Bab 10. Aiko vs Listi
Kedua petir saling menghantam satu sama lain menimbulkan cahaya terang benderang. Petir itu menyambar ke berbagai arah, membuat Fani, Shigure, Alden, dan Azura memilih bersembunyi. Percikan itu benar-benar membahayakan, bahkan tak sedikit pun berulang kali meleset dan di belokkan.
Aiko berlari. Melompat tinggi, melemparkan petir pada Listi. Dengan mudahnya, Listi menangkis petir milik Aiko. Warna kuning dan magenta saling beradu. Memancarkan cahaya warna-warni.
"Apa tidak ada yang bisa kita lakukan?" Azura melempar pertanyaan, sembari melirik pertempuran antara Aiko dan Listi.
"Kalau sudah begini, rasanya sulit sih menghentikan mereka berdua." Fani menopang dagu. "Teleportasiku tidak bisa muncul begitu saja di dekat mereka. Apa lagi mereka menyambarkan petir."
Alden sedikit tertunduk sejenak. Meraih pistol yang disembunyikan di belakang pinggul. "Kurasa kita tidak bisa menghentikan mereka sendiri-sendiri. Harus bersamaan kalau ingin menaklukan mereka."
Semua menoleh pada Alden. "Jadi maksudmu?" tanya Shigure curiga.
"Maksudku kita harus menyerang bersama-sama menghentikan mereka." Alden menarik kokangan. "Sialan kenapa juga Listi seperti ini? Dasar menyebalkan!"
"T-tunggu, memangnya kamu ingin tersengat oleh petir?" Shigure bertanya balik.
"Bahaya sudah jadi temanku, bagaimana kawan?" Alden melirik pada Azura.
"Harusnya sihirku bisa menghalau serangan mereka." Azura mengepalkan tangan. "Fani, bisakah kamu membawaku mendekat pada Aiko?"
"Aku hanya bisa membawa satu orang saja sih," balas Fani.
"Baiklah kita lakukan operasinya."
Pertarungan kian sengit antara Aiko dan Listi. Kekuatan mereka begitu setara. Meski Aiko telah mengeluarkan kekuatan yang cukup besar, namun dengan mudahnya Listi masih bisa meladeninya.
Akan tetapi, stamina Listi perlahan kian tergerus dengan cepat. Napasnya mulai terengah-engah. Peluh mulai membasahi dahi. Kaki gemetar tak sanggup untuk berdiri.
Saat Aiko hendak melemparkan petir. Dia berhenti sejenak. Memadang tubuh Listi yang mulai goyah. Mengurungkan niat, petir yang mengelilingi Aiko sirna begitu saja.
"Ah mereka berhenti." Shigure melirik.
Yang lain pun ikut melirik, termasuk tiga penyihir yang tangannya terikat. Cepat sekali mereka akur. Harusnya sudah aman, namun demi memastikan keadaan mereka masih berada di tempat yang sama.
"Kurasa sudah cukup," kata Aiko menurunkan tangan.
Listi makin berdecak kesal dengan lawannya. Emosi semakin terbakar. Dia berusaha berdiri dengan kokoh seperti semula. "A-aku belum selesai," ucapnya terengah-engah.
"Ini sudah selesai. Kalau kamu memaksakan diri, petirku bisa saja membunuhmu. Dan aku tidak menggunakannya untuk itu," balas Aiko. "Lagi pula apa yang kamu katakan semalam memang benar. Ini bukan wilayahku untuk melindungi semua orang. Tapi terkadang kita harus menggunakan cara yang cukup terpaksa." Dia menghampiri Listi. Menyodorkan tangan padanya.
Tapi, Listi justru menangkis sodoran tangan itu. Tak segan-segan dalam jarak sedekat itu. Dia mengepalkan tangan yang diselimuti oleh petir kuning. Siap meluncur ke arah Aiko.
Semua terkejut dengan tindakan tak terduga dari Listi. Tapi Aiko dengan mudah menangkis kepalan itu. Menahannya.
"B-bagaimana kamu bisa melakukannya?"
"Kemampuan kita sama, elektrokinesis. Jadi wajar saja jika aku bisa mengendalikan petirmu." Aiko menyeringai. Tak membalas tindakan Listi.
Melepaskan tangan Listi begitu saja. Aiko berbalik, menghampiri teman-temannya.
Alden berlari menuju Listi. "Apa yang kamu lakukan? Tindakanmu benar-benar ceroboh barusan." Mengerutkan alis sembari melipat tangan. "Aku tidak tahu lagi harus membuat laporan seperti apa."
Sebuah getaran kembali terasa dari bawah bumi. Burung-burung sekitar mulai berterbangan ke angkasa. Getaran kecil itu, semakin kuat menyebabkan guncangan yang amat keras. Bangunan di sekitar semakin runtuh dan rata dengan tanah. Tanah mulai retak di area bawah The Great Asia-Africa. Retakan itu menyebar ke berbagai arah.
Perlahan tanah mulai merekah lebar. Seolah berusaha saling memisahkan diri. Listi mendorong Alden menjauh. Retakan mulai mengelilingi Listi, bersiap membawanya jatuh ke dasar. Menyadari itu, segera Aiko menyalurkan petir untuk menarik Listi menjauh dari retakan. Namun, di posisi yang sama. Tanah yang dipijak oleh Aiko pun retak.
Retakan itu mulai menjalar ke mana-mana. Azura pun segera menyelamatkan Aiko sembari mendekat. Namun, tanah yang retak itu kian amblas. Membuat Aiko, Listi, dan Azura terjatuh ke dalam jurang.
***
Ponsel Misaki bergetar dalam saku rok, dia merogoh meraih ponsel. Layar ponsel menampilkan baru saja terjadi gempa dengan titik di Bandung Barat. Gempa itu menyentuh angka 7.8 M. Lalu, dia membuka mesin pencarian di internet. Berbagai berita bertebaran mengenai gempa. Tanah merekah, membentuk celah curam ke dasar bumi.
Lokasi itu berada di The Great Asia Africa. Gempa itu terjadi tiba-tiba. Saat ini Tim SAR tengah melakukan evakuasi di sekitar lokasi. Misaki terus membaca berita itu. Kenapa titiknya tidak sesuai ya? Berbagai pertanyaan mulai dilontarkan dalam benak. Boleh jadi yang terjadi di lokasi wisata itu adalah efek dari gerbang yang terbuka.
Benar saja, mustahil rasanya disebut sebagai bencana alam biasa. Mengerutkan dahi, mematikan ponsel dan menatap pemandangan di luar sana. Sesuatu yang buruk tengah terjadi. Lebih tepatnya saat ini telah terjadi.
Selang perjalanan cukup lama, bus pun memasuki terminal Bandung. Misaki, Aiken, dan Nara segera turun dari bus bersama penumpang lain, sembari membawa koper dan ransel.
"Perjalanannya masih cukup jauh kah?" Nara mulai merajuk.
Begitu pula tatapan Aiken yang semakin tidak mengenakan. Dipikirnya seperti karyawisata, namun rupanya ini lebih merepotkan dari biasanya. Lebih baik tetap berada di sekolah dan belajar dari kejauhan.
"Ingat! ini keinginan kalian lho ya," gumam Misaki memandang kedua adik kelasnya itu. "Kalian pikir ini perjalanan wisata 'kan?"
Kedua adik kelasnya itu kian menurunkan pundak, menghela napas lesu. Bagi Misaki perjalanan semacam ini sudah biasa. Terlebih lagi dia pernah berpetualang ke berbagai tempat di Surabaya dan Ngawi untuk mencari senjata suci. Walau saat itu masih berhadapan dengan DS (Darknest Sains). Namun, semenjak mereka dikalahkan, tanda-tanda keberadaan mereka masih belum terungkap.
Lebih baik begitu, pada akhirnya kehidupan Misaki jadi lebih tenang tanpa marabahaya. Kadang merepotkan berurusan dengan mereka. Apa lagi bertarung dengan nyawa. Bukannya tak ingin melindungi, terkadang sangat melelahkan. Perlu pula istirahat lama demi memulihkan keadaan.
Tapi, kalau dipikir-pikir lagi setahun yang lalu organisasi kriminal DS itu benar-benar tak habis pikir. Terus menerus melakukan kekacauan. Sampai-sampai yang melindungi dari ancaman itu kelelahan.
Semoga saja kali ini DS tidak campur tangan. Misaki harap begitu. Semoga saja. Dia membuka ponsel, menanti jadwal keberangkatan bus selanjutnya. Menuju lokasi titik gerbang perbatasan masih cukup jauh. Terlebih lagi posisi mereka masih berada di dekat pusat kota.
Mau bagaimanapun juga Misaki tak memiliki kenalan di dekat di Bandung. Benar-benar menyebalkan. Pikirnya begitu.
Nara tiba-tiba saja menunjukkan ponselnya pada Misaki. Layar terpampang berita baru mengenai gempa. "Kak Misaki kenal orang ini?" tanya Nara.
Bukan gambar yang ditampilkan melainkan paragraf. Lebih tepatnya pernyataan dari wawancara.
"Tampaknya gempa yang belakangan terjadi merupakan efek anomali. Namun, tak perlu cemas. Kami akan menyelidikinya lebih jauh," ucap Profesor Harry dalam wawancara.
Mata Misaki terbelalak. Keberuntungan kini memihak padanya. "Baiklah kalau begitu. Seharusnya ini tidak sulit sih."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top