Chapter 18

Mereka hanya makan berdua di meja makan besar itu. Tante Elma menemani suaminya yang ingin makan di teras belakang. Bertiga dengan Pak Budi yang sudah seperti keluarga.

Indira sibuk menyiapkan teh manis hangat, nasi dan semacamnya. Jadi tidak sadar jika Arsad, yang sudah duduk di salah satu kursi makan, dengan matanya mengikuti dengan sorot antusias.

Maksudnya, Indira terlalu lama. Arsad keburu lapar.

Setelah semua siap di meja, Indira justru melipir lagi. "Ck, ke mana lagi sih?"

"Bentar, aku antar jeruk nipis ke belakang."

Sudah mengantar jeruk nipis, tapi belum juga duduk. Indira sambil lalu bilang ingin mengambilkan bawang goreng. Membuat Arsad menjadi pihak yang terkesan tidak sabar padahal Indira yang suka menguji kesabarannya.

Arsad menunggu hingga Indira benar-benar duduk di depannya dan barulah dia mulai menyicipi rawon buatan istrinya yang lebih banyak dibantu Tante Elma. Kalau rawon ini enak, itu karena tentenya, bukan Indira.

"Gimana?"

Mencecap-cecap lidah. "Beda jauh."

Agak kecewa tapi Indira tersenyum. Selama tidak dilepeh artinya masih cocok di lidah Arsad. "Tapi masih bisa ketelen, 'kan?"

Selain agak kecewa, Indira sebenarnya ingin sesekali menguncir mulut pedas suaminya. Ketimbang bilang beda jauh, bisa kan bilang lumayan?

Arsad tidak menanggapi. Indira mulai makan sambil seringkali memperhatikan ekspresi suaminya. Siapa tahu setelah suapan kesekian ada yang berubah pikiran dan menarik kembali kata-katanya.

Beberapa saat, dan Indira justru mendapati perubahan drastis itu.

Wajah Arsad berangsur memerah, tangan kirinya sibuk menyusut hidung yang berair dan juga pipi. Setitik saja tapi Indira melihatnya. Arsad menangis? Dia sampai mengerjap untuk memastikan.

Indira meletakkan sendoknya. Diam memandangi suaminya dengan bingung, tidak gegabah menginterupsinya. Pemandangan ini menjadi pertama baginya. Dia belum pernah melihat Arsad menangis sebelumnya.

Arsad tidak menangis ketika bercerita singkat tentang Papa yang pergi dari rumah sejak dia kecil. Lalu soal Mama, kedua Eyang serta kakak perempuannya yang meninggal. Tegar-tegar saja. Tapi kenapa justru sekarang menangis hanya karena semangkuk rawon? Indira beralih ke dinding kaca. Ketiga orang di teras makan tanpa masalah. Dirinya juga, tidak ada yang salah dengan rawon ini.

"Kamu ... kenapa?"

"Aku taruh sambalnya kebanyakan."

Indira menghela napas pelan. Mendekatkan kotak tisu dalam jangkauan suaminya. Dia tidak melihat Arsad memasukkan sambal di mangkuk rawonnya, satu sendok pun, karena mangkuk sambal berada di dekatnya.

"Seenak itu sampai kamu nangis?"

Arsad tertegun.

Pertanyaan serupa terlintas di kepalanya dengan suara yang berbeda. Meski sudah lama, tapi dia tidak pernah lupa. Dia hanya tidak menyangka jika seseorang akan menanyakan hal yang sama. Entah mana yang membuatnya emosional. Rawon ini enak, meski tidak seenak rawon favoritnya di Surabaya. Mungkin karena rawon mengingatkannya dengan Eyang Kakung yang sudah tenang di atas sana. Atau sebenarnya ingat Mama. Mungkin juga ingat Nadia. Di saat seperti ini semua berlomba memenuhi kepalanya.

Dia menarik tisu, menyeka hidung dan pipi. "Udah aku bilang beda jauh."

"Iya." Pokoknya di-iya-kan.

"Udah aku bilang juga, aku kepedesan."

Tapi tidak sibuk mengambil air minum. Gelas di sebelahnya masih utuh isinya. "Oh, oke. Kamu beneran kepedesan. Kelihatan kok."

Arsad balas menatap istrinya. Masih menyusut hidung. Pipinya menggembung karena makanan. Indira gemas melihatnya. Lihat, matanya yang berkaca terlihat galak tapi Arsad malah terlihat seperti anak kecil sekarang. Terlihat lebih manusiawi.

Tatapan macam apa itu. Arsad tidak bisa menerimanya. "Kamu ngeledek?"

"Mau nambah nggak? Mumpung masih hangat—"

"Mau."

Bertepatan dengan Tante Elma yang masuk, berniat membawa panci rawon ke teras belakang. "Kalian Sabtu depan lowong nggak?"

"Nggak, Tan."

"Iya." Arsad menjawab sambil melotot ke arah panci yang sudah dibawa tantenya.

"Aku ada kerjaan ngedekor di rumah Abel, Tan. Anniversary orangtuanya."

Arsad mengubah jawaban saat nama Jarjit disebut. "Aku nemenin dia kerja. Kenapa, Tan?"

"Ada acara penggalangan dana, Om-mu nggak bisa nemenin. Ya udah biar Tante coba ajak Laras aja. Siapa tahu dia bisa."

Ah, Indira lupa. Laras juga bagian dari keluarga ini secara tidak langsung. Kenapa harus merasa sedikit tercubit saat nama itu disebut sih. Toh, Tante Elma sudah mengajak mereka lebih dulu.

Indira nyaris bengong kalau saja Arsad tidak mendesis, setengah merajuk. "Buruan, Ndi, pancinya mau diangkut keluar itu."

"Tan, tunggu. Ada yang bilang nggak enak tapi minta nambah."

Arsad mendecak. "Orang kamu yang nawarin nambah!"

"Tapi mau, 'kan?"

Bersungut-sungut. "Terpaksa."

Mangkuk kedua dihabiskan dengan diam. Arsad ngambek. Tapi seperti terlihat sedih juga. Indira bingung menyimpulkan. Mungkin yang bisa dia tebak, ada alasan kenapa rawon menjadi kesukaan Arsad, selain karena memang sempat tumbuh besar di Surabaya. Mudah menjumpai rawon di mana-mana dan lebih otentik.

"Beneran mau nemenin kerja Sabtu depan?"

Arsad membawa tumpukan mangkuk dan piring kotor dari teras belakang. Indira ngotot ingin mencucinya sekarang meski Tante Elma sudah melarang. Arsad bantu mengumpulkan dan membereskan meja dari wadah sambal dan kecap. Juga mengelapnya bersih. Dia sudah makan banyak jadi agak tahu diri.

"Nggak tahu, asal ngomong doang." Arsad berdiri di sebelah istrinya, memperhatikan gelas yang penuh sabun. Lalu menangkap hansaplas yang melingkar di jari kelingking kiri.

Menyikut pelan perut Arsad. "Apaan sih, aku udah terbang dengernya. Kirain mau nemenin beneran."

"Kamu nggak minta."

Arsad dan gengsinya yang selangit.

"Atau kamu cemburu sama Abel? Aku ditemenin sama Tata kok." Menyebut salah satu pegawai perempuannya.

"Lihat nanti."

Meski dari dulu suka bilang lihat nanti-lihat nanti, tapi Arsad sering menepati omongannya.

"Ada yang kamu lupa jawab, Ar."

"Apa?"

"Kecuali kamu, akhirnya, emang mengakui cemburu sama Abel sih."

"Nggak ada yang perlu dicemburuin dari seonggok Jarjit."

"Kalau Abel itu Jarjit, terus kamu siapa dong?"

"Abang Saleh."

Indira perlu menaruh piring ke bak lebih dulu, takut jika gelak tawanya justru membuat piring meluncur dari tangannya dan pecah. Dia tergelak sampai membungkuk-bungkuk.

Tidak ikut tertawa, Arsad menyalakan keran dan mengumpulkan kedua tangan Indira di bawah aliran air. Setelah bersih dia menggeser istrinya yang masih tertawa, kemudian menyingsingkan lengan sweater. "Nyuci gini doang bisa kelar tahun depan."

Indira mengelap tangan dengan tisu dapur. Menyeka sudut mata yang sedikit berair, masih bengek. "Kenapa harus Abang Saleh?"

"Dia pekerja keras."

"Ya, ya, dan galak kayak kamu." Tertawa lagi sampai pipinya pegal. "Ar, bisa tiruin Abang Saleh dikit aja? Kamu pasti bisa. Ayo, aku doang ini yang lihat. Nggak usah malu."

Sambil terus mencuci dan meniriskan piring. "Jangan ngelunjak."

Indira bergeser, berdiri di belakang Arsad. Mengambil rambut suaminya yang sudah memanjang dari sisi depan kanan-kiri dan dikumpulkan ke belakang. "Nih, tinggal pake bandana doang. Udah mirip kamu sama dia."

Arsad membiarkan rambutnya dipegang-pegang. Dia lanjut mencuci panci presto. Tapi malah benaknya berandai-andai. Kalau Mama dan Nadia masih di sini, bertiga dengan Indira akan kompak meledeknya. Atau mungkin Mama akan membelanya. Sebahagia apa kalau memang bisa demikian. Kalau saja mereka masih ada, dia yakin mereka akan menyukai dan menyayangi Indira.

Kali pertama baginya berani membayangkan seperti ini. Hal yang selalu dia hindari karena dia benci berandai-andai. Hanya menyakitkan karena sadar tidak bisa terwujud.

Puas menjailinya, Indira memeluk tubuhnya dari belakang. Arsad bisa tebak kalau akan ada kalimat melankolis atau ungkapan terima kasih seperti biasanya. Entah kali ini apa yang mau dikatakan istrinya.

"Ar ..."

Baiklah, Arsad memasang telinga.

"Besok potong rambut ya? Rambutmu udah nyentuh tengkuk nih. Biar nggak kayak Abang Saleh."

Masih saja meledek. Siala—menghentikan umpatan di dalam hati, Arsad bergumam pendek. Apalagi melihat tantenya memperhatikan dari teras belakang. Tatapan yang bisa dimengerti Arsad.

Beberapa jam kemudian, tantenya mengajak bicara. Indira sudah tidur. Arsad terbangun dan mencari minum di kulkas. Tantenya muncul dari arah tangga. Dari dulu mereka punya kebiasaan yang sama. Terbangun random tengah malam lalu mengobrol ngalor-ngidul.

Arsad memainkan gelas yang isinya tinggal separuh. Menunggu tantenya memulai.

"Apa kamu mulai—"

"Enggak," potongnya begitu saja.

Terkekeh lirih. "Dengar dulu."

Arsad diam. Dapur itu lengang. Dia sudah tahu tantenya ingin bicara apa.

Tante Elma tersenyum lembut. "Tante kira itu sebuah dendam. Jangan-jangan kamu memang mencintai dia dan Tante serta Om-mu salah mengira. Ketika kamu minta restu menikahi dia, kamu nggak menjelaskan perasaanmu. Kamu berlindung di balik kata dendam. Kami lebih senang jika alasannya datang dari hatimu sendiri. Bukan yang itu."

Menunduk. "Aku nggak tahu."

Senyumnya memudar, tatap matanya terlihat membujuk kepala yang tertunduk itu. "Lupakan semuanya, Ar. Indi mungkin lebih baik nggak tahu, dari siapa pun atau dari kamu sekalipun."

"Tapi dia akan tahu. Kenapa aku nikahin dia. Dia pasti akan tahu." Arsad menyeringai tipis.

"Tapi kamu juga tahu, Indi bukan bagian dari keluarga itu. Nggak ada alasan kamu dendam ke dia."

"Mungkin nggak ada yang berubah. Setelah tahu semuanya, dia tetap akan marah, kecewa, dan ... pergi." Seperti yang semua orang lakukan padanya. Indira juga akan meninggalkannya. Hanya perkara waktu.

Setiap hari keresahannya ikut bertambah melihat Arsad yang seperti ini. Terlihat bahagia-tidak bahagia. Suaranya tetap pelan. "Dan berapa lama kamu berusaha menahan Indi? Kapan kamu ingin jujur ke dia? Atau kamu menunggu dia tahu dari orang lain? Kamu tahu dia akan pergi tapi kamu nggak mau itu terjadi, 'kan? Tunggu, mungkin kamu malah nggak sanggup menghadapi kemarahan dia. Kamu bukan sedang mengulur waktu, kamu takut."

Arsad mengatupkan bibir. Memilih bungkam.

"Tante tahu kamu bingung."

Kembali lengang. Arsad tetap diam. Tidak menatap tantenya.

"Ar, kamu boleh merasa bahagia. Boleh merasa nyaman dan tenang saat bersama Indi. Jangan terlalu disembunyikan. Jangan membohongi dirimu sendiri. Tante tahu, jauh di dalam hati kamu, kamu ingin jujur ke dia dan memulai dengan cara yang lebih baik."

Tantenya benar. Tapi Arsad tidak bisa. Dia selalu merasa bersalah setiap kali melihat Indira tersenyum karena dirinya. Dan mungkin dendam di hatinya, kemarahan yang masih tersisa atas kepergian Nadia, belum sepenuhnya hilang. Membuatnya serba salah.

Dia tahu. Indira bahkan tidak salah apa-apa.

Percakapan ini tidak berjalan dua arah lagi karena dia memutuskan untuk terus diam hingga pintu kamar di dekat tangga tiba-tiba berkerit terbuka. 

Arsad segera berdiri, menyingkirkan gelas ke bak cuci, pamit sekilas ke tantenya. Menghampiri Indira yang terbangun dan mungkin bingung mendapati sisi kasur yang kosong.

"Tante nggak bisa tidur?" Indira bertanya serak, menyelipkan kepala di antara bahu Arsad yang hendak menutup pintu. "Mau tidur sama aku?"

"Terus aku tidur sama siapa?!" Arsad perlu protes daripada berakhir luntang-lantung di sofa depan TV lagi.

Tante Elma terkekeh, mengibaskan tangan, tidak perlu mencemaskan dirinya. Menyuruh keduanya masuk kamar.

***

Ada yg pernah bilang bakal ninggalin pas udah cinta banget. Jangan2 dia yg cinta banget terus ditinggalin. Wokwowkwkw😭😭😭

Bukan kuis, tapi sebutin satu aja sifat baiknya Arsad. Kasian dihujat mulu🤣

Cast Abel aku spill next chapter ya. Ada 2 cast, susah milih salah satu hahaha

Makasih yaa. Ketemu lagi Senin! 💕

Kamis/14.09.2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top