Chapter 30

Pagi-pagi Arsad harus dengar satu berita yang cukup menggelitik telinga. Kalau pun sampai terjadi, pasti bukan pertanda bagus. Arsad sampai membasuh muka terburu-buru demi memastikan lagi.

"Ibumu bilang apa tadi di telepon?"

Indira merapikan tempat tidur. "Makan malam. Kita diundang makan malam."

"Kamu salah denger mungkin."

"Enggak, Ibu bahkan kirim pesan. Mastiin aku datang sama kamu nanti malam."

Arsad tetap merasa aneh. Dia bisa memilih tidak datang, mencari-cari alasan, Indira akan mengerti. Tapi ketimbang dia terus kepikiran jika tidak ikut, mau tak mau menyanggupi undangan tersebut.

"Masih mikirin soal Ibu?"

Arsad melihat mangkuknya sendiri. Sereal berubah jadi bubur. Sampai di meja makan pun dia masih memikirkannya. "Gimana nggak kepikiran. Kecuali rumah ibumu ketiban meteor semalam."

"Apa mungkin Ibu mulai berubah?" Sambil menyingkirkan bubur sereal suaminya dan menggantinya dengan roti isi nutella.

Mimik buncah memenuhi wajah istrinya. Arsad terlihat sebaliknya, datar dan sulit percaya. Mana ada orang yang berubah drastis dalam semalam? Sekalipun alasannya sedikit masuk akal karena Indira telah mengembalikan harta warisannya. Mungkin mau berterima kasih dan sebagaimanya. Arsad mencibir di dalam hati. Ajakan makan malam yang tidak sebanding dengan sakit hati Indira selama ini.

Mau dipikirkan dari sudut mana pun, Arsad tetap sulit percaya. Tapi juga tidak ingin mematahkan harapan istrinya. Orangnya terlihat bahagia betul.

"Ibu mulai maafin aku, mungkin? Atau apa pun, tapi ini pertama kalinya Ibu ngajak makan malam. Aku nggak sabar."

Sewajarnya melihat Indira semringah, Arsad ikut merasakan hal yang sama. Satu ini menjadi pengecualian.

***

Arsad memiliki opsi lain kalau dirasa tidak sanggup mengakuinya langsung di depan Indira. Dia bisa menaruh semua penjelasannya lewat e-mail. Meminimalisir penjelasan dipotong karena Indira keburu marah besar atau dirinya yang tercekat di tengah cerita.

Dia belum pernah mengakui dosa besar yang dia perbuat. Pernah, hanya sebatas bolos dan kenakalan remaja lainnya di hadapan Eyang, itu pun dia terlampau takut melihat keterdiaman Eyang. Tertunduk tanpa mampu membela diri padahal Eyang tidak menghujaninya dengan tuduhan yang buruk.

Atau dia bisa memulainya dengan menunjukkan ponsel milik Nadia. Ada foto Fadil yang tersimpan di dalam galeri, belum Arsad hapus. Tidak ada yang dia otak-atik dari benda itu, bahkan layar retaknya dia biarkan apa adanya. Penjelasannya tidak mesti selesai dalam satu kali duduk, seperti kata Indira, dia bisa memulai bercerita secara perlahan.

Dia menceritakan keinginannya ke Tante Elma. Saat jam makan siang dia menelepon tantenya untuk meminta dukungan. Tanggapan tantenya seperti yang dia harapkan, bahkan menawarkan untuk bantu menjelaskan. Arsad menolak. Dia bisa sendiri.

Arsad lalu menghabiskan sisa jam makan siang dengan mencari keberadaan Bu Midah. Dia tidak butuh mengisi perut dengan makanan, dia hanya ingin dengar sesuatu yang membuatnya tetap yakin. Jika Mama masih ada, dirinya tidak perlu bingung mencari orang-orang yang bisa dia mintai pendapat, mintai empati.

"Mas Ar mau dibelikan makan siang?" Karena belakangan tidak lagi meminta tolong padanya untuk dibelikan makanan dari luar, tepatnya deretan warung di belakang gedung, mungkin hari ini ingin dibelikan. "Apa, Mas? Pecel ayam, nasi padang, atau mau yang kuah-kuah?"

Arsad menggeleng. "Saya kenyang, Bu." Kemudian duduk di ruang pantri yang lengang. Hanya ada dirinya dan Bu Midah yang lanjut mencuci kotak makan.

Saat keran air sudah dimatikan, dia bicara. "Saya ada salah sama istri, Bu. Cukup besar salahnya. Tapi dia cinta banget sama saya. Kira-kira dimaafin nggak ya?"

Bu Midah berbalik. Tersenyum bingung tapi tetap memberikan pendapatnya. "Semakin besar cintanya, semakin besar rasa sakit yang dia terima. Mas pasti paham ini."

Arsad mengangguk.

"Mas Ar mungkin juga ikut sakit melihatnya."

Masalahnya dia tidak tahu sebesar apa cinta Indira dibandingkan cintanya pada perempuan itu. Dia merasa telah mencintainya dengan sama besarnya, tapi tidak ada yang tahu, mungkin malah tidak ada apa-apanya.

"Mas mau bicara semuanya dengan istri hari ini?"

"Besok atau lusa, atau mungkin hari ini. Saya nggak bisa mendam ini lebih lama, Bu. Setiap hari rasanya kayak khianatin dia. Tapi saya mau dia tahunya dari saya sendiri."

"Bagus itu, Mas. Ibu doakan yang terbaik." Lalu Bu Midah tampak sibuk. Arsad masih terpekur di kursi pantri, menangkup wajahnya. Hanya diam sambil memejamkan mata.

Aroma teh chamomile menguar di dekatnya. Bu Midah baru saja meletakkannya di meja, di hadapannya.

Arsad menurunkan tangan, membuka mata, memandangi air teh yang perlahan permukaannya berubah menjadi tenang.

"Saya nggak akan kehilangan dia kan, Bu?"

***

Rumah lengang ketika Indira tiba. Dia berlarian kecil setelah turun dari mobil. Satu tangan mendekap kotak bika ambon kesukaan Ibu, satunya lagi menghalau gerimis di atas kepala. Dia datang sendiri setelah mendapat kabar Arsad terjebak macet tapi katanya tetap akan menyusul.

Dia mengetuk pintu sekali sebelum mendorongnya terbuka. Pintu tersibak dan hanya mendapati punggung Ibu yang sibuk di dapur. Bi Nur tidak terlihat di mana-mana.

"Aku kira terjebak macet."

Indira melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. Menyeka air di atas rambut. "Arsad yang terjebak macet, Bu. Tapi nanti nyusul."

Ibu hanya bergumam, lalu bicara hal lain. "Aku suruh Nur pulang."

Indira meletakkan kotak yang dia bawa di meja makan yang sudah separuh lengkap. Dia menyingsingkan lengan panjang blusnya, berniat membantu melengkapi meja makan.

Satu langkahnya mendekat terhenti oleh larangan Ibu. "Duduk saja. Kamu tamu di rumah ini."

Indira tersenyum serba salah, ingin menyanggah tapi dia memang tamu di rumah ini sejak belasan tahun lalu. Ibu masih memunggunginya dan menolak untuk dibantu. Alasannya bukan karena tidak mau merepotkan, tapi karena memang tidak mau berdekatan dengan Indira.

Suasana menjadi terlalu canggung. Indira beberapa kali menoleh ke arah pintu. Berharap Arsad segera datang. Dia butuh suaminya untuk ada di sisinya. Tapi hingga Ibu duduk di salah kursi dan meja makan telah lengkap, Arsad belum juga datang.

"Gimana kabar rumah tangga kalian?"

"Baik, Bu."

"Masih tahun pertama, belum kelihatan boroknya. Pastikan nggak ada orang ketiga yang ganggu kalian."

Belum apa-apa, Indira sudah tertampar. Ibu bukan sedang menasihatinya. Tapi memang sengaja menyindirnya.

"Karena kamu nggak tahu, orang ketiga ini liciknya seperti apa. Melebihi ular berbisa."

Indira kehilangan kata-kata.

"Kita makan duluan nggak masalah, kan?"

Ada kelegaan kecil. Indira memegang centong nasi, mengambilkannya untuk Ibu. "Ibu masak semuanya sendiri?"

"Kamu nggak suka?"

"Suka. Aku selalu suka masakan Ibu."

Ibu menolak diambilkan lauk. Jadi Indira mulai mengisi piringnya sendiri. Dia ingat semua menu di meja. Makanan yang dulu kerap dimasak Ibu ketika keluarga ini masih lengkap. Pasti Ibu merasa sedih saat memasaknya tadi. Alih-alih menyuap seperti yang Ibu lakukan, Indira masih diam mengamati.

"Ibu punya sesuatu untuk kamu."

Indira mengernyit. Mengedarkan mata sekilas, mengira sesuatu yang dimaksud adalah sebuah benda. Yang sudah dipersiapkan di dekat meja makan agar mudah diambil. Tapi tidak ada benda seperti itu yang terlihat.

"Ucapan terima kasih karena kamu sudah tahu diri mengembalikan apa yang tidak menjadi hak kamu."

Kernyitan dahinya semakin dalam. Tapi dia coba tersenyum. "Ibu nggak perlu ngasih aku apa-apa."

Ibu berhenti makan setelah suapan pertama. Dia mengeluarkan sesuatu dari saku terusan yang dipakai. Menaruhnya di meja, digeser mendekat ke Indira dengan jarinya.

"Aku temukan ini di kamar Fadil."

Indira hanya melirik sekilas, potret Fadil bersama seorang perempuan, dan kembali menatap ke Ibu. Barangkali Ibu ingin cerita tentang perempuan yang dekat dengan anak lelakinya. "Fadil minta Ibu buat melamar—"

Kalimatnya terhenti saat lirikan kedua dan Indira seketika membeku.

"Kamu pasti mengenalinya, kan?"

Indira terus menatap selembar foto itu. Pikirannya mendadak kosong. Dia dengar Ibu yang bertanya, memastikan kepadanya, tapi bibirnya tetap terkatup rapat.

"Perempuan itu, dia yang meninggal di sebelah Fadil saat kecelakaan. Nadia. Bohong kalau kamu tidak mengenalinya. Arsad pasti sudah cerita tentang kakaknya." Ibu meneliti wajah pias di depannya. Seringai senang terbit di sudut bibir Ibu. "Tapi mungkin tidak cerita bagian ini. Kamu sepertinya nggak tahu kakaknya meninggal karena apa."

Indira sempurna mencelos di kursinya.

Ibu melanjutkan. Seperti dugaannya, Indira akan syok berat mengetahui ini. Astaga, menyenangkan melihat anak ini terpuruk. Tapi dia menahan seringai berikutnya. "Aku minta Nur untuk cari tahu lebih banyak tentang Nadia. Nggak tahu mungkin ketemu sosial medianya atau lainnya. Nur nemu foto Nadia dengan Arsad. Suami kamu. Aku yakin kamu nggak bodoh buat menyimpulkan satu hal saja."

Tangan Indira lunglai di samping tubuh. Atau persendian lainnya. Dia bisa berdiri dan pergi sekarang juga. Tapi tidak. Dia terus di sana mendengarkan semuanya.

"Sudah aku bilang. Nggak ada yang mencintai kamu dengan tulus."

Dan berikutnya,

"Dendam? Kasihan? Ternyata kamu hidup dalam kepalsuan. Aku turut prihatin. Sayang sekali hidupmu masih saja berantakan."

Lalu,

"Kamu pantas mendapatkannya, Indira."

Pikirannya mulai berisik, sangat berisik sekarang. Sampai dia tidak mendengar suara pintu yang terbuka dan derap langkah menuju meja makan. Disusul cerita singkat kalau macetnya terlalu parah.

"Arsad di sini. Kamu bisa tanya sendiri ke orangnya. Kenapa dia bersedia menikahi perempuan seperti kamu."

Indira berhasil memaksakan diri untuk bangkit dari kursi. Menunduk ke isi piringnya yang masih utuh karena tidak ingin melihat kemenangan di wajah Ibu. "Makasih buat makan malamnya, Bu." Tercekat. Suaranya bergetar. "J-juga untuk kejutannya."

"Aku senang kamu menyukainya."

Sebuah tangan menyentuh lengannya, menyebut namanya. Indira mengelak dan susah payah meninggalkan meja makan. Tangan yang sama coba menahannya lagi. Tapi Indira bersikeras pergi.

Dia tidak mendengar apa pun selain suara ribut di kepalanya.

Bagaimana caranya marah? Indira kebingungan. Berteriak-teriak? Melempar barang? Memecahkannya menjadi kepingan? Menampar seseorang? Menyakiti diri sendiri? Atau apa?

Dia lupa caranya marah. Kapan terakhir? Ah, di jembatan hari itu. Sudah tiga tahun ketika Ibu menyuruhnya mati saja. Tapi apakah itu luapan perasaan marahnya? Bukan, sepertinya bukan. Dia hanya terlalu putus asa saat itu. Merasa tidak dicintai siapa pun. Pantas mati karena hidupnya tidak pernah berharga.

Rintik besar air menghunjam kepala, bahu dan sekujur tubuhnya. Dalam sekejap dia menjadi kuyup. Alih-alih beranjak, dia mematung. Meremas tali tas yang lepas dari bahunya. Merasakan sesak hebat yang menghimpitnya dari segala arah. Kepalanya tidak cuma riuh, tapi memutar semua perkataan Ibu seolah dia sudah lupa setiap kata.

Lalu ada sebuah pelukan dari arah belakang, bisikan maaf dan bujukan di antara gemuruh langit dan hujan.

Indira gagal merasakan tenang yang biasanya. Pelukan ini secara cepat berubah menyakitkan untuknya.

"Aku nggak pernah dengar kamu minta maaf ke aku," gumamnya lelah. "Kamu akhirnya bilang maaf."

Sudah seharusnya. Tapi Indira benci mendengarnya.

***

Gwencana? Kalian gwencanaa? 😭🙏

Dah ya, aku udah ditungguin Jungkook mau malmingan 😭🏃‍♀

Sabtu/18.11.2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top