Chapter 25
"Lupain apa yang Laras bilang ke kamu."
Mereka berangkat ke Surabaya di Jumat malam.
"Meski susah, paksa lupain."
Indira lebih banyak diam, menatapi titik-titik cahaya dari jendela pesawat. Sama sekali tidak menyinggung tentang kunjungannya ke rumah Laras lagi, setelah memastikan jika Arsad tidak pernah memiliki perasaan yang sama seperti Laras. Sebagai sesama perempuan, dia merasakan itu sejak bertemu Laras pertama kali di rumah Tante Elma. Tentang bagaimana cara Laras menatap Arsad. Semula hanya dugaan, tidak sungguhan berharap firasatnya memang nyata. Dan kenapa dia mesti memastikan dan melihat sendiri bagaimana sorot terluka Laras saat mengakuinya.
Itu membuatnya dihantui perasaan bersalah. Indi banyak merenung akhir-akhir ini. Mungkin setelah pulang dari Surabaya, dia akan menemui Laras dan meminta maaf.
Arsad memperhatikan keterdiaman istrinya sejak pesawat take off. Mungkin kepikiran dengan fakta yang didengar beberapa hari lalu. Salah sendiri cari penyakit, berani melanggar janji untuk tidak menemui Laras sendirian. Tapi yang ditakutkan Arsad tidak terjadi, seperti Laras membeberkan cerita tentang Nadia. Justru hal mengejutkan lainnya. Laras mengakui perasaannya di depan Indira.
"Apa kamu selama ini nggak ngerasa kalau dia punya perasaan khusus ke kamu?"
"Seperti yang aku bilang kemarin, aku tahu. Terus aku harus gimana kalau dia nggak pernah bilang."
"Kamu nggak coba untuk mengenali perasaan dia?"
"Kenapa aku harus memaksakan diri? Dia udah kayak keluarga, Ndi." Yang Arsad tidak tahu jika perasaan itu ternyata masih ada hingga saat ini. Dia jadi mengingat kembali saat menjemput ke stasiun, apakah ada raut Laras yang luput dia sadari.
"Kamu diam karena ngira dia bakal berhenti sendiri." Indi yang cerewet sudah kembali. "Jangan-jangan sikapku kemarin justru bikin hubungan kalian buruk? Aku habis dari Surabaya niat mau nemuin dia dan minta maaf. Jadi kamu sebaiknya diam aja, Ar, ini semua bermula dari aku. Aku bakal selesaiin sendiri."
"Justru aku yang harusnya bicara sama dia."
"Jangan. Aku aja."
"Makanya dengerin larangan suami."
Indira menghela napas. "Aku nggak ngira kalau dia seterluka itu."
"Nggak ada yang nyuruh dia buat nunggu. Itu salahnya sendiri."
"Kamu kalau nyalahin orang paling jago."
Arsad tercekat. Merasa tertohok. Nadanya sontak terdengar dingin. "Haruskah aku nyalahin diri sendiri untuk sesuatu yang bukan salahku?"
Indira lupa, Arsad bukan dirinya yang kerap menyalahkan diri sendiri. Pun terbiasa disalahkan atas kondisi yang dia tidak mengerti. Dia nyaris memaksakan sesuatu yang dia rasakan, untuk dirasakan oleh orang lain.
Mengusap lengan suaminya. "Maaf."
Arsad memaki di dalam hati, menolak menatap istrinya. Tapi menurunkan suaranya. "Biar aku yang bicara sama dia."
"Gimana kalau ini karma?"
"Karma apa?"
"Aku nggak kaget kalau aku ngalamin apa yang dialami Ibu."
Dan jawaban Arsad membuat Indira mencelos. "Kalau sampai itu terjadi, lalu apa bedanya aku sama papaku?"
***
Mereka sampai di sebuah rumah yang Arsad bilang milik mendiang Eyang. Seperti rumah orang tua kebanyakan, banyak bingkai foto usang yang menempel di dinding. Ada jam besar yang menggantung di salah satu pilar, sepertinya sudah tidak berfungsi. Juga hiasan dinding, lukisan yang terbuat dari kain wol, yang sangat jarang ditemui saat ini. Dari sekian banyak foto yang menempel di dinding, Indira berhenti di foto yang terlihat baru. Wisuda Nadia, dan tidak ada wisuda Arsad—Eyang keburu pergi, itu yang dia dengar dari Tante Rini.
Membiarkan istrinya melihat-lihat, Arsad bergerak mencari letak sapu dan pengki lalu masuk ke kamar miliknya. Berniat membersihkan segera karena dia lihat Indira menguap beberapa kali selama di dalam taksi. Tapi seketika mati lampu.
"Jangan bercandain aku nggak bayar listrik ya."
Dari tempatnya berdiri, Indira nyengir. Daripada menabrak benda sekitar lebih baik dia menunggu. Ponselnya ada di dalam tas yang dia letakkan di kursi.
Arsad menyalakan senter ponsel. Mencari lilin di laci kamar dan ruang tamu, tapi tidak menemukan benda itu. Pun lampu emergency yang gagal menyala karena sudah lama tidak dicharge.
"Kayaknya kita mesti tidur di hotel."
"Jauh-jauh ke sini kok malah tidur di hotel, Ar. Kamu pasti kangen rumah ini juga."
Arsad menghampiri istrinya. "Kamu yakin? Aku nggak ada lilin. Warung sekitar sini jauh."
"Aku nggak takut gelap-gelapan. Kamu takut?"
"Enak aja. Pegang." Arsad memindahkan ponsel ke tangan istrinya. Lalu dia berjalan ke salah satu jendela besar tanpa kaca di ruang tengah, membuka dua sisinya dan cahaya bulan menerobos masuk lewat teralis besi.
Arsad berbalik masuk ke kamar, keluar lagi menggotong kasur busa. Diletakkan di dekat jendela.
"Aku bisa bantu apa?"
"Kamu tamu di sini. Diem aja di situ."
Jadi Indira hanya memegang ponsel, mengarahkan senter sesuai langkah Arsad yang mondar-mandir dan terakhir memasang seprai di kasur. Dia hampir lupa kalau suaminya pasti terlatih mandiri, bisa melakukan apa pun, kecuali tebar senyum dan beramah-tamah.
"Aku nggak tahu mati listriknya berapa lama, tapi dulu-dulu biasanya lama, bisa sampe pagi. Kadang kami bertiga begini. Gotong kasur dan tidur dekat jendela. Sambil cerita apa pun." Mengambil jeda, mungkin menghalau perasaan sedih yang datang. "Eyang bakal cerita soal masa mudanya yang banyak digandrungi perempuan, lalu perjuangannya mendapatkan hati Eyang putri. Aku sama Nadia tahu itu cuma bualan, Eyang nggak setampan itu." Arsad berdeham. "Tapi Eyang baik hati."
Indira tersenyum mendengarnya. "Apa Eyang juga kadang sedingin kamu?"
"Eyang ramah."
Terlihat dari foto yang dia pandangi tadi. Eyang berwajah teduh. Terlihat penuh kasih sayang. "Tapi karena kamu dibesarkan Eyang, pasti baik hatinya nurun ke kamu."
Arsad berbalik, menghampiri istrinya, mengambil kembali ponselnya. "Udah ngantuk kan. Aku antar ke kamar mandi."
Setelah diantar cuci muka dan bersih-bersih, Indira akhirnya bisa merebah di kasur. Bonus pemandangan bulan purnama dari bingkai jendela.
Arsad bergabung, duduk di tepi kasur. "Pakai lotion nyamuk dulu."
"Nggak mau, lengket di kulit."
"Enggak lengket." Arsad memaksa, mengambil tangan istrinya, mengoleskan lotion. "Aku nggak mau denger keluhan besok pagi. Tangan satunya."
Walaupun memasang wajah protes, Indira tetap menyerahkan tangannya, juga kakinya. Bukan manja. Tapi kapan lagi melihat batu gunung perhatian secara terang-terangan, di Jakarta belum tentu dia dapat.
"Kamu pasti suka naik ke tandon air itu." Kantuknya hilang setelah memandangi tower air, teringat dengan Arsad yang suka melihat langit.
"Kalau marah sama orang rumah, aku pasti ke sana."
"Kalau kamu marah sama aku, terus ngapain?"
"Diemin kamu lah."
Indira berpikir akan didiamkan setelah perdebatan kecil mereka di pesawat. "Berarti tadi nggak marah?"
Arsad yang semula memunggungi, berbalik, menyelipkan lengan di celah leher Indira, kemudian menekuk sikunya. "Tidur. Besok kita bangun pagi-pagi."
"Aku rasa malah kamu yang nggak bisa tidur."
Arsad menaruh dagunya di bahu Indira. Sama-sama menatap tandon air yang lama ditinggalkan. Warna oranye sudah pudar menjadi putih. Banyak rumput liar di kaki besi penyangga.
"Tadi sore Lila ke ruko."
"Untung aku nggak jadi jemput."
"Kamu dibawain bekal sama dia. Snack anak kecil gitu, banyak macem-macem. Lucu deh. Besok aku kasih lihat."
"Buat kamu aja." Sudah terbayang apa saja yang Lila titipkan untuknya. "Aku jadi inget-inget, apa aku pernah senyum ke dia."
"Anak-anak perasaannya lebih tajam. Bisa ngenalin orang baik yang tersembunyi."
Apa pun alasan Lila dekat padanya, tidak penting. Yang ada malah terngiang suara cempreng anak itu. Gigi kelincinya yang mirip dengan Indira. Kalau saja Indira kecil dilahirkan di keluarga yang baik, pastilah tumbuh ceria dan sebaik Lila.
Arsad mengeratkan pelukan. Bukan berarti Indira yang sekarang tidak baik. Lama-lama dia merasa bahwa yang tidak baik adalah dirinya. Dirinya tidak cukup baik untuk Indira. Tapi dia tidak bisa melihat Indira bersama orang lain. Maka Arsad, sadar tidak sadar, berusaha berubah menjadi lebih baik untuknya.
***
"Kamu keberatan naik angkot?"
Tepat ketika Indira menggeleng, Arsad segera melambaikan tangan saat sebuah angkot melintas di jalan besar dekat rumah. Saat angkot tiba di depan mereka, dia menyuruh istrinya lebih dulu naik. Sementara dia meletakkan tangan di langit-langit pintu dengan mata yang tertuju ke kaki istrinya.
Bingung? Sama. Dia sendiri juga tidak tahu persisnya kapan dia berubah begini. Indira di belakangnya mungkin main dukun. Ampuh sekali peletnya sampai dia takut lengah sedikit kepala Indira terantuk atau kakinya kepleset saat naik ke angkot.
Dia lupa kalau Indira bukanlah perempuan yang tidak terbiasa dengan transportasi umum.
"Aku naik angkot ini waktu SMA."
Indira manggut-manggut menerima informasi. Penting tidak penting, tetaplah sebuah informasi untuknya. Dia sangat menghargai setiap apa yang Arsad ceritakan padanya.
"Kita mau lihat sekolahan kamu?"
Arsad menggeleng. "Kita makan rawon kesukaanku."
"Aku harus siap-siap curi resepnya."
Arsad mendecak walau jelas istrinya hanya bercanda. Tapi tidak ada yang tahu langkah Indira selanjutnya. Bisa jadi dia mendekati penjual rawonnya, mengajak bicara lalu dengan kemampuannya beramah-tamah itu maka tercurilah resep rawon tanpa sadar.
"Sopir angkotnya masih sama?"
Sedikit melongok ke bangku kemudi. "Beda. Angkot yang kayak gini kan nggak cuma satu."
"Siapa tahu sopir-sopirnya hafal sama kamu kalau selama sekolah naik ini terus."
"Aku nggak semencolok itu buat dihafalin."
"Eh, siapa tahu sopir angkot ngenalin kamu 'Si anak dingin tapi ganteng'."
Mulai receh.
"Atau 'Si anak sombong tapi sebenarnya sopan'." Mengedar ke seisi angkot. "Penumpangnya banyak ibu-ibu, pipi kamu pasti dicubitin."
Arsad tidak merasa begitu. Ketimbang dicubit, dulu tampangnya lebih patut disambit. Apalagi ketika sedang bandel-bandelnya kelas 1 SMA. Namun, apa bedanya dengan sekarang. Tidak banyak yang berubah. Ekspresinya selalu datar cenderung membuat jengkel. Indira saja yang aneh bisa betah dengannya. Oh, tambahkan juga Lila.
Mereka turun di kawasan pasar. Arsad otomatis menggandeng tangan istrinya daripada mereka terpisah karena lalu-lalang orang cukup padat. Mereka menyeberang ke salah satu deretan warung makan. Arsad yang memesan, Indira yang memilih tempat duduk.
Selagi menunggu, Indira mengeluarkan pouch dari dalam tasnya. Arsad langsung menipiskan bibir saat pouch dibuka dan berbagai macam snack tumpah di meja. Lolipop, cokelat, biskuit, wafer, cracker, dan ada pula permen karet.
"Aku harus makan semua ini?"
"Nanti aku bantuin. Ayo pasang muka senyum, aku mesti kirim bukti ke Lila kalau titipannya udah nyampe."
"Ngerepotin."
"Senyum atau habisin semua sendirian."
Arsad menatap kamera, terpaksa menarik sudut bibirnya sekian senti. "Emang anak itu udah pegang HP?"
"Lewat Abel." Indira mengirimnya ke nomor Abel untuk nanti ditunjukkan ke Lila.
"Akal bulus abangnya biar kamu chat dia."
"Orangnya nggak ada di sini tapi masih aja kamu sinisin."
"Sekarang aku tahu kenapa Lila nempelin aku, buat jadi agen abangnya."
Rawon diantarkan ke meja mereka.
"Lila kelihatan tulus. Dia beneran betah sama kamu, Ar."
"Kebalik, aku yang berusaha betah sama dia. Aku menghargai dia sebagai anak kecil yang nggak boleh dimaki."
Indira kehabisan argumen. Dia mulai mecicipi rawon yang katanya tidak bisa Indira tandingi. Dia pun mengakui ini jauh lebih enak dari buatannya.
"Apa ya yang bisa aku sombongin ke kamu selain rawon? Buatanku nggak ada apa-apanya sama ini."
"Masakanmu enak, apa pun itu, asal yang makan cuma aku."
Indira mendecih geli. Tahu ke mana ujungnya. Masih tentang Abel. Arsad sampai kapan pun akan selalu menyindirnya yang pernah membuat bekal untuk Abel. Cemburu yang sedikit merepotkan, karena selalu disinggung, tapi tidak buruk juga.
Keluar dari warung rawon, Arsad mengajak istrinya masuk ke dalam pasar. Pegangannya pada tangan Indira lebih erat dari sebelumnya, hingga sampai di deretan penjual bunga. Arsad membeli seplastik besar bunga tabur. Pulangnya mereka naik taksi. Sebelum datang ke pemakaman, mereka mampir ke rumah lama Arsad.
"Aku nggak bawa kuncinya jadi nggak bisa masuk. Cuma pengin kasih lihat ke kamu, aku besarnya di sini."
Indira mengangguk. Mengamati rumah dengan pekarangan yang besar. Masih berdiri kokoh meski belasan tahun ditinggalkan, hanya catnya yang mengelupas dan lantai teras yang berkerak. Juga beberapa retak kecil di dinding. Wajar. Pagar di depannya juga hampir semuanya berkarat.
"Aku yakin kamu juga nggak berniat masuk."
"Kenapa? Kalau kamu mau masuk, aku ya ikut."
Lalu Indira memutar tubuh sebentar. Melihat rumah lain di seberang jalan. Rumah keluarga Abel sepertinya. Tapi dia tidak bicara apa-apa, takut ada yang senewen.
"Lihatin rumah Abel segitunya."
Ya ampun, salah lagi.
***
Konflik? Bentar, aku masih mau yg manis2 tsundere dulu😭🤣
Rabu/25.10.2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top