Bab 7. Menuju Patahan
Magical Academy, Kota Miracle
Misaki mengernyitkan dahi ketika membaca laporan penelitian yang diberikan oleh Nara dan Aiken. Berulang kali membalikkan lembar, mengenai anomali gempa itu. Sempat beredar video yang menampilkan patahan memancarkan cahaya. Cukup aneh, namun bisa dikatakan itu adalah editan semata. Meski tak tahu bagaimana lokasi sebenarnya.
Sorot bola mata berwarna biru Misaki memandang gambar perbandingan peta Indonesia saat ini dan lampau, lebih tepatnya pulau Sunda. Sebuah dataran yang pernah menyelimuti sebagian besar pulau di Indonesia, kini tenggelam dimakan air laut, memisahkan pulau Jawa, Sumatra, dan Kalimantan.
Kedua peta itu menampilkan titik lokasi yang sama. Pada peta baru, titik tersebut berada di Bandung Barat, pada peta lama titik tersebut terletak di tengah pulau Sunda.
Seusai membaca, dia meletakkan laporan penelitian itu di atas meja, membenahi rambut pendek yang menyentuh bahu. Melipat kaki dan tangan, kini memandang dua adik kelasnya yang duduk di hadapan Misaki.
"Ini pasti bukan sekadar penelitian kan?" tanya Misaki.
Dua adik kelas itu, Nara dan Aiken mengangguk bersamaan. "Sebenarnya masih asumsi saja sih kak, tapi kita tidak boleh ke sana?" Aiken bertanya balik.
"Sudah kuduga kalian akan bertanya soal itu, sebenarnya ini tidak ada urgensinya dengan Magical Academy, jadinya kita tidak bisa turun sembarangan," balas Misaki.
"Lalu, bagaimana dengan kejadian dulu kak Misaki berusaha mencari sejata suci di desa Hulur, apakah itu tidak turun ke lokasi?" kini Nara yang melemparkan pertanyaan.
"Pencarian senjata suci itu merupakan misi yang masih memiliki kaitannya dengan Magical Academy, meski mayoritas di sini adalah penyihir semua. Akan tetapi, saat itu kami sedang mengamankan senjata suci dan mengejar organisasi Darknest Sains yang sempat berulah lagi. Entahlah, aku tak tahu di mana mereka saat ini, tapi yang jelas kalian tidak bisa ke sana," jelas Misaki dengan ketus.
Aiken dan Nara saling melirik, berharap salah satu dari mereka yang bertindak agar bisa ke lokasi dan membantu penelitian.
"Kecuali satu hal, aku harus ikut dengan kalian." Misaki tersenyum simpul.
"Jadi yang tadi itu?"
Misaki mengangguk, "Benar, aku hanya bercanda," balasnya sembari menjulurkan lidah.
Aiken dan Nara memasang muka datar, melihat kelakuan kakak kelasnya yang agak-agak menjengkelkan itu.
"Selama aku masih memiliki akses Magical Starz, aku bisa ke mana saja." Misaki berkacak pinggang, wajahnya dipenuhi aura bintang-bintang kepuasan. "Tapi, itu tidak dipake sembarangan sih, kalau itu anomali sungguhan, kita pasti mendapatkan akses untuk menelitinya lebih lanjut."
Misaki meraih laporan penelitian itu. "Akan aku ajukan ke Mrs. Melly, semoga saja dia mau mengizinkannya." Dia pergi begitu saja, meninggalkan Aiken dan Nara di ruangan klub.
Mau bagaimanapun dia tetaplah kak Misaki, pikir Nara sembari menyunggingkan bibir.
***
Perizinan mendapatkan izin untuk kembali ke Indonesia telah disetujui. Dukungan bukti yang kuat dalam penelitian tertulis itu ada anomali magis di dalam patahan. Mrs. Melly senang dengan penelitian Aiken dan Nara. Resmi, kini Misaki, Nara, dan Aiken dapat kembali ke kampung halaman.
Pesawat lepas landas, menembus awan-awan yang bergelantungan di angkasa. Perjalanan memakan waktu satu hari satu malam itu dimulai. Selang menempuh waktu sepanjang itu, kini pesawat yang mereka tumpangi mendarat dengan aman.
Decitan ban terdengar nyaring di luar, ketika ban-ban pesawat menyentuh landasan. Pesawat mulai diparkir di tempatnya, garbarata mulai bergerak menempel pada pintu pesawat. Kini pintu pesawat dapat dibuka. Satu per satu penumpang mulai turun dari pesawat.
Bandara, Soekarno-Hatta, Tangerang menjadi akhir destinasi mereka. Sisanya dapat ditempuh dengan jalur darat.
Menanti koper yang datang di tempat pengambilan koper, membuat Aiken jadi tak sabaran. Lelaki itu, mengetuk-ketuk lantai. Kesabarannya mulai menipis. "Kenapa juga harus taruh di bagasi?" Aiken berdecak kesal.
Misaki dan Nara melirik bersamaan ke arah Aiken. Nara membalas Misaki dengan mengedikkan bahu. Tak tahu harus merespon apa, kadang kala kesabaran Aiken setipis tisu. Nara mengingat kejadian-kejadian sebelum meneliti soal anomali gempa.
***
Bus melaju perlahan menerjang jalanan yang dipadati oleh kendaraan. Klakson saling bersahut-sahutan di luar sana. Lengang menyelimuti bus, setelah dua jam yang lalu ramai dengan perbincangan.
Berada di dekat jendela, Aiko menopang dagu sembari memandang jalanan di luar sana. Fani duduk di samping hanya mendengarkan musik dan bermain ponsel. Layar ponselnya berisikan soal artikel pergeseran lempeng bumi. Tiba-tiba saja dia tertarik dengan bencana itu, ditambah semalam Harry menelepon, membahas soal anomali patahan yang berada di Bandung Barat.
Wisata ini pun menuju Bandung Barat, entah kenapa semua jadi serba kebetulan. Tak menghiraukan pikirannya, Fani meneruskan membaca artikel. Soal anomali gempa itu, dia belum memberitahukannya pada Aiko. Cepat atau lambat, gadis yang duduk di sampingnya akan mengetahuinya.
"Apa yang kamu baca?" Aiko melirik ponsel Fani.
Ponsel Fani pun sontak nyaris terjatuh, berhasil di tangkapnya. Dia menghela napas lega tak jadi menjatuhkan ponsel. "Lain kali, kalau ingin melihat bilang-bilang dulu!"
Aiko tertawa tipis, "Habisnya dari tadi kamu terlalu fokus melihat ponsel, jadinya aku penasaran."
Fani menggeleng samar, menunjukkan ponsel pada Aiko. "Sebenarnya, aku sedang membaca ini, agak sedikit tertarik."
"Jadi, kamu berniat kuliah di Jurusan Geografi saat sudah lulus?"
Bukan begitu maksudnya, Fani berdeham. "Hanya hobi saja, tiba-tiba tertarik gitu. Karena perjalanan ini sangat lama, jadinya aku membaca artikel soal gempa."
Aiko mengangguk. "Itu artinya kamu tetap memilih jurusan Geografi?"
Memasuki kawasan The Great Asia Africa, bus berbelok menuju parkiran. Para siswa telah diturunkan di dekat pintu masuk. Para guru mulai menata barisan para murid sebelum memasuki kawasan wisata.
Masing-masing siswa diharapkan membentuk kelompok berjumlah tiga orang, mendengar perintah semacam itu, Azura pun langsung bergabung dengan Aiko.
"Kenapa dia harus di sini?" tanya Fani sinis, mendengar Azura bergabung bersama mereka.
"Enggak boleh? Bukannya kita selalu bersama?" tanya Aiko balik.
Fani menghembuskan napas panjang. Tidak menyangka, kalau perjalanan wisata ini sama saja seperti keliling Surabaya bertiga.
"Kalau kamu keberatan, aku bisa pindah kok," kata Azura pada Fani.
"Mungkin ini lebih baik sih, pokoknya jangan keluarkan kekuatan kalian seenak jidat kalau ada yang kurang ajar!" pinta Fani.
"Baik," bersamaan Aiko dan Azura mengatakannya.
Mereka pun memasuki gerbang tiket masuk, disambut oleh petugas dan keramaian yang membanjiri tempat tersebut. Para siswa mulai berpencar, termasuk kelompok Aiko. Sebelum benar-benar menuruni jalanan, Aiko bergegas menuju pagar pembatas. Sebuah wisata yang berada di lembah, tampak dari atas sini, begitu menakjubkan.
Banyak lokasi-lokasi yang ikonik dengan Asia dan Afrika, pejalan kaki tampak seperti semut di bawah sana. Mata Aiko berbinar-binar memandang pemandangan itu. Rasanya ingin meneteskan air mata.
"Kalau kita berjalan turun enggak masalah sih, tapi kalau naik mungkin itu jadi masalah," celetuk Azura yang berada di samping Aiko.
"Yang benar saja, kamu mengacaukan segalanya," balas Fani.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top