Chapter 33

Mau cerita dikit,

Salah satu temenku sering konflik sama ibunya. Dia anak perempuan pertama, punya adik cowok. Bapaknya udah gak ada. Si ibu timpang kasih sayangnya dan sering nyumpah2in tiap marah. Temenku selalu ngalah, sering diem atau milih keluar dari rumah dulu kalo berantem sama ibunya. Suatu hari pas berantem lagi dia akhirnya berani "marah". Yg bikin aku nyes, selain konfliknya, dia bilang gini ke aku:

"Ternyata aku marah gakpapa ya. Gak terjadi apa2."

🥺😢

***

Bunga anyelir di dalam vas telah layu.

Arsad memandangi vas bunga yang tidak disentuh pemiliknya selama beberapa hari. Bukan tidak sempat, tapi seperti hilang rasa kepemilikan. Termasuk dapur. Sepagi ini, meski hanya menyiapkan sarapan simpel, biasanya Indira sibuk mengoles roti atau memotong buah atau memanggang sesuatu. Dapur kini kosong dan bersih.

Mobil pemberian dari Tante Elma untuk Indira pakai sudah dikembalikan. Tapi tidak masalah. Jika tidak bisa mengantar berangkat kerja, karena Indira sengaja pergi lebih pagi dari biasanya, dia masih punya alasan untuk menjemput ketika pulang nanti.

Dia tidak tahu jadwal istrinya. Ini akhir pekan. Jika tetap pergi bekerja, sekarang kemungkinannya menjadi dua: bekerja di luar toko atau karena menghindarinya. Sependek yang dia tahu, Indira tidak punya banyak tujuan, tidak berteman dekat dengan banyak orang. Jika bertemu teman itu hanya Anya atau Naga. Tapi belakangan sudah jarang bertemu karena makin sibuk masing-masing.

Setelah mendapat informasi dari pegawai Indira, sebuah alamat gedung, Arsad segera bersiap.

Yang dia temui di gedung tersebut justru Diva. Tidak sengaja berpapasan di pintu utama. Diva yang mengenalinya lebih dulu. Menghentikan sejenak usahanya mencari keberadaan Indira.

"Nyusulin istri kerja?"

Tidak sulit mengingat siapa sosok yang menahan langkahnya. Arsad tersenyum tipis. Melihat mantannya dalam balutan celana hitam dan kemeja putih. Ah, ini acara partai yang menaungi Diva. Dia ingat Indira pernah cerita bertemu dengan Diva. Bukan dia menyesal harus bertemu mantan di saat seperti ini.

Karena dia harus basa-basi di saat tidak ingin. "Sehat, Diva?"

"Sehat. Istrimu di dalam, masih sibuk setting panggung. Mau ngobrol sambil ngeteh sebentar?"

Arsad meneleng. Melihat punggung Indira di kejauhan di antara lalu lalang staf lainnya. Seperti yang dikatakan Diva, istrinya masih berkutat dengan bunga-bunga. Kemunculan Arsad hanya akan membuat mood Indira berantakan di tengah pekerjaannya.

Diva mengajaknya ke sebuah kedai bubur ayam di seberang jalan.

"Katanya cuma ngeteh?" Melihat dua bubur ayam dan dua gelas teh hangat datang ke meja mereka.

"Kalau aku bilang mau sarapan sekalian, kamu bakal kabur." Melipat sedikit lengan kemeja. "Aku berangkat kepagian. Aku yang traktir."

Arsad bersedekap, enggan menyentuh buburnya. Melupakan sopan santunnya. Diva mengedikkan bahu. Lelaki ini masih duduk saja sudah bagus. Matanya kemudian memindai, tentu banyak yang berubah dari Arsad yang terakhir dia ingat. Saat resepsi dia tidak menyalami dan memberi selamat, hanya melihat dari kejauhan. Selayaknya tamu yang tidak diundang.

Berbeda dengannya, Arsad tampak tidak tertarik. Pandangannya hanya tertuju ke ponsel. Juga enggan menyentuh gelas tehnya.

Diva mengulum senyum sambil meracik sambal di mangkuknya. "Kamu sebenarnya marah ya?"

"Marah? Kenapa aku marah?"

"Aku ninggalin kamu."

Arsad mengernyit. Ini bukanlah pertanyaan yang dia antisipasi jika bertemu dengan Diva lagi. "Kita selesai baik-baik. Aku nggak marah kamu pindah ke sini."

"Terus kenapa kamu nyari istri yang mirip aku?"

"Kok bisa kamu sepercaya diri ini." Arsad nyaris tertawa di tengah hatinya yang kacau. Diva memang sempurna. Semakin sempurna dengan wajah yang matang dan sorot mata yang tegas tapi lembut. Seseorang yang ikut memberi warna di masa putih abu-abunya. Dia kira jika bertemu lagi bisa berteman dengan normal. Sepertinya mereka tidak bisa berteman lagi.

"Istriku nggak mirip kamu."

"Aku nemu kemiripan. Kami sempat ngobrol meski nggak lama. Caranya bicara, caranya ketawa."

Menghela napas. "Aku nggak mau ngebandingin kalian, tapi kamu maksa terus. Dia lebih baik dari kamu."

"Subjektif." Ada raut mencelos sesaat. "Kamu masih sering ingat aku?"

"Sama sekali nggak."

"Ah, aku kecewa."

Arsad tidak peduli.

"Aku nggak nyangka kita jadi seasing ini."

"Memangnya aku harus bersikap apa buat orang yang udah pergi? Kamu punya kehidupan sendiri, aku juga. Kalau ada yang kita kenang, itu cuma sedikit. Nggak ada malah."

"Aku selalu nunggu kamu muncul di setiap reuni. Tapi kamu nggak pernah datang. Semua pesanku kamu cuekin. Lalu kamu tiba-tiba nikah."

"Bukan tiba-tiba nikah. Aku kenal istriku udah lama."

"Oh ya? Aku lihat kamu nggak posting apa-apa soal istrimu. Jadi aku anggap kamu masih sendiri. Aku ngira masih ada kesempatan. Makanya aku masih santai ngejar karir politik dulu. Nanti kalau udah stabil semuanya, aku temui kamu."

"Kamu pasti ngerasa dunia berputar cuma buat kamu ya."

"Kita dulu pasangan yang cocok."

Arsad meninggalkan kursinya, berjalan ke kasir untuk membayar pesanan di meja mereka. Diva memanggilnya tapi Arsad tidak menoleh. Memilih kembali ke gedung seberang sendirian. Dia anggap Diva hanya iseng belaka, tidak perlu ditanggapi lebih jauh perkataan orang yang merasa protagonis di hidup orang lain.

Indira yang sudah selesai dan bersiap pulang pura-pura tidak melihatnya, langsung masuk ke mobil operasional toko. Arsad berhasil menghentikan sebelum pegawai Indira melajukan mobil itu.

Dia mengetuk pintu kaca yang kemudian diturunkan separuh. "Aku nungguin kamu."

"Nggak ada yang minta kamu datang."

Kalimat itu lagi. Arsad merapatkan bibir, bergumam. "Turun kalau nggak mau karyawanmu lihat kita berantem."

Indira melepas sabuk pengaman dengan kesal. Arsad tersenyum dan mundur. Ini cara mudah tanpa drama yang bisa membuat Indira menurut padanya. Indira tidak suka membuat keributan atau menjadikan pertengkaran sebagai tontonan orang lain. Dia tahu cara ini licik, membuat Indira semakin uring-uringan, tapi harus dia lakukan agar Indira tidak terlalu jauh darinya.

Dengan muka datar, Indira berpindah ke mobil Arsad. Tentu dengan bantingan pintu mobil lagi. Arsad membiarkan.

"Pakai sabuk pengamannya, Indi." Arsad dibuat gemas dengan sikap istrinya. Indira tetap bergeming. "Pakai sendiri atau aku yang pakein?"

Indira buru-buru menarik sabuk di sisi kirinya. Hampir mengumpat ketika sabuk sempat macet. Arsad tahu, marahnya Indira bukan ke sabuk pengaman, tapi padanya. Dia benar-benar mengubah seorang Indira. Untuk pertama kali dia melihat banyak emosi dalam wajah istrinya.

"Aku ngebolehin kamu marah lama. Tapi bukan buat menghindar."

"Terus apa. Aku marah tapi sambil usap pipi kamu gitu?"

Arsad senang karena Indira menyahut. Biarpun jawabannya sarkas. Setidaknya mereka bicara dua arah. Arsad bukan bicara dengan angin lagi.

"Mau sarapan apa? Aku laper."

Indira lebih memilih memandangi jalanan yang membosankan ketimbang menoleh ke arahnya.

"Aku beneran laper."

"Bukannya udah kenyang makan kenangan."

"Hm?"

"Pura-pura bodoh lagi." Indira mengembuskan napas bosan. Memangnya dia tidak lihat ketika Arsad menyeberang ke kedai bubur dengan sang mantan? Sekarang sok mau mengeluh lapar.

"Diva? Aku cuma ngobrol sebentar."

"Kalau kamu masih maksa mau sarapan, aku bisa makan orang."

Arsad langsung diam. Takut iya, patuh iya. Bayangkan orang sebaik Indira, yang mengumpat saja tidak bisa, mau makan orang.

Tidak, tidak. Situasi ini lebih serius dari yang kalian bayangkan. Indira versi jutek dan dingin lebih menyeramkan daripada muka Arsad sehari-hari.

***

Selepas mengantar Indira kembali ke tokonya, Arsad punya janji bertemu dengan Naga. Dengan sangat menyesal dia harus mengganggu akhir pekan Naga bersama keluarga kecilnya. Yang sangat tidak dia sangka, ada Anya yang sudah duduk di sana. Seingatnya dia menyimpan nomor perempuan ini saja tidak, jangankan mengajak bertemu.

"Indi mana?"

"Aku janjiannya sama Naga."

Anya memutar bola mata.

Arsad duduk, membiarkan Anya ikut dengar. Tidak ingin membuang banyak energi padahal dia baru datang.

"Ada apa, Ar? Indi nggak ikut?" Naga bertanya hal yang sama dengan cara lebih baik.

"Soal Indira." Arsad menatap kedua sahabat baik istrinya. Sesaat merasa ragu. Haruskah dia bawa persoalan rumah tangganya kepada mereka? Tapi melihat reaksi keduanya, yang tidak satu pun dari mereka menyiramnya dengan kopi, membuat Arsad yakin jika Indira tidak melibatkan siapa pun. Belum hingga detik ini.

Dengan terpatah-patah, banyak menghela napas, Arsad bercerita semuanya. Dari sudut pandangnya, dan lebih banyak dari sudut pandang Indira. Dia mengutamakan perasaan Indira. Kemudian menyadari reaksi Naga dan Anya yang sudah berbeda, kontras dengan tadi. Dia membantu istrinya yang mungkin tidak bisa menjelaskan kondisinya ke mereka.

Arsad juga menjelaskan bagaimana dia ingin Indira bebas merasakan apa pun. Tidak perlu lagi memendam seperti yang selalu Indira lakukan sebelumnya. Dia tidak berharap penjelasannya akan diterima baik. Tapi hanya ini yang bisa dia katakan. Indira datang pertama ketika dua orang ini punya masalah, tapi Indira tidak bisa dan tidak mau memanggil mereka saat sedang kesulitan.

Naga meninggalkan meja saat makanan diantar. Anya masih menutup mulut rapat, termangu karena syok. Lagi-lagi di luar dugaan Arsad yang mengira perempuan ini akan mengamuk dan melemparinya dengan benda di sekitar.

Ini justru menakutkan untuknya.

"Bilangin ke Naga, gue duluan." Anya menyambar tasnya, lalu berhenti persis di sebelah bangku Arsad. "Kenapa lo justru cerita di saat Indi nggak melakukan itu ke kami?"

Arsad mendongak. "Tolong temenin dia."

***

"Gila ya lo, weekend masih aja kerja."

"Butuh duit banyak." Indira tersenyum, tapi sebenarnya bingung melihat kedatangan Anya tanpa pemberitahuan sebelumnya. Seingatnya tidak ada pesan yang dia lewatkan, kecuali dari Arsad. Barusan dia cek kembali. Nihil pesan dari Anya.

Meninggalkan buket setengah jadi, dilanjutkan oleh pegawainya, Indira membawa sahabatnya ke lantai dua. Duduk di kursi panjang dekat jendela besar yang menampilkan atap-atap rendah padat penduduk di belakang gedung. Anya yakin jika jendela dibuka maka suara berisik anak-anak kecil yang bermain akan terdengar.

"Banyak keluarga impianku di sana. Sederhana tapi mereka bahagia."

Anya tidak berkomentar.

"Pas suntuk aku suka ngelamun di sini sambil lihatin aktivitas warga di bawah sana. Tapi aku bukan mau ceritain soal mereka sih. Kamu kayaknya datang karena sesuatu. Semuanya baik-baik aja kan, Nya?"

"Lo yang lagi nggak baik-baik aja," tembaknya.

Indira menoleh, meneliti gestur sahabatnya. Ada yang berbeda. Anya terlihat muram.

"Gimana rasanya dibego-begoin sama manusia yang lo anggap malaikat?"

"...."

Anya menarik Indira ke dalam pelukannya. "Gue nggak akan ketawa. Gue mau dengerin. Anya nggak melulu berapi-api kok. Gue belajar buat lebih tenang sekarang. Tolong cerita semuanya, Indi. Mau sampai kapan sakit dirasain sendiri. Gue bukan orang-orang di rumah itu."

"Nya, aku beneran nggak apa-apa." Indira berusaha melepas tautan tangan Anya di punggungnya.

"Nggak apa-apa?"

"Iya."

"Lo mau nurut kalau gue bilang tinggalin Arsad sekarang juga?"

Indira berhenti mengelak dari pelukan. Terlintas perdebatannya dengan Arsad sebelum dirinya turun dari mobil siang tadi.

"Anya sama Naga nggak tahu soal kita?"

"Kamu mau mereka ngetawain aku? Kamu tahu, dulu Anya nggak setuju aku nikah sama kamu. Sekarang saat kita bermasalah, kamu mau ngelibatin mereka? Naga sibuk dengan keluarga kecilnya, kamu mau bikin dia ikut terbebani?!"

"Mereka nggak akan ngetawain kamu. Mereka boleh tahu apa yang kamu alami. Itu gunanya teman. Kamu hanya terlalu sungkan ke mereka."

"Mereka teman-temanku. Jangan ngatur sikapku ke mereka."

"Aku nggak mau kamu sendirian, Ndi."

"Kamu yang bikin aku jadi begini!"

Indira merasakan matanya memanas. Anya masih memeluknya. Mungkin tidak apa-apa bicara semuanya ke Anya. Dia tidak akan membebani Anya apa-apa.

Atau sebentar saja, dia ingin membebani Anya.

***

Naga kembali setelah beberapa menit menghilang. Makanan di meja menjadi sia-sia ketika Anya memilih pergi, Naga yang tidak mood menyentuh makanan dan Arsad yang beberapa hari hilang selera makan.

"Gimana kalau lo sampai kehilangan dia?" Sikap Naga berubah padanya. Arsad tidak keberatan. Tatapan ramahnya sudah hilang. Wajar.

"Mati, mungkin."

Naga terlihat ingin bicara, tapi ditelan kembali. Mereka berakhir dengan kebisuan, kontras dengan suasana di restoran siang itu. Berisik. Tidak ada yang tahu jika salah satu mejanya dihuni dua orang yang mendadak sariawan.

Arsad memahami Naga menyimpan emosi yang lebih besar. Orang tenang seperti Naga, sama halnya Indira, memiliki daya ledak yang tak main-main.

Saat mereka sama-sama tiba di parkiran, Naga melayangkan satu pukulan yang tidak pernah diantisipasinya. Juga pukulan berikutnya. Semua terjadi dalam sekejap mata. Arsad bisa membalasnya. Tapi dia hanya melindungi diri seadanya. Dia sempat lupa kalau Naga pemegang sabuk hitam taekwondo. Jika dia mati sekarang, judul berita yang muncul akan konyol sekali. Bisa dibayangkan sehisteris apa tantenya.

Sebelum dirinya sungguhan mati, beberapa orang berhasil menarik Naga dari atas tubuhnya.

"Brengsek! Apa pun alasan lo, tetap brengsek! Berani-beraninya lo nyakitin sahabat gue! Lo pantes mati!"

Arsad mendengar sumpah serapah, melihat langit yang tidak secerah tadi pagi. Terbit rasa bersalah karena mamanya harus melihat anak lelakinya hidup menyedihkan.

Namun, rasa bersalah terhadap Indira paling menjejal penuh di dada. Sakit di badannya belum bisa mengalahkan sakit di hatinya. Dia harus menghukum diri sendiri dengan cara apa lagi? Harus berapa lama lagi sampai merasa pantas meminta maaf?

***

Ada extended di sebelaaah~ 💃

Rabu/29.11.2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top