Chapter 21
Sebelum baca, ada yg Arsad mau sampaikan:
"Kalian nyari Jarjit, kan? Kangen? Iya? Apa susahnya sih nanem rumput. Baru kenal udah ngerepotin orang."
🤪🤪🤪
Ngomel-ngomel tapi berangkat juga demi istri dan seonggok perasaan cemburunya itu wkwkk
———————
"Ndi, kamu tahu kan, sekali meleset kelar kita."
"Bukan kita, tapi kamu."
Arsad berdiri waspada di belakang tubuh Indira. Mengikuti langkah hati-hati istrinya yang memegang selembar tisu sambil mendekat ke arah ranjang yang satu sisinya menempel dinding.
Dalam sekali gerakan, Indira menempelkan tisu ke dinding dan memerangkap kecoak sebelum hewan itu berhasil terbang. Kemudian buru-buru membawanya turun dari kasur. Untuk urusan kecoak dia tidak pernah menggoda Arsad. Sepertinya memang sungguhan trauma. Tapi dia senang. Berbekal kecoak dia bisa menjadi pahlawan untuk suaminya kapan saja dan di mana pun. Bedanya, dia tidak akan meledek. Orang lain tentu akan menggunakan kesempatan ini untuk meledek Arsad habis-habisan. Kapan lagi meruntuhkan ego seorang Arsad.
Melawan hukum alam, Indira tidak takut dengan hewan-hewan menggelikan seperti kecoak dan tikus putih. Dia tidak punya phobia khusus sejauh ini. Bahkan wahana ekstrem sekali pun, dan ada Arsad yang punya seribu alasan agar naik wahana yang aman saja. Lagi-lagi Indira senang melihat suaminya punya sisi manusiawi.
Dia senang karena hanya padanya Arsad menunjukkan banyak warna di balik abu-abunya. Meski untuk cerita-cerita lain, Indira seperti tertinggal jauh dari Laras.
"Gimana tempatnya, Mbak?"
Pintu terkuak setelah diketuk satu kali. Abel muncul untuk memastikan kamar yang dia sediakan untuk tamu sekaligus pemilik jasa yang akan membantunya nyaman tanpa gangguan.
"Kamu sengaja sebar kecoak?"
"Ya?"
Indira menurunkan tangan Arsad yang menunjuk Abel. "Tempatnya mau di sebelah mana, Bel?"
"Aku tunjukin sekalian makan malam ya." Abel menutup pintu kembali, tapi sebelumnya mengerling ke arah Arsad. Kali ini tidak salah sebut. "Bang Ar takut kecoak?"
"Semua orang takut kecoak."
Abel tersenyum penuh makna sambil menarik gagang pintu. Tapi bagi Arsad itu senyum cibiran.
"Kadang aku berharap temenmu cuma Naga aja."
"Kalau aku malah jadi suka sama dia gimana? Dan bukannya milih kamu?"
"Tapi kamu milih aku."
"Ya maksudnya sebelum kamu datang, sebelum Naga juga nikah. Kamu harus berterima kasih sama Anya."
Mendengar nama itu disebut membuat Arsad mendadak senewen. Dia masih berdiri di tempatnya. Tahu kamar vila ini rutin dibersihkan tapi seperti tuduhannya, bisa jadi ada kecoak lain selain di dekat kasur tadi.
"Kamu yakin mau berdiri terus di situ?" Indira dengan santai berganti pakaian di depannya, dari kaus menjadi sweetshirt tebal. Mereka hanya membawa satu koper kecil untuk berdua.
Indira mengambilkan jaket milik suaminya, menyuruhnya lekas memakai karena udara di luar lebih dingin. Arsad dengan muka datar mengikuti Indira berjalan ke selasar besar yang terpisah. Ada beberapa bangunan, seperti yang ditempati mereka tadi. Sepertinya ini vila keluarga Abel. Kaya juga bocah itu. Orangtuanya.
Ada tiga bangku kayu dan salah satu bangku sudah ditempati Abel. Meja penuh dengan piring-piring makanan dengan aroma yang menggiurkan.
Arsad menggeser duduk Indira agar tidak berhadapan persis dengan Abel dan mengorbankan diri sendiri. Sesebal apa pun dia, ini posisi duduk yang lebih baik.
Dua dari tiga orang di meja tersebut sibuk mematangkan konsep untuk besok. Dan dengan alasan tidak pasti, setiap pandangan Arsad dan Abel tidak sengaja berserobok, Abel akan memberi cengiran jenaka. Lalu Arsad konsisten memberinya ekspresi datar.
Namun, dia tidak punya banyak pilihan. Setelah makan malam selesai, mereka lanjut minum teh dan kudapan. Bokong Arsad sudah kebas tapi tidak sudi meninggalkan kursinya. Pun sudah terbiasa menerima cengiran mendadak dari Abel. Kalau dia tidak sadar bocah ini naksir Indira, pikirannya pasti sudah jauh sekali.
Arsad menghargai obrolan mereka tanpa memotong seenaknya. Sekarang obrolan loncat ke kopi luwak. Aneh, memang random. Bocah Jarjit sedang menyombong di depan Indira kalau pernah melihat langsung proses luwak membuang kotoran yang kemudian diolah menjadi biji kopi. Indira jangan ditanya, dia pintar menyenangkan orang yang sedang bercerita padanya. Antusias sekali mukanya.
Arsad akhirnya mendengkus. Bersedekap tangan. Sudah bagus dia tidak membalik meja ini.
Mereka bubar pukul sepuluh dan Indira tidak lupa meminta spray pengusir serangga.
"Aku kasih di sana biar kalian lebih punya privasi. Mau pindah kamar aja? Ada kamar di rumah utama. Gimana? Aku bantuin bawa barang-barang kalian."
Cerewet.
"Nggak perlu, Bel. Kami suka kamar yang di sana."
Abel tidak cerewet lagi, melesat mencarikan semprotan serangga dan kembali dengan cepat.
***
Pagi-pagi sekali Indira sudah bangun. Dia harus bersiap lebih awal. Pukul delapan orangtua Abel dan dua adiknya akan tiba. Pernak-pernik perayaan kecil ini harus selesai lebih dulu.
Arsad tidak bantu apa-apa selain membawakan satu kardus besar bunga yang dilapisi koran per jenisnya. Juga kardus besar lainnya yang berisi vas kaca berbentuk tabung serta alat dekor lainnya ke tempat mereka makan semalam. Bangku kayu sudah disingkirkan penjaga vila, diganti dengan meja kaca yang besar dan kursi-kursi jati. Tugas Indira membuat meja itu jadi cantik. Seperti membentangkan taplak putih di bagian tengah, menjuntai di ujung kanan dan kiri. Meletakkan vas bunga yang terisi air di atas taplak. Telaten membuka kelopak bunga lily—yang kata Indira sesuai dengan anniversary pernikahan ke-30. Tapi terlihat juga bunga lain yang entah apa namanya, Arsad tidak tahu, kecil-kecil seperti aster.
Sementara Arsad terima jadi penonton. Bantuannya untuk membuang daun-daun yang tidak dibutuhkan di dasar tangkai ditolak. Akhirnya dia hanya duduk sambil memainkan ponsel, sempat bosan dan mengambil beberapa foto Indira yang sibuk. Mukanya berubah serius kalau sedang kerja. Sorot matanya tegas.
Mana ekspresi terbaik Indira menurutnya? Sepertinya saat perempuan itu menghujaninya dengan kalimat-kalimat receh dan jayus. Bukan seperti yang sekarang. Walau tetap sama cantiknya.
Meja rampung ditata cantik. Kini giliran merangkai backdrop. Abel pun muncul membawa foto cetakan polaroid untuk dirangkai dan lembaran uang yang sepertinya sudah disetrika.
Arsad beringsut mendekat. Melihat ada sesuatu yang bisa dia kerjakan. Sementara Indira merangkai bunga mawar putih untuk hiasan di tiang backdrop, Arsad membantu memasukkan lembaran uang kertas ke dalam plastik. Tidak mau kalah dengan Abel.
"Bel, tolong gun—"
"Ada aku, kenapa kamu minta tolong ke dia? Gunting? Nih."
Indira menatap Abel yang serbasalah tapi tidak ada tampang bersalah. "Bel, kayaknya mending ambil kue-nya sekarang aja."
Abel cengengesan meletakkan pekerjaannya dan berdiri merogoh kunci mobil di saku. "Kerja ngajak bayi emang susah ya, Mbak."
Siapa yang bayi? Nggak ngaca! Mana Indira malah mengangguk.
Suasana sempat cair. Indira tidak seserius tadi. Arsad kira raut istrinya akan bertahan sampai urusan ini kelar. Ngomong-ngomong dia sudah lapar. Tapi melihat Indira masih berkutat dengan pekerjaannya, membuatnya memilih menunggu.
"Kamu ketawa gara-gara aku atau dia?" Dengan dagunya, menunjuk punggung Abel yang masuk ke mobil.
"Astaga. Itu penting ya?"
Jadi selama acara Abel berlangsung, Arsad dan Indira punya kesempatan untuk jalan-jalan di sekitar. Indira bilang ingin lihat air terjun. Jarjit yang cerita kalau tidak jauh dari vila ada air terjun yang belum banyak dikunjungi orang. Jalan kaki hanya sekitar duapuluh menit. Mereka berangkat setelah sarapan di kamar.
Menjelma seperti orang tua, Arsad banyak melarang ini-itu begitu sampai di air terjun yang dimaksud. Indira terlalu berani mencoba hal baru sementara dirinya tidak. Kalau dia tidak tegas melarang, istrinya sudah berenang di air yang dingin itu. Mau jadi apa nanti. Mereka tidak bawa baju ganti. Untungnya Indira mau menurut dan hanya duduk di batu besar sambil mencelupkan kaki di aliran yang lebih dangkal.
Arsad tidak melakukan hal yang sama. Dia buka sepatu pun tidak. Ribut mengingatkan agar Indira tidak meredam kaki terlalu lama.
Tidak seperti biasanya, Indira lebih kalem. Mungkin lelah. Atau mungkin menikmati suara air terjun yang tidak terlalu deras jadi cukup bisa dinikmati. Suara burung-burung di kejauhan. Juga serba hijau sepanjang mata memandang. Indira sedang menikmati alam.
Arsad memecah sunyi. Tumben. "Biar aku tebak."
"Aku nggak kasih kamu kuis."
"Abel bayar separuh harga? Kalian deal apa?"
"Kamu tahu?"
"Kamu nyanggupin dengan gampang. Kayak nggak ada florist deket sini aja."
"Tapi kan nggak maksa kamu buat ikut."
"Emang nggak maksa, tapi kamu tahu, aku nggak bisa nolak."
Indira nyengir karena ketahuan. Menyandarkan sebentar kepalanya di bahu Arsad. "Kita lagi pacaran sekarang."
Tidak buruk juga. Arsad tidak menyesal menemani istrinya liburan berkedok kerja. Tapi lebih baik lagi kalau tidak ada Jarjit di antara mereka.
"Dulu duniaku hanya selebar jendela kamar. Aku kira dunia sempit dan selamanya akan terjebak di rumah itu."
Arsad menggali ingatan. Sepertinya dia belum dengar yang ini. Baiklah, meskipun sudah, dia tetap mendengarkan.
"Masa kecilku cuma seputar sekolah sama rumah. Aku nggak bebas main sama temen sebaya. Aku nggak tahu kenapa hal sekecil apa pun bisa jadi alasan Mama marah dan mukul. Jadi aku nurut daripada dipukul. Lalu suatu hari, Ayah datang. Aku masih kecil untuk mengenalinya. Apa sih yang dipikirin anak delapan tahun saat itu. Kalau anak delapan tahun sekarang mungkin beda. Dulu aku hanya anak delapan tahun, yang nggak percaya ada s0sok Ayah."
Arsad mengingat kesan yang dia jumpai saat pertama bertemu dengan mamanya Indira. Bagaimana bisa perbedaan mereka begitu mencolok, seperti langit dan bumi.
Tuhan menitipkan hati yang baik ke Indira.
"Dulu aku pinter lho, Ar. Selalu ranking satu bahkan paralel." Mencoba menghibur dirinya sendiri. Tapi tidak mengatakan bagian rapornya pernah dirobek Mama. Nilai-nilai bagusnya tidak pernah punya arti. Tidak ada yang bangga padanya saat itu kecuali guru di sekolah.
"Oh ya?"
Senyum dan mengangguk yakin. "Hm."
Lalu anak-anak mereka akan pintar nanti. Arsad menggeleng, mengusir pikiran yang kejauhan.
"Mama kamu masih hidup." Bukan pertanyaan tapi pernyataan. "Seandainya dia muncul lagi, kamu bakal gimana?"
Indira bergeming sedikit lebih lama. Arsad memiringkan kepala untuk meneliti istrinya. Kalau tidak dijawab, setidaknya dia bisa mengerti dari mimik wajahnya.
"Mungkin nggak apa-apa." Terdengar ragu.
"Kamu yakin?"
Indira beralih menatapnya. Mata beningnya menyorot gamang.
"Kamu nggak yakin," simpul Arsad.
"Bukankah nggak apa-apa? Dulu aku nggak membenci dia. Sampai dewasa pun sesekali masih ingat meski aku nggak mau nyari. Kalau Mama muncul lagi, harusnya aku nggak apa-apa, 'kan? Dia mungkin sudah berubah. Dia nggak akan mukul lagi. Sekarang aku bisa membela diri sendiri."
Tapi wanita itu tetaplah menjadi mimpi buruk untuk Indira. Sekarang dia mengerti, alasan kenapa Indira tidak menceritakannya. Patah hati pertama Indira datang dari ibu kandungnya sendiri. Maka ketika orang lain mematahkan hatinya, itu bukan masalah. Terasa sakit tapi Indira tidak mundur begitu saja. Karena mungkin sakitnya tidak seberapa, tidak sebanding. Lalu suatu hari nanti, penerimaan Ibu mungkin bisa membuatnya sedikit lega.
Arsad ingin Indira mengikhlaskan saja semuanya. Tapi dia tidak bisa mengatakannya secara langsung. Seperti tamparan untuk diri sendiri. Dia menyuruh orang lain untuk ikhlas, sementara dia tidak bisa.
Indira bersuara lagi. "Aku punya kamu. Aku mungkin bisa apa-apa sendiri. Tapi bolehkah aku sedikit banyak bergantung ke kamu? Aku tenang ada kamu di sampingku."
Alih-alih bicara, Arsad hanya menggenggam tangan istrinya. Raut datarnya menyembunyikan banyak sekali ekspresi. Bingung apa yang sebenarnya ingin dia katakan. Tapi dia sungguh mengerti, dan sedikit merasa senang. Indira membutuhkannya.
***
Menjelang makan siang, Arsad dan Indira baru kembali. Selain air terjun, istrinya itu berhenti lama di kebun teh yang mereka lewati. Berdiri melamun melihat lalu-lalang kendaraan di jalan besar di bawah lereng perkebunan.
Indira akan membongkar backdrop dan membersihkan sisa-sisa perayaan nanti sore. Tapi ketika mereka terlihat memasuki gerbang vila, Abel berlarian menghampiri dan bilang ingin mengenalkan ke keluarganya.
Arsad yang sudah memisahkan diri, lelah ingin istirahat di kamar, buru-buru mundur dan menggenggam tangan Indira lagi. Mereka mengekori Abel yang berjalan lebih dulu.
"Pa, Ma. Kenalin mereka teman baru Abel. Sekaligus yang bantu siapin ini tadi."
Indira mendongak di tengah anak tangga. Menampilkan senyum terbaiknya pada siapa pun yang tertangkap dalam penglihatannya.
"Ya Allah, ini Arsad, 'kan?!"
Senyum Indira berubah bingung. Dia lalu berhenti. Tangannya tertarik karena Arsad tiba-tiba menghentikan langkah di anak tangga terbawah.
Arsad terhenyak saat namanya disebut dengan ekspresi heboh itu. Sontak dia mengabsen orang-orang yang berada di sana. Dua anak gadis, sepasang suami istri yang tampak asing, lalu menatap Abel juga. Tapi dia gagal mengenali siapa keluarga ini.
Wanita paruh baya itu maju beberapa langkah. Matanya berkaca tapi bibirnya tersenyum takjub. "Ini Tante Rini, Ar. Tante yang tinggal di depan rumahmu dulu. Ingat?"
Arsad bergeming. Sepotong demi sepotong ingatan tersusun di kepalanya meski agak samar. Bukan ingatan yang baik karena ini juga berkaitan dengan Mama.
Tapi demi sepotong kejadian di masa lalu, dan kebaikan Tante Rini yang bisa dia ingat, dia tetap senang melihat wanita ini tampak sehat dan bahagia. Banyak yang berubah hingga dia sempat tidak mengenalinya.
Indira melepas genggaman tangannya dari Arsad dan menepi. Dia terlihat bingung tapi memberikan ruang untuk mereka yang ternyata sudah saling mengenal.
Tante Rini bergerak mendekat, menuruni undakan tangga, membawanya ke dalam pelukan. Arsad tidak ingat apakah pelukan ini masih sama saat kali terakhir Tante Rini memeluknya hari itu. Dia lupa karena sibuk meratapi tubuh dingin Mama. Belasan tahun sudah lewat. Dan bagaimana dirinya tetap dikenali?
"Tante ingat aku?"
"Tante datang melayat saat eyangmu pergi empat tahun lalu. Kebetulan kami sedang pulang ke Surabaya. Tapi tante tidak sempat bicara denganmu. Tante hanya bertemu Nadia. Di mana dia sekarang? Sehat-sehat?"
Pertemuan dengan orang-orang dari masa lalu menjadi tidak mudah bagi Arsad. Entah kenapa dia mulai tidak suka kebetulan-kebetulan yang datang dalam hidupnya, kecuali Indira—yang andai bisa diulang, ingin dia temukan dengan cara yang baik.
Tante Rini melepas pelukan, menunggu jawaban.
"Nadia nyusul Mama dan Eyang."
***
Selasa/26.09.2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top