lainnya.

Seperti tempat yang telah ditinggalkan penghuninya sangat lama, kamar ini terasa kosong. Mungkin dulu lebih baik dari ini. Atau sama saja? Tidak perlu mendengar cerita dari siapa pun, dia sendiri bisa membayangkan seburuk apa.

Tubuhnya yang lemah merosot ke lantai. Lantai yang mungkin merekam dan melihat anak itu tumbuh tidak diinginkan.

Berapa usianya saat itu? Sepuluh? Sembilan? Atau delapan? Di usia berapa persisnya anak itu mulai mengerti apa yang terjadi? Paham dengan yang dilakukan ibunya?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar, membuat perutnya melilit, membuat dadanya mencelos. Matanya basah. Dia menggeleng. Tidak ingin perasaan seperti ini menyelinap ke hatinya. Dia sudah membenci anak itu, selamanya akan begitu. Satu fakta yang dia sadari tidak cukup untuk setitik perasaan iba. Dia tetap membencinya.

Pikirannya tidak teralihkan bahkan ketika bunyi gemeletuk terdengar dari langit-langit. Udara di sekitar berubah cepat. Puing-puing atap mulai meleleh, berjatuhan.

Matanya menatap nanar gorden lusuh yang baru saja menyala. Penglihatannya mulai kabur. Telinganya berdenging. Dinding yang menguning menyala-nyala oleh pantulan api.

Ini tidak masuk akal. Dia mengkhawatirkan anak itu di saat dia tidak tahu apakah bisa hidup. Apakah ada yang datang menolongnya.

Mungkin karena dia akan mati di tempat ini? Sialnya, dia harus mati sambil mengingat wajah anak itu, sambil mengasihaninya.

Lalu anak itu sungguhan muncul di depan matanya. Mirip sekali dengan yang dia kenal, yang dia benci.

Sesuatu berdebam jatuh. Sesuatu yang lain semakin bergemeletuk. Panas semakin menyengat kulit. Dia tidak sanggup sekadar membuka mata. Sekadar bernapas dengan layak. Dadanya sesak oleh asap yang menyekap ruangan ini.

Tapi sepasang tangan anak itu menenangkannya, merengkuhnya, membawanya bangkit dari lantai. Tersendat membisikkan kalimat yang patah-patah. "Ibu ... maaf Indi datang terlambat ... Ibu, bertahan ... tolong bertahan sedikit lagi."

Lihat, takdir tidak pernah gagal mempermainkan hidupnya.

***

Epilogue update Rabu/Kamis yaa

Senin/25.03.2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top