Chapter 43


Di tengah perjalanan, ponselnya berdering. Satu panggilan yang bisa dia duga akan datang setelah mendapati dirinya tidak di rumah, atau mendengar dari Bi Nur tentang Ibu yang menghilang dan dia pergi mencari. Dan seperti yang sudah-sudah, lelaki itu akan mengusahakan untuk datang, untuk terlibat. Jenis cinta yang baru Indira kenali belum lama.

Satu panggilan itu hanya terus dia pandangi tanpa menekan ikon merah atau hijau, hingga nama Arsad menghilang dan layar berubah gelap.

Tidak datang panggilan kedua. Indira berniat menyimpan kembali ponsel ke dalam tas. Lalu satu pesan pendek, dari orang yang berbeda, membuat tangannya terhenti. Dari seseorang yang tidak dia duga berani menghubunginya.

Taksi bergabung di lampu merah bersamaan dengan gerimis yang perlahan turun. Halte-halte dan tempat berteduh segera penuh. Indira membaca pesan tersebut. Tangannya seketika terkulai di pangkuan.

Satu kesadaran menyentaknya cepat. "Putar balik sekarang, Pak!"

Sopir taksi yang terkejut. "Eh? Sebentar lagi sampai, Neng."

Tangannya meremas ponsel kencang. "Ada yang lebih butuh saya."

***

"Kamu mau mampir bentar? Tante titip makanan buat kalian angetin nanti. Bukan Tante mau cerewetin kalian yang selalu pesen makan dari luar, boroslah apalah. Itu hak kalian. Kebetulan—"

"Iya." Arsad turun tanpa perlu dibujuk,  sebelum omongan tantenya semakin panjang.

Dia mengikuti langkah tantenya. Tebersit rasa sedih saat menyadari kalau tubuh tantenya mengecil setiap harinya. Diam-diam berjanji untuk berkunjung lebih sering. Atau mengantar ke mana pun. Dia jarang membuat tantenya bahagia, lebih sering membuat cemas.

Arsad menunggu dengan sabar tantenya mengambil makanan beku dari freezer. Tangannya cekatan mengambil ini-itu sambil memberi instruksi singkat tentang berapa lama lauk itu bertahan, dan cara menyimpannya.

"Denger kan, Ar?"

"Indi pasti udah tahu."

Elma mendadak terpaku di depan kulkas yang sudah menutup. Arsad segera meninggalkan kursi, mendekat, mengambil tumpukan wadah lauk dari tangan tantenya. Dia letakkan di meja dan kembali untuk meraih kedua tangan tantenya. Memijat dengan gerakan hati-hati.

Dia pikir tantenya kecapekan ketika di panti asuhan tadi.

"Tante banyak pikiran akhir-akhir ini?"

"Pikiran apa." Elma menarik tangannya, berbalik, membuat kesibukan lain. Berlagak lupa menaruh kantong plastik, hingga dia sibuk mencari di bukan tempatnya. Arsad tak luput mengamati gelagat tantenya yang berbeda. Tapi dia membiarkan. Semakin ditanya hanya akan semakin menghindar.

Yang sebenarnya mengganggu, bukan hanya sekali ini dia melihat tantenya bersikap seperti ini. Tidak ingat persisnya berapa kali. Dia selalu tanya pertanyaan serupa dan tidak mendapat jawaban. Mungkin sesuatu yang tidak ingin diceritakan. Mungkin sesuatu yang dirinya tidak perlu tahu.

Arsad diantar lagi hingga depan. "Sebelum aku pulang, mungkin Tante mau aku peluk sebentar?"

Elma menggeleng, jemarinya membuat gerakan mengusir. Arsad mencebikkan bibir, seolah kecewa karena pelukannya ditolak. Jarang dia menawari begini. Padahal dia selalu pasrah setiap kali dipeluk oleh tantenya dan diperlakukan seperti anak kecil.

Arsad melambaikan tangan, melempar senyum, melaju pergi. Beberapa saat baru ingat jika perlu mengecek balasan pesan dari istrinya. Ingin dijemput atau tidak. Itu pertanyaan yang dia kirim saat perjalanan ke panti tadi. Saat meraba saku kemeja dan celana, dia tidak menemukan benda pipih itu.

Memutar arah, Arsad kembali ke rumah tantenya. Ingat kalau dia sempat menaruh ponsel di meja makan. Arsad menghentikan mobil di luar gerbang, melihat mobil om-nya sudah terparkir di halaman.

Langkahnya semakin dekat ketika mendengar keributan kecil. Mungkin dari suara televisi, sinetron kesukaan tantenya.

Tiba di teras, yang tadinya terburu kemudian memelankan langkah. Dia keliru.

"AKU BILANG LUPAKAN! Kita sudah sepakat untuk melupakan itu, Elma! Kenapa sekarang begini lagi?!"

Arsad berhenti di depan pintu yang tidak tertutup rapat.

"I-indira tahu semuanya."

Terdengar umpatan. "Lalu kamu bilang apa ke dia?"

"Aku—"

"Harusnya kamu ancam dia untuk tutup mulut atau apa pun! Kalau Arsad sampai tahu, bukan aku, tapi kamu yang paling rugi!"

"Aku manusia, bukan iblis kayak kamu!"

"Kamu bilang aku iblis? Lalu kamu apa? Malaikat yang melindungi keponakan-keponakanmu? Kasihan sekali mereka, selama ini menganggap kamu tante baik hati. Kamu sama busuknya."

"Kamu yang merusak Nadia!"

"Aku bilang nggak sengaja!"

Arsad siap menerobos masuk saat kalimat berikutnya meluncur. Seperti luapan yang dipendam sejak lama. Membuatnya tertegun.

"Nadia meninggal karena kamu! Kalau kamu nggak menghamili dia, dia nggak akan nekat pergi untuk menggugurkan anaknya! Dia nggak akan kecelakaan hari itu! Dia masih akan di sini! Kamu pikir aku nggak menyesali sikap bodohku tiga tahun lalu? Setiap hari aku menyesal, Tama! Aku sudah membela suami bejat! Aku mengorbankan keponakan-keponakanku demi melindungi orang yang salah!"

"Nggak ada yang maksa kamu, kan? Itu keputusanmu sendiri. Aku takjub bagaimana kamu bisa memeluk Arsad tanpa beban. Bahkan menganggap dia anakmu sendiri. Kamu berusaha jadi malaikat buat dia, padahal kamu sama saja denganku!"

Entah bagaimana Arsad masih punya daya untuk melanjutkan niatnya. Tapi dia membuka pintu, melangkah masuk, menyela keributan dan dua pasang mata itu memandangnya terkejut.

Arsad hanya menatap tajam ke satu orang meskipun dia dengar tantenya memanggil namanya, atau sebuah cekalan di lengannya yang tidak dia hiraukan. Juga bujukan-bujukan dengan suara gemetar takut.

"Ar, b-biar Tante jelaskan..."

"Tahan emosi kamu, Ar."

"Kami ...."

Terlambat.

Arsad sudah tiba di depan orang yang menghancurkan hidupnya. Sorotnya kian menggelap. Kedua tangannya yang terkepal di sisi tubuh hanya menunggu sekian detik untuk terangkat. Menyasar ke satu titik wajah dengan kekuatan yang tidak pernah Arsad sendiri bayangkan. Sesuatu meledak di hatinya dan berhamburan tanpa bisa dia tahan.

Tama tersungkur di lantai. Tidak punya kesempatan untuk menghalau kepalan berikutnya yang menghantam pelipis. Gerakannya terkunci. Pukulan membabi buta itu harus Tama terima. Perih dan bau anyir darah segera menyeruak. Tidak ada yang bisa menghentikan amukan Arsad.

Elma membeku di tempatnya. Kelu melihat bagaimana anak lelaki yang begitu dia sayangi hancur berantakan di depan matanya. Arsad-nya yang malang. Arsad-nya yang telah dia sakiti sedemikian rupa.

Arsad bangkit, menarik kepalan tangannya yang kebas. Dia melewati begitu saja wanita paruh baya yang kini terduduk kosong di lantai. Seolah tidak terjadi apa-apa, dia mengambil ponselnya yang masih tergeletak di meja makan. Lalu tanpa menoleh memaksa kakinya segera enyah. Rumah ini, semua orang di sini, memuakkan untuknya.

Tangannya yang gemetar urung menyalakan mesin mobil. Masih dengan gemetar, dia coba menghubungi istrinya. Nada tunggu terus berbunyi sementara siksaan di dadanya semakin menyergap dan mencekik. Dia hanya ingin dengar suara istrinya agar memutus kalimat-kalimat yang terngiang dan membuat kepalanya ingin pecah.

Indira tidak mengangkatnya. Dia melempar ponsel ke bangku samping. Memukul stir beberapa kali sambil mengumpat-umpat. Menyalakan mesin mobil dan pergi sejauh-jauhnya dari rumah itu.

Hatinya perlahan mati. Tangisnya tumpah mengingat semuanya. Mengingat Nadia. Mengingat dirinya yang tolol tidak tahu apa-apa. Mengingat kalau hidup tidak pernah baik padanya.

***

"Berhenti di situ, Ndi."

Indira mengabaikan peringatan itu. Dia berlari, menghambur pada Arsad yang duduk menyandar di dinding. Dia peluk erat-erat tubuh lelah itu. Tangis cemas Indira terus berjatuhan, tapi dirinya sibuk memastikan Arsad tidak melukai dirinya sendiri. Mengecek seluruh tubuh.

Kemudian dia menemukan buku-buku tangan Arsad terluka. Indira menelan pertanyaan, merangkai sendiri apa yang sudah terjadi. Jejak luka masih membayangi mata Arsad begitu jelas. Siapa yang tidak hancur. Siapa yang akan bertahan dalam situasi ini.

Indira tergugu, tidak lekas berdiri untuk mengambil kotak obat. Arsad menarik diri dari genggamamnya, menyembunyikan luka-luka itu dari Indira.

Tanpa memaksa, Indira membiarkan luka itu disembunyikan. Dia ganti merapikan kerah kemeja yang telah lusuh, mengusap-usap sebelah bahu suaminya.

Arsad menyingkirkan tangan Indira dari bahunya. Terdengar dingin. "Kamu tahu sejak kapan?"

"Belum lama."

"Kamu suka lihatnya?"

Indira mengernyit bingung.

"Kamu puas lihat semua ketololanku, Ndi? Aku ngejar kamu buat balas dendam. Lalu ternyata sakit itu datang dari keluargaku sendiri. Kamu pasti puas saat tahu lebih dulu."

Indira memegang lengan suaminya. Menggeleng pelan. "Nggak ada yang ingin lihat kamu begini. Aku tahu kamu lagi marah, tapi aku sama sekali nggak..."

"Aku nggak kaget kalau kamu ketawa sekarang."

"Ar...?"

"Semua orang ternyata sama."

"Aku bukan Tante Elma!" Suaranya sontak meninggi dan dia sesali di detik berikutnya. Kilat luka semakin bertambah di sepasang mata yang redup itu.

Arsad tersenyum getir. "Mau berapa lama lagi kamu mau lepas topengmu? Nggak sekarang biar sekalian?"

Indira memilih diam, duduk tak jauh dari suaminya. Lengang. Dia coba mengerti, memaklumi, Arsad hanya terlalu marah. Hingga apa yang keluar dari mulutnya hanya hal-hal yang buruk.

Namun, perasaan itu muncul tiba-tiba. Dia merasa gagal. Arsad selalu bisa membuatnya tenang. Sementara dia tidak cukup. Kehadirannya di sini tidak cukup membantu.

Indira perlahan berdiri. Melangkah keluar kamar. Mengambil segelas air dari dispenser, secara impulsif menghubungi nomor Laras dan memintanya untuk datang dengan menceritakan apa yang terjadi secara singkat.

Yang dia lalukan, tidak terlalu buru-buru, kan? Dia mengundang perempuan lain ke rumah ini untuk menenangkan dan bicara dengan suaminya. Tapi dia tidak bisa melihat Arsad seperti itu lebih lama lagi.

Laras datang dengan raut cemas yang kentara. Indira mengikuti langkah Laras yang lebar tapi dirinya hanya terhenti di depan pintu kamar. Laras seperti kakak bagi Arsad, dan mungkin lebih dipercayai lebih dari siapa pun saat ini. Jadi Indira menutup pintu dari luar. Menunggu di tempat semula.

Air di gelasnya masih utuh. Tangannya bergerak gusar mengusap wajah dan menyibak rambut beberapa kali. Laras masih di dalam kamar, entah apa yang mereka bicarakan.

Setengah jam kemudian Laras muncul dan langsung pamit pulang. Menelan perasaan iri dan sebagainya, Indira menghentikan Laras di teras. Sesaat menggigit bibir, menggosok telapak tangan, tampak bingung harus bertanya dari mana.

"Kami nggak ngobrol banyak. Dia cuma bilang pengin pulang ke Surabaya." Laras yang memulai.

Indira mengangguk. Seperti sudah bisa menduganya. Mengingat rumah ini adalah pemberian Tante Elma.

"Dia pengin pulang sendirian."

Yang ini pun sudah Indira antisipasi. Selama duduk menunggu, dia banyak membuat kemungkinan di kepalanya. Dia pun siap mendengar kalau-kalau Arsad butuh waktu sendiri. Tapi siapa yang sedang dia bohongi? Bahkan sekadar menemani dia tidak bisa.

"Aku nggak nyangka akan begini, Ndi." Laras kasihan melihat Arsad, melihat Indira. Tidak perlu menemui Arsad untuk tahu seterluka apa. Dia bisa melihatnya dari mata Indira.

Tidak banyak yang bisa Indira katakan. Dia sendiri masih tidak ingin memercayai apa pun. Tapi inilah yang terjadi. Rasa sakit itu seperti ikut tertelan olehnya. Bahkan di saat dia tahu Arsad lebih percaya Laras. Dia tidak peduli apa pun selain perasaan Arsad saat ini.

"Arsad sempat bilang sesuatu yang bikin kamu sakit hati?"

Indira menggeleng. Laras tersenyum tipis, tahu kalau Indira berbohong.

"Arsad tanya kamu di mana."

Entah harus merasa senang atau sedih. "Aku nggak ninggalin dia. Tapi kalau dia mau pergi sebentar, sendirian buat nenangin diri, aku nggak bisa larang, kan? Aku mungkin nggak sanggup bertahan kalau di posisi dia. Apa pun yang menurut dia pilihan terbaik, aku dukung."

Laras memeluk Indira sebelum pulang. Mengusap punggungnya.

"Maaf tanya ini. Mbak tadi peluk Arsad kayak gini?"

"Enggak. Kalau kamu nggak bisa, apalagi aku."

"Tapi Mbak bisa bicara sama dia. Seperti dugaanku."

Laras melepas pelukan. "Arsad belum bisa bicara ke kamu karena dia terlalu sayang kamu."

Atau kemungkinan lain? Seperti...

"Dia takut aku kayak Tante Elma." Indira menyeka pipi, tersenyum sedih. "Tapi aku nggak bisa nyalahin dia, kan? Semuanya kacau."

"Kamu nggak akan nyakitin dia. Aku percaya itu, Ndi."

***

Kayaknya Home bakal selesai di chapter 45/46🙌

Gak bosen2nya aku minta maaf, updateku emg suka lama🥺 Makasih bgt pengertiannya🙏

Kayak biasaaa. Yg masih kurang, kuy nyebrang ke Karyakarsa. Isinya Arsad pov yaa😭🧎‍♀️


Sabtu/24.02.2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top