Chapter 29

Imajinasiku terdistraksi wkwkkk
Arsad di bayanganku gak cuma Seokjin tapi Kim Young Dae jugaaaa🤡😍


***

Arsad tahu Indira hanya manusia biasa. Mood-nya tidak berbeda jauh dari perempuan kebanyakan. Ditambah ada beban pikiran yang belakangan menjadi momok untuk istrinya itu. Di hadapan semua orang selalu berusaha ceria, seolah punya nyawa sembilan seperti kucing dan hormon bahagia berlebih, tapi di hadapannya berbeda.

Indira di hadapannya menjadi dirinya sendiri. Menampilkan banyak jenis emosi yang kadang mudah ditebak, kadang sulit. Jika terlalu lelah, istrinya itu diam seperti saat ini.

Tapi akhirnya bersuara. "Kalau ada reinkarnasi, aku mau jadi batu aja."

"Kalau kamu jadi batu, aku apa?"

"Batu juga. Kalau ketemu lagi, kita beneran jodoh."

Arsad pusing membayangkan sesama batu bertemu, menjadi jodoh lalu menikah dan punya anak. Anaknya kerikil. Semenjak mengenal Indira, otaknya memang jadi mudah berkhayal demi mengimbangi istrinya.

Topik bermanuver. "Kamu baik banget akhir-akhir ini."

Dia menangkap maksud Indira. Pasti soal Surabaya dan mengenalkannya ke Nadia. Juga mungkin tindakan-tindakan manis lainnya. Dia pikir Indira menerimanya tanpa banyak tanya.

"Mau minta anak, ya?"

Arsad tersedak ludahnya sendiri. Kemudian berdeham, mengembalikan obrolan ke jalur yang benar. "Bukannya kamu seneng aku berubah?"

"Karena apa dulu." Matanya mengerling. "Mau anak?"

"Demi kamu lah."

"Apa boleh buat, kamu sebaiknya memang nggak melawan hati."

"Jadi apa yang sebenarnya kamu pikirin dari tadi?"

Indira naik ke atap di bangunan belakang rumah setelah gagal tidur cepat. Arsad menyusul siapa tahu istrinya butuh teman bicara. Tapi saat dirinya menyusul ke atap, justru hening menyambutnya cukup lama sampai kemudian Indira bilang ingin jadi batu. Akhirnya sadar kalau jadi manusia cerewet itu sangat melelahkan.

"Aku lagi nggak mikir apa-apa, makanya kepikiran jadi batu."

"Ketemu siapa hari ini?" Arsad tahu masalahnya di sana. Indira tidak mudah sedih hanya karena ada komplen dari pelanggan, karyawan yang membuat kesalahan, atau stress pekerjaan.

Seingatnya sepulang dari bertemu Nadia kemarin sore, Indira masih baik-baik saja. Dalam rentang seharian ini pasti ada kejadian yang membuat Indira pulang dalam keadaan bungkam.

"Aku ke tempat Mama." Indira menampilkan raut tenang, menyembunyikan sedih dengan pintar. Sadar bahwa sejak tadi Arsad diam-diam menelitinya. Dia telah berjanji ke diri sendiri dan juga suaminya, dia sanggup menghadapi situasi saat mamanya muncul kembali. Seberapa pun kuat keinginannya untuk lari menjauh saja.

"Nggak ngajak."

"Kamu kan pernah ke sana."

"Justru itu."

"Sama kayak kamu, aku datang karena dia yang minta."

"Tujuannya apa minta kamu ke sana?"

Indira memberi respons lambat. Seperti sedang memilah mana yang harus dia katakan ke suaminya, mana yang sebaiknya ditelan sendiri.

"Nggak usah difilter. Kalau aku nggak boleh ikut campur terlalu jauh, seenggaknya aku berhak tahu."

"Kami ngobrol biasa."

Mudah ditebak. "Kamu dimintai apa?"

"Warisan yang dikasih Ayah ke aku."

Arsad mengumpat. "Dia janji nggak bakal ganggu kamu waktu minta uang ke aku. Tapi apa, muncul juga di depan kamu. Kali ini dia janjiin apa?"

Indira menunduk.

Arsad menghela napas. "Kamu iyain?"

Menggeleng. "Aku ada rencana buat balik nama ke Ibu. Jadi nggak akan ada yang bisa Mama ambil dari keluarga Ibu."

Sepertinya sudah bulat. Arsad berusaha menghargainya tanpa mengeluarkan pendapat apa-apa. Mau dibalik nama ke siapa pun, itu hak Indira.

"Setelah semua yang kamu lewati, kenapa kamu tetap menyayangi mereka?"

"Aku layak dibenci mereka. Yang ini tolong jangan didebat, sesering apa pun aku ngerasa aku berharga, aku tetap merasa di posisi yang serba salah. Alasan lain, aku tahu mereka memang nggak pernah sayang aku dari awal. Nggak pernah bisa."

"Gimana kalau besok-besok aku bikin kamu kecewa?"

Indira menoleh.

"Apa aku tetap kamu sayangi?"

***

Arsad memilih merokok di teras sementara di dalam rumah, Indira duduk bersama Ibu dan seorang notaris.

Dia hanya datang tanpa ingin melihat prosesnya. Setelah itu dia bisa membawa Indira pulang. Jangan sampai tercetus ide menginap di rumah ini. Sebenarnya dia tidak sudi menginjakkan kaki di rumah ini kalau bukan karena Indira yang kerap punya urusan dengan pemilik rumah, bahkan tetap terikat meski Arsad sudah menikahinya dan membawanya keluar dari rumah ini.

Sambil menunggu, dia mengingat kembali pertemuannya dengan Laras pagi tadi di rumah Tante Elma saat Arsad mendadak diminta mampir sarapan di sana. Tidak ada kecanggungan, semua berjalan seperti biasanya. Barulah ketika mereka satu mobil setelah Arsad menawarkan tumpangan, kebekuan mulai terasa. Entah siapa yang lebih dulu menciptakan jarak. Karena Arsad mencoba bersikap normal, diam seperti biasanya, maka sikap diam Laras menjadi mencolok.

Tapi mereka membutuhkan alarm ini untuk memulai pembicaraan. Sama-sama tahu apa yang mengganggu di benak masing-masing.

"Aku udah bicara aneh-aneh ke istrimu, Ar."

"Mau gimana lagi, telanjur kan."

"Aku minta maaf. Aku nyesel, bahkan nggak berani hubungin kalian buat minta maaf lebih awal."

"Indira nggak marah soal itu. Dia bisa ngerti. Tapi aku minta tolong untuk ngertiin dia balik, Kak." Sebagai penegasan, sejak di rumah Tante Elma, Arsad kembali memanggilnya dengan sebutan tersebut. Karena Arsad tidak bisa marah apalagi menghakimi perasaan Laras, jadi hanya ini yang bisa dia lakukan untuk memberi batasan. Tapi dia yakin Laras bukan perempuan jahat yang akan merusak kebahagiaan seseorang yang sudah dianggap adiknya sendiri.

"Aku nggak akan ganggu hubungan kalian."

Arsad mengangguk, lalu ada satu kata mahal yang meluncur dari bibirnya. "Maaf."

Laras tersenyum. "Kalau situasinya lain, kamu masih sendiri, aku rasa aku tetap jadi kakakmu, Ar. Aku di matamu selalu begitu, kan? Tatapan di stasiun hari itu, fakta kalau kamu pilih jemput aku ketimbang rayain ulang tahun bareng istri dan keluarga, aku tetap sadar tempatku di mana." Laras kemudian mengutarakan ganjalan yang lain. "Terlepas dari dendam itu, aku salah menilai, kamu sungguhan mencintai Indira. Aku berharap yang terbaik buat kalian. Tapi dia lebih baik tahu dari kamu, bukan dari orang lain."

"Aku paham." Tanpa bisa mengatakan kalau dia sebenarnya takut. Dia takut menerima kebencian dari Indira. Takut ditinggalkan tanpa diberi kesempatan memperbaiki sementara dia memiliki ketergantungan yang besar pada Indira. Dia takut melihat dunia yang dia susun kembali dan tetap meninggalkan banyak celah ini, runtuh sekali lagi.

Pintu terbuka. Arsad berbalik, mengangguk kecil pada notaris yang melewatinya. Di dalam rumah, Indira berpamitan dengan Ibu dan Bi Nur. Arsad hanya pamit lewat senyum tipis.

Namun, saat menunggu Indira menghampirinya, Arsad merasa sepasang mata Ibu menatapnya berbeda dan seringai kecil muncul di sudut bibirnya.

Apakah akhirnya dirinya mulai dikenali? Arsad menyimpan pertanyaan tersebut rapat-rapat di dalam hati selama tiga tahun. Sepertinya sebentar lagi menemukan jawaban.

***

Sepulang dari rumah Ibu, ada yang menyambut di depan rumah. Pantas firasat Arsad jelek sepanjang jalan. Terlambat untuk kabur.

Lila lompat-lompat saat melihat Arsad keluar dari mobil. Lengkap dengan tas pink kebesaran, anak itu memeluk perutnya. Tanpa sungkan. Anak-anak lain seumuran dia tidak begini tingkahnya, kan? Kecuali kalau Arsad ini badut ulang tahun.

"Om lama nggak muncul di ruko," protes bibir mungil Lila.

"Males ketemu kamu."

"Ar."

Mendapat peringatan serta pelototan istrinya, Arsad memperbaiki jawaban. "Om sibuk, Lila."

Arsad melirik keberadaan Abel di teras. "Tapi, Lila, lain kali kalau ke sini jangan ngajak sopir yang itu."

Lila terkikik dan mundur. Mendongak maksimal. "Kenapa?"

"Bau kecoak." Kemudian berjengit karena Indira memukul punggungnya ketika melewatinya untuk menuju teras.

"Udah lama, Bel?"

Meski dikatai bau kecoak, Abel tetap ramah. "Ah, belum kok. Kalian pergi umroh dulu pun aku sama Lila pasti masih nunggu di sini."

Dan dihadiahi tatapan sewot dari Arsad.

"Bawa apa?" tanyanya ke Abel. Melihat banyak plastik di kursi teras.

Indira membuka pintu. Mempersilakan tamunya masuk. "Kalau mau ke sini nggak perlu repot-repot, Bel."

"Bawa apa-apa aja udah mau diusir, Mbak, apalagi nggak bawa." Ditujukan ke Arsad yang seperti ingin mengajaknya sparing tinju.

Indira berbisik. "Asal kamu bawa Lila, dijamin aman, dia bakal mati gaya." Melirik ke meja ruang tamu, di mana Lila menumpahkan isi tas pink-nya dan memaksa Arsad untuk menungguinya. Sementara Indira membongkar makanan dari Abel di meja dapur.

"Mbak tahu kenapa Lila terobsesi sama Bang Ar?" tanyanya lirih. "Aku sempat takut kalian mikir aneh-aneh soal Lila."

Indira mengeluarkan gelas dari kabinet. "Kami suka sama Lila kok. Arsad juga sebenarnya. Cuma dia gengsi bilang."

"Bang Arsad mirip papanya Lila yang udah meninggal. Nanti aku cerita banyak habis kita makan."

Gerakan Indira sempurna terhenti. Dia memandang ke arah ruang tamu, kali ini lebih lama. Lila sedang membuka bungkus lego dibantu Arsad yang tampak sudah pasrah. Meskipun tanpa menunjukkan reaksi takjub pada setiap benda ajaib yang dikeluarkan Lila dari tas pink, sudah bagus Arsad tidak pergi dari sana.

Ketika mereka selesai makan malam, dan Indira menahan Lila tetap bersamanya di area dapur, Abel mengajak Arsad bicara di kursi dekat kolam renang.

Indira sesekali melihat ke arah pintu kaca. Memperhatikan perubahan raut muka suaminya, dan dia bisa merasakannya. Arsad juga menatap ke arahnya, lebih tepatnya ke Lila yang asyik menempelkan magnet kulkas yang sengaja dia bawa ke sini. Indira memperbolehkan anak itu memasang sesuka hati.

Selesai memasang magnet, Indira mengajak Lila duduk di depan TV. Berniat mengajaknya memasang lego yang dibukanya tadi tapi Lila sudah mengucek mata. Indira menawarkan pangkuan sebagai bantal dan tak lama Lila tertidur.

Indira mencibir lirih ke Arsad yang akhirnya beranjak masuk. "Nggak akur tapi sekalinya deep talk, bisa satu jam."

Abel nyengir di belakang Arsad.

Arsad bergumam lalu matanya jatuh ke pangkuan Indira. Tempat tubuh mungil Lila sedang meringkuk nyaman.

"Mau pulang sekarang?" Indira bertanya lirih. Abel mengangguk.

Tangan Arsad menahan Abel yang berniat menuju ke sofa. "Mundurin dulu mobilmu, biar Lila aku yang gendong." Abel mengangguk lagi.

Indira melihat sendiri bagaimana Arsad sempat mengusap kepala Lila sebelum hati-hati memindahkan tubuh itu ke dalam dekapannya.

"Malah bengong, bawain tasnya Lila."

Mereka menunggu hingga mobil Abel hilang di belokan cluster. Setelahnya pun masih menatap jalanan yang lengang.

"Orangtua Lila meninggal di kecelakaan tunggal. Lila yang waktu itu masih bayi selamat di car seat-nya. Papa Lila adik papanya Abel. Umur Lila tiga tahun saat itu, dirawat dan dibesarkan Tante Rini seperti anak sendiri."

Indira manggut-manggut. "Aku nggak dengar cerita lengkapnya tapi ngerasa sedih banget." Sepertinya itu yang dirasakan Arsad meski hanya dipendam dan ditutupi di balik wajah tenangnya. Berbeda dengan yang dia lihat di kursi kolam renang tadi.

"Lila tahu fakta ini tapi anaknya selalu ceria. Jadi kamu mulai terima sikap Lila ke kamu?"

"Ya. Walau aku lebih ganteng dari papanya."

"Emang udah lihat fotonya?"

"Satu jam menurutmu ngapain, Ndi? Nggak cuma foto, aku bahkan tahu pohon keluarga mereka. Kalau bukan urusan anak kecil yang juga bikin aku penasaran, aku nggak sudi denger Abel ngoceh kayak sales obat kuat."

"Apa tadi? Gantengan kamu?" Menahan geli. "Awas ntar dimimpiin papanya Lila. Mungkin pengin say hello ke kamu."

"Jangan aneh-aneh!" Berbalik masuk rumah.

"Sama bilang jangan jutek-jutek ke anaknya."

Arsad malas menanggapi.

"Aku tidur di kamar deket kolam renang, ah."

Seketika Arsad berbalik, menatapnya tajam dari ambang pintu.

Indira buru-buru merangkul lengan suaminya. Sedikit bergelayut, membujuk biar tidak ngambek malam-malam. "Bercanda, oke? Aku percaya kamu lebih ganteng dari siapa pun."

***

Extended 29 udah update di sebelah. Harga kayak biasanya. Makasih yg nyusulin💕

Makasih jg pembaca setia lainnya😘

Ketemu lagi dalam keadaan sehat ya🤗

Kamis/16.11.2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top