Chapter 24
Sempet dinotice ya cerita ini di base twt kemarin? Cerita Adel jugaa😭🧎♀️
Siapa pun kamu, makasih bgt udah bantu promoin Bang Saleh😭😘 Nanti aku beliin pulau deh kalo udah jadi istrinya Jungkook. Mohon restui halu ini😭🙏
Oke. Selamat membaca!💃
——————
Anak itu, Lila, sungguhan bertemu dengannya di ruko ketika dia menjemput Indira yang lembur. Arsad kira omongan anak kecil hanya euforia belaka lalu besoknya lupa. Lila konsisten masih suka nyengir ketika melihatnya. Apa kebetulan mukanya ini mirip Bang Saleh? Kan tidak mungkin. Jauh sekali.
Lila datang diantarkan sopir keluarga kemudian ditinggal. Ada tas kuning kebesaran yang disandang bahu mungilnya. Lucu sekali dilihat dari kejauhan. Ditambah anak itu mengenakan sandal berbentuk hiu. Rambut ikalnya bergoyang seirama dengan langkahnya yang riang. Bibirnya bersenandung entah lagu apa. Kakinya melompati konblok yang rata dan memang sengaja lompat untuk main-main.
Arsad terlambat menaikkan kaca jendela mobil. Sebelum berhasil menyembunyikan diri, anak itu sudah menangkap kehadirannya. Entah ini anugerah atau bencana. Arsad punya firasat tidak enak.
"Om Arsad! Yeay ketemuuu!" Seolah habis menemukan jepit rambut kesayangan yang hilang.
Karena ini anak-anak, Arsad memberinya senyum singkat. Tidak seperti abangnya yang kalau berani menyapa begitu dijamin dia ludahi.
"Lila mau ketemu Bang Abel?"
Anak itu menggeleng. "Bang Abel bilang Om Arsad bakal di sini, jadi aku datang."
Arsad menipiskan bibir. Mengutuk Abel jadi Ursula di dalam hati. Anak ini mencarinya lagi buat apa. Minta dikucir rambutnya, minta dibukakan snack lagi, atau mengajaknya nonton Cocomelon bersama?
"Mau ngerjain PR di sini?"
"Di kafenya Bang Abel." Lila mengangguk. Mata belonya pun berkilat-kilat menatapnya. Apa? Pasti mau minta ditemani mengerjakan PR. Dikira Arsad gampangan apa. Dia di sini untuk menjemput istri, bukan mengasuh adiknya Jarjit.
"Satu, dua, tiga, empat. Ada empat bayam." Menuliskan angka empat di kolom sebelah gambar. "Om, bedanya bayam sama sawi apa?"
Arsad terjebak di bangku luar kafe. Abel mengantarkan satu gelas smoothies dan es kopi ke mejanya. Arsad hanya bersedekap sambil menatap laser Abel yang berani mendatangkan Lila ke sini. Yang ditatap mengeluarkan jurus nyengir kadal andalan dan ngacir masuk.
"Lila pernah makan mi ayam? Sawi tuh yang itu. Daun ijo di situ."
"Oh. Tapi kemarin Mama masak warna putih. Kata Mama itu sawi."
"Iya, ada dua yang sering kita lihat. Tiga kalau kamu nanti lihat pakcoy. Mirip sawi hijau." Jumlah pastinya sawi ada berapa dia tidak tahu. Arsad tahu tiga itu karena dulu sering membantu Nadia belanja.
"Oke." Lila lanjut ke nomor dua. Menghitung lagi. Arsad melirik ke buku paket, melihat gambar kecil berjajar. Sepertinya gambar sayur semua.
"Om Arsad bisa masak?"
"Enggak."
"Pasti dimasakin mamanya Om terus ya." Lila meneleng, mengingat sambil menatapnya. Mukanya polos sekali. "Maaf, Lila lupa. Mama Om udah di surga. Ngeri kalau masih masakin Om sampai sekarang."
Arsad tidak menanggapi lagi.
"Mama cerita kita dulu tetanggaan di Surabaya. Kalau kangen mama-nya Om, boleh datang ke rumahku. Mama jago masak makanan mana pun, termasuk rowon."
"Rawon. Tante Indira juga jago."
"Oh ya? Kalau gitu aku aja yang makan di rumah Om."
Bukan begitu konsepnya, Susanti. Mesti gimana bilangnya. Masalahnya ini anak kecil, dia tidak sampai hati berkata kasar. Arsad lama-lama mati gaya menghadapinya.
"Kapan boleh main? Sabtu ini?"
"Nggak bisa. Om sama Tante Indi mau pergi."
"Berdua? Ke mana? Jauh? Lama nggak? Berarti aku harus nunggu Sabtu depannya lagi ya?"
"Kayaknya."
Lila melupakan PR-nya dan memainkan sedotan smoothies sambil mencerca Arsad. Tatapan kanak-kanaknya tidak berubah sejak beberapa hari lalu. Masih sama. Arsad menyesal sudah mau mengucir rambut anak ini kalau buntutnya bakal begini.
Selesai dengan PR, Lila lanjut mengeluarkan buku lainnya serta sekotak krayon. Dia mewarnai gambar-gambar yang ada di sana. Cerewet bertanya warna-warna ke Arsad, atau mengomentari tentang hewan yang sedang dia warnai. Aneh pula komentarnya;
"Kenapa gajah nggak pink aja ya, Om?"
"Singa kalau rambutnya dikepang pasti nggak nyeremin."
"Buaya kalau ompong pasti nggak bisa gigit manusia. Tapi kasihan sih, makannya gimana. Doyan bubur nggak ya dia. Tapi harus ada yang masakin bubur, terus gimana sama buaya yang tinggal di luar kebun binatang? Siapa yang masakin. Ya udah deh, punya gigi aja. Tapi aku nggak mau deket-deket."
Arsad mengurut pelipisnya.
"Kenapa kunang-kunang bisa nyala? Dicharge dulu apa gimana, Om?"
"Tante Indi lebih tahu soal kunang-kunang. Tanya ke dia nanti."
"Oh, oke."
Arsad sedikit lega karena bibir mungil itu akhirnya terkatup, pertanda diam atau mungkin sudah lelah mengoceh sejak tadi.
"Om."
"Apaaa?"
"Kecoak punya kaki berapa?"
Bisa tidak tanya yang lain? Atau tidak masalah bahas kenapa rambut singa tidak dikepang saja. Arsad siap mengarang jawaban paling tidak masuk akal sesuai dengan pertanyaan itu.
Untungnya Indira sudah keluar. Melambaikan tangan, isyarat agar Arsad tunggu saja di tempat. Lila tampak sedih karena artinya teman barunya ini akan segera pulang.
Ketimbang menagih jumlah kaki kecoak, Lila lebih mementingkan pertanyaan lain. "Jadi kapan Lila boleh main ke rumah Om? Nanti aku ajak Bang Abel."
Dua bencana sekaligus. Arsad menatap Lila dengan muka dingin yang sok mikir.
Indira mengelus kepala Lila. "Tante kabarin kalau kami udah nggak sibuk ya."
Lalu, di dalam mobil. Indira menertawakan muka tertekuk suaminya. Saat dia masih lembur, sesekali mengecek kondisi Arsad di kafe Abel. Tampak sangat tertekan.
Arsad menggaruk dahi. "Kamu boleh deh cemburu sama Lila. Seenggaknya itu bisa nolong aku dari anak itu."
"Astaga, demi Tuhan, dia cuma anak tujuh tahun yang suka perhatian dari orang sekitar." Indira meledek. "Tapi sepertinya cuma butuh perhatian dari kamu doang, Ar."
"Baru kali ini aku ngerasa nggak aman sama komukku."
Indira tergelak. "Ya udah, cobain bertingkah kayak abangnya Lila. Siapa tahu dia jadi mikir semua cowok sama aja."
"Capek pasti. Nggak mau."
"Anak kecil gampang bosen kok. Iyain dulu aja yang penting. Tapi kamu suka Lila, 'kan? Siapa yang nggak gemes sama dia." Indira langsung menempelkan telunjuk di bibir sendiri. "Nggak bisa didebat. Aku ngintip kalian tadi. Raut kamu nggak bisa bohong."
Karena katanya tidak bisa didebat, maka Arsad tidak menyanggah apa-apa.
"Ndi, aku mau tanya, janji jawab serius."
"Hadiah tirai nomor dua atau uang di koper?"
Arsad mendecak.
"Oke, serius."
"Kamu setuju kalau besarin anak perempuan jauh lebih ribet?"
"Jadi itu yang kamu pikirin selama duduk satu jam sama Lila." Indira menelaah sejenak. "Anak orang sama anak sendiri bakal beda, Ar. Kamu kayaknya duduk kelamaan sama Lila jadi mulai mikir jauh. Besarin anak pasti ada ribetnya. Tapi lucu juga bayangin kamu punya anak cewek banyak. Mungkin gunung es di hatimu bakal mencair semua digantiin padang savana."
"Kok malah jadi aku yang kena. Aku cuma nanya."
"Tapi tolong ya, harus tetap ada anak cowok buat jagain aku nanti."
"Terus gunanya aku apa?"
Indira menaruh kedua tangan di pipi. Berkedip-kedip. Arsad tidak sanggup melihatnya lebih lama, jadi menoleh ke arah lain.
Sempat senyap di dalam mobil.
"Sesuka itu kamu bahas anak, Ndi?"
"Kamu duluan yang ngajak bahas."
"Emang kita pantas ya jadi orangtua?"
Indira menunduk, memilin tali tas di pangkuan. Terdengar ragu dan gamang. "Mungkin pantas? Nggak tahu sih. Tuhan yang berhak menilai kita."
Senyap lagi. Indira pikir mereka sudah selesai bicara setelah mengakhiri dengan meninggalkan satu pertanyaan besar di hati masing-masing.
"Kamu bakal jadi Ibu yang baik."
Senyum Indira merekah mendengar pujian. Jarang kan manusia es satu ini bicara manis dengan inisiatifnya sendiri. "Kamu juga."
"Lanjutin biar nggak ambigu."
"Ayah yang baik, bertanggung jawab, sabar dan nggak ngamukan."
"Emang aku ngamukan? Aku marahnya diem tuh."
"Coba besok kalau marah sambil ngaca."
***
Dia tidak tahu apa yang sebenarnya sedang dia lakukan. Butuh waktu sebentar kalau-kalau berubah pikiran dan memilih untuk pulang saja. Dia juga tidak memberi kabar apa-apa ke Arsad. Suaminya akan mengira dirinya pulang larut karena lembur seperti kemarin. Menolak dijemput karena dia sengaja membawa mobil sendiri.
Ini bukan sesuatu yang berat untuk dilakukan. Hanya kunjungan biasa. Bukankah dia ingin dengar cerita lain? Dorongan untuk ingin tahu lebih awal membuatnya turun dari mobil, melewati celah gerbang yang belum ditutup pemiliknya. Berdiri di depan pintu jati, lalu menekan bel satu kali.
Arsad akan marah kalau tahu dia menemui Laras di belakangnya. Tapi untuk apa marah? Mereka menyembunyikan sesuatu yang Indira tidak boleh tahu?
Pintu berkerit terbuka. Indira segera memasang senyum sungkan. "Hai, Mbak. Maaf aku bertamu malam-malam."
Laras balas tersenyum, menggeleng, membuka pintu lebih lebar. Ada raut terkejut karena Indira tidak mengabari jika akan datang. Menebak apakah Arsad tahu istrinya datang ke sini.
Setelah mempersilakan Indira masuk, "Mau minum apa, Ndi?"
"Apa aja, Mbak." Indira meletakkan buah tangan di meja makan seraya memandangi isi rumah sekilas. Laras hanya tinggal sendirian. Rumah ini tampak lengang. Tapi tidak ada bedanya dengan rumah yang dia huni dengan Arsad.
Laras membuka kulkas. "Kamu sendirian? Arsad masih di kantor?"
"Dia udah pulang."
Seketika Laras mengerti, menutup kulkas, mengalihkan. "Kalian habis liburan ya. Seru kayaknya."
"Arsad yang bilang?"
"Tante Elma."
"Ada kerjaan di sana jadi sekalian liburan. Arsad mau nemenin walau agak ngedumel sih."
"Arsad dulu paling susah diajak ke mana-mana. Sekarang masih sama ternyata. Tapi sudah kemajuan itu."
"Kepepet dulu baru mau." Dan inilah yang Indira tunggu. "Mbak kenal baik keluarga Arsad ya."
Laras membawa dua kaleng soda dan satu toples kue kering ke meja sofa. Setelah sebelumnya mengedik ke arah meja makan, berterima kasih. Tidak mengira jika Indira akan mengetuk pintu rumahnya, membawa sekotak kue dan sebuket bunga.
Indira lalu menjelaskan bagaimana menyimpan bunga di dalam vas. Laras yang kembali berdiri, mengambilkan air mineral dan buah. Mengupaskan jeruk untuk Indira yang menolak makan apa-apa.
"Jadi, Indi, kamu ingin dengar yang mana?" Laras antusias bertanya, seolah tahu apa yang menjadi tujuan Indira datang padanya. Mereka duduk di karpet selayaknya teman yang sudah lama kenal. Membicarakan satu objek yang mereka sama-sama sayangi.
"Aku mau dengar yang mana pun, Mbak."
"Kenakalan dia waktu dulu? Atau yang mana? Dia nggak sependiam itu, Ndi. Untung nakalnya cuma bentar."
Indira turut bertanya pada dirinya sendiri, sekali lagi, tujuannya datang ke sini untuk apa. Bertanya tentang Arsad atau justru tentang Laras.
"Sebelum dia umur sepuluh, atau sesudahnya. Cerita tentang Mama aku sudah dengar."
"Oh ya? Dengar dari siapa? Arsad sendiri?"
Laras sepertinya tahu jika sebelumnya Arsad merahasiakan soal cara mamanya meninggal.
"Tante Rini. Tetangga depan rumah Arsad dulu, yang kebetulan jadi klienku kemarin."
"Ah." Laras tampak mengingat, tapi sepertinya gagal menemukan sosok Tante Rini dalam ingatannya.
Sepanjang Laras bercerita, Indira menyimak dengan serius. Tidak memotong. Tidak sungkan tertawa saat tiba di bagian lucu. Cerita tentang Arsad kecil disangka hilang itu hanya sebagian kecilnya saja. Arsad kecil dan versi remaja ternyata punya banyak cerita.
Jika tadi tertawa, maka di cerita berikutnya, saat menyentuh bagian Arsad meninggalkan rumah lamanya dan ikut Eyang, Indira tidak memberikan banyak reaksi. Dia hanya mendengarkan.
"Nggak semuanya bisa aku ceritakan, Ndi. Biar nanti Arsad sendiri yang cerita. Aku hanya cerita yang aku tahu aja." Saat mengangkat kaleng ternyata sudah kosong. Laras berdiri, mengambil kaleng lain di kulkas. Sementara kaleng Indira masih utuh.
Indira melihat kaleng yang datang berbeda dengan yang tadi. Tapi terlambat mencegah, Laras sudah meminum separuh.
Menyadari kebingungan Indira. "Kamu nggak bisa minum bir?"
"Aku harus nyetir, Mbak."
"Kamu bisa telepon suami kamu, dia pasti datang." Mengulangi dengan kekehan. "Dia pasti datang. Ini kadar alkoholnya rendah. Tapi sayangnya toleransiku ke alkohol jongkok banget, siapa tahu kamu beda."
Indira menggeleng, tetap menolak. Dia bersiap untuk pamit. Pukul delapan. Sepertinya bicara soal Arsad bukan perkara sepele untuk Laras. Sebagai sesama perempuan, Indira bisa memahami meski tidak bisa dia katakan dan hanya dipendam sendiri.
Kaleng pertama tandas, Laras membuka kaleng bir kedua. Indira mulai berpikir jika keputusannya untuk datang kurang tepat. Mungkin suasana hati Laras tidak baik hari ini. Tangannya yang coba menghentikan ditepis. Laras juga menghabiskan bir kedua.
Indira menghela napas perlahan. Apa yang dia inginkan? Toh, Arsad telah menjadi miliknya. Jadi dia tersenyum merasa bersalah. Karena niatnya ke sini bukan semata ingin dengar soal Arsad.
"Sebelum kamu pulang ... biar aku kasih tahu satu rahasia."
***
Ada extended chapter 24 di Karyakarsa yaa. Harga 2k. Makasih buat yg meluncur ke sana😘
Lagi musim sakit, tadinya mau update sebelum isya tp habis jenguk sama buibu RT, jenguk 4 orang sekaligus. Sehat-sehat di mana pun kamu berada yaa😉
Minggu/15.10.2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top