Bab 12. Hutan Misterius

Nyeri menjalar sekujur tubuh. Kepala pening, perlahan mata mulai terbuka. Pandangan masih buram bersamaan dengan telinga yang masih berdengung. Aiko menoleh sekitar. Perlahan dia mulai mengangkat badan yang masih kesakitan. Dia harus menahannya. Pandangan kian jelas, Aiko memandang sekitar. Berada di samping, Listi tengah berbaring tidak sadarkan diri. Aiko segera memeriksa denyut nadi. Masih berdetak.

Mau dibangunkan beberapa kali pun pasti tidak akan bangun. Sengaja membiarkan Listi tetap tak sadarkan diri. Tepat di depan Aiko, sebuah cahaya terang bersinar. Apa itu pintu keluar? Dia segera bangkit, melangkah sedikit sempoyongan menuju cahaya itu. Semakin terang, lalu pemandangan yang semula putih silih berganti dengan padang savana yang hijau membentang.

Di mana ini? Aiko bergumam, memandang sekitar. Perasaan tadi dia terjatuh ke dasar, tapi kenapa kini pemandangan jadi padang savana? Apa aku sudah mati? Aiko segera meraba-raba tubuh, memukul wajah dengan amat keras. Namun, rasa sakit masih menjalar.

Dia bernapas dengan lega. Tetapi, saat memandang ke atas terdapat padang savana juga dengan posisi terbalik. Ada asap semacam awan yang melayang. "Sebenarnya di mana ini?" Menyadari sesuatu, Aiko segera melihat pergelangan, jam tangan berbentuk gelang itu menunjukkan waktu, tetapi detik terhenti.

"Menembus ruang dan waktu berarti?"

"Jadi, kamu sudah bangun ya?" suara itu nyaris saja membuat Aiko mengeluarkan petir. Saat memandang, sosok itu rupanya Azura yang tengah duduk bersandar di sisi gua.

"S-sejak kapan kamu di situ?"

"Dari tadi sih, aku sudah sempat berkeliling juga. Aman di sekitar sini. Tidak ada tanda-tanda kehidupan juga." Azura kini berusaha bangkit. "Bagaimana dengan dia?"

"Masih belum sadarkan di—" belum sempat Aiko menyelesaikan percakapannya. Tiba-tiba Listi menerjang Aiko hingga membuat mereka berdua jatuh dari tebing. Untungnya tak terlalu tinggi.

Azura pun segera bangkit, dan melihat ke bawah. "Astaga mereka masih belum juga damai." Segera dia mencari jalan untuk menurun.

Pertarungan berlanjut, Listi menyambarkan petir dengan penuh amarah pada Aiko. Meski dapat menghindar, namun kekuatannya terus menerus dikerahkan sampai Aiko sendiri kewalahan.

Tak tinggal diam, Aiko menerjang maju di saat melihat kesempatan. Mendorong Listi hingga tersungkur di atas tanah, menindihkannya.

"Sudah kubilang pertarungan usai!" Aiko mengangkat tangan dengan berselimutkan petir magenta.

"Tidak, sampai salah satu dari kita kalah!"

"Baiklah kalau itu maumu." Tangan Aiko yang mengepal diselimuti petir magenta pun meluncur amat cepat.

"Hei!" Belum genap kepalan tangan Aiko mendarat di wajah Listi, mereka berdua menoleh pada Azura yang berdir tak jauh. "Bisakah kalian hentikan pertarungan yang konyol dan tidak penting itu? Kalian tidak sadar kalau kita bertiga terjebak di sini?"

Mendengar ucapan Azura membuat Aiko menurunkan tangan, urung menghanjar Listi hingga babak belur. Benar apa yang dikatakan Azura barusan, mereka terjebak dan malah memilih melanjutkan pertarungan. Aiko segera berdiri melepaskan Listi. Menjulurkan tangan padanya. "Aku tidak ingin bertarung denganmu."

"Astaga, aku benar-benar payah." Listi mengaitkan tangan pada Aiko. Berusaha berdiri membersihkan pakaian yang kotor.

"Jadi apa rencanamu?" Aiko menoleh pada Azura. "Kita terjebak dan tidak tahu jalan pulang."

Azura menopang dagu, di saat seperti ini berpikir tenang kadang diperlukan. Memutuskan kembali masuk ke dalam gua. Tak jauh dari tempat mereka tak sadarkan diri terdapat batu yang menutupi sebuah lubang.

"Kemungkinan kita terlempar dari sini." Azura memandang lubang yang tertutupi oleh batu itu.

"Bagaimana bisa kita terlempar dari sana?" Aiko bertanya, berkacak pinggang.

"Bagaimana mengatakannya ya?" Azura menopang dagu. "Sebenarnya ada batas sekat antara dunia atas dan dunia bawah. Sekat itu disebut penarik gravitasi. Saat kita terjatuh dari dunia atas, otomatis kita jatuh menembus sekat gravitasi dan terlempar kemari, tapi gravitasi itu menarik kita."

Saat menjelaskan Azura terhenti begitu saja, melirik wajah dua gadis yang ada di dekatnya memasang muka bingung. Menghela napas panjang, Azura menjelaskan lebih sederhana. "Intinya kita bergelantungan seperti kelelawar saat ini."

"Aku tetap tidak paham," sahut Listi.

Sebal mulai tergores di wajah Azura, memilih tak melanjutkan percakapan. "Sepertinya kita harus mencari jalan keluar lain. Bisa berupa gua atau semacamnya. Tapi ada satu masalah."

Kedua gadis itu menoleh pada Azura bersamaan. "Saat kita menemukan jalan keluar, kita bisa saja tiba di negara orang lain," kata Azura melangkah keluar dari gua. Tak ada yang bisa dieksplorasi lagi di tempat semacam itu.

Dari tempatnya berdiri, Azura memandang sebuah asap yang membumbung tinggi ke langit. Aiko dan Listi segera menyusul, memandang pemandangan yang sama. Sesuatu telah terjadi.

"Kurasa itu sebuah masalah," kata Aiko memicingkan mata.

"Bisa dikatakan begitu," timpal Azura, dia melirik Aiko. "Mau ke sana?"

"T-tunggu, bukannya kita berada di tempat yang asing. Maksudku bisa saja itu jebakan atau hal lain," potong Listi.

"Tenang saja, semua akan baik-baik saja." Aiko menepuk pundak Listi. "Siapa tahu mereka benar-benar dalam bahaya."

Tertunduk, memikirkan sejenak. Listi pun menopang dagu. Perlahan mengangguk menyatakan setuju untuk memeriksa.

Segera mereka bertiga berlari melintasi padang savanah, tak jauh memasuki hutan belantara. Hutan di sini sama seperti hutan yang ada di dunia atas. Udara segar merebak, bahkan lebih segar dari udara di atas. Meski sama-sama berada di dalam hutan.

Dalam pedalaman, mereka tiba di tempat yang dituju. Sebuah bangunan hancur lebur tak bersisa. Tak hanya satu, melainkan hampir seluruh bangunan hangus dimakan api. Menyisakan debu abu bekas pembakaran. Tanah di sini pun sebagian hangus.

Memandang sekitar, membuat jadi penasaran. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Apa baru saja terjadi peperangan? Pertanyaan demi pertanyaan mulai tersusun rapih. Azura bertinggung, memeriksa pondasi yang hangus itu. Kalau dilihat, masih ada asap yang membumbung ke udara. "Dipastikan baru saja terjadi peperangan di sini."

"Perang?" Listi menyahut.

"Benar sekali, mungkin beberapa saat yang lalu. Entahlah."

"Tapi, kenapa kita tidak mendengar ada keributan?" tanya Aiko berkacak pinggang.

"Pertama, lokasi desa (mungkin) ini cukup jauh dari lokasi kita jatuh."

Saat Azura berhenti bicara, suasana sekitar lengang secara tiba-tiba. Semula terdengar suara serangga, kini tak terdengar sama sekali. Dia memerhatikan sekitar, memastikan tak ada sesuatu yang aneh. Meski perasaannya berkata sebaliknya.

"Ada apa?"

"Ssstt!" Azura menyuruh Aiko diam sejenak.

Listi pun memandang sekitar. Terdengar desing samar-sama tak jauh dari mereka. Sesuatu akan terjadi.

"Cari tempat persembunyian!" mereka bertiga segera berlari memasuki hutan, berlindung di balik pohon.

Desing terdengar kian jelas, Aiko melirik sedikit dari balik pohon. Sebuah benda mengambang seperti drone tengah mengintai lokasi yang mereka singgahi. Drone itu mulai memancarkan cahaya berwarna merah, mulai memeriksa lokasi setempat. Selang memeriksa, cahaya berwarna merah sirna. Drone itu pergi begitu saja.

"Apa sebenarnya itu?" tanya Listi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top