Chapter 46
Indira akan menepati janjinya. Arsad yakin Sabtu ini, istrinya pasti datang ke sini lagi. Yang coba-coba meragukan semoga dikejar kecoa terbang sampai ngompol. Tidak. Arsad tidak sedang membicarakan diri sendiri.
Sabtu pagi buta, dia pergi ke pasar. Mengisi kulkas dengan berbagai bahan makanan segar. Juga mengganti seprai di kamar Nadia yang sebenarnya sudah dia ganti setiap minggu.
Siapa bilang dia berlebihan? Dia hanya mencari kegiatan selain memelototi komputer, bengong di tower air dan belajar masak. Dia harus banyak gerak kalau tidak mau mati sambil melamun dan memikirkan sakit di hati yang entah mau dia apakan.
Kadang dia tertidur di kamar Nadia. Merasakan wangi tenang milik Indira yang tertinggal di sarung bantal atau selimut. Tidak cuma harumnya, tapi jepit rambut gemas yang tertinggal di meja nakas. Dia selalu menemukan printilan milik perempuan itu yang tertinggal. Minggu lalu lipstik. Minggu sebelumnya anting. Lagi pula siapa yang menyuruh buru-buru pulang hingga lupa barang sendiri.
Tapi dia terlampau gengsi untuk mengatakannya. Bilang kalau tidak berdosa menginap dua hari, tiga hari, atau selamanya silakan. Indira selalu buru-buru pulang. Seolah tinggal lebih lama membuat pesawat yang ditumpanginya akan berubah jadi labu.
Kegiatan bersih-bersihnya terinterupsi. Panjang umur. Nama si Gigi Kelinci muncul di layar. Arsad sengaja menunggu dering kesekian dan baru mengangkatnya.
"Apa?"
"Kamu lagi apa?"
"Haruskah aku lapor semua kegiatanku ke kamu?" Kenyataannya, Arsad sedang bergelung dengan seprai. Barusan dia menggerutu sendiri karena salah memasang, terbalik. Atau memang dia saja yang tidak sabaran. Dulu dia terbiasa mengurus kamar sendiri, tapi ternyata urusan sepele memasang seprai masih menjadi PR.
"Boleh."
Arsad mendengar kekehan merdu itu tanpa menimpali lagi. Lalu Indira berdeham, terdengar akan bicara serius. Arsad kadang tidak suka Indira versi ini. Soalnya tidak tertebak.
"Ar, setelah apa yang kita lalui, menurut kamu kita akan berakhir seperti apa?"
"Maksud kamu?"
"Apakah kita akan saling kehilangan?"
"Kita nggak bisa saling kehilangan. Kita sudah kehilangan banyak. Apa lagi yang mau Tuhan ambil dari kita?"
"Aku harus apa? Aku kangen kamu, pengin lihat kamu setiap hari."
Arsad mengerti, lelah yang tersirat di mata Indira setiap datang ke sini. Tapi dia belum bertanya. Belum siap melihat Indira menangis di depannya lagi. Terlalu banyak belum siap di saat kondisinya rapuh seperti ini.
"Tinggalin semuanya, Ndi. Hidup sama aku di sini." Di saat dia yakin, Indira tidak akan mengangguk. Istrinya punya dua urusan di sana. Sekalipun ingin, sekalipun bisa, Indira sulit mengambil keputusan untuk memilihnya.
Indira terdiam di ujung telepon. Kemudian bicara, "Bisakah kamu yang datang ke aku?"
Kini Arsad yang bungkam.
"Kamu nggak harus jawab sekarang. Aku nggak minta kamu datang sekarang, besok atau minggu depan. Hanya saat kamu siap aja."
"Kamu nggak perlu datang lagi minggu ini kalau kamu lelah." Dan hati kecilnya mendadak bising, dipenuhi suara-suara protes.
Bagaimana bisa kamu malah melarangnya datang?! Tolol.
"Kita sama-sama lelah. Nggak usah ketemu dulu."
Goblok!
"Aku datang, mungkin jam tujuh atau delapan seperti biasa. Kamu masak apa? Udah belajar baking belum?"
"Belum. Emang kamu mau kue apa?"
"Bukan gitu, cuma tanya sih. Ngomong-ngomong, kamu pengin dibawain apa dari sini?"
"Cukup kamu aja." Lirih sekali. Nyaris tidak terdengar bahkan oleh diri sendiri.
"Apa? Abel sama Lila?"
Arsad memutar bola mata. Meski tidak lihat, dia yakin Indira tahu dirinya kesal. Terbukti dengan tawa renyah sedetik kemudian yang berderai.
"Oke, oke, aku dengar. Ditunggu ya, Pak Arsad, istrinya pasti datang."
***
"Kok kayaknya kalian jauhan malah makin romantis." Abel harus menahan geli sepanjang mendengar Indira bertelepon ria dengan suami tercinta. Bulu kuduknya sampai meremang mendengar perempuan itu haha-hihi dan senyumnya lebar sekali. Mungkin ini salah satu ciri cemburu yang dialaminya.
Sebulanan ini Abel menjadi saksi hidup bagaimana Indira jungkir balik. Seperti punya kepribadian banyak. Abel lama-lama hapal dengan pola hidup Indira belakangan. Seperti sekarang, Sabtu selalu ceria dari pagi. Seolah tadi malam habis menaklukan negara api.
Abel paham betul alasannya. Ya apa lagi kalau bukan tiba waktunya untuk menyambangi suami yang mendadak ngumpet. Itu suami apa babi ngepet yang dikejar-kejar warga?
Sabtu siang, biasanya Indira menemuinya. Mengajak ngopi sambil ngobrol ringan di lantai dua. Kadang mengomentari kehidupan gang kecil di belakang bangunan. Kali ini men-dubbing anak kecil yang berebut mainan. Dan saat Indira tertawa, Abel kebat-kebit. Tapi terpesonanya tidak bertahan lama. Bayangan Mama membawa golok membubarkan imajinasinya.
"Mbak tahu aku suka sama Mbak?"
"Tahu."
Abel perlu pegangan ke meja saat hampir terjengkang dari kursi. Mengusap keringat kecil di leher belakang.
"Sejelas itu ya?"
"Sejelas itu. Kayaknya kita pernah bahas ini?"
"Oh ya? Aku lupa. Kalau sama Bang Ar udah sih."
"Apa enaknya suka sama milik orang lain?"
"Nggak enak. Cuma bisa dipandangi. Kalau ada pawangnya, suka dipelototin padahal aku cuma diem dan bernapas. Kayaknya aku bisa mati di tangan Bang Ar sewaktu-waktu."
Indira menyesap kopinya. Menahan tawa kalau tidak ingin menyembur Abel. Ya, dia ingat pernah menyinggung ini sebelumnya. Saat itu hanya sebagai bahan candaan dan mereka tertawakan bersama. Kali ini mungkin Abel ingin bicara serius?
"Jadi, apa kalian sudah akur dan membaik?"
Tidak sepertinya. Abel justru bertanya tentang hidupnya yang angin-anginan sebulan terakhir. "Kami akur. Nggak ada masalah."
"Tuhkan, masih aja ditutupin. Capek ah dijadiin keset." Abel berlagak berdiri dan meninggalkan meja. Ngambeknya setengah serius.
Indira menahan ujung kemeja Abel, menariknya agar duduk lagi. "Bukan keset. Kamu tempat aman buat temen duduk sama bicara. Kamu temen yang superbaik, superlucu."
"Oke. Temen duduk." Dan untuk pujian yang berhasil membuatnya bersorak di dalam hati.
Indira menggigit bibir, berpikir sebentar, memilah mana yang mesti Abel dengar. Atau mungkin semuanya sekalian. Lantas dia membiarkan cerita mengalir apa adanya. Sedikit lompat-lompat, tapi dia melihat Abel tampak paham. Terlihat dari gestur berupa anggukan atau gumaman kecil yang lelaki itu tunjukkan penuh empati. Meski setelahnya Abel lebih banyak tertegun.
Dia menganggap Abel seperti keluarga, seperti adik lelaki yang ada kapan pun dia butuh. Dan suatu hari, dia ingin membalas hal yang sama. Kemudian merasa tidak adil karena dalam banyak kesempatan Abel terlihat bingung dan tidak mendapat penjelasan apa-apa darinya.
Kali ini, Indira menghabiskan banyak waktu di kafe lantai dua itu. Bersama Abel yang sesekali menunduk atau membuang muka ke arah lain, tanpa bicara menyeka mata dengan lengan.
Indira mengusap punggung Abel. Orangnya belum bicara apa-apa. Masih membuang muka, enggan menatapnya. Selama beberapa saat mereka diselimuti keheningan. Dua orang yang sama-sama cerewet kadang tidak boleh bicara sesuatu yang serius. Atau mereka akan kelewat serius.
"Aku pulang sekarang. Mesti ke rumah Ibu dulu ambil baju. Takut macet."
"Boleh ikut?"
Menelengkan kepala sambil mengerling. "Ke rumah Ibu?"
Abel berdecak. "Surabaya dong. Siapa tahu butuh badut tambahan."
"Nggak perlu ditanya, dia nggak suka kamu ikut."
Abel tertawa maklum, terbatuk dan mengangguk. "Apa pun yang udah dia lalui, dia tetap Bang Arsad yang begitu."
Indira mengangguk. "Dia nggak seburuk yang orang lihat. Sesekali mungkin dia nggak dewasa, nggak bijak, salah ambil keputusan. Karena dia hanya manusia biasa. Aku bukan menikahi lelaki yang sempurna, Bel. Dia juga memilih istri yang hidupnya berantakan, di saat dia bisa memilih untuk nggak datang ke aku. Di keadaan tertentu, kami nggak selalu bisa menguatkan. Kami akan egois, keras kepala. Itu wajar, kan? Kami cuma manusia."
"Tapi ini yang Mbak lakukan, bolak-balik Surabaya, sedang menguatkan dia, kan?"
Indira tersenyum tipis. Dirinya terbaca.
"Kenapa cuma nginep sehari?"
"Aku mau lihat seberapa banyak dia butuh aku, Bel. Aku pengin yakinin dia, kalau aku nggak ninggalin dia di kondisi yang katanya dia mau sendiri dulu. Kalaupun aku balik ke sini, banyak ngabisin waktu di sini, aku tetap nemuin dia."
"Udah kelihatan?"
Mengangguk-angguk dengan senyum simpul. "Hm, sedikit kelihatan."
Abel menyimpulkan, terlihat tulus. "Pada akhirnya kalian milih buat saling menguatkan. Pasti nggak mau saling ninggalin. Kalian ... setelah semua ini, kalian pantas bahagia."
Indira memberi satu kedipan mata. "Jadi, apa kamu masih suka sama aku, Bel?"
Gelengan Abel terlihat begitu yakin. "Makin suka."
Tangan Indira ringan mengacak rambut Abel. "Harusnya aku sembur kopi dari tadi."
Sore yang tenang. Indira kembali merasa lega. Perlahan dia mulai percaya orang lain selain Arsad. Satu langkah yang mudah bagi orang lain, tapi tidak bagi Indira. Membuka lapis demi lapis kerumitan hidupnya tanpa dihakimi.
***
Rumah Ibu gelap gulita. Indira memasuki halaman sedikit bingung. Taksi menunggu karena dia hanya sebentar. Ketukan di pintu tidak segera mendapat sahutan. Indira mengintip di jendela, lengang. Ibu mungkin sedang keluar dengan Bi Nur.
Indira duduk di kursi teras. Menelepon Bi Nur, bertanya mungkin kunci rumah ditinggal di suatu tempat. Panggilannya tidak diangkat. Indira ganti mengirim pesan. Jika kunci dibawa dan mereka pulangnya masih lama, Indira langsung ke bandara saja. Meski tidak bawa baju ganti.
Pesan itu hampir terkirim. Lalu sebuah pesan lain datang menyela. Indira membukanya lebih dulu, tanpa nama pengirim. Sederet nomor asing. Tapi Indira tidak perlu berpikir keras untuk mengenalinya. Untuk menyimpulkan apa yang terjadi.
Sebuah video. Dan satu alamat di bawahnya. Dan sebuah pertanyaan apakah Indira mau datang dan mengakhiri semuanya.
Tangan yang gemetar membuat ponsel terlepas dari genggaman dan meluncur. Indira merosot ke lantai. Di layar masih terputar wajah Ibu yang kesakitan. Samar terdengar rintihan yang selama ini tidak pernah dia dengar. Atau mungkin pernah.
Dia tergugu beberapa saat di teras yang temaram. Dinginnya lantai menusuk telapak tangan yang dia gunakan untuk menopang tubuh. Kebingungan memeluknya erat. Napasnya tercekat. Pikiran-pikiran buruk berputar di kepala. Ketakutan menyergapnya dari segala arah.
Layar ponsel nyaris redup kalau saja pesan lain, dari orang berbeda tidak masuk. Melihatnya sekilas. Membuat Indira tersadar, tertunduk kian dan menjerit kencang di dalam hati.
Sudah take off?
Indira bergeming.
Kamu ada kerjaan dulu?
Kamu tetap datang kan?
Kedua tangannya di lantai mengepal.
Indira menyambar benda pipih itu untuk dibawa bangkit bersama tubuhnya. Berpikir tenang meski sulit dilakukan. Langkahnya sedikit goyah menuju gerbang.
Dia kemarin ada di posisi ini. Tidak sulit untuk memilih, kan? Dia hanya perlu melakukannya sekali lagi. Tidak apa-apa. Tidak akan terjadi apa-apa.
***
Arsad melihat jam dinding untuk yang kedua kali. Pukul delapan malam. Dia seharusnya sudah dengar suara taksi berhenti di jalan depan, dan butuh beberapa detik bagi Indira mengetuk pintunya. Lalu dia akan pasang muka sok nggak peduli seperti minggu-minggu lalu.
Mungkin pesawatnya delay. Cuaca memburuk akhir-akhir ini. Tapi Arsad merasa tenang. Dia sudah menyuruh tukang untuk membetulkan genteng sejak hari itu. Malam ini kalaupun hujan badai, Indira tetap nyaman ada di rumah ini.
Pukul sembilan. Arsad semakin sering melirik jam. Dia sampai mengecek apakah jam tua itu berfungsi sebagaimana mestinya. Jangan-jangan jarumnya berputar terlalu cepat. Mungkin sekarang masih jam delapan.
Kemudian jam sepuluh. Arsad mengecek waktu dari layar ponsel sambil memukul-mukul ringan pahanya yang kesemutan. Jam dindingnya tidak bermasalah. Dirinya-lah yang bermasalah sekarang. Muncul gelisah dan pikiran-pikiran lainnya. Apalagi pesannya hanya dibaca Indira.
Atau mau membuat kejutan, eh? Bisa jadi Indira sudah mendarat sejak tadi. Sengaja tidak buru-buru ke sini biar Arsad menghubunginya.
Pukul sepuluh lewat lima, Arsad terperanjat dari kursi ruang tamu. Akhirnya suara mesin mobil terdengar. Dia siap mengomeli Indira karena datang terlalu malam. Membuatnya terbenam di kursi ruang tamu dan lehernya pegal.
Begitu pintu terbuka, mendapati siapa yang turun dari taksi, Arsad seketika mencelos hebat.
Remasan tangannya di kenop pintu mengencang. Langit mengerjap memedihkan mata. Gemuruhnya terdengar bersahutan. Sebentar lagi hujan. Tidak sebentar lagi, karena sekarang gerimis mulai turun.
Dia masih bergeming di depan pintu. Kakinya terpaku di tempat. Hatinya melarang untuk berbalik, berlari masuk mengambil payung agar seseorang yang masih berdiri di halaman itu tidak kuyup.
Waktu berlalu begitu saja. Gerimis segera membesar. Angin yang semula tenang bertiup ribut, susul-menyusul. Langit kian kelam walau sesekali akan benderang.
Arsad tenggelam bersama sakit hatinya, yang kemudian menjalar cepat ke seluruh tubuh. Badai juga sedang mengamuk di dalam sana. Sesuatu yang lebih dari sekadar benci mengalir dalam darahnya. Sesuatu yang sakitnya membuat kebas di mana-mana. Hatinya perlahan mati rasa.
Di antara hujan yang jatuh berdebam, sapuan angin yang membuat dahan-dahan berderak, Arsad melihat tantenya basah kuyup berlutut di tanah.
***
Sebenernya chapter ini udah kelar tadi malem, nulis sampe jam 12. Mau lgsg post tapi dah kemaleman. Mau post pagi tapi cerita sedih tuh sedep kalo malem. Meski sebagian dari kalian bacanya pagi atau siang sih wkwkwk
Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan. Mohon maaf bila ada kata dan perbuatanku yg tidak berkenan di hati kalian🙏
Selasa/12.03.2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top