Bab 5. Disambut oleh Pertempuran

Ruang khusus dalam sebuah restoran, terletak di pusat Kota Bandung, Ruangan itu cukup luas dengan meja panjang dengan kursi saling berhadapan berjumlah sepuluh. Malam itu, ruangan yang luas tengah diisi oleh dua pria, salah satunya mengenakan kacamata, membaca beberapa dokumen di atas meja. Dokumen-dokumen itu tak lain adalah file khusus mengenai gempa yang terjadi seminggu lalu.

Dia membaca laporan dengan seksama, membalik lembar terdapat foto patahan yang merekah di Bandung Barat. Pria bernama, Rudi itu memincingkan mata, mengerutkan alis. Menyentuh dagu yang menyisakan bekas cukuran. Belum ada yang mencoba masuk ke sini ya? tanya sejenak dalam diri.

Rudi meletakkan kembali file yang dibacanya di atas meja. Sosok pria yang berada di hadapannya, Profesor Harry tengah membaca artikel melalui tablet, mengenai kejadian gempa seminggu lalu. Beberapa berkas yang ada di hadapannya sama sekali tak membantu, meski sudah melihat foto patahan yang merekah.

"Sudah kuduga ini anomali." Harry mematikan tablet, meletakkan di atas meja.

"Kupikir juga begitu, tidak mungkin lempeng bumi membelah dan malah memancarkan cahaya di dalamnya," sahut Rudi.

Terdengar pintu terbuka, membuat kedua pria menoleh ke arah pintu. Seorang pria mengenakan kemeja berwarna putih—baju dinas lebih tepatnya—memasuki ruangan. Bersama pria muda di sampingnya, membawa tas ransel.

"Profesor Harry, Bapak Rudi." Pria yang mengenakan kemeja putih itu, Subagio berjabat tangan dengan Harry dan Rudi. Disusul oleh pria muda di belakang Subagio, Bima. "Maafkan kami terlambat, di kantor BMKG Pusat baru saja menggelar rapat mengenai patahan itu."

"Tidak masalah, pak Subagio," sahut Harry.

Pertemuan kecil yang diselenggarakan itu, tak lain membahas soal patahan yang memancarkan cahaya. Bima menjelaskan dengan detail saat tiba pertama kali di lokasi itu. Hingga saat ini, masih ada beberapa tim yang menetap di sana, meneliti kejadian sejenak. Pikirnya sebuah anomali yang menyebabkan gempa, bukan secara ilmiah.

Penjelasan berakhir. Harry pun mengangkat tangan. "Aku sebenarnya tidak mau mengakui kalau ini anomali, Bima. Tapi apa yang barusan kamu jelaskan, fenomena alam itu, bukan pergeseran lempeng biasa. Sebuah anomali lempeng bumi. Untuk memastikan kalau ini anomali, setidaknya kita harus ke lokasi terlebih dahulu," jelas Harry.

"Jika ini anomali, berarti ada sesuatu di bawah sana?" tanya Subagio, mempertemukan kedua tangan, menopang dagu. "Tapi bukankah di bawah sana hanya ada mantel dan inti bumi?"

Harry melirik pada Rudi, giliran dia menyampaikan pendapat. "Apakah bapak tahu mengenai Agartha?" tanya Rudi.

"Agartha?"

"Sebenarnya ini konsep lama, bapak," sahut Harry. "Edmond Halley yang menemukan konsep itu. Bumi yang kita pijak ini memiliki ruang hampa di bawah sana. Teorinya dikenal Bumi Berongga (Hollow Earth). Boleh jadi, selama ini fakta itu selama ini ditutupi." Harry terhenti sejenak.

"Lalu bagaimana dengan pengeboran di dalam tanah yang jaraknya mencapai 12 kilometer? Bukannya proyek itu terhenti karena suhu di bawah sana sangat panas?" Kini Bima bertanya.

"Atau mungkin fakta itu ditutupi karena proyek yang mengebornya tak ingin mengetahui keberadaan Bumi Berongga?" Rudi kembali melempar pertanyaan. "Bisa saja, selama ini kita tidak pernah mencapai inti bumi. Asumsi gagasan Edmund Halley mungkin bisa benar, bagaimana Profesor, kau ingin melihatnya secara langsung?"

Harry tanpa berpikir panjang mengangguk. Satu-satunya kebenaran itu adalah mengetahui dengan melihat mata kepala sendiri. Subagio menyetujui permintaan Harry, berharap bisa menjadi penemuan dan mencari pencegahan. Tak ada satu pun yang mengetahui apakah patahan itu akan menimbulkan gempa megathrust atau tidak.

***

Derungan mobil saling beradu kecepatan di jalanan memekkakan telinga. Melewati satu per satu mobil di hadapannya dengan gesit. Tak luput berbagai klakson bersahut-sahutan ketika mobil menyalip tiba-tiba. Di belakangnya disusul mobil sedan berwarna biru. Kecepatan kedua mobil itu melebihi batas maksimal kota.

Tepat jauh di belakang mobil jazz berwarna hitam melaju mengejar dua mobil sedan di hadapannya. Dengan lincah sang pengemudi, Alden memindahkan perseneling ke gigi empat. Mobil itu melaju menambah kecepatan.

Saat jarak mobil jazz dengan dua mobil di hadapannya kian mendekat. Mobil sedan berwarna biru itu membuka kaca. Sosok orang keluar dari kaca jendela belakang, mengangkat senjata.

"Yang benar saja!" Alden mengeluh.

Orang tersebut menarik pelatuk. Peluru menghujam mobil jazz milik Alden. Namun, Alden segera menghindar, hingga menerabas trotoar. Para pejalan kaki berlarian, berteriak menghindari mobil yang dikemudikan oleh Alden.

"Kenapa para perampok ini selalu saja bikin onar di kota?" Amarah mulai membara Alden. Segera memutar stir membawa mobil jazz kembali ke jalanan.

Tepat di depan terdapat tikungan. Kedua mobil sedan berwarna biru dan putih itu berpencar. Mengambil keputusan dengan cepat, Alden memutar stir ke kanan. Ban berdecit ketika mobil berbelok tajam. "Lis, aku butuh bantuanmu. Mobil berwarna putih menuju ke arahmu."

[Baiklah, ketua sok ngatur.] mendengar suara gadis dari balik earphone yang dikenakan oleh Alden membuatnya menggelengkan kepala. Memang gadis bernama Listi itu benar-benar menjengkelkan.

***

Enam bus melaju perlahan memasuki kawasan kota. Lampu-lampu bangunan memancarkan cahaya yang romantis. Dari balik kaca, Aiko memandang lampu-lampu itu dengan mata berbinar-binar. Lebih indah dari Tunjungan Plaza. Segera dia mengeluarkan ponsel, mengambil gambar.

"Baiklah anak-anak sebentar lagi kita akan tiba di hotel. Barang bawaan jangan sampai ada yang tertinggal, karena bus tidak akan parkir di sekitar kawasan hotel." Salah seorang guru memberikan pengumuman sejenak.

Perjalanan yang mulus itu tanpa sengaja berpas-pasan dengan mobil sedan putih yang melaju melawan arus. Bus paling depan berbelok tiba-tiba memasuki trotoar, menabrak pohon, sedang mobil sedan berwarna putih itu kehilangan kendali menabrak salah satu toko.

Bus lainnya turut berhenti, termasuk dengan bus yang ditumpangi oleh Aiko. Menyadari berhenti mendadak, Aiko segera bangkit dari kursi.

"T-tunggu apa yang mau kamu lakukan?" tanya Fani penasaran.

"Kita harus melakukan sesuatu."

Fani menghela napas. "Astaga, kita baru tiba sudah ada saja kekacauan saja," keluhnya. "Baiklah ayo kita bekerja!"

Fani berdiri, mengeluarkan kartu dari ATE, menunjukkan pada sang guru. "Tunggu kalian mau bertindak?" tanya sang guru.

"Tidak ada waktu lagi, meski ini bukan wilayah kami, setidaknya memprioritaskan keselamatan siswa lainnya adalah tugas kami," balas Fani.

"Baiklah, kalian boleh turun, berhati-hatilah!"

Fani dan Aiko berlari turun dari bus. Fani pergi ke bus yang baru saja menabrak, menggunakan teleportasi. Aiko pergi menghampiri mobil sedan putih yang terbalik.

Setibanya, dua orang pria keluar merangkak dari mobil. Berusaha berdiri dengan sempoyongan. "Kalian baik-baik saja?" tanya Aiko, menghampiri mereka.

"Jangan mendekat!" salah satu dari mereka memperingatkan, mengeluarkan api dari tangan kanan.

Esper? Kukira mereka hanya ada di Surabaya. Pria itu melempar bola api. Segera Aiko menghindar. Melemparkan petir berwarna magenta itu.

Belakangan ini sering kali Aiko menghadapi musuh dengan kemampuan api. Benar-benar membosankan. Dia menerjang maju, mengangkat lengan kanan, membuka lima jemari. Aliran petir berwarna magenta mulai menjalar, merambat ke arah manusia dengan esper api itu.

Belum juga sampai, petir berwarna kuning menyambar, menghalangi arus petir magenta milik Aiko. Serangannya terhenti sejenak. Petir kuning itu arahnya dari atas, Aiko mendongak. Sosok gadis dengan jaket berwarna biru sedikit gelap dan seragam SMA putih abu-abu berdiri. Rambutnya pendek dengan jepit rambut bulan.

Gadis petir lainnya? Kini Aiko makin kebingungan. Gadis itu merentangkan tangan, menjatuhkan diri dengan bebas. Saat jarak sudah kian mendekat. Dia melemparkan sihir pada beton, menahan laju jatuh yang teramat kencang. Gadis itu, Listia Dianti mendarat dengan aman.

Sorot matanya menatap tajam pada tiga orang di hadapannya. Siapa lawan, siapa kawan dia tak tahu. Segera dengan petir berwarna kuning, Listi melemparkan dalam jumlah yang besar pada dua perampok itu, membuat mereka berbaring tak sadarkan diri.

"Syukurlah, terima ka—" belum genap Aiko mengucapkan terima kasih. Listi melemparkan petir dengan jarak beberapa centi dari Aiko berdiri. "Tunggu, aku ini teman. Aku tadi hanya melawan mereka kok," ucap Aiko.

"Benarkah? Tapi maaf ini wilayahku, siapa pun yang memiliki kemampuan esper dan menggunakan tanpa ada izin di publik, itu termasuk tindak pelanggaran," sahutnya dengan ketus.

Astaga, aku membuatnya marah, pikir Aiko. Menghindari pertarungan yang tidak penting adalah keputusan yang bijak. Kali ini dia harus menahan amarah dengan gadis yang ada di hadapannya. "Baiklah, terima kasih atas bantuanmu."

Listi mengangguk, berbalik meninggalkan kekacauan yang terjadi. Selang beberapa saat mobil polisi tiba, membereskan kekacauan yang ada malam itu.

Gadis yang aneh.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top