Home

Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi dan apa yang akan berlalu, semua bergantung pada jalannya hidup.

Hidup atau mati,

Sehat atau sakit,

Bahagia atau sedih,

Dipuji atau dihina,

Semua akan berlalu bersamaan dengan keyakinan pribadi masing masing.



▪| home | ▪




Virus covid-19 sudah mulai menyebar di Indonesia, masyarakat diharapkan mulai menjaga kesehatan dan mengurangi kegiatan di luar rumah.

"Kok tumben nonton berita dek" celetuk pemuda yang kini berdiri tepat dibelakang gadis yang hanya menatap layar televisi dengan tatapan datar.

"Salah ya?" Pemuda itu menggeleng dengan langkah pelan ia menjauhi si gadis.

"Tumben aja sih, biasanya nonton okejek di Net."

"Okejek masih nanti mas makanya nonton berita."

"Nah gitu dong, sering sering nonton berita di tv biar update jangan cuman nonton anime aja sampai malem" ujar sang bunda yang muncul dari balik tembok dapur dengan nada menyindir, samar samar terdengar suara tersedak yang membuat bunda tertawa.

"Ih bunda kan nonton anime juga termasuk cara menghibur diri, bunda tahu sendirikan kegiatan basket di liburkan gara gara pandemi sialan ini"

"Bunda Mas Raka ngomong kasar tuh" adu sang gadis yang dibalas tatapan tajam sang kakak dengan tawa pelan gadis itu berlari keluar dari ruang keluarga.

"Ih apaan sih dek jangan di aduin bunda dong" kata Raka seraya mengejar si adik yang kini bersembunyi dibalik tubuh sang kepala keluarga.

"Raka, Laura udah jangan berantem mendingan kalian bantu bundamu masak di dapur" kata sang ayah menghentikan aksi kejar-kejaran antara Raka dan Laura .

"Kalian itu udah besar masih aja suka berantem, papa heran deh."

Kedua anak dari keluarga terdiam lalu menatap satu sama lain.

"Berantem itu tanda akrab pa, buktinya hubungan kami langgeng aja tuh" kata Laura yang dibalas gelak tawa Raka yang merasa setuju dengan perkataan adik perempuannya.

"Iya pa walau ngeselin Raka sayang kok sama Laura" pemuda berusia sembilan belas tahun itu bergerak memeluk Laura yang pasrah berada dipelukan Raka.

"Ya itu bukan alasan buat berantem kan?"

"Sudahlah pa biarin aja karena setelah pandemi Raka harus kembali ke kampus"

"Iya kalau pandemi ini cepet pergi kalau tidak bagaimana bun?" Liana menatap Laura yang tampak lesu di sofa.

"Kalau pandemi ini bertahan dua atau empat bulan mungkin kalian sekolah online" Laura memasang wajah lelah dengan keadaan sedangkan Raka memasang wajah bahagia.

"Sekolah online tidak membuatku tambah pintar bun tambah goblok iya" kata Laura dengan nada pasrah, ia tidak tahu harus bagaimana dengan pembelajaran online.

Antara senang dan sebal jadi satu, kalau pembelajaran dilakukan online otomatis tidak ada uang saku yang mengalir saat libur walau mungkin bundanya masih memberinya uang untuk beli kouta, tapi bunda kadang hanya memberi uang setengah harga dari kouta yang ia inginkan.

"Ya kalian berdoa yang rajin supaya virus covid-19 cepat mereda dan kita bisa hidup normal" kata bunda membuat papa mengangguk, "Rajin rajin berdoa mungkin ini adalah ujian bagi kita umat-Nya."

"Bunda besok masih kerja?"

"Iya bunda masih kerja, saat ini para dokter pasti berusaha untuk menyembuhkan penyakit dan mengisolasi para pasien yang masih dalam pengawasan."

"Kalau bunda tertular covid-19 bagaimana?" Perkataan Laura membuat manik Liana melebar, tapi ia kembali mengulas seulas senyum dan mengelus rambut putrinya.

"Tenang saja bunda pakai APD kok, jadi bunda aman" kata Liana dengan tetap mempertahankan seulas senyum, berusaha meyakinkan Laura agar tidak mencemaskan dirinya walau memang mungkin saat ini nyawanya menjadi taruhan.

"Bunda harus selalu jaga kesehatan, jangan lupa pakai APD dan masker pokoknya bunda harus taat protokol kesehatan" ujar Laura dengan nada sendu Raka hanya menatap sang adik lalu memeluknya erat.

"Jangan khawatir dek, semua yang akan terjadi semua adalah kehendak Yang Maha Kuasa. Kita sebagai umatnya hanya bisa berdoa semoga bunda dilindungi oleh-Nya" Raka mengulas senyum seakan juga ikut menenangkan kecemasan sang adik.

"Aaminn semoga saja mas"

"Udah galaunya sekarang makan dulu, supaya berenergi dan bisa menghadapi pandemi saat ini"

"Makanan I'm coming" kata Laura dengan setengah berlari ke ruang makan sedangkan orang tuanya hanya bisa tertawa dengan sikap kekanak kanakan.

"Kalau makanan nomor satu ya" kata Raka diselingi tawa pelan ia ikut menyusul sang adik meninggalkan kedua orang tuanya yang hanya menatap punggung keduanya.

Liana menatap sang suami dengan pandangan sendu sedangkan Andre mengelus punggung tangan istrinya pelan.

"Tenang saja semuanya akan berlalu baik yang diinginkan atau tak diinginkan, kekhawatiran dan ketabahan akan diuji."

"Aku harap aku masih tetap ingin melihat mereka tumbuh menjadi dewasa dan melihat mereka berumah tangga tapi seandainya aku tak mampu jaga mereka untukku ya mas."

Andre memeluk pinggang Liana dengan penuh rasa sayang ia mengangguk dan berusaha menguatkan hatinya, seandainya kejadian itu benar benar terjadi bukankah dia harus tetap melindungi kedua buah hatinya.

"Aku janji Liana."

Keduanya kemudian pergi keruang makan dengan aura tenang seperti biasa seakan melupakan percakapan keduanya yang terjadi beberapa menit yang lalu, bukankah berpura pura kuat didepan buah hatinya adalah salah satu kebiasaan orang tua?.



▪| home | ▪



Sesuai dengan perkataan Liana tempo hari pembelajaran diadakan secara daring atau online, Raka dan Laura disibukkan dengan tumpukan tugas dan materi sedangkan Liana disibukkan dengan pasien yang mengalami gejala gejala covid-19.

Kesibukan ini membuat keluarga ini jarang berkumpul, seperti Liana contohnya ia harus tetap berada di rumah sakit dari pagi hingga malam hari.

Tak jarang wanita berusia tiga puluh lima tahun itu harus pulang larut malam demi membantu para dokter senior atau mengecek kesehatan di rumah rumah penduduk, semua harinya seakan ia fokuskan pada pekerjaan.

Walau seakan jiwa dan raga ia fokuskan pada pekerjaan Liana selalu memberi kabar kerumah bahkan ketika istirahat ia akan melakukan video call dengan Laura, menemani putrinya mengerjakan tugas dari gurunya.

Ada sedikit rasa bersalah dihati Liana dikala ia melihat kegiatan anak anak yang mulai menumpuk, ada rasa ingin mendampingi mereka selagi mereka belajar tapi pekerjaan seakan menjerat Liana untuk menatap kegiatan anak anaknya dari jauh.

Kadang ada rasa menyesal dalam hatinya karena ia bekerja sebagai dokter yang seakan mempertaruhkan tenaga dan pikirannya untuk membantu orang lain, tapi Liana dengan cepat menepis rasa menyesal dalam hatinya karena dia percaya anak anaknya pasti akan memarahinya karena berpikir seperti itu.

"Bunda harusnya senang karena berkat bunda banyak orang yang bisa kembali sehat dan berkumpul dengan keluarga mereka, bunda adalah kaki tangan Tuhan. Bunda tidak bisa menyembuhkan seseorang yang sakit tapi bunda bisa berusaha membuat mereka sembuh. Aku bangga kok bunda jadi dokter" itu yang selalu Laura katakan padanya, kadang perkataan itu membuat Liana tenang saat menjalani kegiatannya sebagai dokter.

Hal yang paling membahagiakan adalah saat apa yang kau lakukan dipuji atau diapresi oleh orang yang kau sayangi.


▪ | home | ▪




"MAS RAKA PENSIL LAURA MANA?!" kata Laura dengan suara toanya membuat Raka yang sedang asik telponan dengan temannya terkejut.

"Adek jangan teriak teriak kasihan tetangga bisa tuli kalau dengar teriakanmu yang kayak toa masjid" balas Raka yang dibalas dengusan malas Laura.

"Mana pensilku?" Todong Laura dengan isyarat tangan Raka menunjuk kotak pensil miliknya di meja belajar.

"Mas kok laporannya belum selesai?" Raka menoleh menatap layar monitor komputer miliknya lalu bertampang lesu, "Nggak ada ide dek, bingung mau nulis apa lagi takutnya ditolak mentah mentah sama Pak Anwar."

Laura ber "oh" ria lalu kembali menuju kamarnya untuk menyelesaikan tugas mengambar batik khas Sumatra, manik matanya terpaku pada bingkai foto yang berada ditembok kamarnya.

Tampak dirinya, Raka dan kedua orang tuanya berfoto di pantai satu tahun yang lalu tepatnya saat ulang tahun Raka yang ketujuh belas tahun. Foto itu seakan memberinya semangat untuk bekerja keras dan rajin belajar agar bisa mengimbangi langkah sang bunda yang sedang berada dirumah sakit.

Mengabaikan firasat tidak enak saat menatap foto sang bunda Laura kembali memfokuskan dirinya pada tugas batiknya, tidak akan ada yang terjadi dan Laura yakin itu.


▪ | home | ▪



Liana menatap punggung pasien terakhir yang ia urus hari ini, ia menoleh menatap jam yang menunjukkan pukul sembilan malam.

Liana bergegas berkemas dan segera pulang agar bisa bertemu keluarganya, saat perjalanannya menuju lobi rumah sakit tak sengaja Liana bertemu dengan Dokter Albert.

Liana tersenyum singkat pada Albert yang dibalas senyum oleh Albert, "Sudah mau pulang?."

"Iya dok takutnya sudah ditunggu anak anak" Albert tersenyum saat mengingat Laura dan Raka yang beberapa kali datang ke rumah sakit sekedar menjenguk Liana.

"Titip salam untuk Raka dan Laura ya dan hati hati dijalan Liana" kata Albert dibalas anggukan Liana.

Sesampainya di rumah Liana disambut Raka dan Laura yang menanti kedatangannya di ruang tamu, saat melihat kedatangan sang bunda Laura bergegas ke kamar mandi menyiapkan air sedangkan Raka memanaskan makanan untuk bundanya makan.

"Bagaimana pekerjaan bunda?" Tanya Laura disela kegiatan Liana memakan masakan Raka.

"Lancar kok dek, hari ini lebih sepi daripada hari biasanya"

"Bun" Liana menoleh lalu menatap Raka.

"Iya? Kenapa kak?"

"Wajah bunda kok pucet bunda sakit?"

"Enggak kok kak, bunda hanya merasa enggak enak badan aja" elak Liana membuat gurat khawatir muncul di wajah Laura.

"Beneran nggak papa bun? Bunda istirahat aja ya" kata Laura, "Iya setelah ini bunda istirahat kok, udah selesai tugas laporannya kak?"

"Belum bun Raka takut laporan Raka ditolak mentah mentah Pak Anwar" Liana tersenyum, "Semangat ya kak jangan pantang menyerah jangan lupa cari referensi dari buku atau internet."

"Iya bun, jangan lupa istirahat bun" kata Raka kemudian berlalu kekamarnya disusul Laura yang mengaku sudah mengantuk, yang tersisa dimeja makan hanyalah Andre dan Liana.

"Mas besok bisa nemenin ke Dokter Albert?"

"Memang kenapa?"

"Aku hanya mau memeriksakan diri mas, aku takut" ujar Liana dengan suara serak.

"Kita berangkat pagi sebelum anak anak bangun" Liana mengangguk, "Iya mas itu yang terbaik."



▪ | home | ▪



Sudah lima hari berlalu Raka dan Laura tidak menemukan sang bunda di rumah, nomor nya tidak bisa dihubungi dan sang ayah yang sering pergi keluar meninggalkan Raka dan Laura di rumah.

"Apa cuman perasaanku kalau papa menyembunyikan sesuatu dari kita?" Kata Laura membuat Raka menatap adik perempuannya seraya berpikir apa yang membuat ia merasa ada yang disembunyikan.

"Aku juga penasaran kenapa papa selalu pergi saat pagi hari dan kembali saat siang hari padahal tidak ada rapat di kantor"

Raka hanya terdiam berusaha meredam keinginannya untuk mengatakan kemungkinan terburuk yang pernah ada.

"Daripada bingung lebih baik kita tanya papa saja" usul Raka dibalas anggukan Laura yang asik rebahan dikasur.

"Papa!" Andre yang berada dikamarnya pun menoleh lalu tersenyum menatap Laura dan Raka yang datang ke kamarnya.

"Ada apa anak papa yang cantik?" Tanya Andre pada Laura yang kini duduk disampingnya.

"Apa papa tahu kemana bunda? Sudah lima hari tapi bunda tidak pernah pulang kerumah"

Andre terkejut dengan pertanyaan Laura wajah Andre menyendu seakan tak ingin menjawab pertanyaan yang dilayangkan oleh putrinya, melihat guratan sedih diwajah sang ayah membuat rasa bersalah muncul dihati Laura. Ia merasa kalau pertanyaannya sudah membuat Andre bersedih.

"Maaf kalau pertanyaan Laura membuat papa sedih" kata Laura dengan wajah menyesal, Laura segera membuat kontak mata dengan Raka yang berada tak jauh darinya.

Ada rasa sesak didada Andre saat putrinya menanyakan hal yang masih ingin dia simpan, ada rasa gundah yang membuncang raganya. Ia hanya belum siap melihat wajah sedih anaknya saat menerima kenyataan yang ada.

Raka yang mengerti kode dari Laura pun ikut menyampaikan maksudnya.

"Maaf pa kalau kami tidak sopan, tapi sudah lima hari dan kami tidak tahu dimana bunda. Apa ada yang papa sembunyikan dari kami?" Andre terdiam berusaha meredam gejolak didalam hatinya.

Apakah kedua buah hatinya siap menerima kenyataan yang ada? Ataukah hanya ketakutan Andre melihat air mata kedua anaknya?

"Besok papa akan membawa kalian bertemu bunda kalian" kata Andre dengan nada datar seakan tak ingin menunjukkan apa yang ia khawatirkan, merasa tujuan mereka tercapai Laura dan Raka tersenyum.

"Terimakasih papa" Laura memeluk Andre erat.

"Jangan lupa bersiap siap dengan pakaian putih kita akan berangkat di pagi hari" Laura dan Raka mengangguk lalu pamit kembali ke kamar untuk mengerjakan tugas meninggalkan Andre yang gelisah.

Siap atau tidak semua akan berlalu apalagi Raka dan Laura bukan lagi anak anak yang tak mengerti kejam hidup dan waktu, semua akan tiba saatnya dimana seeorang harus menerima kenyataan paling pahit dihidup mereka.

Ketakutan hanya membuat seseorang berhenti berjalan tapi keikhlasan akan menjadi dorongan untuk tetap maju kedepan.


▪ | home | ▪



Keesokan paginya Andre sudah menunggu kedua anaknya di ruang tamu, disampingnya tampak sebuket mawar putih segar.

Merasa kedua anaknya siap Andre menyerahkan masing masing anaknya satu tangkai bunga mawar putih, Laura dan Raka pun tak banyak protes dan memilih diam mengikuti kehendak sang ayah.

Andre mengendarai mobil dengan kecepatan sedang seakan ingin menjadikan ini sebuah perjalanan yang panjang, alis Raka terangkat saat ayahnya melewati rumah sakit tempat sang bunda bekerja.

Raka dan Laura dibuat kebingungan karena sang ayah mengendarai mobil ke arah pemakaman, Laura tak bisa menampik gurat bingungnya.

Siapa yang tiada?

Untuk apa bundanya ke makam?

Kenapa papa membawa mereka ke makam?

Semua pertanyaan itu terus tergiang di pikiran gadis berusia enam belas tahun itu, Laura ingin bertanya apa yang membuat Andre mengajaknya kemarin namun gadis itu memilih menahan hasratnya.

Langkah Andre terhenti membuat Laura dan Raka yang berada dibelakangnya ikut berhenti.

"Kenapa pa? Kok berhenti?" Tanya Laura dengan nada pelan berusaha untuk tidak terkesan kepo, sedangkan Raka berusaha membaca nisan didepannya.

Mata Raka membulat tubuhnya bergetar hebat, bagaimana mungkin nama itu tertulis rapi di batu nisan. Laura pun ikut membaca tulisan di batu nisan reaksinya tak beda jauh gadis itu segera mendekati batu nisan seakan memastikan apa yang ia lihat.

Walau beberapa kali ia berusaha membawa kesadaran namun tulisan di batu nisan itu tak berubah.

Liana Van Adelgrief.

Melihat nama sang bunda tertulis dengan jelas dibatu nisan tangis Laura pun tak terbendung saat ia sadar apa yang terjadi, bundanya sudah berpulang.

Raka berusaha menahan liquid bening yang berusaha menerobos pelupuk matanya, namun ia tak sanggup berakhirlah pemuda itu ikut menangis bersama Laura.

Andre hanya bisa menatap punggung kedua anaknya yang bergetar, rasa sesak muncul ke permukaan Andre tak kuat jika harus melihat air mata yang terus mengalir di wajah kedua anaknya.

Andre pun merengkuh kedua anaknya, berusaha menenangkan tangisan Laura dan isakan Raka.

"Maafkan papa karena sudah menyembunyikan ini semua tapi ini permintaan bundamu."

Andre mengelurkan sepucuk surat yang ia serahkan pada Laura yang sibuk menyeka air matanya, tangannya tergerak membuka amplop putih ia berusaha menahan isakan saat melihat tulisan tangan sang bunda nampak di matanya.

Dear Laura and Raka

Apa kabar nak? Bunda harap kalian baik baik saja.
Mungkin saat kalian membaca surat ini bunda sudah tidak ada disamping kalian.
Maaf bunda karena menyembunyikan hal ini dari kalian.
Maaf bunda sudah membuat kalian kecewa.
Maaf bunda sudah egois.

Maaf menyembunyikan kenyataan bahwa waktu bunda tinggal sebentar.
Jangan marah pada papa, bunda yang memintanya agar menyembunyikan semua ini.
Maaf karena bunda membuat kalian menangis.

Sebenarnya sejak hari pertama bunda dan papamu pergi kami ke tempat Dokter Albert.
Bunda takut kalau apa yang bunda pikir akan terjadi.
Bunda menjalani pemeriksaan dan ternyata bunda positif covid-19.
Bunda ketakutan saat tahu hasil pemeriksaan.

Maaf Laura bunda sudah mengingkari janji padamu.
Maaf Raka bunda tidak bisa membantumu mengerjakan laporanmu.
Maaf karena membuat kalian khawatir selama lima hari mencari bunda.

Maafin bunda.
Maaf kalau bunda sering membentak kalian.
Maaf kalau bunda sering memaksa kalian.
Maaf kalau bunda tidak pernah punya waktu untk bersama kalian.
Maaf kalau bunda belum jadi bunda yang baik.

Akan terlalu panjang kata maaf yang harus bunda ucapkan, tapi banyak juga ucapan terimakasih yang ingin bunda sampaikan.
Terimakasih sudah hadir di kehidupan bunda dan papa.
Terimakasih sudah mewarnai hari hari bunda yang awalnya sepi.
Terimakasih sudah memberi bunda tempat untuk pulang.

Bunda bersyukur sudah melahirkan dan membesarkan kalian.
Bunda bersyukur ternyata Laura dan Raka lah anak bunda.
Bunda bersyukur Tuhan membuka pintu kebahagian bagi bunda.
Terimakasih sudah hadir dan menjadi tempat pulang.

Raka, Laura bunda ingin kalian mengejar cita cita kalian.
Bunda ingin kalian tumbuh menjadi seseorang yang indah baik hatinya atau parasnya.
Bunda ingin kalian terus melangkah maju tanpa menoleh kebelakang.
Mungkin kepergiaan bunda akan menjadi alasan kalian berhenti berlari.

Tapi bunda tak ingin kalian berhenti lalu kehilangan arah.
Jangan jadikan masa lalu dan masalah alasan untuk berhenti berlari.
Jadikan masa lalu sebagai rumahmu untuk pulang.
Jadikan masa lalu sebagai dorongan untuk kalian melangkah.

Hidup kalian masih sangat panjang pandemi ini juga bukan halangan untuk kalian berkarya.
Carilah jati diri kalian dan hiduplah dengan kebahagiaan.
Carilah kuncinya lalu kau akan menemukan jawabannya.
Bunda menyayangi kalian.

Salam sayang,

Bunda
Liana Van Adelgrief.

Air mata Laura kembali lolos tangannya bergetar hebat seakan tak menyangka semua ini akan terjadi padanya, Laura memeluk surat Liana seakan menyampaikan pada hatinya tentang isi surat yang ada.

Laura balas memeluk Andre, tangisnya terus meluncur.

"Ini semua bukan salah papa, ini semua amanah bunda. Terimakasih sudah jadi papa Laura" kata Laura dengan nada lirih.

Raka ikut memeluk Andre yang semakin mengeratkan pelukannya.

"Terimakasih sudah hadir untuk kami" kata Andre dengan maniknya menatap kearah langit yang tampak cerah.

Semoga takdir kembali berbaik hati dan semoga waktu mengobati semua luka gores di hati, semoga semua cepat berlalu digantikan dengan hari yang baru dan keadaan yang baru.

Semoga keikhlasan saat ini membantu menyembuhkan dan semoga air mata saat ini menjadi pengingat akan masa lalu sebagai rumah untuk kembali dan belajar.



▪ | home | ▪




Masa sulit akan datang entah yang manusia kehendaki atau yang sama sekali tak manusia duga, bagaikan jelangkung yang datang tak diundang dan pulang tak diantar.

Masalah akan muncul secara spontan dan akan menghilang tanpa peringatan, kadang kita terlalu khawatir hingga lupa bahwa semuanya akan berlalu.

Semua akan menjadi bagian dari pendewasaan diri, bukan untuk meruntuhkan harapan ataupun meninggalkan luka tapi untuk menjadi lebih dewasa dengan peliknya keadaan.

🍁 Jadi keep strong and fighting 🍁


[The End]

Note :

Written for TDFgenerationevent
#TDFGlawanpandemi
#Indonesiabisa
#Stayhealth
#Stayathome

Jadi bagaimana ceritanya? Kebanyakan? Atau malah nggak ngefeel?
Mohon maaf ini cerita hasil ngebut dari kemarin malam, sebenarnya cerita bisa di up kemarin malam tapi karena tidak tersimpan aku harus mengulang dari awal hiks.
Untuk para readerku tercintaa tetap jaga kesehatan dan tetap dirumah saja ya mungkin kalian senang karena new normal tapi tetap patuhi protokol kesehatan ya^-^.
Jangan sampai kita menjadi salah satu penyebar virus covid-19.

Salam sayang

Rara_anita ^-^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top