||5. Hoseok Hyung, dan Sihirnya||
Sesuai dengan perkataannya kemarin, kalau Jungkook berjanji akan merawat kakinya lebih baik lagi. Maka hari ini, sesuai dengan saran berbalut perintah dari para kakaknya, Jungkook memutuskan mengambil waktu istrihat total sehari dari kegiatan sekolah atau apa pun itu. Semua itu agar penyembuhan kakinya dapat berjalan lancar, lebih cepat. Kendati demikian, bagian lain dalam dirinya menganggap bahwa dirinya begitu lemah. Hanya karena terjatuh tempo hari waktu mengejar Taehyung, ia harus sampai begini.
Jungkook mengembuskan napas lelah. Ia bosan. Sendirian di rumah, sementara kakaknya yang lain sibuk sekolah, kuliah, dan bekerja. Ini masih siang hari, dan tidak mungkin rasanya salah satu dari mereka akan pulang dalam waktu dekat. Sedari tadi Jungkook cuma mampu mengisi waktu dengan menonton televisi serta bermain game. Tetapi itu semua sama sekali tidak ada seru-serunya ketika ia harus melakukannya sendiri. Akan lebih menyenangkan kalau ada Taehyung atau Jimin yang menjadi lawan bermainnya.
Yah, Jungkook sadar sekarang. Hidup bersama keenam pemuda yang lebih tua darinya itu, membuatnya tak bisa jauh-jauh dari mereka. Semua itu terasa nyata waktu ia hanya sendirian seperti sekarang.
Sejurus kemudian, terdengar suara pintu terbuka diikuti seruan lantang. "Jungkookie, Hyungie pulang!" Jungkook kontan mengernyit heran. Jam-jam seperti ini seharusnya Hoseok masih berada di kampus.
"Hyung? Sudah pulang? Tumben jam segini sudah pulang."
Hoseok tersenyum lebar. Melangkah lebar mendekati Jungkook yang rebahan di sofa ruang keluarga. Langsung saja ia memeluk bungsunya itu, sembari tetap berhati-hati agar tidak menyenggol kaki keseleo Jungkook. Bisa berabe nanti. "Iya. Dosen mata kuliah tadi, ada halangan jadi tidak bisa mengisi kelas. Hyung juga tidak ada kegiatan lain lagi hari ini, jadi dari pada menganggur tidak jelas dikampus, lebih baik Hyung pulang. Hyung tahu kau bosan bukan?"
Jungkook menangguk, tak menampik kenyataan itu. "Sangat. Aku nyaris mati bosan seandainya Hyung tidak datang lebih cepat."
Hoseok tertawa keras. Lantas bangkit, seraya berkata, "Tunggu di sini." Setelahnya, Hoseok kembali menghilang di balik pintu. Sementara Jungkook cuma dapat terdiam, agak bingung dengan tingkah kakaknya itu.
Tidak lama kemudian, Hoseok datang lagi. Kali ia membawa sebuah kanvas beserta alat-alat lukis lainnya. Jungkook sukses semakin mengernyit heran dibuatnya. Tidak mengerti mengapa Hoseok membawa semua itu. Seingatnya jurusan kakaknya yang satu itu, adalah seni tari, sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan lukis melukis meskipun sama-sama cabang seni.
"Lihat. Apa yang, Hyung bawa?"
"Hng... kalau penglihatanku masih normal. Itu alat lukis, Hyung."
"Betul sekali. Dan ini untukmu."
Bola mata bambi Jungkook spontan membulat. Pemuda empat belas tahun itu, menunjuk dirinya sendiri. "Aku?"
"Iya!"
"Tapi... Hyung. Kenapa tiba-tiba memberiku alat lukis begini? Aku juga tidak bisa melukis." Jungkook merubah posisi menjadi duduk, Hoseok pun turut duduk di sebelahnya.
"Hyung sering melihat ada gambar-gambar yang terbuang di tempat sampah di kamarmu. Dan Hyung tahu itu milikmu, kan?" Ah. Soal itu. Tidak dapat Jungkook pungkiri, ketika dirinya sedang iseng, dan mumet dengan pelajaran-pelajaran di sekolah. Tangannya secara tanpa sadar bergerak membentuk sketsa-sketsa abstrak. Dan pada akhirnya semua itu akan berakhir di tempat sampah.
"Lalu?"
Hoseok berdecak. "Sketsamu itu indah sekali, Kook. Hyung bahkan tidak mengerti kenapa kau membuang sketsa sebagus itu."
"Itu hanya iseng, Hyung."
"Nah, itu dia! Iseng saja hasilnya indah, apalagi kalau kau serius. Akan seindah apa jadinya hasil coretan tanganmu itu. Maka dari itu, Hyung iseng membelikanmu kanvas ini. Hyun berikan kau media iseng yang lebih bagus." Hoseok menampilkan cengiran lebarnya. Saudara-saudaranya selalu bilang kalau cengirannya itu mirip sekali dengan cengiran kuda.
"Tapi, Hyung, ini berbeda. Menggambar di atas kertas jauh berbeda dengan melukis di atas kanvas. Aku tidak bisa."
Hoseok menghela napas panjang. Memandangi alat-alat lukis yang ia beli. "Jadi kau tidak suka dengan hadiah, Hyung."
Jungkook menggaruk tengkuknya tak gatal. "Tidak bukan begitu. Aku suka, kok—"
Belum selesai perkataan Jungkook, Hoseok langsung memotongnya dengan seruan antusias. "Nah, kalau gitu, cepat lukis sesuatu di sini. Hitung-hitung menghilangkan rasa bosanmu itu. Nanti hasilnya akan Hyung pajang di kamar."
Jungkook menerima alat-alat lukis yang Hoseok berikan. "Tapi... kalau hasilnya buruk bagaimana?"
Hoseok meletakan telapak tangannya pada kepala Jungkook. Seolah tengah menyalurkan semangat serta energinya pada remaja yang satu itu. "Apa pun hasilnya, kalau itu dari kerja keras tanganmu, bagi Hyung itu akan selalu sempurna."
Jungkook terkekeh kecil. Tidak habis pikir dengan kakaknya yang satu ini. Namun tidak ada salahnya juga Jungkook coba melukis di atas kanvas. Sepertinya akan menyenangkan. Jungkook tidak mengerti, Hoseok Hyungnya itu selalu mengerti akan hal-hal yang mempunyai potensi membuat saudara-saudaranya senang.
Atau barangkali di kehidupan sebelumnya, Hoseok Hyung adalah penyihir baik yang gemar menyebar benih-benih kebahagian?
Behind The Scripts
Hoseok tengah memerhatikan Jungkook yang tengah sibuk melukis di halaman belakang, ketika getar ponsel di saku celananya merebut atensinya.
"Ya! Hoseok-ah! Di mana kau sekarang? Kenapa tidak kembali-kembali? Katanya cuma sebentar? Ini sudah hampir sejam kau pergi."
Hoseok meringis kecil. Lupa kalau tadi pergi dari sela-sela kegiatannya melatih dance di studio.
"Asataga. Maaf, Jeongin-ah. Sepertinya aku tidak bisa kembali, dan ikut melatih hari ini. Ada urusan penting yang harus kau lakukan."
Temannya di seberang terdengar mendecak. "Urusan penting apa?"
Pandangan Hoseok otomatis tertuju pada Jungkook. Raut fokus anak itu, terlihat menggemaskan di matanya. Menemani bungsunya jelas termasuk dalam urusan penting bukan?
•
Mode rajin, check.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top