Chapter 12-2

Arsad sadar betul bagaimana raut wajahnya sekarang. Belum sepenuhnya hilang raut mangkelnya ketika tiba lagi di rumah tantenya.

"Ngapain kamu di luar?"

Dia membanting pintu mobil. Kesalnya masih bertumpuk-tumpuk. Sudah memaki sepanjang jalan dan rasanya belum cukup. Dan begitu melihat istrinya di luar rumah, mungkin menyadari kepergiannya, membuatnya ingin mengumpat lagi.

Bukan, bukan mengumpati Indira. Dia hanya tidak mau ditanya ini-itu yang cuma membuatnya semakin kesal. Tidak sekarang. Dia pusing harus mengarang jawaban di saat pikirannya carut-marut. Bukan nominal uangnya. Bukan itu. Dia hanya kesal setengah mati.

Lalu setengah jam kemudian, dia harus menyeret nama Laras karena Indira melihat nama itu muncul di layar ponsel, meneleponnya dan menimbulkan tanda tanya bagi istrinya. Keributan lainnya tercipta.

"Siapa Laras?" Indira bertanya lembut, tanpa nada menuntut.

Arsad menatap lelah istrinya. Terserah. Mau membesar-besarkan masalah ini? Silakan saja.

"Ar? Siapa dia?"

"Temen," jawabnya malas.

"Aku nggak tahu kamu punya temen perempuan."

"Nggak semuanya mesti kamu tahu, 'kan?" Dia tersulut juga. Kalimat ini sering keluar dari mulutnya. Kadang otomatis, kadang dengan sengaja. Indira mungkin sudah muak mendengarnya. Tapi biasanya, kalau sudah mengeluarkan kalimat itu, Indira tidak mendesaknya lagi.

"Dan barusan, kamu habis menemui dia?"

Arsad sempat diam. Lalu tanpa menatap mata istrinya, dia mengangguk. Mengiakan.

Dia mau lihat seperti apa ketika Indira marah. Tidak setiap saat perempuan ini bisa bersabar, menahannya, dengan harapan apa? Arsad akan mengalah dan bersikap lembut? Lebih terbuka tentang semuanya? Indira tidak bisa mengubah dirinya begitu saja. Orang tidak semudah itu berubah.

"Aku boleh ketemu dia?"

"Mau apa? Kamu curiga?!"

Indira diam dan tersenyum sendu. Arsad tahu sudah saatnya dia menghindar lagi. Dia tidak mau melihat senyum yang itu. Senyum yang menjadi rambu-rambu baginya jika dia sudah keterlaluan.

Mereka pergi secara terpisah. Indira dipinjami mobil Tante Elma, setelah dengan paksaan. Bahkan menyuruh Indira untuk memakai mobil itu selamanya. Tantenya memang berlebihan. Semua surat-surat juga langsung dipindahkan ke tangan Indira.

Arsad tidak banyak komentar, tidak terlalu peduli dengan urusan ini. Dia sudah pernah ingin membelikan istrinya mobil, tapi katanya jangan. Jadi memilih melengos pergi saat semua orang masih sarapan. Panggilan tantenya bahkan tidak membuatnya berhenti. "Astaga, anak itu benar-benar. Sudah, Ndi, makan saja. Jangan disusul. Dia sedang kumat."

Di jalan menuju kantor, dia menghubungi Laras.

"Ras, maaf tadi nggak bisa angkat. Ada apa?"

"Papaku ngabarin subuh tadi. Rumah kamu yang di Surabaya ada yang tertarik mau beli."

Maksudnya, rumah Mama. Rumah yang terpaksa dia tinggalkan saat umurnya masih sepuluh tahun. Eyang bilang tidak baik baginya dan Nadia jika terus meninggali rumah itu. Setelah insiden itu dia bersama kakaknya memang ikut tinggal di rumah Eyang. Dibesarkan dan dirawat dengan baik. Seolah Eyang sedang berusaha menebus masa-masa kelam saat itu. Tapi lubang besar di hatinya, juga Nadia, tidak begitu saja tertutupi.

"Rumahnya pasti udah rusak. Siapa yang mau nempatin?"

"Tapi letaknya stategis. Aku rasa mau dibangun yang lain, entah apa."

Arsad belum bersuara lagi. Laras dan keluarganya sudah dekat dengannya, dari dulu. Pertemanan kakaknya dengan Laras membawa dua keluarga menjadi akrab. Bahkan Eyang menitipkan rumah mendiang Mama ke papa Laras, sebagai seseorang yang bisa dipercaya untuk merawatnya. Ternyata rumah itu memang dijaga sampai sekarang. Setelah belasan tahun lamanya. Di saat Arsad bahkan sudah melupakan rumah itu. Tidak ingin mengingatnya.

"Kamu pikirkan baik-baik dulu. Papaku nggak maksa mau ngejual. Gimana pun rumah itu diwariskan ke kamu. Papa cuma bantu jagain."

Ya. Diwariskan lengkap dengan kenangan menyakitkannya.

"Makasih, Kak."

Laras tertawa geli. "Akhirnya dipanggil Kak juga."

"Ras, nggak nyasar kan kemarin? Ketemu 'tempatnya' Kak Nadia?"

Terdengar decakan sebal. "Ketemu, Dek, ketemu."

Telepon masih tersambung. Arsad sempat tersenyum tipis.

"Kak."

"Apa?"

"Main ke rumah tanteku."

"Boleh. Tante Elma tahu aku di sini?"

"Belum, aku belum cerita. Nanti pasti cerita. Kabarin kalau mau datang biar aku jemput."

"Nggak usah dijemput segala lah. Kayak aku ini anak kecil. Nanti juga kenalin ke istrimu ya."

"Hm. Ya. Aku kenalin ke dia." Arsad melirik foto yang tergantung di spion tengah. Suaranya berubah ragu. "Tapi dia nggak tahu."

"Nggak tahu soal aku?"

"Dia nggak tahu semuanya."

"Semuanya?"

"Hmm. Bisa tolong, nanti kalau ketemu, tolong jangan katakan apa pun soal aku ke dia? Termasuk tentang Kak Nadia."

"Tapi kenapa? Harusnya kamu-"

"Aku minta tolong."

Laras pasti sedang bingung sekarang.

"Aku nggak cerita banyak ke dia. Hanya beberapa. Semoga Kak Laras bisa ngerti."

"Dia nggak bisa terima kamu andai tahu masa lalu kamu? Atau apa?"

Arsad tidak menjawab. Bisa dibilang seperti itu, meski tidak sepenuhnya benar.

Terdengar prihatin. "Tapi nggak ada yang salah dengan masa lalu kamu, Ar."

Indira tidak akan mempermasalahkan latar belakang keluarganya atau masa lalunya. Sama sekali tidak. Perempuan itu mengerti jika dirinya punya luka, hanya saja tidak tahu lukanya seperti apa. Arsad tidak membuka diri sebanyak yang Indira lakukan padanya.

Tapi ini, lebih tepatnya, tentang Nadia.

"Anak baik pasti ketemu anak baik juga. Aku percaya itu."

Arsad bukan lagi anak baik yang dulu dibawa keluar dari rumah, diambil alih untuk dirawat Eyang. Dia mungkin sudah berubah. Semua orang berubah, 'kan? Luka yang membuat berubah? Dia tidak tahu. Dia hanya merasa hidupnya seperti cangkang kosong. Dia bahagia atau tidak, dia sendiri sudah tidak peduli.

"Namanya siapa?"

Suara Laras masih terdengar. Tapi Arsad enggan menjawab. Enggan pula mengakhiri lebih dulu. "Nggak siap-siap berangkat kerja?"

"Namanya?"

Resenya orang satu ini masih sama. "Buat apa? Dulu di undangan nikah kan ada."

"Udah lupa. Masa aku mesti nunggu entah kapan cuma buat tahu nama istrimu sih. Tadi mending nggak usah nawarin buat main ke rumah Tante Elma."

"Cerewet. Indira. Aku tutup."

Sempat terdengar cibiran sebelum panggilan berakhir. "Kurangajarnya masih sama."

Telepon berakhir dan muncul pop up pesan. Ucapan terima kasih, dari pemilik kontak yang dia kirim bukti transfer sebelum dirinya meninggalkan rumah. Arsad membuka pesan itu, bukan untuk membalas, tapi memasukkannya ke dalam arsip.

Beberapa saat kemudian, dia sampai di depan sebuah rumah. Dia berjalan ke pintu dan mengetuknya. Merasa sudah gila karena mulai bertindak di luar keinginannya.

Tapi terlambat untuk berbalik pergi. Pintu terbuka. Kebetulan yang muncul adalah orang yang ingin dia temui.

"Mas datang sendirian? Nggak sama Mbak Indi?"

Bi Nur celingukan ke arah belakang Arsad. Memang tidak ada siapa-siapa.

"Saya hanya mampir."

"Ibu sedang mandi, Mas." Bi Nur membuka pintu lebih lebar. "Mari masuk dulu. Tunggu di dal—"

"Saya bukan mau ketemu Ibu."

Wajah ramah Bi Nur mengernyit.

Arsad mengeluarkan kartu nama, mengulurkannya. "Saya mau minta tolong."

Kerutan dahi Bi Nur semakin dalam saat menerima kartu nama yang disodorkan padanya. "Minta tolong apa ya, Mas?"

"Hubungi saya kalau ada apa-apa."

Bi Nur tersenyum lebar, sedikit mengibas. "Aduh, kalau ini Mbak Indi sudah pesan dari awal. Mas tenang saja. Sudah tugas saya." Suaranya melirih. "Saya juga sudah dikasih tahu tentang cerita di rumah ini. Kalau terjadi sesuatu saya pasti cepat-cepat menghubungi Mbak Indi."

"Ini bukan tentang Ibu."

Senyum itu tidak bertahan lama, pelan-pelan memudar saat mendengar Arsad bicara, atau lebih tepatnya menyebutkan beberapa hal secara ringkas tapi tetap memastikan lawan bicaranya mengerti yang dia maksud.

Wajah ramah itu berubah muram dan bingung. Tangannya sontak mengurut dada. Kemudian Bi Nur tidak banyak tanya, mengangguk tanda dia mengerti, lalu menyimpan kartu nama itu di dalam saku daster panjang yang dia kenakan.

"Terima kasih. Saya pamit."

"Nur? Siapa tamunya?"

Wanita itu menatap punggung yang menjauh sebentar, lalu mundur dan buru-buru menutup pintu. "Oh, b-bukan. Ini, orang tanya alamat, Bu."

***

Ada yg bisa nebak kira2 apa yg Arsad bilang ke Bi Nur? 👀

Makasih yaa. Ketemu lagi weekend💕
Atau kalau udah ada draf, aku bakal muncul lebih cepet🤗

Minggu, 20/08/2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top