Chapter 12-1

"Kenapa kamu harus tumbuh di keluarga itu? Kenapa nggak pergi?"

Itu pertanyaannya bermenit-menit lalu. Dia tidak pernah menanyakannya secara langsung. Dari yang dia dengar dan simpulkan sendiri, Indira masih yakin punya tempat di keluarga itu. Apa susahnya menerima jika memang tidak diinginkan?

Arsad tidak tahu, sulit menebak pikiran Indira yang satu ini, tentang bersikeras mendapat maaf dari Ibu dan bisa diterima di rumah itu. Walau sekarang seharusnya tidak perlu lagi. Indira sudah menikah, sudah ikut dengannya. Untuk apa ribut menginginkan sesuatu yang mustahil. Semua orang tahu, sampai kapan pun, Ibu tidak akan menerima Indira menjadi bagian dari keluarga.

Karena sofa tidak terlalu begitu nyaman, dia berpikir untuk memindahkan Indira kembali ke kamar, ke sebelah Tante Elma. Dia pelan-pelan bangun, menyingkirkan pelukan Indira dari tubunya. Membuka pintu kamar lebih dulu lalu menggendong istrinya.

Setelahnya dia bingung mau apa. Dia kembali ke sofa, menyandar sambil melamun kosong. Oh, tidak sepenuhnya kosong karena senandung Indira masih tertinggal di sini. Terngiang berulang kali. Padahal seperti yang Indira sendiri bilang, suaranya tidak bagus-bagus amat. Tapi lagu pendek itu bagus. Liriknya seperti mereka berdua yang dulu pernah bingung dan dipenuhi kecamuk-kecamuk pikiran lainnya.

Atau sekarang masih. Hanya mereka sudah lebih pintar menyembunyikannya, menahannya. Tapi sayang, tidak bisa melupakan satu pun.

Dua ponsel, miliknya dan Indira, tergeletak bersisihan di atas meja depan sofa. Salah satu layar tiba-tiba menyala kemudian berdering. Arsad bangkit dari sandaran sofa untuk meraihnya. Ponsel milik Indira yang berbunyi. Sederet nomor tanpa nama. Setelah dia amati sebentar, nomor ini tidak asing. Dia seperti pernah melihatnya.

Untuk memastikan, Arsad membuka ponselnya sendiri. Mencocokkan lalu menemukan bahwa nomor ini sama dengan yang kemarin pagi dia lihat. Jadi belum diblokir?

Sebelum deringnya berakhir, Arsad mengangkatnya. Suara datarnya menyapa. "Ya? Siapa?"

Lucu. Sebenarnya tidak perlu tanya siapa. Dia sudah tahu siapa sekiranya orang yang dua hari ini coba menghubungi Indira.

Dia mencari nomor ini kemarin, menemukan banyak kontak yang dinamai dengan nama-nama yang buruk. Dia hanya lupa memastikan apakah Indira sudah memblokirnya. Ternyata belum.

Ada suara asing, perempuan, di seberang sana dengan latar belakang yang sedikit ramai. Arsad mendengarkan, tanpa memotong. Tenang sekali raut wajahnya. Setelah beberapa saat, dia turunkan ponsel dari telinga. Menaruhnya kembali ke tempat semula. Menatap jam dinding. Tiga jam lagi dia harus datang ke sebuah alamat yang disebutkan orang di ujung telepon.

Dia bisa saja tidak datang. Tapi dia harus datang. Entah, jangan tanya karena apa. Dia hanya merasa perlu datang. Untuk memastikan saja.

Dan itu membuatnya makin tidak bisa tidur.

"Mas Ar, mau ke mana?"

Dia melihat Pak Budi yang mengantuk menyapa. Satpam yang sudah belasan tahun bekerja di rumah ini, dan dia hanya menjawab pendek. "Keluar sebentar, Pak."

Pintu gerbang dibukakan Pak Budi. Setelah memasukkan alamat ke GPS, dia menyetir dengan banyak pertanyaan. Seharusnya pagi sebelum Subuh terasa tenang dan damai. Tapi dia tidak merasa demikian.

Dia melewati banyak lampu-lampu jalan. Menyetir sekitar satu jam lebih. Untuk menemukan satu titik, yang ternyata sebuah mini bar. Terhimpit di antara ruko-ruko sunyi dan menjadi satu-satunya tempat yang paling terang di dini hari menjelang subuh.

Satu-satunya orang yang berdiri di teras mini bar telah menunggunya. Terlihat seperti itu. Wanita itu terus menatap ke arahnya. Seperti seseorang yang memang mengantisipasi kedatangannya.

Tanpa membuang waktu, Arsad melepas sabuk pengaman dan segera turun dari mobil. Wanita itu sempat melempar senyum sebelum membuka pintu mini bar, dengan kerlingan mata menyuruh Arsad untuk masuk. Tanda open di pintu kaca kemudian dibalik setelah dia melangkah masuk.

"Ayo duduk." Tangan kurusnya menunjuk kursi bar. Lalu, seolah sudah akrab, dia mulai mengoceh. "Sepertinya kita akan ngobrol sedikit. Atau banyak juga tidak masalah. Tempat ini sudah tidak punya pengunjung jam segini. Tenang, tenang, aku pemiliknya. Kita hanya berdua di sini. Mau minum apa?"

Arsad duduk di salah satu kursi tinggi. Sementara wanita itu, menyelipkan badan di samping meja bar. Berdiri membelakangi Arsad dan menghadap ke rak berisi botol-botol kaca yang tersusun rapi. Menawarkan minuman, menyebutkan beberapa nama minuman yang menjadi best seller di sini. Tidak ada tanggapan. Lalu dia menawarkan soda atau bahkan air mineral, sebelum akhirnya menyerah.

Tamunya ini tidak mau apa-apa. Basa-basinya pun sia-sia.

Wanita itu kemudian berbalik, menumpukan kedua tangan di tepian meja bar. Sedikit meneleng untuk melihat dengan jelas wajah di depannya yang separuhnya masih tertutup topi hitam. "Sepertinya kamu sudah tahu situasinya. Selain yang aku jelaskan singkat di telepon tadi."

Arsad melepas topi, menaruhnya di meja, lalu membalas tatapan yang dia terima. Tanpa ekspresi. Tapi diam-diam dia menilai. Tubuh ramping, rambut panjang yang bergelombang, dan kerutan-kerutan yang memang tidak bisa disenyumbunyikan dari usianya. Kemudian dress bunga-bunga selutut berwarna gelap dengan potongan dada rendah, kalung-kalung yang menggantung dan juga gelang yang mengisi kedua tangan itu.

Separuh hatinya tidak percaya, lalu dia melihat sebuah kemiripan. Satu kemiripan yang ingin dia abaikan. Tapi sayangnya terus terlihat. Saat wanita itu bicara.

Wanita itu mendengkus. Sadar jika dirinya sedang dinilai. "Setidaknya, pura-puralah bersikap ramah."

Arsad memang tidak menyapa dengan layak, jangankan mencium tangan, apalagi mengenalkan diri. Dia menganggap wanita itu seperti orang asing yang tidak pernah dia temui. Mereka memang belum pernah bertemu sebelumnya. Ini menjadi pertemuan pertama bagi keduanya.

"Pintar juga anak itu menjebak lelaki." Terdengar sinis.

Arsad menoleh. Mengikuti arah pandang wanita itu yang mengarah ke pintu kaca, ke arah mobilnya yang terparkir. Seperti sedang menaksir berapa harga mobil tersebut. Terdengar siulan pelan dari bibir merah menyala wanita itu.

Dan dia ke sini bukan untuk basa-basi. "Maksud Anda apa menghubungi Indira?"

Benar. Setidaknya Arsad harus sedikit menunjukkan sopan santun. Dia memilih memanggil wanita paruh baya, yang terlihat seumuran dengan Tante Elma, dengan sebutan Anda. Alih-alih mengatainya dengan sebutan yang sebenarnya pantas disematkan padanya.

Ini pertemuan pertama mereka, tapi Arsad sudah langsung membencinya.

Wanita itu tidak lekas menjawab. Dia mengeluarkan bungkus rokok dari laci meja bar. Menyalakannya sendiri. Ingin menawari ke anak lelaki di depannya tapi sudah tahu akan ditolak lagi. Kesan pertama yang tidak terlalu bagus tapi instingnya berkata lain.

"Kenapa aku menghubungi dia?" Menaruh pemantik di meja. "Sudah aku bilang tadi. Masih tidak percaya juga?"

Masih. Sangat masih. Arsad juga mulai menyesal dengan keputusannya bersedia datang ke sini.

Batang rokok yang menyala kini terselip di antara jemarinya. Terkekeh-kekeh. "Aku ini mamanya. Aku berhak menghubungi dia. Dan kamu ini siapa? Kok kamu yang angkat teleponnya. Siapa kamu? Pacar—"

"Saya suaminya."

"Suami? Suami—?!" Wanita itu memekik, bertepuk tangan, tertawa, lantas terbatuk karena asap rokoknya sendiri. Caranya tertawa seperti mendengar lelucon paling lucu abad ini. Badannya bahkan terbungkuk-bungkuk.

Arsad duduk tenang di kursinya. Menunggu ocehan berikutnya.

Badannya kembali tegap. Berdeham-deham. Tangannya yang lentik mengibas, mengusir asap karena dia mau bicara tanpa gangguan batuk lagi. "Akhirnya dia punya kemiripan denganku. Mendapat lelaki kaya. Tapi anak itu lebih beruntung dari aku ternyata. Bisa menikah. Ck! Lebih pintar dia. Taktik apa yang dia gunakan, hm? Dia jual kesedihan?"

Dia biarkan wanita itu terus meracau.

"Dan kamu, kebetulan suka dengan ceritanya? Ah, pasti merasa kasihan ya?" Dia menggeleng-geleng. "Nggak perlu, nggak perlu. Dia memang terlahir seperti itu. Tidak diinginkan semua orang. Ya kecuali kamu mungkin."

Mini bar yang entah terdiri dari berapa lantai ini dipenuhi gelak tawa. Arsad tidak terkejut atau semacamnya. Ketika perjalanan kemari, dia tidak berharap banyak dengan apa yang menantinya dan apa yang harus dia dengar.

Dan, kalimat barusan bukankah menjawab pertanyaan di benaknya beberapa saat lalu? Tidak diinginkan semua orang. Apa saja yang sudah Indira kecil dengar?

Lantas dia bisa membayangkannya. Seperti masuk ke sebuah pintu rumah yang asing baginya. Mendengar teriakan-teriakan marah dan mengaduh, atau tangisan. Suara-suara bercampur jadi satu. Lalu dia melihat anak kecil itu meringkuk di sudut rumah, dimaki dan terus dipukuli. Tidak ada yang datang untuk merengkuhnya, merebut tubuh mungilnya dari tangan yang semestinya penuh kasih sayang, bukan pukulan.

"Kamu suaminya."

Arsad kembali ke kenyataan. Dia refleks membuang wajah ke arah lain, mengerjap, seolah sedang mengamati isi mini bar yang sebenarnya tidak dia pedulikan.

"Bagus kalau begitu. Bilang ke dia, mamanya butuh uang. Bandit-bandit sialan itu bawa kabur uangku. Setidaknya anak itu harus berterimakasih sudah aku lahirkan ke dunia. Nggak gratis, 'kan? Kamu juga seorang anak, pasti ngerti cara berbakti. Mamamu hidup enak, bukan? Anaknya saja kelihatan kaya raya."

Arsad masih terlihat sama. Bergeming. Tampak tidak terpengaruh dengan apa pun yang coba wanita ini katakan, sekalipun menyeret mamanya—

"Si Jalang yang beruntung." Tersenyum sinis. "Anak itu."

—atau tidak? Sudut matanya mulai berkedut. Tangannya perlahan terkepal.

"Orang bilang aku ini jalang. Hm, nggak tahu tepatnya kapan. Sudah lama sekali jadi aku tidak ingat. Jadi anak itu, harus kupanggil jalang juga. Dia berasal dari aku. Kamu keberatan? Sakit menerima fakta bahwa kamu menikahi seorang jalang?" Tertawa lagi. Batuk lagi. Jarinya mengibas-ngibas lagi. "Kamu ingin meninggalkannya sekarang? Apa dia tidak cerita tentang aku?"

Arsad masih diam.

"Sialan! Anak sialan!" Dia menggebrak meja. Entah benar-benar marah atau masih akan tertawa. "Malu punya Mama seperti aku? Memang dia lebih baik? Anak jalang." Dan dia tertawa untuk kesekian kali. "Memangnya dia berhak merasa malu?! Lucu sekali kalau iya!"

Sebentar lagi. Dia hanya harus menahannya sebentar lagi. "Anda mau apa dari dia?"

"Uang. Sudah kubilang. Anak itu harus tahu cara berterimakasih. Atau lebih baik kita saja yang membuat kesepakatan? Anak itu tahu atau tidak, aku tidak peduli sih sebenarnya. Terserah saja kalau kamu mau bilang habis bertemu mamanya hari ini. Dia mungkin senang mamanya ada di sekitar sini dan belum mati. Bagaimana? Kita saja yang buat kesepakatan, hm?"

Arsad sudah muak. Gesturnya tidak bisa berbohong lagi. Sudah terlalu banyak makian yang dia tahan. Sedari tadi juga tidak ada pembelaan untuk mematahkan kalimat-kalimat wanita itu. Dia benar-benar menahan diri. Sebentar lagi, sebentar lagi dia bisa pergi dari tempat ini.

Ada jeda ketika wanita itu membuang puntung di asbak, lalu mengisap lagi rokoknya dan mengembuskan asap dari sela bibir. "Lelaki itu dulu juga melakukannya. Ayah anak itu. Dia pernah datang menebus anak itu dengan banyak uang. Lelaki bodoh! Aku ini cinta mati ke dia tapi dia memilih istrinya. Bodoh! Apa boleh buat, aku nggak mau ikutan bodoh, aku butuh uang. Daripada aku nggak dapat apa-apa, iya kan?"

Wanita itu menunggu, barangkali ada yang ingin anak lelaki ini katakan. Dia sadar sudah terlalu cerewet sejak tadi.

Karena masih belum ada, jadi dia meneruskan. "Sudah saatnya, memang sudah saatnya ada yang menggantikan setelah dia mati. Aku pikir sudah buntu. Masih ada jalan rupanya."

Indira tidak cerita padanya; bagian dia pernah ditebus. Mungkin tidak ingin karena terlalu sakit untuk diceritakan. Atau karena sudah terlalu banyak yang diceritakan.

Entah. Arsad mulai pening memikirkan semuanya.

"Apa yang bisa Anda janjikan?"

"Aku nggak akan ganggu anak itu. Apa itu cukup? Ya, kurasa cukup. Mamanya ini nggak akan muncul lagi di depan dia. Sayang sekali, anakku satu-satunya tidak bisa menemui ibu kandungnya." Raut sedih palsunya dengan cepat berubah. "Tapi tidak masalah. Kami bisa bertemu lagi di neraka nanti."

Arsad melihat secarik kertas kecil diletakkan di atas meja bar, seperti sudah disiapkan sejak tadi, seakan tahu bahwa yang datang demi satu telepon itu bersedia melakukan permintaannya. Kertas itu didorong oleh kuku berwarna merah menyala mendekat padanya. Lalu dia bisa melihat dengan jelas tulisan yang tertera. Nomor rekening, pemilik rekening, dan nominal uang.

"Nggak banyak, 'kan?" Dia meneliti profil menantunya, lebih cermat dari sudut mana pun. Mobil, pakaian yang menempel, sorot matanya yang angkuh tapi menyirat cemas. Anak manis yang sayangnya terlalu dingin.

Tapi bukan urusannya. Dia hanya ingin uang. Tersenyum puas setelah selesai meneliti dan merasa yakin. "Kamu terlihat bisa melakukan apa pun demi anak itu."

Sudah cukup. Arsad tidak mengatakan sepatah kata lagi. Muncul derit di lantai ketika dia mendorong mundur kursi, menyambar topi miliknya, dan beranjak dari sana.

Dia membawa kertas itu bersamanya.

"Ah, satu lagi."

Tangan Arsad sudah memegang handle pintu, tapi langkahnya terhenti. Tubuhnya tidak berbalik.

"Karena mungkin aku tidak bisa menemui dia, sampaikan salamku ke dia. Bilang kalau mamanya kangen sekali." Tapi kemudian dia berubah pikiran. "Lupakan saja. Kamu tidak mungkin bilang ke dia."

Arsad meneruskan langkah, tanpa menoleh, terus menjauh agar suara tawa itu tidak terdengar lagi.

Dan wanita itu, masih memicing keluar, lalu menjejalkan sisa rokok ke dalam asbak dengan kasar. "Indira, Indira. Ternyata hidupmu seberuntung ini. Astaga, sepertinya sulit membawamu kembali ke neraka lagi."

***

Engap nulis chapter ini wak😭🏳

Tadinya chapter ini panjang. Biar kalian gak ikut engap bacanya, aku bagi jadi dua chapter ya. Yang 12-2 update besok malem. See youu 🐣

Ah, yang mau baca pas Indira kecil, bisa melipir ke Karyakarsa😚

Aku kasih bonus pict. Tangan gatel pengin naruh di sini wkwkkk

Sabtu/19.08.2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top