Chapter 28
Arsad pergi menemui Ibu.
Tebakan Indira meleset. Dia mengira Arsad pergi tanpa tujuan, sekadar mencari angin segar karena terlalu muak menghadapinya. Mungkin akan kembali besok paginya. Tapi sebelum tengah malam, syukurlah Arsad pulang, meski dengan mimik muka yang semakin tak keruan dan sulit dibaca.
"Lebih baik kamu muterin ibu kota ketimbang datang ke rumah Ibu. Aku sangat menghargai usaha kamu. Tapi bukankah nemuin Ibu bikin kamu makin jengkel?"
Arsad mengangguk, mengakuinya. Dia naif sekali ingin menjadi jembatan untuk Indira dan ibunya. Mengubah keadaan yang, sebelum dia datang sudah kusut tidak tertolong. Menjadi peduli cukup melelahkan. Sementara istrinya mungkin tidak mengharapkan apa-apa darinya selain keberadaannya.
Senyum Indira mengembang sendu dari pantulan cermin, layaknya ucapan terima kasih yang sering diutarakan lewat kata. Tapi malam ini Indira mungkin lelah mengatakan apa pun. Hairdryer kembali menyala. Indira fokus mengeringkan rambutnya. Arsad sudah bilang bisa mengeringkan sendiri tapi istrinya memaksa.
"Kamu yakin bisa handle sendiri?"
Indira bisa dengar karena Arsad sengaja mengeraskan suaranya. "Aku nggak mau nyusahin kamu. Hubungan kami udah begitu jauh sebelum kamu datang. Mama juga. Tolong jangan terlibat lagi. Mereka cukup jadi urusanku."
Dia suka Indira yang kuat, tapi satu sisi dia harus terima ketika Indira seolah tidak butuh bantuan darinya.
"Tapi kamu boleh ...." Kalimatnya menggantung. Berpikir keras mencari kalimat yang tepat.
"Boleh apa?"
"Ngeluh. Silakan ngeluh kayak biasanya kalau capek. Nggak ada manusia yang tahan punya ibu kayak mereka."
"Udah ganteng, baik banget lagi."
"Siapa?"
"Abel. Emang aku kelihatan muji kamu ya?"
Arsad mendecak. Pujian itu kan memang untuknya.
Masih duduk di depan cermin, Arsad belum beranjak ketika Indira sudah mematikan hairdryer dan masuk ke kamar mandi. Menatap kosong pantulan diri sendiri. Tersimpan dilema di dalam hati sejak membawa Indira ke Surabaya. Dan itu terus mengganggunya.
Gaung itu semakin kencang berbunyi. Semakin sering melintas dalam benaknya. Sampai kemudian membentuk dua pilihan; bercerita pelan-pelan tentang Nadia, atau membiarkan semua berjalan sebagaimana mestinya. Dia hanya perlu menunggu Indira mengetahui dengan sendirinya dan berharap waktunya bersama Indira masih tersisa banyak.
Jika dia jujur tentang semuanya, Indira pasti akan memaafkannya, kan? Indira orang paling pemaaf yang pernah dia kenal. Indira bahkan tidak membenci Mama dan Ibu. Karena pertimbangan inilah dia berpikir untuk keluar dari kungkungan dendam dan memulai hidup yang lebih baik bersama Indira.
Indira pasti memaafkannya. Tapi di sisi lain dia mengerti, memaafkan dan memaklumi semua kepalsuan yang dirinya tunjukkan, akan sangat menyakitkan bagi Indira.
Mana yang lebih baik? Arsad tidak mau dihantui perasaan tidak nyaman setiap kali melihat Indira tersenyum tulus padanya. Pilihan mana pun yang dia ambil, tetap akan menyakitkan. Yang dia tidak tahu, kecewa seperti apa yang harus dia hadapi dan terima. Berapa lama yang dibutuhkan Indira untuk terbiasa dengannya lagi. Dia akan meruntuhkan kepercayaan dari Indira, dan mungkin cukup sulit membangunnya kembali. Tapi setidaknya, setidaknya Indira bukan dengar dari orang lain. Tapi darinya sendiri.
Pintu kamar mandi terbuka.
"Besok bisa pulang lebih awal, Ndi?"
Tanpa berpikir lama. "Bisa. Kamu mau ditemani ke mana?"
Sempat terdiam beberapa detik, menatap istrinya yang menunggu.
"Ayo lihat Nadia juga."
Giliran Arsad yang menunggu. Indira belum bereaksi banyak selain bengong, seperti belum percaya apa yang didengarnya. Arsad pun bangkit, melangkah ke walk in closet. Tak lama keluar membawa sesuatu di tangannya.
Indira bingung ketika Arsad menyuruhnya duduk lalu membuka lipatan dompet dan mengeluarkan foto Nadia dari sana.
"Aku udah lihat foto Kak Nadia di rumah Eyang."
"Tapi waktu itu kamu pengin lihat foto yang ini." Maksudnya dia menyesal sudah membentak Indira waktu itu. "Lihat baik-baik. Di foto ini dia mirip banget sama aku. Ini foto waktu dia masuk kuliah."
Karena dipaksa, Indira tetap menerima foto itu. Mengamati sambil berpikir ketika di rumah Ibu tadi mungkin Arsad kepentok sesuatu makanya mendadak bersikap aneh begini. Selesai mengamati, Indira mengembalikan foto tersebut ke pemiliknya.
"Kenapa, Ar?"
Menyimpan rapi foto ke dalam dompet, lantas meletakkannya di meja nakas. "Kenapa apanya?"
Menggeleng, mengusir firasat lain yang muncul. Memberi senyum manisnya. "Aku senang kamu mulai terbuka soal keluarga kamu."
Arsad juga senang, sedikit lega, tapi dihantui banyak rasa takut. Setiap saat.
"Kamu bicara apa sama Ibu?"
"Sebaiknya kamu nggak tahu."
"Pasti buruk."
"Hm." Sangat buruk.
***
Arsad menjemput Indira di pelataran hotel bintang lima dan bukan di toko bunga miliknya. Bukan hal baru. Indira sering kerja di luar toko.
Tapi dia tetap bertanya. "Habis ketemu klien?"
"Tebak aku ketemu siapa."
Arsad tidak suka main tebak-tebakan. Baiklah, dia coba sekali ini saja. "Siapa aktor idola kamu itu. Yang bikin kamu halu jadi Dian Sastro padahal nggak ada mirip-miripnya sama sekali."
Ini kenapa malah Indira kena roasting suami sendiri. "Nicsap."
"Jadi, ketemu Niscap?"
"Nicsap. Bukan, yang ini lebih fenomenal lagi."
Arsad diam, tidak lanjut menebak. Membuat Indira menyerah cepat. "Diva."
"Oh."
Indira memperjelas. "Diva mantan kamu."
Tidak kaget sama sekali. "Ya. Terus?"
"Minimal panik dikit, Ar."
"Buat apa panik."
"Dia ngobrol banyak sama aku, lho. Anaknya ramah terus nyambung sama aku. Kirain kaku sama orang yang buta politik."
Arsad tidak penasaran. Apa sih yang mantan coba bahas? Masa lalu? Dia putus baik-baik dengan Diva. "Kamu ada kerjaan sama dia?"
"Aku ikut event planner yang ngurus acara kampanye dia."
"Oh."
"Beneran nggak penasaran?"
"Maksa."
Indira mencebikkan bibir. Usahanya memancing Arsad gagal padahal ada obrolan menarik antara dirinya dengan Diva.
"Dia nanyain kamu kok nggak pernah datang reuni. Katanya, banyak alumni yang sekarang tinggal di Jakarta. Itulah kenapa dia bisa ngenalin aku. Katanya lagi, dia datang ke resepsi kita meski nggak dapat undangan. Dia perginya sama temen lain yang kamu undang. Kok kamu nggak ngeh sih?"
Dari sekian banyak ocehan istrinya, dia cuma peduli kalimat pertamanya. "Kamu jawab apa?"
"Soal reuni? Aku jawab reuni berikutnya kamu bakal datang."
"Mereka kumpul cuma buat pamer harta."
"Kamu punya harta, ikut pamer aja."
Arsad menoleh. Persis seperti dugaannya. Indira sedang memegang kedua pipinya sendiri sambil kedip-kedip. Ya Tuhan, dia sempat lupa kalau punya istri yang aneh.
Menurunkan tangan dari pipi. "Aku aneh, ya?"
"Emang."
Sama seperti ketika di Surabaya, kali ini perjalanan ke peristirahatan Nadia, Indira juga banyak bicara untuk mengisi kekosongan. Topik tentang Diva sudah dilupakan padahal Arsad penasaran mereka mengobrol apa saja. Tapi kalau dilihat dari raut tenang istrinya, pasti bukan sesuatu yang serius, dan tentu bukan hal yang bisa Indira gunakan untuk menyindirnya perkara mantan.
Kalau mau diingat sebentar, Diva teman kelas yang menyenangkan dan seberisik Indira walau awalnya tampak menyebalkan. Diva orang pertama yang berani mengambil langkah untuk mendekatinya. Tidak kapok meski Arsad selalu menunjukkan muka masam dan selalu menolaknya. Dia akui jika Diva memang segigih itu hingga membuatnya luluh. Dua tahun yang menyenangkan tapi juga merepotkan. Mereka putus ketika Diva berkuliah di Jakarta dan Arsad tetap di Surabaya.
Ada ruang kosong yang cukup lebar di dekat pusara Nadia. Sehabis berdoa, Arsad duduk bersila nyaman di atas rerumputan yang sepertinya habis dipotong penjaga makam. Indira melakukan hal yang sama di sebelahnya.
"Gimana rasanya punya kakak?" Memang terdengar klise. Indira mungkin akan dapat jawaban yang sama klisenya. Tapi dia tetap ingin dengar.
Arsad tampak hati-hati menjawab, karena ini juga personal untuk istrinya. "Aku anggap dia teman sebaya." Menatap nisan dengan seringai. "Galak. Bossy banget kalau di rumah. Berasa ratu sejagad apalagi kalau udah mode bersih-bersih, nyeremin banget. Suka buangin barang-barang yang kata dia nggak guna padahal masih dipakai. Emang nggak pernah bikin Eyang migrain karena ulahnya, soalnya dia pinter ngatasi masalahnya sendiri. Pernah bikin masalah di sekolah tapi nggak pernah sampai ke telinga Eyang."
"Sementara kamu?"
"Jadi langganan. Eyang mumet punya cucu kayak aku." Menoleh sejenak. "Tapi kelas sepuluh doang nakalnya. Kelas sebelas aku pindah sekolah, masuk kelas bahasa, ketemu sama Diva itu."
"Tobatnya karena ketemu Diva, ya?"
"Bukan. Udah jera sendiri. Kalau diterusin aku makin rusak. Tinggal punya Eyang, masa aku bikin kecewa terus."
"Tunggu deh, biar aku tanya, kamu serius masuk kelas bahasa?" Indira tak kuasa menahan tawa gelinya sampai harus menopang dahinya dengan telapak tangan. "Kamu nggak punya potongan anak bahasa, Ar. Kok bisa sih."
"Nggak tahu. Aku pindah dan tahu-tahu masuk ke kelas itu. Mungkin Eyang yang diam-diam minta ke guru biar aku banyak ngomong."
"Tapi jadi banyak omong?"
"Nggak juga. Mana di kelasnya cuma ada dua murid laki-laki."
"Pantes Diva naksir berat ke kamu."
"Iya, satunya ngondek. Diva nggak punya pilihan lain."
"Heh."
"Emang beneran kok."
"Tapi Diva bilangnya lain. Dia naksir kamu, ya alasannya umum gitu. Kamu ganteng lah, rapi lah, wangi lah. Wajah jutek kamu kata dia malah bikin menarik. Tapi aku sama Diva cantikan siapa?"
Kan. Mulai kan. Pasti arahnya ke sana.
Indira terkekeh menepuk lengan suaminya. Dia cuma bercanda, kembali ke Nadia. "Sering berantem sama Kak Nadia?"
"Sehari-hari."
"Eyang belain siapa?"
"Tentu cucu perempuannya."
Indira tertawa kecil untuk hal yang menurut Arsad tidak lucu. Tapi dia ikut menyungging senyum saat melihat mata istrinya melengkung. Lihat, Kak. Kalau kamu masih ada, dia adalah hal terbaik yang bisa aku bawa ke keluarga kita.
Satu jam berlalu cepat. Daun-daun kamboja berderak oleh angin yang bertiup petang itu, sebagian bunganya gugur di atas nisan-nisan. Burung-burung bergeming di dahan pepohonan, sesekali berkicau. Melihat kepergian dua manusia yang salah satunya mereka kenal baik sebagai pengunjung tempat ini tiga tahun belakangan. Walau tidak rajin-rajin amat datang tapi meninggalkan kesan berbeda dari yang lain. Terlihat paling kesepian dan membawa mendung gelap di atas kepala. Tapi rupanya penilaian mereka berbeda hari ini.
Pohon dan burung-burung ribut bersahutan;
'Anak itu akhirnya datang.'
'Dia tidak sendirian kali ini.'
'Anak itu sempat tersenyum beberapa kali. Perempuan itu pasti spesial.'
'Istrinya? Ya, sepertinya begitu. Cantik.'
'Apakah dia sedang bahagia?'
'Terakhir kali datang ke sini dia menangis diam-diam.'
'Mukanya lebih bersahabat hari ini.'
'Yang jelas anak itu tidak sariawan lagi. Bisa cerewet juga. Malah terlalu cerewet.'
***
Gak ada extended. Tapi bagi yg blm baca dan misal ingin baca ke sebelah, chapter ini relate sama Extended 27 dan Arsad's Pov: Hurt-people hurt people. Bisa cari di bagian seri dgn judul HOME 😉
Makasih yaa. See youu 😚
Senin/13.11.2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top