21 Februari 2024 [Adira]
Masuk ke web https://www.generatormix.com/random-genre-generator MASUKKAN ANGKA 6 lalu klik generate. buatlah tulisan dari salah satu genre yang muncul. Max 1500 kata.
[Thriller + mistery]
*.✧ 1120 kata *.✧
Dalam cerita yang dibuat Aes, kami bertiga biasanya doyan main darah dan kejar-kejaran sama pembunuh. Namun kenyataannya, kami bertiga tetaplah remaja bau minyak telon yang saling berpelukan ketika orang asing terus menggedor pintu rumah dan mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal.
Altair, sebagai orang yang mengepalai kami, menegaskan bahwa di rumah ini tidak ada yang namanya Supriadi. "Cuma ada Aes! Dan sebejat-bejatnya orang itu, dia tidak pernah berhutang, apalagi sama debt collector yang nagih utang pakai pisau!"
Gedoran pintu semakin keras, aku dan Bara semakin erat berpelukan di pintu dapur. Suasana semakin mencekam ketika ujung pisaunya mengiris kaca depan.
"Buka pintunya, Supriadi!" Suaranya rendah dan dalam. Dari ambang pintu dapur, aku bisa melihat matanya mentereng, penuh hasrat membunuh. "Kembalikan uangku. Aku harus membayar biaya operasi plastik anakku!"
"Halo, Pak RT?" Di sebelahku, Bara sudah mengangkat ponselnya. "Iya, Pak. Di depan rumah ada orang gila yang nyari Supriadi sambil bawa piso. Boleh saya panggil LPM-"
"KELUAR KAU, SUPRIADI BAJINGAN!" Gedoran semakin membabi buta pintu rumah. Kaca-kaca sampai bergetar hebat di kusen-kusen jendela. "KEMBALIKAN SEBELAH GINJALKU!"
Sepuluh menit bertahan di posisi, LPM akhirnya datang dan menyergap pria kepala lima itu. Aku dan Bara akhirnya keluar dari dapur dan menyambangi Altair yang sudah seperti ayah kami di teras rumah. Petugas bertanya apakah kami kenal Supriadi, tetapi Pak RT datang dan mengklarifikasi bahwa tidak ada yang namanya Supriadi di sekitar sini.
Singkatnya, masalah kecil itu selesai dalam sepuluh menit. Kami melanjutkan aktivitas seperti biasa, tapi hari ini diwarnai bumbu kekhawatiran dan parno. Sepanjang hari, Bara mengunci pintu dan Altair memelototi semua jendela tiap beberapa jam.
Sampai malam, ketika waktunya tidur, dua manusia yang berbeda gender denganku itu memaksa kami bertiga tidur sekamar. Altair yang paling dekat dengan pintu, aku di tengah-tengah mereka, dan Bara di bawah jendela. Aku tahu ini tidak etis, tetapi hanya kami bertiga yang ada di rumah ini. Aes bersama yang lainnya sedang pergi syuting naskah Histrionics dan menginap di sana.
Pukul satu malam. Kami bertiga masih belum terlelap dalam keheningan dan gulita kamar Altair. "Mau ambil minum?" tawarku.
"Aku aja, sekalian mau ke kamar mandi." Bara bangkit dan melewatiku beserta Altair. "Kalo aku nggak balik sepuluh menit ke depan, tolong telpon Pak RT dan cari aku di dapur."
"Halah, drama kamu!" Altair mendorong Bara keluar kamar dengan kakinya dan menutup pintu dengan kaki yang sama.
Kami terjebak dalam keheningan lagi. Aku memandangi langit-langit dan sinar bulan yang terpantul di sana. Hingga sebuah siluet melintas perlahan tepat di sebelah kamar ini.
Darahku berdesir cepat. "Al, kayaknya ada orang di luar deh," aduku panik. Badanku refleks merapat ke lengan Altair.
"Hah? Mana?" Altair sigap berdiri dan mendekati jendela. Perlahan tangannya menyingkap tirai dan mengintip. "Nggak ada-"
Gedoran kencang terdengar lagi dari luar.
Jantungku loncat ke pohon pisang detik itu juga. Gemetaran, kuseret tubuhku ke kaki Altair dan memeluknya. "Al, beneran ada! Gimana kalo dia-"
Pintu kamar dibuka paksa.
Napasku hilang separuh dari paru-paru. Kaki Altair yang kugelayuti jadi lemas seperti jelly, anak itu ikut terduduk di sebelahku dengan napas megap-megap.
"AH! APA SIH?!" Bara berseru kaget, gelas di tangannya sampai menumpahkan air putih. "KALIAN NGAPAIN KAYAK TUYUL GITU?!"
"KAMU YANG BIKIN KAGET!"
"KALIAN YANG MAININ PINTU, SIH!"
Aku mengernyit. "Kita dari tadi ngeliatin jendela, Bar. Pintu mana yang mau dimainin?"
Tiga remaja di kamar itu mendadak mematung. Pertama, karena Bara mengaku ada yang memainkan pintu. Kedua, aku dan Altair bukan orang yang melakukannya. Ketiga, itu artinya ada orang lain di rumah ini selain kami.
"Bara, tutup pintunya!" desis Altair pelan.
Aku maju menerima uluran gelas dari Bara dan berdiri siaga. Bara mengunci pintu dari dalam dengan kunci dan grendel. Altair memeriksa jendela sekali lagi dan menyingkirkan bantal beserta selimut yang berceceran di lantai. Kami bertiga berakhir berdiri saling memunggungi dengan posisi siaga tangan di depan dada.
Untungnya berada di kamar Altair, adalah ruangan ini dipenuhi alat-alat beladiri. Mulai dari airgun sampai nunchaku.
Suara gaduh terdengar sekali lagi dari luar kamar Altair. "Supriadi ..."
Kami semakin siaga. Orang gila itu benar-benar sudah masuk ke rumah kami. Entah bagaimana caranya dia kabur dari lembaga pemberdayaan masyarakat, tetapi kalau dia bisa melakukan itu, maka orang itu jelas berbahaya.
"Telpon polisi, Bar!"
Tanpa disuruh pun, Bara mengapit nunchaku di antara lengan dan tubuhnya untuk mengambil ponsel. "Bakal lama kayaknya-"
"SUPRIADI!"
Akhirnya pintu kamar Altair digedor dengan mantap. Grendelnya bergetar hebat seakan bisa runtuh hanya karena tinju orang itu.
"Gimana caranya orang itu masuk, dah?"
"Mana kutahu?!"
Altair menengahiku dan Bara, membalik posisi kami menjadi Altair yang menghadap pintu dan kami sebaliknya. "Boleh kutembak, nggak?"
"Goblok!"
"Kita bukan pembunuh, Al!"
Suara gedoran pintu mendadak hilang. Justru itu yang semakin berbahaya. Kami jadi tidak tahu di mana orang gila itu berada.
"Apa kita buka-"
BRAK!
BRAK!
Pintu berguncang lebih hebat lagi. Jeda pukulannya lebih lama, dan kali ini suaranya tidak terdengar seperti tinjuan. Melainkan benda keras yang diayun, entah itu palu atau kapak.
Altair menodongkan moncong airgunnya ke arah pintu. "Kalo dia berhasil masuk, kalian kabur duluan lewat jendela!"
"Kita," ralatku.
"Harus ada yang nahan orang itu sampe polisi dateng-"
BRAK!
Pintu kamar Altair sukses dijebol dengan kapak. Mata nyalang orang itu melotot dari celah pintu yang baru dibuatnya. "Kembalikan uangku, Supriadi!"
Setelah semua berakhir, akan kucari orang bernama Supriadi yang sudah membuat kami berada dalam posisi ini!
Kayu persegi panjang yang malang itu hanya tinggal sedikit menjemput ajalnya, tetapi kami bertiga masih bergeming. Altair mulai melotot, "Keluar dari sini!"
Aku menggeleng. "Ayo kita keroyokan."
Satu ayunan kapak lagi menembus pintu, Bara menahan senjata itu dengan nunchaku dan menariknya hingga lepas dari genggaman si orang gila. Separuh tubuhnya terperosok melewati pintu dan tersangkut. Satu kali gerakan, kutarik tangannya hingga dia bergabung paksa ke tengah ruangan bersama kami.
Tubuhnya terkapar di lantai kamar Altair, tetapi orang itu dengan cepat bangkit. Satu tangannya menggenggam pisau dapur yang lumayan besar untuk mengupas bawang merah. "Kembalikan ginjalku!" Pisaunya terhunus ke arahku.
Kaki Altair lebih dulu terbang dan menendang pergelangan tangan si orang gila. Bara segera mengamankan pisaunya yang terlempar bersama kapak tadi.
Tangan orang itu meluncur tanpa perlawanan ke arahku. Kusambut tangannya dengan kedua tanganku. Sekali gerakan memutar, tubuhnya melewati punggungku dan jatuh berdebum dengan suara yang cukup renyah di lantai kamar Altair.
Napasku terengah, seirama dengan sirine polisi dan cahaya merah biru yang menembus tirai jendela.
Altair mengambil alih memeteng tubuh si orang gila. Anak itu mematikan pria kepala lima di bawahnya benar-benar tidak bisa melawan lagi. "Tolong jemput polisi di depan, Dir."
Aku mengangguk dan lekas keluar melewati lubang di pintu yang tidak etis. Di halaman depan, polisi sudah bergerombol berbekal pistol di tangan.
Kasus itu selesai begitu saja menyisakan misteri siapa Supriadi sebenarnya.
"TUNGGU KAU, SUPRIADI SIALAN! AKAN KUPASTIKAN KAU MEMBAYAR NYAWA ANAKKU DENGAN JANTUNGMU!"
Kami hanya membisu.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top