Chapter 16
Buntut dari pertemuan mendadak Indira dan Laras kemarin tidak ada.
Setidaknya itu yang bisa Arsad nilai pagi ini. Selain percakapan random di dalam mobil saat perjalanan pulang tadi malam. Ya, mereka pulang, sesuai yang dia janjikan sebelum Indira bersedia makan malam bersama. Dan untungnya tidak membuat ulah macam-macam. Apalagi merealisasikan ide konyol kesurupan kunang-kunang. Orang mana yang akan percaya.
Pagi ini, suasana hati Indira seperti pagi-pagi biasanya. Bersenandung sambil mengganti bunga di dalam vas. Sejauh ini tidak ada harum masakan apa pun. Juga kopi atau teh. Tidak ada. Tapi di atas meja dapur ada beberapa buah yang sudah terpotong presisi, mayonais, parutan keju, susu kental manis dan yogurt.
Indira mengenakan setelan kerja hitam di balik celemek motif bunga, berbeda dari biasanya. Tidak usah tanya. Dia tahu istrinya mau bertemu klien yang menjadi mitranya. Atau mungkin ada mitra baru.
Melihat dua kotak makanan di dekat telenan. "Aku nggak mau bawa bekal lagi, buah sekalipun."
"Buat Abel ini, bukan kamu."
Abel? Alisnya terangkat satu. "Klien yang mau kamu temuin?"
"Bukan."
"Terus?"
"Temen."
"Perempuan?"
"Laki-laki."
Meski Indira mengaku bisa berteman dengan banyak orang tapi hanya sedikit yang ditarik ke dalam lingkaran. Jadi kenapa dia baru dengar yang satu ini. Mungkin ada yang dia lewatkan. Tapi kecil kemungkinan dia tidak tahu, mengingat Indira seperti ember bocor kalau cerita padanya.
"Selain Naga, aku nggak tahu kamu punya—" Alarm di kepala Arsad seketika berdengung, meraung, mengirim sinyal ke mulut untuk berhenti bicara dan segera mingkem. Blunder detected!
Indira telanjur menangkap raut gelagapan itu. Nyengir senang. "Apa? Kamu kira aku bakal jawab sama kayak kamu? Tapi boleh deh, siapa tahu kamu penasaran. Abel temen baruku, Ar. Cakep anaknya. Ramah banget."
Apa dia bilang Laras cantik di depan Indira? Tidak. Ramah? Tidak. Memujinya hal lain? Tetap tidak.
"Tetangga ruko, baru pindahan kemarin. Kapan-kapan aku kenalin ke kamu ya."
Arsad menyelinap di belakang tubuh Indira, hendak membuat kopi. Mengabaikan ocehan istrinya tentang cowok lain di luar sana.
"Dia umurnya di bawah kita."
Bodo amat. Arsad mengambil cangkir kopi.
"Tapi kelihatan dewasa. Pengalaman bisnisnya banyak. Dari SMP udah jualan di kelas. Bantu jualin kue bikinan mamanya. Keren ya."
Arsad tetap diam. Menunggu cangkirnya terisi cairan dari mesin pembuat kopi.
"Tapi gantengan kamu kok."
Barulah Arsad berdeham sebagai respons. Hanya itu, kemudian duduk dan fokus menghabiskan kopi tanpa menciptakan obrolan apa-apa. Dia harus bergegas sebelum telinganya pengang.
"Bentar, tunggu di situ. Aku cuci tangan dulu."
Arsad berdiri dan memajukan kursi, lalu menunggu. Untuk kemudian dihampiri, dicium punggung tangannya dan diberi kecupan di pipi serta bibir. Ritual paksaan yang berhasil Indira tanamkan padanya sebelum berangkat kerja.
Lihat saja, dia disuruh menunggu, dia tunggu dengan patuh. Tidak protes ketika tangan yang belum sepenuhnya kering itu pegang-pegang pipinya. Dia harus waspada kalau-kalau ada agenda cuci otak lainnya. Yang satu ini dia biarkan. Toh, wajar dilakukan suami-istri kebanyakan. Peran ini setidaknya harus dia lakoni dengan sedikit menggunakan hati jika tidak ingin gila.
Atau dia sudah gila. Dia melakukan banyak hal di luar dugaan, di luar rencana. Semakin dia terjebak dalam pernikahan ini, semakin ada saja yang bisa dia lakukan. Perasaan melankolis ini cukup misterius. Tapi dia anggap sebagai bentuk kasihan semata. Ini jelas bukan cinta.
Arsad kembali masuk rumah. Indira mengangkat wajah dari gerakan menata buah ke kotak, menatap bingung. "Ada yang ketinggalan?"
"Nggak."
"Oh, mau salad buah?"
"Banku kempes."
"Bawa aja mobil satunya."
Ya situ berangkat kerjanya gimana. "Kamu masih lama?"
"Nggak sih, sebentar lagi."
"Bareng aja kalau gitu." Lagi pula bikin salad buah kok lama. Orang cuma buah dipotong, dituang saus hasil campuran tiga bahan, lalu ditaburi parutan keju. Nah, Indira pakai acara hias-hias segala. Nanti juga rusak waktu disendok.
"Lama banget. Abel nggak bisa ngunyah buah potong biasa? Aku kemarin kamu bawain apel potong tuh, tanpa apa-apa." Kok dibedain. Untung tidak ada alarm menyala lagi. Aman. Mulutnya sudah lebih hati-hati dengan tidak mengulang kebodohan dalam waktu berdekatan.
Indira tidak sempat membalas cibiran khas suaminya. Dia menyelesaikan dua kotak salad dan menumpuknya, lantas melepas celemek. Menyerahkan kunci mobil ke Arsad, sebelum suaminya yang terlihat buru-buru makin mengomel.
"Aku atau kamu yang bawa mobilnya?"
"Aku." Tanpa ragu menjawab. "Jam berapa pulang? Aku jemput."
"Sekitaran jam tujuh sih kayaknya."
Sampai di depan ruko, Indira turun dan meninggalkan satu kotak salad di atas dasbor. Hanya membawa turun satu. Mungkin tidak jadi dikasih Abel dan dimakan sendiri, tebak Arsad.
Indira merunduk di antara pintu mobil yang terbuka. "Buat kamu. Aku tahu kamu gengsi minta."
"Udah dibilang nggak, ya nggak."
"Kamu yakin beneran nggak mau?" Indira siap mengambil lagi salad buah di atas dasbor.
"Nggak etis ngasih terus diambil lagi. Itu satunya?"
"Buat Abel."
Tidak berubah pikiran. Masih buat Abel. "Tutup pintunya. Aku keburu telat, mau meeting."
Indira mundur, menutup pintu, setelah berpesan hati-hati. Khawatir suaminya pundung lalu mengomeli pengguna jalan lainnya yang tidak bersalah, hanya karena masalah salad buah. Dia buat dua memang untuk Arsad dan Abel. Tahu kalau suaminya gengsi minta terang-terangan. Ternyata memang berharap istrinya peka sendiri. Tidak heran kalau lama-lama, mungkin lima tahun lagi, Indira bisa buka praktik perdukunan. Dia bisa jadi cenayang. Dan Arsad pasti akan ngomel mendengar ide gila ini.
"Dianterin suami lagi, Ndi? Suamimu ketar-ketir ada Abel ya?"
Indira berhenti di depan salon. Pemiliknya sedang menyapu teras. Rambutnya separuh pink, separuh mint. "Ban mobilnya kempes, Tante Mir. Dia mah bodo amat sih pas aku cerita Abel."
Dia tadi cerita bukan bermaksud membuat Arsad cemburu. Dia hanya cerita. Itu saja. Tapi respons Arsad memang tidak tertarik, yang mana ekspresi itu sering digunakan sehari-hari. Jadi Indira biasa saja. Tidak berpikir Arsad cemburu.
"Kalau dia masih nganter kamu seminggu kedepan, yakin itu cemburu. Botakin kepalaku nih."
Indira hanya terkekeh. Tidak ada yang bisa menebak pikiran Arsad yang rumit. Bisa jadi benar, bisa jadi tidak. Tidak semua tebakan Indira benar, kerap keliru juga. Ilmu cenayangnya masih cetek.
"Aku kalau belum nikah lagi, mau sih sama Abel, Ndi."
Indira melangkah menjauh, nyengir sambil mengacungkan jempol. Kepindahan Abel menjadi warna baru di pertetanggaan ruko ini. Selain anaknya cakep, memang pandai bergaul jadi semua orang mudah menyukainya. Bahkan bisa mengobrol dengan Pak Dim, pemilik toko jam yang pelit bicara. Indira mulai tersaingi.
Lonceng berbunyi ketika dia mendorong pintu kaca. Tanda di pintu belum dibalik, tapi dia melihat toko sudah bersiap untuk buka. Matanya memindai display sepatu yang sudah dia absen kemarin, kali ini hanya sekilas, lalu berjalan lebih masuk. Berhenti di depan konter kasir yang lengang.
Indira memandangi foto keluarga dalam bingkai kecil di dekat kalender meja. Keluarga Abel terdiri dari lima orang. Tampak Abel sebagai anak sulung dan punya dua adik perempuan. Semua orang tersenyum di dalam foto. Mereka terlihat bahagia dan hangat. Pantas kalau Abel juga demikian.
Seseorang muncul dari pintu hubung, Indira bilang mencari Abel dan orang itu menjawab jika Abel belum datang. Indira menitipkan kotak salad buah dan keluar dari sana. Lalu melihat satu per satu pegawainya datang disusul truk supplier bunga. Di ruko paling sudut, Pak Dim terlihat sudah datang. Juga ruko lain yang mulai bersiap.
***
Masih ada waktu satu jam sebelum menjemput Indira. Kubikel di luar ruangan sudah kosong. Tidak ada pegawai yang lembur hari ini. Bukan akhir bulan. Mereka pulang tepat waktu. Arsad masih diam di ruangannya bahkan setelah sinar matahari dari celah tirai jendela hilang dari lantai. Matanya terpaku di layar komputer yang menampilkan sebuah game.
"Belum pulang, Mas?"
Arsad menarik sudut bibirnya ke atas. Tersenyum mendengar sapaan dari wanita paruh baya yang selalu membawa lipatan lap di bahunya atau kadang membawa troli berisi banyak alat kebersihan. Tapi kali ini membawakan kotak makanan yang sudah dicuci bersih. Arsad tidak menyuruhnya, Bu Midah sendiri yang siang tadi menawarkan untuk mencucinya ketika membersihkan kaca ruangan divisi dan melihat kotak kosong itu tergeletak di tepian meja.
Pekerja favorit Arsad di gedung ini. Dia mengenalnya sejak tiga tahun lalu. Menjadi teman ngobrol kalau mereka berpapasan dan tidak diburu pekerjaan. Mengobrol apa saja.
"Bu Midah udah mau pulang?"
"Sebentar lagi, Mas."
"Makasih, Bu." Menerima uluran kotak bersih.
Bu Midah tersenyum. "Saya penasaran besok Mas dibawain bekal apa."
Menatap kotak itu lalu menggeleng. Geli karena tidak perlu ada yang membuat penasaran. Dia bukan karyawan lain yang dibawakan bekal komplit oleh istri. "Saya sebenernya nggak suka dibawain bekal."
"Tapi buat istri, itu kegiatan yang menyenangkan, Mas."
Arsad berpikir sebentar. Dia tidak ingin bawa bekal saja, Indira sudah sering menyiapkan banyak makanan ketika pagi. Apalagi jika dia bilang, bisa jadi istrinya itu akan bangun sebelum subuh. Jadi lebih baik tidak. Indira juga harus berangkat kerja pagi-pagi.
Mereka turun dengan lift yang sama. Arsad mengenal cerita Bu Midah dan anak lelaki semata wayang yang berkebutuhan khusus. Suaminya sudah lama meninggal. Bu Midah hanya hidup berdua dengan sang anak, di rusun belakang gedung kantor. Arsad pernah main ke sana beberapa kali.
Bu Midah orang yang menyenangkan. Seperti ibu-ibu kebanyakan. Suka bergosip dan Arsad akan dibagi informasi cuma-cuma. Atau ketika dirinya dijadikan objek pembicaraan di gedung ini, dia juga akan tahu. Termasuk siapa-siapa saja perempuan yang berniat mendekatinya. Bu Midah tahu banyak karena banyak dengar.
Dan di balik sikap ceria, senyum lembut, ada sebuah cerita yang dibagi Bu Midah padanya. Sebuah penyesalan, lebih tepatnya.
Hari itu, tiga tahun lalu, ketika Arsad bekerja hingga larut dan berniat membuat kopi, dia menemukan Bu Midah menangis di pantri. Dikiranya semua orang sudah membuat kopi maka aman untuk meluapkan tangisan yang ditahan sepanjang hari. Arsad tidak balik badan atau pura-pura tidak dengar, dia justru membuka pintu pantri lebar. Melangkah masuk dan menemani duduk di lantai. Mereka baru bicara setelah tangis itu berhenti.
Mau bagaimana, mungkin Arsad memang ditakdirkan bertemu dengan orang-orang yang ingin mati.
Bu Midah nyaris meracuni diri sendiri dan anak lelakinya. Berniat mati bersama. Tidak sanggup memikirkan beban hidup menahun yang dirinya sendiri tanggung, anaknya juga tanggung. Dia ingin menyerah sejak lama dan mengakhiri penderitaan mereka di dunia. Kasihan anaknya sudah lelah.
Beban itu bertumpuk-tumpuk, menunggu momen untuk meledak. Butuh satu pemikiran pendek untuk memutuskan mati saja. Beruntung Bu Midah berubah pikiran di menit terakhir, menumpahkan mangkuk sup milik anaknya, membuang juga sisanya. Tidak ada yang bisa menjamin keduanya bisa mati bersamaan. Bagaimana kalau hanya salah satu atau malah dirinya yang selamat. Itu jauh lebih menyakitkan.
Lalu, sekali lagi, Arsad membuka luka lamanya. Dia ingin Bu Midah bertahan, menjadi lebih kuat dari sebelumnya dan mengambil tindakan yang berbeda dari mamanya. Dia tidak merasa dirinya sebagai pahlawan. Kemarin Indira, lalu Bu Midah. Sama sekali tidak. Justru sedih karena tidak bisa membantu banyak.
Lantas mereka berteman baik hingga hari ini. Indira tahu tentang Bu Midah.
"Masak apa malam ini, Bu?"
"Kamu sering tanya tapi nggak pernah mau mampir." Bu Midah hanya bercanda. "Kamu memang harus cepat pulang. Istrimu pasti nunggu."
Mungkin tidak. Indira masih asyik dengan bunga-bunganya itu ketimbang memburu-buru suaminya untuk lekas datang menjemput. Dia juga jamin kalau nanti ketika dia tiba pun Indira masih belum selesai dengan pekerjaannya.
Mereka berpisah di lantai lobi.
Tebakannya benar. Sampai di ruko, meja bundar itu penuh dengan pekerjaan. Semua pegawai sudah pulang. Indira masih betah di toilet, entah salah makan apa. Arsad memilih menunggu di kursi tamu yang ada di depan. Menatap bosan layar TV di dinding yang menayangkan siaran acak.
Pintu utama di belakangnya terbuka, ada langkah yang datang mendekat. Arsad menoleh tanpa berdiri. "Maaf, tapi toko sudah tutup."
Sosok tinggi itu semakin jelas. Semakin dekat. "Oh, nggak. Bukan mau beli bunga. Mau balikin ini." Mengangkat sesuatu di tangan.
Arsad mengenali benda di tangan itu. Lantas memindai tanpa sungkan, dari atas sampai bawah. Tatapannya penuh penilaian. Dengan segera dia menyimpulkan.
Sayangnya, Indira benar. Tentang cakep, ramah atau apalah itu.
Muka yang tidak ramah itu makin tidak ramah. "Jadi kamu yang namanya Abel?"
"Iya." Abel tersenyum. "Mbak Indira-nya ada?"
"Lagi di toilet."
"Lama nggak ya?"
"Tahun depan baru keluar."
"Ya?" Abel menggaruk rambut yang tidak gatal. Harusnya kalimat itu lucu. Tapi entah kenapa dia tidak bisa tertawa, malah menelan ludah kikuk. Atmosfirnya berbeda.
Arsad juga tidak sedang melucu. Tidak berharap ada reaksi berupa tawa. Dia sekarang menatap tajam kotak makanan di tangan Abel. Ingat kalau kotak itu ada sepasang, satunya di mobil. Dia menemani ketika Indira membelinya bersama perabotan dapur lainnya.
"Mau balikin itu, 'kan? Taruh aja di meja."
Abel menaruh kotak itu di meja. "Oke, saya titip ya. Sampaikan kalau saus saladnya enak banget. Besok siap menampung makanan lain, apa pun saya doyan."
Kurangaj— "Hm." Alih-alih terdengar gumaman, lebih seperti dengkusan. Sudah bagus Arsad mau mengeluarkan suara.
Abel pamit dan berbalik pergi. Tapi baru tiga langkah, dia berjalan mundur dan kembali berdiri di sebelah kursi Arsad.
Arsad menerima tatapan penasaran dari Abel. Apa? Apa lagi yang anak ini coba kataka—
"Sopirnya Mbak Indira, ya?"
BOCAH KURANGAJAR!
***
Mau naruh cast Abel di sini tapi ntar ada yg pundung karena tersaingi cakepnya😭🤣🤣
Makasih masih lanjut baca. Sampai ketemu malam mingguuu😉
Senin/04.09.2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top