Bab 6. Saling Berlawanan
"Apa?! Tadi kamu bertemu dengan gadis petir lainnya?" tanya Fani sewaktu dia dan Aiko telah tiba di kamar hotel.
Kamar yang hanya memiliki dua single bed dengan lampu kuning cozy yang menyambut, membawa kesan kemewahan. Meski begitu ukurannya tak terlalu besar. Satu kursi dan meja di bawah televisi yang menempel di dinding.
Aiko mengangguk. "Tapi petirnya berwarna kuning. Aku tidak pernah tahu ada petir berwarna kuning."
"Itu karena memang kamu belum pernah bertemu dengan gadis petir lainnya. Ternyata jumlah esper dengan kekuatan elektro benar-benar langka ya," gumam Fani, "Kamu enggak sadar soal esper yang berkemampuan elektro itu langka?"
"Aku menyadarinya kok." Aiko mengembangkan mulut, berbaring kasur empuk nan lembut sembari memeluk bantal. "Kalau begini kan aku jadi saingannya, tidak asyik ah!" keluhnya.
Dasar, inginnya menang sendiri, batin Fani memasang muka datar. Turun dari kasur, menghampiri tas, mencari cas ponsel. Daya ponsel telah menyentuh angka 16 persen. Kenapa dayanya harus 16 persen sih? Dia menghela napas panjang.
Merogoh tas ransel, mencari cas ponsel. Tak lama dia menemukannya, mencolokkan ke stop kontak. Meletakkan di atas meja. Fani kembali melompat ke atas kasur. Melirik ke arah Aiko yang masih berbaring. Sepertinya memang dia lagi merajuk, kalau sudah begini apa yang harus kulakukan. Helaan napas panjang Fani entah kenapa kali ini benar-benar ah sudahlah....
Beberapa saat, ponsel Fani berdering. "Yang benar saja." Fani turun dari kasur meraih ponsel. Pada layar tertulis nama kontak Profesor Harry. Ada apa Profesor menelepon malam-malam? Dia mengangkat telepon.
"Halo?"
[Fani, ternyata kamu sudah sampai ya.]
"Seperti itulah, kenapa?"
[Bagaimana perjalananmu?]
"Biasa saja, apa lagi tadi ada kekacauan di tengah kota."
[Aku sudah tahu soal kekacauan itu Fani. Dua mobil perampok kan?] tanya Harry seolah kini tengah tersenyum dari balik telepon.
"T-tunggu bagaimana Profesor tahu?" Fani sontak terkejut.
[Aku juga ada di Bandung Fani.] Harry tersenyum simpul.
"Apa yang Profesor lakukan?"
[Ini soal gempa seminggu yang lalu, ternyata ada anomali aneh di bawah sana. Untuk saat ini sedang tahap penyelidikan.]
"Jadi gempa yang melanda laut Jawa juga pemicunya di sana?"
[Secara logika tidak mungkin sih. Mungkin bisa saja jadi dan menimbulkan gempa di beberapa titik di seluruh dunia. Kita tidak akan pernah tahu tanpa mengetahuinya secara langsung.] balas Harry.
"Jadi, apa yang harus aku lakukan?" Fani bertanya balik.
[Untuk saat ini tidak ada, tapi sewaktu-waktu bisa saja ada masalah. Jadinya jaga dirimu baik-baik ya. Bagaimana dengan Aiko?]
Fani kembali melirik Aiko masih berbaring dan tak berkutik sama sekali. "Mungkin masih merajuk gara-gara bertemu gadis petir lainnya?"
[Listia?]
"T-tunggu kenapa Profesor tidak memberi tahu kami?" Fani meninggikan nada.
[Itu.... kalau begitu aku kembali bekerja, sampai jumpa nanti.] Telepon terputus.
Kepala Fani kian mendidih bagaikan teko yang dipanaskan. Selalu saja Profesor Harry enggan memberi tahu rahasia semacam ini. Dasar orang aneh. Amarahnya bersungut-sungut sembari membanting ponsel di atas kasur.
Menyadari itu, Aiko pun mengubah posisi berbaring ke arah sebaliknya. "Ada apa?"
Kini Fani yang enggan menanggapi pertanyaan Aiko.
***
Setibanya di kamar, Listi menghempaskan diri di atas kasur. Sekujur tubuhnya terasa lelah, terutama bagian pundak yang saat ini masih nyeri kesakitan. Padahal tadi dia tak banyak bergerak. Bersamaan, dia mengingat gadis yang diajaknya bicara. Petirnya berwarna magenta, Listi membenamkan mata. Apa dia bernama Aiko?
Mengernyitkan dahi, membuat kini matanya terbuka memandang langit-langit kamar. Masa bodoh soal itu, tak ada yang bisa dilakukan saat ini. Kecuali satu hal, Listi bangun dari tempat tidur, meraih tas yang menggantung di pintu. Merogoh isinya, mengambil ponsel. Mencari kontak dalam ponselnya, hingga tertera nama Alden.
Saat menemukannya, Listi segera menghubungi Alden. Namun, dengan cepat oleh Alden diangkat.
[Halo, ada apa malam-malam menelepon?] tanya Alden dari sebrang, setelahnya dia terdengar seperti menguap. Apa dia sedang tidur? Listi bertanya.
"Apakah GoB memiliki data tentang Aiko?" tanya Listi, menarik kursi lalu duduk.
[Aiko? Maksudmu Aiko Miyako?] tanya Alden kembali untuk memastikan.
"Benar, aku penasaran soal itu."
[Tumben sekali, enggak seperti biasanya.] Alden terdiam tak membalas, sepertinya dia tengah turun dari tempat tidur menuju suatu tempat. [Akan kukirim datanya ke kamu. Aku tidak tahu kamu ingin apakan data itu, tapi jangan berulah ya?]
"Tenang saja, aku tidak akan bertindak aneh-aneh kok. Selamat malam."
Telepon pun terputus. Selang beberapa menit, notifikasi masuk ke dalam ponselnya. Sebuah pesan dari e-mail Alden, berisikan data yang diinginkan. "Mari kita lihat ada apa saja di sini?"
***
Pagi berikutnya, Listi menguap lebar saat mengambil tempat duduk di kelas. Teman sebangkunya, Shigure sedari tadi sudah tiba. Dia melirik pada Listi, memiringkan kepala. "Kukira bakal bolos, ternyata kamu datang telat toh, enggak disangka," kata Shigure.
"Enak saja, aku tidak sakit apa-apa tahu," balas Listi dengan pandangan sinis tertuju pada Shigure.
Shigure membalas senyum simpul.
Suasana kelas begitu ramai, celotehan siswa saling bersahut-sahutan satu sama lain. Papan tulis di depan sana yang semula penuh dengan coretan matematika mulai dihapus perlahan. Lantai-lantai disapu oleh siswa yang piket hari ini.
Tak sanggup menahan kepala berdiri, terpaksa Listi menjatuhkan di atas meja. Kantuk berat yang satu ini tak bisa dilawan. Sialnya lagi, kenapa bisa-bisanya tenggelam dalam penyelidikan melalui data mengenai Aiko yang dikirim Alden.
Alden tiba di kelas, menyapa sebagian teman-temannya. Meski begitu, gadis-gadis di kelas masih ada yang berusaha menggoda Alden. Dia membalas dengan santai.
Shigure memandang pemandangan itu bergumam, dasar buaya darat. Raut wajahnya kini berubah cemberut.
Alden pun datang menghampiri Listi yang tertidur di atas meja. "Ada apa dengannya?" tanyanya pada Shigure.
"Entahlah, mungkin tidur larut malam, seingatku juga tidak ada PR."
Alden menghela napas lesu, seolah paham dengan apa yang terjadi, mungkin kejadian semalam setelah mengirim berkas mengenai Aiko ke Listi. Listi membaca data itu hingga larut malam. "Astaga, pasti gara-gara itu." Alden menepuk jidat.
"Ada apa?"
Alden menjelaskan pada Shigure mengenai data yang dikirim semalam pada Listi, mengenai Aiko. Memahaminya, Shigure menganggukkan kepala. "Baiklah aku paham, tapi kenapa dia melakukan itu?"
"Entahlah, aku sendiri saja enggak tahu," balasnya mengedikkan bahu. "Bahkan semalam setelah kita beraksi, Listi memang sedikit aneh, tapi bukan kelelahan sih."
Patut dicurigai, Shigure menyentuh dagu. Menoleh ke arah jendela. Langit di luar sana tengah diselimuti oleh awan kelabu, namun belum ada tanda-tandang mengenai hujan turun. "Ada sesuatu yang mengganggu."
"Omong-omong, semalam Rudi memberitahuku soal patahan gempa seminggu yang lalu. Di bawah sana ada sesuatu," Alden memelankan suaranya.
"Kenapa harus berbisik?" tanya Shigure.
"Karena ini masih rahasia, belum disebar luaskan oleh pemerintahan setempat," balas Alden.
"Jadi hanya kita saja yang tahu?"
Alden mengangguk. "Untuk saat ini belum ada tanda-tanda dan tengah dalam tahap penyelidikan. Katanya ada aktivitas supranatural. Gempa yang terjadi di Laut Jawa dan Bandung merupakan anomali bukan bagian dari pergeseran lempeng bumi yang normal, itulah yang dikatakan Rudi," jelas Alden dengan panjang dan rinci. "Aku minta jangan sebarkan ini ke siapapun kecuali Listi."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top