Chapter 32
"Aku janji, kamu bakal hidup aman sama aku. Semua akan berjalan seperti yang kita mau, Ndi."
Pernah menjadi kalimat favoritnya. Senyumnya akan muncul setiap kali mengingatnya. Pertama kali dia merasakan punya orang yang ada di sisinya, menyayanginya sepenuh hati. Pertama kali dia tenang karena seperti punya rumah yang selama ini dia tak punya.
Bagaimana rasanya ketika kalimat itu terlintas sekarang? Marah dan sesak untuk diingat. Memuakkan untuk didengar kembali. Kalau bisa ingin dia hapus selamanya dari ingatan.
Siang itu, Tante Elma mendatanginya ke toko. Indira yang sedang tidak ingin bertemu siapa-siapa tetap tidak bisa mengusirnya begitu saja. Demi sopan santun yang dia miliki, dia bersedia muncul.
Dirinya kemudian diajak ke sebuah restoran untuk makan siang. Pikiran Indira penuh. Entah bagaimana raut wajahnya sekarang. Perempuan paruh baya yang dia jadikan panutan, seseorang yang begitu dia hormati dan sayangi, juga palsu. Mata Indira benar-benar terbuka lebar sekarang. Semakin sadar bahwa di dunia ini, dia hanya punya dirinya sendiri.
Makan siang sudah diantarkan ke meja. Tapi tidak satu pun dari mereka yang berniat makan. Elma membaca situasi sejak melihat Indira keluar dari ruang kerjanya. Ada yang tidak berjalan lancar, bukan tentang pekerjaan, tapi yang berhubungan dengan keponakannya. Kekhawatirannya terbukti. Seharusnya dia datang lebih awal untuk memastikan semua berjalan baik. Atau setidaknya jika buruk, tidak terlalu buruk.
Indira yang biasanya ceria kini muram. Sorot matanya yang selalu berbinar tampak redup. Sudah jelas penyebabnya.
Elma berdeham pelan, tampak hati-hati bicara. "Tiga hari lalu Arsad telepon ke rumah. Dia bilang mau jujur ke kamu. Tante lega dengarnya. Tapi kemarin dan hari ini Arsad nggak bisa dihubungi. Tante mutusin buat ketemu kamu dulu. Apa keponakan Tante ... mungkin salah bicara?"
"Dia nggak bicara apa-apa."
Elma tercengang. "Ya?"
"Aku dengar semuanya dari Ibu."
"Ibumu yang jahat?"
Kalian juga jahat. "Setidaknya dia bicara apa adanya."
Elma menyandarkan punggungnya di kursi. Memijat kening yang mendadak pening. "Jadi Arsad terlambat."
"Dia nggak jelasin apa-apa ke aku. Tante ngerti posisinya jadi aku? Aku memang nggak punya siapa-siapa, jadi mudah untuk dipermainkan. Mudah dijanjikan hal-hal indah." Senyumnya getir. "Dibodohi selama tiga tahun."
Elma menunduk penuh penyesalan. Suaranya sengau menahan air mata. "Tante minta maaf, Indi. Atas semuanya. Tante gagal membujuk Arsad lebih awal. Tapi jujur dari hati terdalam, Tante menyayangi kamu sejak pertama Arsad bawa kamu ke rumah. Kami nggak pernah bermaksud mempermainkan kamu."
Kemudian mengangkat wajah. "Arsad benar-benar mencintai kamu. Dia menjaga kamu. Terakhir bahkan dia ajak kamu ke Surabaya. Dia perlahan mau terbuka semuanya ke kamu."
Indira hanya bergeming. Hatinya menolak setiap penjelasan yang datang.
"Tante ngerti, Ndi. Jangan maafkan dia sekarang. Silakan benci dia. Sekarang kamu masih marah. Nanti kalau sudah reda, coba pikirkan dengan tenang. Tante nggak akan ungkit kebaikan Arsad atau apa pun yang dia lakukan buat kamu. Karena apa yang kamu lakukan jauh lebih besar untuk hidup Arsad. Setelah Nadia pergi, Tante takut akan kehilangan dia juga. Tapi hidupnya membaik saat kamu datang."
"Membaik karena dia punya ambisi untuk balas dendam. Dia butuh orang untuk disalahkan. Aku yang tolol ini bahkan menawarkan diri, Tan."
Elma menggeleng sedih. "Arsad nggak seburuk itu, Ndi. Tolong sisakan kepercayaan sedikit saja. Dia anak baik. Kamu bisa melihatnya setiap hari, dari hal-hal kecil yang dia lakukan."
"Maaf, Tan. Tapi aku juga punya hati. Saat aku tanya dia nggak bisa jawab, aku kecewa. Sekarang aku nggak mau dengar apa-apa."
Elma mendesah lelah. "Hukum Arsad dengan pantas, seberapa lama pun waktu yang kamu butuhkan. Dia pasti terima, pasti nunggu. Asal kamu nggak pergi dari hidupnya."
"Kenapa aku harus bertahan sama dia?"
"Dia butuh kamu. Dia akan sangat butuh kamu. Tante nggak bisa melakukan itu nantinya."
"Bukankah kalian terdengar egois?" Indira berdiri tanpa mau mendengar pembelaan lagi. "Maaf, aku nggak bisa menemani Tante makan siang."
***
Ponselnya bergetar. Panggilan dari tantenya untuk yang kesekian hari ini dan kemarin. Juga pesan-pesan yang dia biarkan tanpa terbaca, isinya sudah bisa dia duga. Arsad belum siap menemuinya. Belum ingin mendengar omelan yang memojokkannya. Alih-alih menemui tantenya, dia menemui orang lain.
Pintu besi terbuka di belakangnya.
Fadil duduk di hadapannya. Terpisahkan oleh meja dan dengan tangan terborgol. Dan pertanyaan pertama yang menyambut Arsad. "Kamu sudah jujur ke Indi?"
"Keduluan ibumu."
"Ibu pasti ngomong macam-macam."
"Mungkin."
"Kamu nggak coba jelasin ke Indi?"
"Belum."
"Kenapa?"
"Kenapa?" Arsad mendengkus. "Bukannya kalian juga turut andil bikin dia jadi orang yang terlalu baik? Yang bahkan nggak bisa marah dengan bebas? Jangankan marah, dia bersikap baik aja kalian tetap jahat ke dia. Indi nggak pernah jadi dirinya sendiri. Dia berusaha terlalu keras biar kalian terima kehadiran dia."
Fadil menghela napas. Mengerti. "Indi hampir selalu jadi anak baik di rumah. Nilai-nilainya di sekolah bahkan sempurna. Dia nggak pernah balas perkataan buruk Ibu. Itu yang baru aku sesali saat masuk ke sini. Aku terlambat merangkul dia."
"Indi selalu merangkul ibumu. Aku nggak pernah bisa ngelarang dia buat datang mengunjungi ibumu. Seolah-olah dia punya kewajiban untuk itu."
"Padahal kamu susah payah bikin Indi keluar dari rumah itu. Melepas ikatannya dari Ibu."
Arsad terdiam, membuang pandangan ke arah lain. Tidak mengira Fadil akan mengingat apa yang pernah dia katakan dulu.
Fadil mengenali Arsad sejak awal. Sebelum Indira mengenalkan Arsad sebagai calon suaminya. Anak ini muncul satu tahun setelah dirinya mendekam di dalam jeruji. Pertama kalinya mereka bertemu. Nadia pernah menunjukkan foto keluarganya, sering membicarakan tentang adik lelaki satu-satunya yang besar di Surabaya.
Maka meski belum mengenalnya secara pribadi, Fadil serasa sudah tahu banyak tentang Arsad. Kali itu di kunjungan pertama, Arsad hanya diam sambil menatapnya penuh kebencian. Fadil bisa memaklumi.
Waktu berlalu dan kabar pernikahan sampai di telinganya. Dia memang terkejut, berharap bisa bicara dengan Indira untuk tidak meneruskan rencana pernikahan mereka. Tapi Arsad datang padanya, dan itu menjadi kunjungan yang kedua. Menjelaskan alasannya ingin menikahi Indira. Dan entah bagaimana dia bisa percaya dan ikut menjaga 'rahasia' ini dari Indira.
Seminggu lalu, Arsad datang dan mengatakan akan jujur semuanya ke Indira karena merasa hidupnya tidak tenang. Fadil pun mendukungnya.
Tapi rupanya berjalan buruk.
"Nanti kalau sudah tenang, jelaskan baik-baik ke Indi. Kamu terlihat sungguhan mencintainya. Bukan dendam. Kamu sendiri tahu, Indi bukan siapa-siapa di rumah itu. Indi terluka pun Ibu nggak akan peduli. Jelasin baik-baik ke dia."
"Aku ngerti. Nggak usah diulangi lagi."
"Nadia bilang kamu mesti diingetin berkali-kali. Dia kadang nggak bisa bedain diammu karena paham atau lagi menentang. Apalagi aku. Apa Indi berhasil memahamimu?"
Pertanyaan itu membuat Arsad diliputi perasaan bersalah. "Dia melakukannya lebih baik dari siapa pun."
"Apa aku akan ikut dibenci Indi?"
"Mungkin." Arsad melanjutkan. "Indi pernah bilang, untuk orang yang dia tahu nggak sayang dia dari awal, dia gampang maafin."
Fadil tersenyum prihatin. "Kamu pasti berharga banget buat dia."
Arsad meninggalkan ruang kunjungan setelah waktu habis. Sambil menunggu tamu lain mengeluarkan mobil, Arsad membuka ponsel, melewatkan pesan dari tantenya. Lalu matanya membesar melihat pesan dari Bi Nur yang datang satu jam lalu.
Membacanya sekilas, Arsad bergegas masuk mobil. Menuju rumah yang tidak pernah ingin dia datangi lagi.
Dia berpapasan dengan perempuan itu di gerbang. Menatapnya dengan sinis. Arsad tidak menghentikannya dan memilih berlari masuk. Matanya segera menyapu panik seisi rumah yang berantakan. Melihat pemilik rumah duduk angkuh di sofa. Bi Nur tampak membuatkan minuman hangat. Kemudian istrinya muncul membawa sapu dan pengki. Seakan tidak peduli dengan kehadiran Arsad di ambang pintu. Hanya Bi Nur yang menyapanya lewat anggukan kecil saat mengantarkan minum ke meja.
Arsad mengambil gagang sapu dari tangan Indira, menjatuhkannya di antara pecahan vas bunga dan guci yang berserakan di lantai. Mengantinya dengan genggaman tangan. "Kita pulang, Indi."
"Lepasin."
"Kamu mau kita ribut di sini juga?"
Indira yang sepertinya tidak punya tenaga untuk mendebat lebih jauh, pasrah ketika ditarik pelan meninggalkan rumah itu.
"Ada yang luka?"
Senyap. Arsad fokus menyetir sambil sesekali memastikan kondisi istrinya yang betah tutup mulut. Dia mengerti perang dingin di antara mereka membuat Indira menahan diri tidak bercerita apa yang dia alami selama di rumah itu tadi. Tentu bukan hal baik karena mama Indira juga di sana. Lalu keadaan ruang tamu yang berantakan. Mungkin mamanya datang untuk meributkan harta warisan Indira yang gagal dia rampas.
Arsad menghentikan mobil di klinik terdekat. Dia melihat lebam kebiruan di lengan Indira dan bisa jadi ada luka lainnya yang ditutupi darinya.
"Aku bisa sendiri," kata Indira sebelum turun. "Jangan mikir aku selalu butuh kamu. Nggak ada yang minta kamu buat datang."
"Iya. Tapi kamu boleh mikir aku selalu butuh kam—"
Indira turun, lalu membanting pintu mobil.
***
Arsad panen hujatan syalalala~ 😭
Anakku fiksi satu ini malang bener nasibnya, maapkan mamak ya nak😭Nanti berguru ama abangmu Acid biar kebal😂😂
Jadi kangen Ardan🤡
Kamis/23.11.2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top