Bab 4. Peradaban di Bawah Bumi

Memasuki ruang perpustakaan, disambut oleh secercah mentari siang yang menerobos masuk melalui kaca jendela atas. Berbagai rak buku berjajar dengan rapih, membentuk lorong-lorong tersendiri. Jumlah siswa yang hadir pagi ini tak terlalu banyak, namun bukan berarti sepi.

Di setiap ujung lorong, sebuah meja diletakkan sebagai tempat untuk membaca buku. Tak hanya di tengah, bahkan hampir di setiap tempat disediakan meja dan kursi.

Aiken dan Nara melangkah menuju lorong sejarah sihir yang berada di ujung kiri dari pintu masuk. Ujung ruangan menjadi lokasi yang jarang dijamah oleh siswa-siswa karena menyimpan perkamen dan buku-buku kuno yang kurang dipakai. Ditambah juga Magical Academy menjadi lokasi penyimpanan arsip-arsip kuno yang berkaitan dengan sihir.

Tiba di lorong sejarah, Aiken mencari perkamen Perburuan Penyihir: Dunia Lain. Dia mengetahui judul buku itu karena sebelumnya dia pernah membacanya. Hanya mengingat simbol bumi. Tak lama mencari, Aiken menemukannya. Setidaknya ada tiga perkamen yang memiliki simbol bumi.

Saat disentuh, perkamen itu sedikit kasar saat disentuh. Meski salinan, tetapi sekolah membuatnya sangat akurat dengan versi aslinya yang tersimpan dengan aman.

Ketiga gulungan perkamen itu, dibawa ke meja terdekat. Nara duduk di samping Aiken. Dia membuka gulungan pertama. Tulisan dalam bahasa Inggris kuno. Setidaknya mereka masih bisa membacanya walau sedikit.

Sorot matanya membaca tulisan tangan, mengernyitkan dahi. "Baiklah kita mulai dari 1685."

Tahun 1685, semenjak UU Witchcraft ditetapkan, kami para penyihir mulai merencanakan sesuatu yang besar. Rencana itu adalah menyebar ke penjuru negeri. Kami tak bisa menetap di satu lokasi sedang lokasi itu malah membunuh kami. UU yang dibentuk atas dasar tak masuk akal. Bahkan tak semua penyihir melakukan praktik ilmu hitam.

Bersama Asosiasi Penyihir, kami pun diutus untuk menyebar, membuang segala identitas kami demi menjalani hidup. Hidup berdampingan di lingkungan baru.

Semoga saja kita semua dapat bertemu.

Catatan berakhir....

"Perkamen yang aneh," komentar Nara yang turut membaca. Pasalnya begitu singkat dan tak ada yang membahas soal bumi berongga.

"Justru kita akan menemukannya di dua perkamen selanjutnya. Mereka asling berkaitan." Aiken memandang gulungan perkamen yang tak jauh darinya. Meraih gulungan perkamen salah satunya.

Manusia keji dengan segala tuntutannya.

Para penyihir di Salem dibantai tak bersisa.

Mendengar kabar itu, membuat ketakutan mulai merajalela.

Tak bisa melawan, mereka sangat banyak.

Kabar duka itu mewarnai pagi yang diselimuti kabut tebal.

Akankah ada harapan yang menanti kami?

Aiken menaikkan alis, entah mengapa saat membuka perkamen kedua isinya malah terkesan seperti puisi pendek. Tidak ada tanda-tanda mengenai bumi berongga. Menyisakan satu perkamen lagi yang dibuka.

"Kalaupun tak ada jawaban, mungkin keberadaan Agartha memang adalah omong kosong belaka," kata Nara melipat kedua tangan, bersandar di kursi.

Semoga saja bukan sesuatu yang mustahil mengetahui keberadaan mereka. Sial gara-gara cerita itu akhirnya membuat resah manusia zaman sekarang. Aiken meraih gulungan perkamen terakhir, membukanya.

Hamparan tanah hijau membentang begitu luas di dasar bumi

Angin segar entah dari mana meniup, menyejukkan paru-paru ini

Berada di tengah Pulau Sunda, di sanalah pintu masuk menuju dunia ini

Tersisa kami para penyihir yang hidup, hanya segelintir saja yang menemukan

Jauh di depan sana, sebuah menara menjulang ke angkasa, tidak, tidak ada angkasa di sini. Di atas sana, tempat yang sama seperti di bawah

Hidup saling berkebalikan....

"Kelihatannya ini bukan mitos lagi, Nara." Aiken melirik Nara usai membaca perkamen terakhir. "Semua jadi masuk akal."

"Apanya yang masuk akal?"

Menggulung kembali perkamen terakhir, meletakkan di atas meja. Aiken bersandar di bangku. "Semua jadi jelas, dan perburuan penyihir yang mengubah segalanya. Para penyihir menyebar ke penjuru negeri sampai suatu ketika datang kabar buruk dari Salem. Pembantaian penyihir terbesar dalam sejarah." Menghela napas, "memang kejam masa lalu kita. Tapi seperti itulah kenyataannya. Mereka menemukan pintu di Pulau Sunda."

Nara memiringkan kepala. "Pulau Sunda? Memangnya ada nama pulau itu?"

Aiken menghela napas panjang. Kali ini amarah mulai tersungut tiba-tiba. Rasanya ingin membanting kepalanya beratus-ratus kali di atas meja dari pada menjawab pertanyaan konyol itu. "Serius, kamu enggak tahu Pulau Sunda?"

Nara menggelengkan kepala.

"Baiklah," menghembuskan napas. "Sebelum Pulau Jawa terbentuk, ada sebuah dataran luas yang menyelimuti antara Jawa dan Sumatra, itu nama Pulau Sunda. Walau sudah tenggelam sih. Lebih tepatnya pintu itu masih ada di Jawa Barat, lokasi suku Sunda berada."

***

Seminggu sejak gempa melanda Surabaya, bangunan-bangunan kini kembali beroperasi dan berdiri dengan kokoh. Jembatan penyebrangan yang ambruk kini telah kembali semula. Jalanan yang retak dan bergelombang telah diaspal.

Halaman rumah Aiko yang semula berantakan bagai kapal pecah kini kembali tertata. Angin segar menghirup ketika Aiko melangkahkan kaki ke luar rumah, membawa tas ransel besar berwarna hitam. Jaket berwarna hitam diikat di pinggul.

Mengenakan seragam pelaut berwarna dominan biru pada rok dan kerah. Baju atas berwarna putih dengan hasduk berwarna merah melilit di kerah.

Melambaikan tangan pada sang Ibu. "Aku berangkat dulu ya!" seru Aiko, dia berbalik berlari meninggalkan rumah. Burung bertengker di kabel listrik rumah, memandang sang gadis remaja berlarian.

Langit cerah menyambut, hari yang dinanti-nantikan telah tiba setelah tertunda seminggu. Perjalanan menuju ke sekolah menggunakan bus kota memakan waktu tiga puluh menit.

Setibanya di sekolah, bus-bus pariwisata berjajar di halaman sekolah yang luas, para siswa kelas dua memenuhi halaman sekolah sembari bercakap-cakap. Wajah cerah terpancar di wajah mereka. Kini waktunya mencari bus yang akan ditumpangi oleh Aiko.

Tak jauh dari tempatnya berdiri, sosok Fani menanti seorang diri sembari menyilangkan tangan, mengetuk sepatu. Dia menghampiri Fani. "Selamat pagi tuan putri penunggu bus." Aiko menyeringai.

"Kukira kamu bakal bangun kesiangan lagi." Fani bernapas lega.

Seluruh siswa menaiki bus masing-masing sesuai urut kelas, setelahnya bus melaju, memasuki jalan raya, bersahut-sahutan dengan kendaraan motor di bahwa sana. Beberapa saat, bus mulai meninggalkan Kota Surabaya, memasuki jalan tol. Perjalanan akan berada di atas jalan tol hingga sampai ke Bandung.

Hamparan padi menguning membentang di sisi kiri dan kanan. Aiko duduk di dekat jendela, mata berbinar memandang pemandangan alam itu. Sembari mendengarkan musik Melangkah-Moccatune di earphone. Alunan merdu itu membuat sosoknya bersemangat. Fani duduk di tengah hanya menatap senyuman.

Memasuki rest area di dekat pintu keluar menuju Solo. Para siswa berhamburan turun menuju toilet, sebagian lainnya pergi ke resto. Harga makanan terpajang cukup mahal, jadinya perlu berpikir dua kali jika ingin membeli.

Selang tiga puluh menit, seluruh siswa kembali ke bus. Kembali melaju di jalanan tol. Aiko terlelap tidur di atas pundak Fani. Tak hanya mereka, hampir satu bus tertidur kecuali sang sopir. Bosan rasanya di perjalanan membahas hal serupa atau terus berbicara.

Memasuki tol Palimanan, matahari telah tumbang di barat. Aiko di dekat jendela memandang lautan dan matahari yang jaraknya tampak dekat. Sebentar lagi akan terbenam. Dia meraih ponsel di saku rok, mengambil gambar. Pemandangan yang indah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top