Chapter 41
Abel dan staf kafe mendapat jatah nasi kuning. Indira selesai menata di dalam kotak makan susun, cukup untuk beberapa teman sel Fadil. Akhirnya berangkat diantar Abel karena anak itu tidak bosan menawari. Sebagai syaratnya Abel tidak boleh ikut turun dan menunggu saja di dalam mobil.
"Aku kayak selingkuhan. Diumpetin. Nggak bakal dikenalin ke keluarga."
"Tapi seneng?"
Mengernyit lucu. "Seneng."
Indira tergelak sambil melepas sabuk pengaman, menepuk lengan Abel dan turun membawa kotak susun. Sudah sengaja datang lebih siang, nyatanya tetap berpapasan dengan Ibu di selasar rutan. Tangan Ibu sibuk menyeka pipi. Wajah sedihnya berubah dingin saat melihat Indira. Ibu memilih cepat-cepat berlalu. Tidak ingin terjadi percakapan apa pun. Indira juga tidak berniat mencegah kepergian Ibu apalagi berusaha menghibur. Hal mustahil yang bisa dia lakukan adalah menghibur Ibu.
"Ketemu Ibu di depan?"
"Iya." Indira menyodorkan kotak susun yang dia bawa ke arah Fadil. "Aku bikin nasi kuning. Nggak seenak masakan Ibu. Semoga suka."
Fadil tersenyum. "Aku masih inget kalau masakan kamu juga enak. Pasti suka. Makasih, Ndi."
Sempat canggung. Indira sesaat ragu mengucapkan selamat. Tapi itu tujuannya datang ke sini. "Selamat ulang tahun, Bang. Sehat-sehat sampai keluar nanti. Ibu udah nungguin banget buat kumpul lagi di rumah."
"Saat itu tiba, semoga situasi kita lebih baik dan kamu bisa datang ke rumah tanpa beban lagi." Fadil menatap pintu, segera mengalihkan karena Indira berubah murung saat mendengar harapannya. "Kamu datang sendiri?"
"Sama temen. Dia nunggu di mobil."
"Buru-buru?"
"Nggak. Kenapa?" Mungkin Fadil ingin cerita sesuatu, yang tidak bisa dibagi ke Ibu karena tidak mau membuat Ibu makin sedih.
"Sejak terakhir kamu ke sini, aku berharap kamu datang lebih cepat. Semuanya baik-baik aja? Dugaanku benar, kamu bisa maafin Arsad tanpa harus datang ke sini, dengar apa yang aku punya. Satu sisi aku lega, Ndi. Kamu nggak berlarut-larut."
Indira mengernyit, tapi juga mengangguk. Bukan tidak terpikirkan untuk datang dan mendengarkan Fadil yang membujuknya agar memaafkan Arsad. Tapi dia ingin memaafkan karena dirinya sendiri merasa sanggup meneruskan hubungannya bersama Arsad.
"Aku nggak tahu sekarang waktunya tepat atau nggak. Tetap harus aku katakan, Ndi. Kalau aku kenapa-kenapa, seenggaknya kebenaran itu diketahui orang selain aku."
Duduk Indira mulai tak nyaman. Ini bukan tentang Fadil seperti yang dia sangka. Dia ingin pamit dan pergi dari ruang kunjungan. Tapi sebagian hatinya menyuruh tetap duduk.
Fadil berubah serius. Seperti hendak mengatakan sesuatu yang berat. Helaan napasnya juga sama beratnya.
Indira terbiasa dengan hal-hal buruk. Entah mendengar atau mengalaminya langsung. Apa yang akan dikatakan Fadil bisa jadi bukanlah apa-apa jika ini tentang Indira sendiri, tapi sayangnya, bukan tentang dirinya. Tidak bisakah dirinya saja? Apa pun, dia yakin bisa menghadapinya.
"Sesuatu yang buruk?" tanyanya gamang.
"Sangat buruk untuk Arsad."
Indira mencelos. Kedua tangannya yang gemetar saling menemukan dan meremas di bawah meja, di atas pangkuan. Mendengarkan setiap penuturan Fadil dengan hati yang perlahan patah, remuk, bergemuruh tak tenang. Terlihat tegar dari luar tapi genggaman tangannya semakin erat, seolah meremukkan tulang-tulangnya sendiri.
***
Rumah ini tidak lagi sama di matanya, terlebih di hatinya. Mengganjal tidak nyaman. Tapi demi melihat Arsad yang antusias mengajaknya datang, berkali-kali melempar senyum ke arahnya, Indira berusaha menelan gelisahnya. Sinyal apa pun yang tersirat di matanya semoga tidak terbaca. Semoga lenyap di balik senyum yang dipaksa.
Tante Elma menyambut dengan senyum lebar, setelah melihat keponakannya tidak seperti mayat hidup lagi. Pertanda baik, pikirnya. Lalu pelukan itu ganti menghampiri Indira. Yang berusaha dia terima dengan baik. Meski hatinya berkata lain.
Pelukan ini mengingatkannya saat pertama kali datang ke rumah ini. Sambutan hangat yang membuatnya iri ingin memiliki keluarga yang sama. Akhirnya terwujud dan dia merasa benar-benar beruntung punya keluarga. Dia bisa bebas datang ke rumah ini kapan pun, disayangi oleh orang-orang di rumah ini, menghuni salah satu kamarnya ketika akhir pekan, menyicipi masakan lezat yang tercium setiap kali dia datang. Bisa bercerita apa pun dan didengarkan sungguh-sungguh.
Sampai kemarin semua masih baik-baik saja. Sebelum dia tahu kalau keluarga ini tidak seindah yang dia kira.
Atau memang tidak ada keluarga yang benar-benar indah. Orang-orang bukannya jahat, mereka hanyalah manusia. Lalu yang mereka lakukan ke Arsad harus disebut apa jika bukan jahat?
"Tante nggak akan nagih cerita sekarang soalnya ninggalin kompor. Lihat kalian datang ke sini sama-sama udah bikin Tante seneng banget."
Indira kembali memaksakan seulas senyum. Selama ini tidak pernah ada yang membaca gerak-geriknya dengan tepat. Tapi dia lupa ada Arsad. Suaminya itu kerap memandangnya, bertanya lewat mata, atau mendekat dan sekadar mengusap punggungnya. Tanpa pertanyaan. Indira hanya mengangguk, mengisyaratkan kalau dia baik-baik saja. Tidak perlu ada yang dicemaskan darinya.
Meski belum yakin istrinya baik-baik saja, Arsad tetap melangkah ke teras belakang. Menemani Om Tama bermain tenis meja seperti biasa ketika datang kemari. Sementara Indira duduk di kursi tinggi, melihat kesibukan Tante Elma menyiapkan makan malam. Bantuan Indira ditolak karena katanya sebentar lagi selesai.
Tanpa kesibukan apa-apa, Indira punya banyak kesempatan untuk memperhatikan momen yang terjadi dalam satu waktu.
Sambil mengoreksi rasa, Tante Elma mengajaknya bicara soal panti asuhan, bercerita tentang beberapa anak yang baru datang yang diselingi suara di teras karena permainan tenis meja berlangsung seru. Indira sempat menoleh lama ke pintu kaca. Memandang tawa lepas Arsad yang jarang sekali terjadi. Tapi sayangnya, kali ini, dia tidak ikut senang melihatnya tertawa seperti itu.
Yang ada di kepala dan benaknya sekarang, dia ingin membawa Arsad pergi dari rumah ini. Dari semua orang.
"Kamu lagi nggak enak badan, Ndi?"
Perhatian Indira kembali ke dapur tempat dirinya duduk dan bungkam. Tante Elma berdiri di hadapannya, terpisahkan kitchen island, sedang memandanginya dengan teliti. Pasti kentara sekali perbedaan sikapnya. Indira sudah berusaha sebaik mungkin.
"Kamu pucet, Ndi. Sebentar Tante bikinin kamu jahe anget. Nggak akan lama."
Tanpa bisa dicegah, wanita paruh baya itu sudah mengeluarkan beberapa bahan dari kulkas, mulai meracik minuman hangat untuk Indira.
"Kamu diem banget, nggak kayak biasanya. Ternyata sakit tapi nggak bilang. Maafin kami yang nggak peka. Arsad gimana sih, malah ngajak kamu pergi, harusnya istirahat aja di rumah. Biar Tante omelin dia nanti."
Indira mengatupkan bibir rapat. Seolah jika membukanya sedikit saja untuk menjawab, dia akan bertanya ribuan kenapa. Dan dia tidak tahu apa yang bisa dia lakukan selanjutnya. Apakah dia mampu duduk di meja makan, menikmati makan malam, bercanda dan tertawa seperti biasa. Ragu dan takut menyergapnya dari segala sisi.
"Tante sayang Arsad?"
Keran air dinyalakan untuk mencuci jahe dan serai. Pertanyaan itu tetap terdengar. "Dia kayak anak Tante sendiri. Kamu nih tanyanya lucu."
"Arsad juga," katanya lirih. "Dia memang punya istri. Tapi hanya punya satu-satunya Tante yang mengingatkan dia akan sosok Mama. Yang bisa mengobati rindu dia ke Mama."
Seharusnya Indira berhenti di sana.
"Tapi Tante nyakitin dia lewat kakaknya."
Tante Elma menoleh, memandang Indira yang menatapnya dengan mata basah. Tidak perlu bertanya lebih jauh apa yang dimaksud Indira. Lewat mata, Indira bisa menilainya sendiri. Pemahaman itu hadir dengan sendirinya dalam diri Tante Elma. Mungkin selama ini, setiap harinya, rahasia itu menjadi mimpi buruk yang ditakutkan menjadi nyata suatu hari.
Dan Indira yang datang mengantarkan mimpi buruk itu ke hadapannya.
"Tante sungguh menyayangi Arsad? Bukan semata karena rasa bersalah?"
Wanita paruh baya itu berbalik, tercekat, kehilangan kata-kata. Membiarkan keran air terus menyala sementara pelan-pelan raut wajahnya menciptakan kerut-kerut pias.
"Jadi benar. Aku berharap Tante menyangkal, atau apa pun. Apa pun untuk meyakinkan kalau yang aku dengar dari Fadil keliru." Indira menunduk, tidak ingin melihat guratan yang membuatnya semakin yakin. Dadanya terasa sesak dan penuh kecamuk. Sama seperti ketika dia selesai mengunjungi Fadil sambil membawa fakta yang dia jejalkan di kepala.
Suaranya nyaris tidak terdengar saat bertanya, "Bagaimana Tante akan menjelaskan ke dia?"
***
"Bukan anakku yang dikandung Nadia saat itu."
Tidak cukup remasan hingga buku-buku tangannya memutih, kini tatapannya berubah kosong. Dia dengar apa yang dikatakan Fadil. Tidak perlu diulangi. Dia hanya bisa termenung di tempatnya. Bibirnya kelu untuk sekadar memberi respons paling sederhana.
"Nadia ngomong jujur ke mereka. Awalnya dia takut kalau pengakuannya justru membuat keluarga tantenya berantakan. Tapi dia juga nggak mau tantenya terjebak seumur hidup bersama orang yang salah."
Indira menunduk semakin dalam.
"Sayangnya, dia nggak dipercaya dan justru dituduh macam-macam oleh seseorang yang seharusnya melindungi dia. Hari itu dia datang ke aku, frustrasi ingin bunuh bayi itu. Aku antar dia, nemenin dia sambil berharap dia bakal berubah pikiran di detik terakhir. Aku berusaha bujuk dia semampuku, Ndi. Tapi dia nggak mau membebani aku."
Napasnya mulai tersekat.
"Catatan di persidangan bersih, nggak tertulis di laporan mana pun, aku nggak menyangkal kalau janin itu bukan anakku. Toh, aku tetap akan berada di sini. Nadia nggak mau Arsad tahu semuanya. Karena upayanya untuk jujur gagal, lebih baik Arsad yang masih di Surabaya nggak tahu apa-apa."
Fadil menghela napas. Memberi jeda. "Dan ya, kayak yang kamu lihat sendiri, Arsad dirangkul keluarga itu seperti anak sendiri. Mereka ikut menyembunyikan fakta yang sebenarnya. Tapi bukankah ini nggak baik buat Arsad? Ini nggak adil buat dia."
Sempat lengang.
"Aku ikut merasa bersalah, Ndi. Aku tahu seharusnya bicara ini lebih awal. Atau saat persidangan. Tapi saat itu, Arsad sudah hancur."
Fadil memang tidak mengatakannya secara gamblang. Indira sudah mengerti. Sempurna tercenung, dia mulai memutar ingatan. Bagaimana keluarga itu memperlakukan Arsad, menyayangi Arsad, sambil mengubur fakta kalau mereka telah menyakiti Nadia. Potongan-potongan kejadian yang kini tumpang tindih dan membuatnya ingin menangis.
"A-aku nggak tahu harus bilang apa."
"Maaf, Ndi, harus mengatakan ini." Fadil menatap prihatin adiknya yang tampak terpukul.
Indira hanya menggeleng pelan. "Hanya aku yang tahu?"
"Iya."
Dan sekarang Indira dihadapkan pada dilema besar. Menyampaikan apa yang dia dengar pada Arsad bukan hal yang siap dia lakukan dalam waktu dekat. Dengan cara apa pun akan tetap menyakitkan. Tapi hidup sembari menyimpannya akan jauh lebih berat baginya.
Tanpa sepatah kata lagi, Indira beranjak dari ruang kunjungan. Menyusuri koridor dengan langkah gamang. Tersenyum tipis ke Abel yang harus menunggu sedikit lebih lama.
"Semuanya oke, Mbak?"
"Kalau maksud kamu nasi kuningnya sampai ke kakakku, iya udah sampai."
Mengerti ada yang salah, tapi Abel memilih pura-pura bodoh. "Boleh nyalain lagu?"
Indira mengangguk, memakai sabuk pengaman, dan sisanya membuang pandangan keluar.
Abel sengaja memilih lagu bernuansa happy. Juga di list berikutnya. Sigap mengganti ketika intro sedih terputar.
Kemampuan Indira sebagai manusia benar-benar terbatas. Tidak sanggup lagi menahan hanya dengan diam, air matanya mengambil alih. Mengurangi rasa sakit yang menggerus dari dalam.
Percuma. Dia tetap merasakan sakit yang sama, dan mungkin terburuk yang pernah dia rasakan.
***
Lebih sakit jadi Indi atau Arsad? 😭💔
Seperti biasaa, monggo yg mau meluncur ke sebelah ada extended❤
Rabu/07.02.2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top