Chapter 20
Arsad mungkin melewatkan sesuatu lagi. Dia bilang hubungannya dengan Indira sebelum menikah berjalan baik. Nyatanya, dia pernah pergi.
Dia tahu rasanya ditinggalkan seperti apa, dan dia meninggalkan Indira. Pada akhirnya dia melukai orang yang sudah memiliki luka. Tapi ini bukan karena dia punya luka lalu ingin melukai orang lain, yang tidak punya salah apa-apa, untuk ikut merasakan lukanya. Terlalu rumit untuk dijelaskan.
Untuk pertama kalinya, setelah mengenal Indira satu tahun dan beberapa hal menyenangkan dilewati bersama, dia membiarkan perempuan itu menangis sendirian di sebelahnya. Arsad tidak bisa memeluk Indira setelah menyakitinya. Jangankan berpikir untuk menikahinya suatu hari nanti. Pikirannya benar-benar kosong saat itu.
Apakah ini bisa dibilang menyakiti? Dia pergi karena tidak ingin Indira menjadi bayang-bayang dendamnya. Perempuan itu tidak memiliki arti apa-apa untuk Fadil dan ibunya. Dia mengambil keputusan setelah dengar dari mulut Indira sendiri bagaimana perempuan itu datang ke rumah Fadil.
Tanpa perlu dibujuk Tante Elma, Arsad memang ingin menyudahi ini dan mundur dengan tenang. Sebelum terlalu jauh.
Saat itu, Indira masih tinggal di kos dan Arsad memilih gazebo depan bangunan kos untuk berpamitan. Meski di mana pun dia mengatakannya, tempat bagus dan indah sekalipun, dia tetap akan pergi dan Indira akan menangis seperti ini.
Dia sudah menyiapkan beberapa alasan yang masuk akal. Tapi perempuan itu bungkam, tidak menanyakan apa-apa, atau paling tidak marah. Indira harus marah, meneriaki dan memakinya. Tapi Indira tidak melakukan satu pun. Dan itu justru menyakitkan untuk Arsad.
Indira hanya terus menangis dalam sunyi. Apakah kehadirannya begitu penting untuk perempuan ini? Tapi mereka baru dekat satu tahun belakangan. Itu waktu yang terlalu sebentar untuk benar-benar memercayai seseorang, bahkan menangisinya dengan segenap hati.
Toh, ini demi kebaikan Indira. Sakit hatinya akan sebentar.
Satu bulan berlalu. Suatu pagi, Arsad dikejutkan dengan kehadiran Indira di lobi kantor setelah mereka tidak pernah berkontak lagi. Hanya sebentuk punggung tapi dia mengenalinya. Indira tampak menekuri sesuatu. Lalu sesuatu itu diremas dan dibuang ke tong sampah.
Arsad yang datang dari pintu basemen, melangkah keluar lewat pintu otomatis setelah punggung itu pergi. Dia memungut remasan kertas yang dibuang. Membuka gumpalan dan membaca setiap kata yang ditulis dengan huruf yang cantik. Tulisan tangan Indira bahkan secantik pemiliknya.
Aku ingin tinggal di langitmu sebagai bintang. Tapi aku lupa, aku awan hitam, atau mungkin badai yang mengamuk. Aku hanya merusak langitmu. Kamu memang harus lari menyelamatkan diri.
Selamat ulang tahun, Ar.
Arsad tidak menunjukkan ekspresi apa-apa selain mengeluarkan agenda dari ransel hitamnya. Memasukkan kertas lecek itu ke salah satu halaman dan menghampiri meja resepsionis.
"Mbak, ada titipan buat saya?"
"Betul, ada. Sebentar. Barusan banget orangnya pergi. Tapi saya nggak tahu pengirimnya siapa. Kayaknya bukan orang yang nganter barusan deh. Eh, bisa jadi dia sih. Tapi nggak tahu siapa namanya. Ciri-cirinya—"
"Saya tahu yang ngirim siapa. Makasih, Mbak." Mengambil alih buket bunga yang cukup besar, melangkah ke dalam lift, bersamaan dengan teman divisinya yang menyelinap masuk di detik terakhir.
Teman perempuan yang cukup berisik. Teman pulangnya setiap kali naik bus dulu. Tapi tidak lanjut mengejar-ngejar Arsad karena bosan atau memang sadar kalau akan ditolak atau karena tahu Arsad sudah punya Indira kemarin.
"Cantik bunganya. Dari siapa?"
Arsad mengabaikan, memindahkan buket ke lengan satunya.
"Dari siapa?"
Terpaksa menepis tangan yang tetap nekat berusaha menjangkau bunga miliknya. "Jangan dipegang."
"Ck, bunganya nggak akan layu atau rontok aku pegang doang. Pelit banget."
Setelah menaruh ransel di meja kubikelnya, dia tidak langsung duduk tapi mencari keberadaan Bu Midah. Dia menemukannya di sayap gedung.
"Bu, boleh minta bantuan?"
Bu Midah berhenti menggerakkan alat pembersih kaca. Tersenyum melihat siapa yang mendatanginya. "Apa yang bisa Ibu bantu, Mas?"
"Ini ...." Menunjukkan buket di tangan. Mendadak bingung apa yang ingin dia katakan.
"Mas pengin biar bunganya awet?"
Arsad tersenyum, mengangguk. Dia disuruh menunggu. Jadi duduk di bangku semen sementara Bu Midah melanjutkan pekerjaan yang hampir selesai.
"Mas Arsad ulang tahun hari ini?"
"Ibu tahu dari siapa?"
"Bunganya."
"Bunga?" Memperhatikan bunga putih dengan lingkaran kuning di bagian tengah, Arsad coba menghidunya. Dia bingung menjelaskan aromanya seperti apa, tapi wanginya lembut.
"Di lantai satu rusun ada yang jual bunga. Ibu kemarin lewat dan tiba-tiba dikasih bunga yang kayak Mas pegang, katanya titip buat anak Ibu. Ibu mah nggak tahu soal bunga-bungaan, di mata Ibu semua bunga itu mawar. Tapi pemiliknya jelasin kalau ini bunganya orang-orang September."
Arsad bergumam tanda dia mendengarkan. Lalu manggut-manggut dan mengeluarkan ponsel. Mencari di internet tentang bunga ini. Menemukan nama latin sekaligus maknanya.
Dia membaca dua kali informasi yang dia dapat. Aster. Astaraceae. Patience, wisdom, faith, valour.
Menghela napas. Sedikit mengecewakan. Makna bunga aster tidak ada satu pun yang cocok dengan kepribadiannya.
"Ternyata Mas hari ini, kalau anak Ibu ulang tahun minggu lalu. Kalian bahkan seumuran, anak Ibu lebih tua tujuh hari. Tapi rupanya ...."
"Rupanya anak Ibu lebih istimewa." Arsad meneruskan kalimat yang menggantung itu. Menyimpan ponsel di saku kemeja, tersenyum saat Bu Midah menoleh sebentar ke arahnya. Lelah itu terlihat di antara keriputnya.
Setiap anak, terlahir dan tumbuh seperti apa pun, bukankah tetap istimewa? Dia jadi teringat dengan seseorang yang terlahir di situasi yang salah tapi tumbuh dengan baik dan indah.
Dan tentang hari ini, dia tidak mau lagi merayakannya. Dia terbangun dengan hati yang berat. Ingin hari langsung lusa saja.
"Mas Arsad juga pasti istimewa di mata orang-orang yang menyayangi Mas."
Senyum Arsad kali ini terlihat getir. Satu orang yang menyayanginya dengan tulus baru saja dia tinggalkan.
Bu Midah menyimpan peralatan di keranjang yang penuh alat kebersihan lainnya. Mengajak Arsad beranjak. Mereka masuk ke ruang pantri di lantai yang sama. Bu Midah mengeluarkan toples bening dari dalam kabinet yang bahkan Arsad tidak tahu ada benda itu di sana.
Buket dibongkar dan aster-aster itu dipindahkan ke dalam toples yang sudah diisi separuh air.
"Dari orang yang spesial ya, Mas?" Bu Midah membersihkan remah-remah bunga di atas meja.
Arsad memfoto aster di dalam toples. Mengirim foto tersebut disertai pertanyaan di bawahnya; Airnya bener segini? Kebanyakan gak?
"Maaf, Ibu tanya apa?"
"Dari orang spesial?"
"Iya—maksudnya bukan. Bukan, Bu." Lalu tersadar sesuatu dan seketika mengutuk diri sendiri. Bodoh, bodoh! Dia buru-buru mengecek tanda centang di bawah pesan sebelum berniat menghapusnya. Sialan. Sudah terbaca.
Balasan datang. Iya, udah pas airnya.
Tanpa membalas pesan tersebut, Arsad berterima kasih ke Bu Midah, membawa aster keluar pantri dan menaruhnya di kusen jendela dekat meja kerjanya.
Bukan lagi orangnya, selama beberapa hari ke depan, bunga itulah yang akan sering dia pandangi. Sebelum layu. Sebelum habis masanya. Atau untuk alasan lain. Merayakan seseorang yang pernah singgah sebelum benar-benar melupakannya, atau sebaliknya. Terus mengingat agar tidak hilang dari ingatan.
Di kebetulan mana pun, dia ingin bertemu dengannya lagi. Untuk meminta maaf atau mungkin, berlutut meminta Indira kembali.
***
"Kelihatan nggak? Bagus bintangnya?"
"Hm. Banyak, kayak ketombe."
Indira kehilangan kata-kata.
Setelah Arsad selesai mandi dan berganti piama, juga Indira, mereka naik ke atap kamar tamu yang berada di bangunan terpisah dekat kolam renang. Ada tangga memutar yang digunakan untuk naik ke sana. Atap ini sedikit mengingatkannya dengan tower air di belakang rumah Eyang yang menjadi spot favoritnya untuk menyapa Mama di langit.
Indira menyimpan baik-baik momen yang sedang dia saksikan. Mau sedingin apa pun, Arsad tidak bisa tidak semringah melihat hadiah ulang tahunnya. Benda yang mungkin sebenarnya terpikirkan akan dibeli sendiri, tapi selama ini hanya sebatas niatan. Indira harap suaminya senang.
Tidak butuh waktu lama untuk merakit teleskop yang merupakan kadonya tahun ini. Arsad bukannya tidak suka bunga aster tapi benda itu hanya bertahan beberapa hari bahkan di dalam toples air dan berakhir dia buang. Tidak menyenangkan.
"Suka?"
"Hm, suka. Aku lihat kamu di sana, Ndi. Tenang, bukan jadi bintang kok."
"Bulan sabitnya?"
"Kak Ros."
"Ish, ngaco. Jangan nyeret aku ke drama upin-ipin kalian."
Arsad memang asal bunyi saja barusan. Tapi setidaknya, Kak Ros ada potensi bisa bersama Bang Saleh ketimbang dengan bocil Jarjit. Iya, 'kan? Tim Abel dilarang menjawab.
Dia memang berniat meledek istrinya sejak tadi. Orangnya pun masih keki rupanya. Tapi dia suka dengan kado ini dan sekarang sedang mengulur waktu karena bingung cara berterima kasihnya bagaimana. Dia mudah mengatakan terima kasih ke orang lain, walau tetap pilih-pilih, tapi dengan istrinya sendiri sulit bilang.
"Hayo bilang apa?" Seperti ibu yang menunggu anaknya mengatakan sesuatu setelah dibelikan mainan.
Kok bisa pikirannya terbaca. "Makasih."
Sudah. Tidak pakai embel sayang-sayang. Hanya berlaku di kondisi terpaksa seperti tadi. Indira bahkan menyiapkan bibir, siapa tahu malu bicara tapi berani bertindak. Tapi bibirnya cuma kena angin malam.
Menyingkir dari depan lensa teleskop, Arsad membiarkan istrinya giliran melihat langit.
"Ngomong-ngomong, Ar, kamu nggak berubah pikiran kan soal nemenin aku kerja di tempat Abel?"
"Kamu berharap berubah? Enak aja. Nggaklah."
"Tapi acaranya di vila Puncak."
"Apa? Nggak mau."
"Kan aku udah bilang, aku nanti bisa sama Tata. Misal kamu batal nemenin nggak masalah. Aku nggak enak juga memonopoli weekend kamu."
"Kalau acaranya di rumah, aku bisa."
"Yang punya acara Abel, bukan kamu."
"Suruh di rumah. Sama aja. Temanya ruang hijau? Ada rumput kan di halaman rumah? Kalau nggak, suruh tanam."
Suaminya cocok hidup di zaman penjajahan. Sebagai kompeni.
"Arsad."
"Terserah."
"Jadi gimana? Aku nggak maksa. Kamu nggak bisa ikut, aku tetep berangkat ke sana. Abel udah bayar lunas. Tadi udah deal."
"Jadi kamu pulang telat gara-gara ngobrol sama dia."
"Ngobrolin kerjaan."
"Kamu jangan naif deh, anak itu suka sama kamu."
Nyengir. "Memang."
"Sialan." Karena ditatap istrinya, dia kemudian mengoreksi. "Jarjit sialan! Kambing!"
Dalam rangka menenangkan suaminya. "Aku udah bilang ke dia kalau nggak akan menang lawan kamu."
"Tapi aku nggak anggap dia saingan sih. Masih bau bedak bayi. Aku jelas menang tanpa kamu bela."
Mulai. Gengsinya yang menyebalkan itu. Tapi Indira lumayan terhibur melihat orang gengsian tapi cemburu. Pasti batinnya bergejolak ingin menunjukkan dominan yang mana. Makhluk-makhluk kecil di dalam kepala Arsad pasti sedang kalang kabut.
"Aku nggak kasih izin kamu ke Puncak." Kartunya sebagai suami mulai digunakan.
Indira melepaskan perhatian dari teleskop di depannya. "Aku nggak bisa main batalin aja sekalipun kami akrab dan Abel mungkin nggak marah."
Arsad mendengkus mendengar kata akrab. Akrab ceunah. Dia pun bersungut-sungut dan tidak mau menyembunyikan kesalnya.
Cemberut tapi tetap memaksa tanya, "Hari apa jadinya?"
"Jumat sore." Indira baru sadar hanya ada satu kursi lipat yang dibawa Arsad, itu pun sudah digunakan suaminya sendiri.
"Sabtu pagi ajalah mau ngapain dari malam sebelumnya. Jangan duduk, ini kursi udah—"
Tepat dua detik setelah Indira main duduk begitu saja di pangkuannya, kaki kursi tidak sanggup menahan beban. Arsad segera melingkarkan satu tangan di punggung Indira sebelum istrinya itu mendarat dengan posisi yang salah.
Mereka terjatuh ke lantai semen. Indira masih di posisi yang sama. Sempat mengira kalau dia akan terjengkang tidak elit.
"Berat sih kamu."
Suara itu dari belakangnya persis. Indira menuduh balik. "Kamu yang berat."
"Ambil timbangan sana kalau ngeyel."
Tiba-tiba Indira berubah serius setelah melihat lengan mereka dan membandingkan. "Iya, kamu kurusan. Lagi banyak pikiran? Makanya, kalau disuruh sarapan tuh sarapan. Inget, gengsimu juga perlu dikasih makan."
Dan blablablah... Indira sedang mengomel khas ibu-ibu. Kalau ini drama komedi, akan dia beri efek suara ayam berkotek.
Arsad menyela omelan, menepuk lengan istrinya agar menyingkir dari pangkuannya.
"Aku boleh tanya?"
Mereka duduk bersisihan. Saling meluruskan kaki dan menjadikan tangan sebagai tumpuan di belakang tubuh.
"Sejak kapan kamu ngomong pakai izin segala." Apa pun yang dikatakan Indira, dia sudah biasa terkaget-kaget.
"Kenapa waktu itu lebih milih jemput Laras di stasiun ketimbang makan malam sama kami?"
Kali ini tidak kaget. Dia tahu akan ditanyakan lagi. Ada banyak jawaban. Arsad diam sebentar, memilah. "Aku jemput dia cuma sekali. Makan malam sama kalian udah terlalu sering."
"Tapi momennya buat ngerayain kamu."
"Aku bukan anak kecil lagi. Tahun depan kalian bisa berhenti bikinin acara sekalipun hanya makan malam." Kalian. Indira termasuk menjadi subjek. Dia berharap tahun depan perempuan ini masih ada di hidupnya. Tidak membencinya.
"Ada apa sama hari ulang tahun kamu? Sampai kamu lari."
Arsad menoleh. Mungkin tidak apa-apa bilang ini. "Nadia meninggal di hari itu."
"Hari itu ...." Indira tampak mengawang. Hari yang sama saat Ayah pergi dan Fadil kecelakaan. Ada keterkejutan di matanya tapi cepat-cepat dia kendalikan. "Apa ini alasan kita ketemu?"
Arsad mengiakan di dalam hati. Itu fakta. Terlepas bagaimana Indira juga memberi banyak effort dalam hubungan ini. Dia tidak tahu kenapa Indira bisa dan betah mencintainya.
"Banyak banget kebetulannya." Indira menaruh telapak tangannya di punggung Arsad. Membuat gerakan mengusap yang lambat. "Maaf, aku nggak tahu."
Bukan salah Indira. Arsad yang tidak detail menceritakannya. Hanya tahun dan bulan kepergian Nadia.
"Tahun-tahun berikutnya mari kita rayakan dengan tenang."
Usapan di punggungnya masih terasa. Lama-lama menghantarkan tenang dan nyaman. Arsad membuang pandangan ke arah lain ketika sudut bibirnya tertarik membentuk seulas senyum. Bukan hanya tahun depan, tapi tahun-tahun berikutnya. Dia ingin menjadi naif dan mengaminkannya.
"Senyumnya bisa kali madep sini. Istrinya kan di sebelah sini."
***
Aku termasuk orang-orang September hihi (maunya sih kembaran tgl lahirnya sama jungkook🤣)
Dan mari anggap Arsad zodiaknya libra, yg jago silent treatment. Tapi gak tau libra di sekitar kalian gimana, mungkin beda😅
Awalnya aku jg gak sadar bakat terpendam ini sampai denger cerita dari temen penulis yg jd korban cowok libra. Lalu aku berkaca, ngamatin juga sepupu cowokku yg libra, kemudian Arsad. Kami punya kesamaan. Gak pinter nunjukin perasaan secara verbal (kalo unjuk komuk pinter), penginnya orang jadi cenayang buat kita😅
Kalo ada yg lagi berurusan sama libra, jangan pernah berpikir buat ngediemin dia, kalian salah langkah. Dia udah duluan😭🙏
Makasih masih ngikutin cerita ini💕💃
Jumat/22.09.2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top