Chapter 42
“Bagaimana Tante akan menjelaskan ke dia?”
“Tante tahu dari awal,”
“Bagaimana Tante bisa melihat Arsad setiap hari? Tersenyum dan memeluk dia seolah tidak pernah terjadi apa-apa?”
“Bagaimana cara dia melanjutkan hidup kalau tahu ....”
“Biarkan tetap seperti ini, Ndi. Jangan biarkan dia tahu, kalau kamu sendiri tidak bisa membayangkan sehancur apa dia.”
“Kamu nggak punya pilihan, Ndi.”
Indira tersentak bangun. Keringat membanjiri wajah. Napasnya memburu. Dadanya terasa sesak. Setiap tarikan napas hanya menimbulkan nyeri. Indira memejamkan mata. Mengusir bayangan mimpinya barusan serta mengatur napas.
Di sebelahnya, Arsad ikut terbangun. Mengerjap dan bertanya serak. "Kamu mimpi buruk?"
Indira membuka mata, mengangguk. Percakapan tempo hari dengan Tante Elma kembali muncul dan berubah menjadi mimpi buruk. Padahal dia berusaha melupakannya. Setidaknya untuk sementara. Untuk saat ini dia hanya ingin benar-benar hidup bersama Arsad. Menikmati setiap momen tanpa dihantui oleh ketakutan. Rupanya Indira keliru.
Ketakutan itu datang dari banyak tempat. Bahkan dari orang-orang yang selama ini mereka sangka baik. Mereka hormati dan hargai.
Arsad mengambil tisu, mengusap keringat Indira. "Kayak apa mimpinya?"
Perlu sedikit waktu untuk memberi jawaban. "Aku lagi di kebun bunga luas banget. Cuma sendirian. Pas asyik metik bunga-bunga, tiba-tiba muncul kadal raksasa dari semak terus ngejar aku."
"Komodo?"
"Kadal raksasa." Sebenarnya terserah. Toh, Indira cuma mengarang.
"Terus aku di mana? Nggak muncul buat nolong kamu? Ke mana aku?"
"Kamu yang jadi komodonya."
Arsad tertawa kecil.
Agak menjengkelkan menjadikan mimpi buruknya sebagai lelucon, tapi Indira nyengir. Dia tidak punya pilihan seperti yang dikatakan Tante Elma.
Arsad bergeser dan mendekapnya saat dia menyibak selimut, hendak beranjak dari kasur.
"Jangan turun. Aku takut kamu dikejar komodo," katanya.
Indira menangkup tangan yang melingkar di perutnya. Menikmati keterdiaman masing-masing. Napasnya perlahan normal. Sesaknya berkurang. Tapi retakan di hatinya bertambah. Bayangan bagaimana Arsad hancur seperti menggantung di depan mata.
Hanya perkara waktu, bukan? Dia tidak tahu sampai kapan bisa menyembunyikannya.
Arsad tahu istrinya berbohong. Tapi dia ingin memercayai mimpi buruk istrinya. Mimpi buruknya memang sungguhan, terlepas yang diceritakan padanya berbeda. Dia baru melepas dekapan saat debar jantung Indira berangsur tenang. Kemudian membiarkannya meninggalkan kasur.
Kesibukan pagi dimulai. Kabar baiknya, Indira memasak sarapan untuknya, juga menyisihkan makanan untuk dijadikan bekal. Arsad sengaja mendekat ke kulkas sembari mengintip jumlah kotak bekal yang disiapkan. Bersiap membuang kalau sampai terlihat dua atau tiga kotak bekal. Karena dijamin salah satunya milik Jarjit. Tidak boleh dibiarkan.
Indira mengerti gestur suaminya, jadi sekalian. "Abel kemarin makan nasi kuning buatanku."
"Makasih infonya." Sudah. Lalu memilih duduk di meja makan dengan muka bete.
"Stafnya juga kok. Nggak cuma Abel."
"Nggak usah ngehibur. Lagian nggak nanya dari awal."
"Mau taburan rumput laut?"
"Mau."
Indira terkekeh. Rutinitas yang akhirnya terjadi di rumah ini, sarapan bersama. Karena duduknya menghadap ke arah kolam renang, Arsad jadi memperhatikan bunga di meja dekat pintu. Sepertinya baru dipasang Indira pagi ini ke dalam vas. Anyelir kuning. Dia ingat kalau bunga ini yang paling sering nangkring di rumah ini. Punya banyak warna.
"Anyelir yang warna ini artinya apa?"
"Kesedihan."
"Kenapa bukan warna lain?"
Indira menoleh, ikut menatap vas bunga di belakangnya. Lalu menghadap suaminya lagi, mengedikkan bahu ringan. "Hanya bunga, Ar. Nggak perlu dipikir terlalu serius. Hidup kita nggak ditentuin dari bunga yang dipasang di rumah, kan?"
Ah, benar juga. Hanya bunga. Lagi pula mereka sedang baik-baik saja.
***
Indira tergesa turun, berpesan agar sopir taksi menunggu. Melewati gerbang dengan langkah lebar dan terburu. Menemukan Bi Nur menunggu cemas di teras sambil memegang dua ponsel. Menatap kedatangannya dengan mata berkaca.
Ibu pergi dari rumah tanpa sepengetahuan Bi Nur. Tetangga yang melihat bilang jika Ibu naik sebuah taksi satu jam yang lalu. Reaksi Indira tidak berlebihan, dia punya alasan kenapa sampai harus meninggalkan backdrop yang dia kerjakan dan menyerahkan sisanya untuk diselesaikan karyawannya.
Tidak biasanya Ibu begini. Indira akan tenang jika Ibu tetap di rumah. Atau jika pergi, harus ditemani Bi Nur.
"HP Ibu ditinggal di kamar, Mbak."
Indira menerima ponsel yang diulurkan padanya. Mencoba tetap tenang. "Aku coba cari Ibu ke tempat yang aku tahu."
Bi Nur dengan wajah cemasnya, mengangguk. Berpesan untuk hati-hati. Indira berbalik dan taksi melaju ke salah satu TPU. Tempat jasad Ayah bersemayam. Tapi Ibu tidak ada di sana. Pemakaman tampak lengang sore itu.
Tanpa membuang waktu, Indira menuju rutan. Bertanya ke petugas tentang daftar kunjungan hari ini. Sayangnya nama Ibu juga tidak tertera di sana.
Indira ingat dengan teman-teman dekat Ibu yang dulu sering datang ke rumah. Mereka mengenal siapa Indira. Tapi berbeda dengan Ibu, mereka tetap ramah dan baik. Belakangan mereka tidak terlihat datang. Orang-orang berubah, kan? Dan Ibu semakin hari semakin kesepian.
Di rumah pertama, Ibu tidak ada. Di rumah teman berikutnya, dia berharap Ibu duduk di teras, bercengkerama dengan teman lama. Tidak ada. Ibu tidak ada di mana-mana. Indira mulai putus asa.
"Kita ke mana lagi, Mbak?"
Indira mengeluarkan ponsel Ibu dari dalam tas. Layarnya dalam keadaan terkunci. Coba memasukkan tanggal lahir Fadil dan layar berhasil terbuka. Kemudian wallpaper yang terpampang seketika menampar keras Indira. Tangan yang memegang ponsel itu lunglai dan jatuh ke pangkuan.
Foto bertiga. Fadil masih kecil dalam gendongan Ibu. Senyum Ibu cantik sekali, terlihat bahagia. Wajah Ayah lebih teduh dari yang pernah Indira ingat. Saat foto ini diambil, Indira belum ada. Lebih tepatnya belum tahu kalau bertahun-tahun kemudian dia akan dilahirkan lalu datang merusak keluarga ini.
Ini bukan kali pertama dia melihat foto keluarga Ibu. Di dinding rumah banyak tertempel bingkai foto, hanya diisi oleh tiga orang. Wajah Indira tidak ada di antara bingkai-bingkai itu. Awalnya sedih tapi dia bisa mengerti, bisa menerima.
"Mbak?"
Mengusap wajah gusar. "Sebentar, Pak."
Mengesampingkan perasaan emosionalnya, Indira membuka aplikasi chat. Menemukan pesan dari nomor tanpa nama di deretan paling atas. Matanya melebar saat membuka ruang chat. Pesan yang tidak hanya satu, melainkan banyak. Meski satu pun Ibu tidak membalasnya. Tapi Ibu membaca pesan-pesan ini. Tanpa sadar Indira menggenggam ponsel lebih erat dari yang seharusnya.
Dia tahu tujuan berikutnya. Akhirnya menyebutkan satu alamat. Tapi firasatnya buruk. Dengan gerakan lelah menyimpan ponsel Ibu, juga ponsel miliknya, ke dalam tas. Pikirannya lari ke mana-mana. Lalu muncul Arsad di antara kemelut. Tidak, dia tidak ingin menyeret Arsad terlalu jauh.
***
Arsad meninggalkan kantor lebih awal. Tante Elma mendadak ingin dijemput di panti asuhan. Tidak banyak tanya, dia hanya menurut. Barangkali istrinya juga ada di sana. Di kunjungan pertama Indira tampak senang. Bukan tidak mungkin kemarin mereka janjian datang ke sini.
Pukul lima sore. Halaman panti lengang. Anak-anak mungkin sedang mandi. Sedari mobilnya memasuki gerbang panti, dia bisa melihat tantenya duduk menunggu di halaman samping. Sendirian.
"Padahal Sabtu malam udah ketemu, masih kangen aja."
Elma mendongak, tersenyum dan mendecih. "Kamu pasti ngebut, kan? Takut tantemu hilang?"
Dia memang menyetir lebih cepat. "Indi di dalam, Tan?"
Senyumnya pudar. "Istrimu nggak ikut."
"Lalu, Tante ajak Laras?"
"Tante datang ke sini sendiri."
"Dalam rangka apa?"
"Cuma kangen anak-anak." Dia tidak bohong. Belakangan tidurnya tidak nyenyak. Kepalanya bising. Selera makannya hilang. Dia tahu penyebabnya apa tapi berusaha lari. Mungkin dengan bermain dengan anak-anak panti, sedikit lebih baik. Cukup untuk mengalihkan.
Kemudian secara impulsif dia membuat Arsad ada di sini. Sumber bahagia sekaligus sakitnya. Bukan anak ini yang jahat, tapi dirinya. Lalu suatu hari dirinya akan jadi sumber luka dan kecewa terbesar Arsad.
Arsad duduk di sebelah tantenya. Di undakan yang terbuat dari batu bata. Mereka tidak menghadap ke langit barat tapi merasakan sore yang perlahan beranjak petang. Samar terdengar celotehan anak-anak di bangunan belakangnya. Ditingkahi dengan kicau burung di pepohonan.
"Sebentar ya. Tante ingin di sini sebentar lagi."
Menyamankan duduknya, Arsad menikmati sore yang tenang karena bangunan panti jauh dari jalan utama. Ada satu pertanyaan yang mengganjalnya. "Istriku kemarin malam cerita apa ke Tante?"
"Indi belum cerita ke kamu?"
"Belum. Kayaknya malah enggak."
Elma terdiam, setengah melamun. Tentu saja Arsad belum tahu. Dia yakin Indira tidak semudah itu membeberkan semuanya ke Arsad. Atau jika sebaliknya, maka Arsad tidak akan sudi datang kemari. Tidak menatapnya lembut seperti sekarang. Yang ada hanya Arsad yang membencinya setengah mati.
"Aku boleh minta bocoran dikit? Aku janji Indi nggak akan tahu kalau aku tahu."
Elma tercekat dan menggeleng kaku. Tidak bisa. Entah hari ini, besok, lusa, dan hari-hari berikutnya. Elma merasa tidak pernah bisa mengakui semua dosanya di hadapan anak ini. Melihatnya hancur di depan mata. Semua karena dirinya yang tidak becus. Dirinya yang mencintai seseorang dengan buta.
"Nggak bisa ya? Ya udah." Masih melanjutkan. "Tapi aku lega, Indi bisa cerita sambil nangis, itu bikin dia lega."
Karena Arsad tidak bersama mereka dan hanya melihatnya dari kejauhan. Mengira kalau istrinya menangis karena akhirnya bisa bercerita. Tanpa tahu yang sebenarnya, bahwa Indira menangis karena tidak mendengar penyangkalan apa pun.
"Makasih, Tan. Indi punya sosok Ibu yang dia nggak punya."
Elma menoleh, tanpa mengatakan apa pun. Hanya tangannya yang terangkat untuk menyingkirkan daun kering yang jatuh di kepala Arsad. Merapikan anak rambut yang mencuat. Lalu pelan-pelan berubah menjadi usapan lembut. Kapan terakhir dia mengusap kepala anak ini? Mungkin sudah lama. Sebelum Indira datang. Saat Arsad menghadapi sedihnya sendirian. Atau saat-saat Arsad merindukan kakaknya.
"Tante sayang kamu, Ar."
"Aku lebih sayang Tante."
Sorot matanya dipenuhi kasih sayang sekaligus kegetiran. Apa yang sudah dia lakukan pada anak ini?
***
That "... aku janji Indi nggak akan tahu kalau aku tahu." 😭😭😭
Gak ada extended. Tapi misal mau baca paketan Home di Karyakarsa, masih ada voucher 10K 💃💃💃
Isi paketan Home: prekuel, 2 Arsad pov, 2 Indira pov
Kode voucher: Respati10k
Senin/12.02.2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top