Chapter 15

Yang membuat terkejut sebenarnya, dia tidak tahu Laras ada di sini. Arsad tidak bilang apa-apa. Dia memang bilang ingin kenal siapa Laras. Tapi ini mengejutkan untuknya. Tidak begini caranya.

Maksudnya, dia bingung harus bersikap bagaimana. Apakah perlu menunjukkan sentimen karena Arsad hari itu lebih memilihnya ketimbang datang makan malam? Atau bersikap biasa saja, seolah baru bertemu, baru kenal. Tidak ada hard feeling apa pun. Padahal pagi tadi dia ingin menyilet-nyilet muka perempuan di dalam foto yang ternyata Laras.

Baiklah. Indira akan coba menahan diri. Semampunya.

Tante Elma sukarela menjadi jubir menjelaskan siapa Laras dan seperti apa kedudukannya. Arsad melipir ke dapur untuk mencari minum. Indira duduk, setelah berkenalan resmi dengan Laras, lalu mendengar Tante Elma bercerita banyak tentang siapa Laras ini.

Tepatnya, siapa Laras di hidup Arsad. Memang lebih dominan ke arah sana.

Indira mendengarkan, tidak melewatkan satu informasi pun. Sesekali dia melirik ke arah Laras yang duduk di sebelah Tante Elma. Gestur akrab mereka yang kentara. Tangan Laras yang sering digenggam Tante Elma. Indira jadi lebih mudah memahami cerita yang dia dengar. Mendapat kesimpulan bahwa Laras bukanlah kerabat tapi keluarganya dekat dengan keluarga Arsad, berteman baik dengan kakak perempuan Arsad yang sudah meninggal, dan dulu dianggap anak sendiri oleh orangtua Arsad.

Wajar mereka dekat. Wajar kalau Arsad menjemput ke stasiun. Wajar kalau Laras tahu banyak sementara dia tidak. Dan wajar kalau dia tidak tahu siapa Laras sebelumnya. Jadi memang tidak apa-apa menjadikannya sebagai alas panci mie. Maksudnya Laras di dalam foto. Bukan Laras yang asli.

Coba dihitung. Sudah berapa kali dia menyebut nama Laras, dan sayangnya masih berlanjut. Ini mulai tidak benar.

Tidak sedih. Siapa bilang dia sedih. Dia malah bisa tanya apa pun soal Arsad ke Laras, tapi bukan sekarang. Satu cerita tadi tidak cukup. Mungkin ada kejadian konyol lainnya. Dia mau dengar lebih banyak. Karena Arsad tidak melakukan itu untuknya.

Tapi Indira mungkin, bukan kecewa, tapi lebih merasa datang di waktu yang salah. Dia seharusnya tetap datang akhir pekan saja, tidak memaksakan diri datang sekarang. Urusan mengajari merangkai bunga dan memasak rawon bisa kapan-kapan. Tante Elma terlihat sangat menyukai tamunya dan Indira lebih baik menyingkir. Dia lama-lama merasa roaming dengan obrolan mereka. Daripada jika nimbrung hanya merusak suasana.

Dia membawa paper bag besar berisi bunga-bunga dan semacamnya yang dia letakkan di dekat tangga, setelah sebelumnya meminta kunci mobil ke Arsad yang rebahan di kamar. Diberi tanpa ditanya apa-apa.

Indira memasukkan kembali paper bag ke dalam bagasi. Belum tahu akan menginap di sini atau nanti pulang, dia belum tanya suaminya.

Saat ingin kembali masuk ke rumah, dia tertarik mampir ke rerumputan di samping jalan setapak menuju teras. Dia sedikit menaikkan rok plisket panjangnya, mengikuti kunang-kunang yang terbang rendah dan hanya berputar-putar di bagian yang tidak banyak terpapar cahaya lampu.

Indira berjongkok di sana. Malam-malam begini. Sebenarnya dia tidak tahu harus apa. Sebentar lagi mungkin dipanggil untuk makan malam bersama. Sementara menunggu, dia mau menyepi di sini dulu. Digigiti nyamuk tidak apa-apa daripada di dalam sana.

Dia tidak coba menyentuh kunang-kunang, takut mereka kabur semakin jauh. Jadi hanya diam mengamati pendar cahayanya yang berkerlip. Dulu waktu kecil dia dengar mitos yang bilang kunang-kunang adalah jelmaan kuku orang yang sudah meninggal. Tadinya suka kemudian jadi takut. Sekarang dia sudah besar dan kembali menyukai hewan ini. Seumur hidupnya belum pernah lihat kunang-kunang berubah bentuk. Begitu-begitu aja. Terbang dalam senyap, kedip-kedip, menghindari cahaya lampu. Jelmaan kuku dari mananya.

Tapi kalau mitos itu memang betulan, masih banyak hewan lainnya yang Indira sukai.

"Temanmu lintas spesies ya."

Arsad heran ketika kunci mobilnya tidak lekas dikembalikan. Dia pun bangkit dari kasur, melewati dua perempuan yang asyik ngobrol sampai lupa kalau satu orang memilih menyingkir karena merasa tidak nyambung. Lalu menemukan istrinya di sini. Berjongkok di halaman rumput sambil memandangi kunang-kunang. Mungkin mereka komunikasi lewat bahasa yang Arsad tidak mengerti.

Indira tidak takut dengan binatang apa pun. Bahkan kecoak yang paling Arsad benci. Binatang satu itu bikin kaget karena bisa terbang dan tidak ada yang bisa menebak ke mana arah terbangnya karena terjadi secara cepat.

"Untung kamu nggak takut sama semua jenis serangga. Repot kalau iya. Udah waktunya makan malam?"

"Belum." Arsad tidak ikut jongkok, tidak pula masuk ke rumah, dia berdiri saja pokoknya.

"Kita tidur di sini atau pulang?"

Malah ikutan memperhatikan kunang-kunang itu. "Penginnya gimana?"

"Aku istri, jadi nurut kata suami."

Suara Laras terdengar dari ambang pintu. Memanggil lembut mengajak untuk makan malam. Arsad yang menoleh dan menyahut. "Bentar, ada yang tantrum."

Indira mencibir ke arah kunang-kunang yang tidak punya salah. Meniru ucapan suaminya dengan gerakan bibir tanpa suara.

Kembali menunduk, melihat istrinya yang masih asyik bicara ke kunang-kunang. "Ayo makan."

"Gimana caranya bilang kalau aku belum laper tapi nggak mau Tante Elma sama Laras tersinggung?"

"Nggak ada caranya."

"Apa pura-pura kesurupan aja?"

"Jangan aneh-aneh."

"Kamu bilang aja ke mereka kalau aku kesurupan kunang-kunang. Mitosnya dia ini kukunya orang meninggal, Ar."

"Tolong, Ndi, tolong."

"Kamu pernah ketemu wewe gombel?"

Apa lagi ini?!

"Itu yang mereka obrolin tadi, sebelum kita masuk. Kamu pas kecil main petak umpet dan keterusan tidur di loteng rumah kosong. Kamu dikelonin wewe gombel, ya?"

Mendengarnya saja sudah membuat merinding. Setara dengan dua kecoak terbang ke arahnya langsung. "Nggaklah. Ngada-ngada banget."

"Tapi kamu kan tidur, jadi mana tahu. Siapa tahu betulan dikelonin wewe gombel."

Percuma meluruskan. Arsad merasa dirinya memang diledek jika dilihat Indira yang mendongak padanya sambil nyengir-nyengir. Tidak cukup bicara aneh-aneh, harus meledeknya juga.

"Ayo makan."

Indira seketika berhenti nyengir. "Beneran kenyang, Ar."

"Istri katanya nurut kata suami. Mana?"

Dan bunyi perut Indira mematahkan kalimat pemiliknya.

Mengulurkan satu tangan. "Perutmu jauh lebih nurut kata suamimu."

"Apa kita tidur di sini?" Menyambut uluran tangan dan berdiri. Aneh, sama-sama di luar, tapi tangan Arsad terasa hangat sementara tangannya dingin.

Mengganti pertanyaan. "Laras tidur di sini?"

Arsad tidak tahu kalau Laras datang sekarang. Dia juga sempat terkejut mendengar suaranya dari ambang pintu. Tapi daripada putar balik, sekalian saja, Indira kan bilang ingin kenal Laras. Begitu pula sebaliknya. "Kamu tadi yang ngajak ke sini."

Mana dia tahu kalau ada tamu lain. Biasanya tidak. Makanya berani datang ke sini tanpa mengabari. Bikin kejutan tapi malah dia yang terkejut. "Jadi ...?"

"Kita tidur di rumah."

"Rumah siapa nih? Di depan kita juga rumah."

Perempuan satu ini. Kalau cemburu cukup bilang, bukan malah cranky. "Rumahku, rumahmu. Rumah kita. Puas?"

***


Ada extended chapter ini di lapak sebelah ya. Harga 2k saja~

Ketemu lagi Senin/Selasa🙆💕

Kamis/31.08.2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top