4 - Putaran Bianglala
4 - Putaran Bianglala
Kebahagiaan yang kau rebut paksa
Menari dalam benak yang tak pernah lupa
Luka yang menganga, hati yang tak tertata
Adalah bukti bahwa aku cukup kecewa
---
Ketukan jari telunjuk pada sebuah bangku terdengar berulang-ulang. Tatapan malas gadis manis itu semakin memperjelas betapa rasa bosan lebih mendominasi dirinya yang kini tengah mendengarkan penjelasan dari dosennya.
Getar ponselnya yang ia letakkan di bangku berhasil merengut perhatiannya. Tangannya terulur mengambil benda pipih tersebut. Dilihatnya sebuah notif chat dari Araz. Ujung bibirnya tertarik keatas membentuk sebuah senyum tipis.
Arazmi Wilu : mobil lo udah beres, udah diantar ke apart lo
Arazmi Wilu : jam 2 gue jemput
Rasanya Theana ingin berjingkrak mengetahui bahwa mobil kesayangannya kini telah kembali. Senyum lebar menghiasi wajahnya. Luna yang duduk disebelah gadis itu sampai heran melihat perubahan mood Theana yang secepat kilat.
Kalau dihitung-hitung, memang sudah dua minggu berlalu semenjak mobilnya harus di rawat akibat benturan yang mengakibatkan mobilnya itu penyok.
"Thea!" Luna menyenggol lengan Theana hingga gadis itu mengalihkan tatapan padanya. "Ada apa?" tanyanya tanpa suara.
Belum sempat Luna menjawab, suara sang dosen yang tengah mengakhiri pertemuan mengalihkan fokus keduanya. Menghembuskan napas lega, kedua gadis itupun segera membereskan tasnya dan bersiap keluar dari kelas.
Theana melirik alrojinya, waktu menunjukkan pukul 13.23. masih tersisa 37 menit hingga Araz menjemputnya.
Sambil menemani Luna yang sedang menyantap makanannya, Theana mengetikkan pesan kepada Araz, memberi tahu bahwa ia sudah selesai dan menunggu cowo itu di kantin fakultasnya saja.
"Eh Thea, gue liat lo sering dianterin cowo cakep deh, siapa? Cowo baru lo?" pertanyaan Luna berhasil mengalihkan fokus Theana dari ponsel pintarnya.
Gadis itu tertawa kecil. "Kapan lo liat gue? ucapnya sambil terkekeh, dia bukan siapa-siapa gue. Cuma temen kok." Luna mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Temen apa temen lo? Lagian dia cakep kok, gak kalah cakep sama mantan lo tuh. Siapa namanya? Aduh gue lupa, hehe," air wajah gadis itu berubah masam. Namun secepat kilat Theana kembali memasang wajah biasa, seolah-olah tidak terganggu dengan ucapan Luna barusan. Untungnya gadis didepannya itu tidak menyadari perubahan ekspresi Theana.
Araz mlirik sekilas gadis disampingnya yang tengah menyandarkan kepalanya pada jendela. Keningnya berkerut samar, tanda gadis itu sedang memikirkan sesuatu. Tidak ingin mengganggu, lelaki itu kembali fokus pada jalanan di depannya.
Baru ketika mobil berhenti di depan gedung apartemennya, Theana membalikan badan menghadap Araz.
"Ehm.. makasih ya selama dua minggu ini lo udah bertanggung jawab dengan jadi supir gue," ucap Theana sambil nyengir, sementara lelaki dihadapannya mendengus sebal.
"Dan makasih juga mobil gue udah dibenerin," ucapnya lagi yang kali ini diiringi senyum tulus menghiasi wajahnya.
"Its oke, mobil lo kenapa-kenapa juga kan gara-gara gue. Malah gue mau bilang maaf sama lo, gara-gara gue mobil lo harus masuk bengkel. Ya meskipun mogoknya bukan karena gue sih," Theana memutar bola mata malas.
"Jadi lo gak ikhlas benerin mobil gue?" sewotnya
"Yehelah kalo gue gak ikhlas mana mungkin itu mobil udah beres. Lagian sensi amat sih lo."
Setelahnya Theana menghembuskan napas pendek, "yaudah, gue turun deh. Sekali lagi makasih." Araz memutar bola mata malas
"yaelah makasih mulu lo dari tadi. Udah sana buruan turun, gue mau balik." Usirnya dengan cengiran lebar. Menghela napas Theana segera keluar dari mobil Araz.
Kakinya ia langkahkan menuju basemant apartemennya. Sekedar ingin melepas rindunya pada si red darlin kesayangannya.
Dua minggu sudah ia tidak bertemu dengan mobilnya, rasanya waktu terasa cepat berlalu. Dan mulai besok ia bisa kembali bermanjaan dengan si red darlin nya itu.
Saking girangnya melihat mobil kesayangannya, Theana sedikit berlari kearah mobilnya itu lalu memeluk bagian depan mobilnya dengan sayang. Ternyata lelaki itu bisa diandalkan. Mobilnya kembali mulus seperti semula.
"Ternyata kamu masih seperti dulu, masih menggilai red darling mu sebegitu dalamnya ya"
Gadis itu membeku ditempatnya begitu suara yang sangat ia kenali mampir di telinganya. Suara bernada geli itu seakan dekat dengannya. Ia tak mampu membalikkan badan, takut jika apa yang tidak diinginkannya benar-benar nyata.
"Ann, bisa kita bicara sebentar?" ujar lelaki itu memohon. Theana bersumpah seberapa ia rindu pun pada panggilan itu, kini ia amat membenci panggilan itu. Tak peduli betapa ia menyukainya, dulu. Lelaki itu telah berhasil menorehkan luka yang cukup dalam baginya, hingga gadis itu rasa ia tidak bisa lagi percaya pada cinta.
Namun ia sadar, bahwa membenci pria itu pun tidak akan merubah apa yang telah terjadi.
Kebahagiaannya yang dulu tidak akan datang lagi bersama lelaki ini. Maka, dengan susah payah Theana mencoba menguatkan hatinya agar bisa mengikhlaskan lelaki itu dan memaafkannya.
Gadis itu menghirup napas dalam-dalam, kemudian dikeluarkannya secara perlahan. Sebelum ia berhadapan dengan lelaki itu, setidaknya ia harus bersikap tenang.
Setelah dirasa cukup, Theana membalikkan tubuhnya menghadap Alvian. Lelaki yang berstatus mantan pacarnya itu kini terlihat lebih rapi. Garis wajahnya yang tegas terlihat jelas di matanya.
Cukup sudah ia mengenang masa lalunya. Sekarang, semuanya harus berakhir dengan cara yang benar. Theana mengangguk sebagai jawaban atas ajakan lelaki itu.
---
Theana berjalan mengitari pasar malam seorang diri. Setelah Alvian pamit pulang terlebih dulu, ia memutuskan untuk berdiam sejenak di tempat ramai ini. Beban berat yang dirasakannya kini menguap entah kemana.
Tak bisa dipungkiri jika tidak mudah untuk bisa memaafkan sebuah kesalahan, namun jika ia terus bergelung dalam kekecewaannya, maka ia telah berhasil dikalahkan oleh egonya. Untuk itu Theana memilih untuk berdamai dengan masa lalunya.
Pada akhirnya aku pun menyerah
Pada sang waktu yang terus berulah
Jeratan luka yang cukup parah
Perlahan tak lagi memerah
Theana mengedarkan pandangan mengamati pasar malam yang semakin malam malah semakin ramai pengunjung.
Apalagi sabtu malam seperti ini, pasar malam lebih didominasi oleh pasangan muda-mudi. Sampai pandangannya tertuju pada seseorang yang dirasanya tidak asing.
---
Araz mengembuskan napas lega. Meskipun sejak awal ia tahu pasti apa jawabannya ia tetap berpikir positif. Meskipun hasilnya tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya, ia tak masalah. Bebannya sudah terangkat sekarang.
Setelah memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya pada Laira, lelaki itu menghubunginya dan meminta untuk bertemu di pasar malam. Lelaki itu sengaja memilih pasar malam, alasannya ketika ia patah hati karena ditolak nanti bisa terobati dengan keramaian pengunjung.
Dan memang berhasil. Setelah Laira pergi meninggalkannya, ia buru-buru mengalihkan seluruh perhatiannya pada keramaian pasar malam.
Pasangan muda yang sedang sibuk haha-hihi, anak kecil yang merengek meminta sesuatu pada orang tuanya, pun pasangan paruh baya yang sekedar menghabiskan sabtu malamnya dengan menonton layar tancap untuk bernostalgia dengan masa mudanya dulu.
Araz tersenyum miris. Bahunya ditepuk dua kali. Disampingnya berdiri Bagas yang mengenakan kaos polo hitam.
Bukannya ia tidak berani untuk pergi sendiri, tetapi Bagas yang memaksa untuk ikut.
Katanya, untuk jaga-jaga saja siapa tahu tiba-tiba ia kalap dan mulai melakukan hal yang tidak diinginkan. Semisal merebut gula-gula milik anak kecil yang berisiko ia dipukuli oleh orang tua si anak.
"Gue.. Araz menghela napas pendek
Gue ngerasa lega sekarang. Meskipun tetep aja kecewa. Nyesel gue Gas."
"Salah lo sendiri bego! Orang mah suka tuh langsung bilang, kelamaan semedi sih lo jadi keburu dipepet orang kan."
Araz mendengus, sahabat macam apa Bagas ini, bukannya menghibur malah mengatainya.
"Yaudah lah yaa, yang penting sekarang lo udah lega kan?"
"Hmm"
Bagas bangkit dari kursi plastik yang didudukinya. Kursi-kursi ini disediakan di tiap-tiap stan makanan. Sementara Araz masih betah menduduki kursi sambil sesekali menyeruput kopinya yang mulai dingin.
"Bang Gagas!"
Bagas menolehkan kepalanya merasa tidak asing dengan panggilan tersebut. Pandangannya melebar tatkala sepasang netranya mengenali siapa yang memanggilnya tadi.
"Rara?! ngapain disini? Sama siapa?" tanyanya.
Penasaran, Araz ikut menolehkan kepalanya menatap ke samping Bagas. Keningnya mengernyit mendapati Theana berdiri disamping Bagas.
"Theana?" panggilnya. Memastikan bahwa yang berdiri di samping Bagas adalah Theana yang selama dua minggu ini selalu bersamanya.
Bagas menolehkan kepalanya melihat Araz yang tengah memandang bingung kearahnya dan juga gadis disampingnya. Kemudian pandangannya kembali beralih pada sang gadis.
"Lo kenal dia Ra?" tanyanya.
"Eh, iya bang. Itu… ya gitu deh pokonya kenal lah," ucapnya tidak jelas.
"Dia yang mobilnya gue tabrak tempo hari, lo inget? Gue pernah cerita ke lo," jelasnya.
Bagas mengangguk-anggukkan kepalanya tanda ia ingat.
"Lo belum jawab pertanyaan abang, Ra. Kesini sama siapa?"
Theana nyengir kuda mendapati lelaki itu mulai menginterogasinya.
"Tadi sama temen bang. Tapi dia pulang duluan,"
"Terus kenpa ngga pulang bareng aja?"
"Gue mau jelajah dulu wahana disini dong. Lagian udah lama ngga main ke sini."
Seakan mendapat pencerahan, Araz segera bangkit dari duduknya. Ia berjalan menghampiri Theana.
"Setuju!" ucapnya semangat.
Bagas mendelik ke arah Araz. Lelaki itu menggandeng tangan Theana kemudian mengajaknya berkeliling pasar malam tanpa memperdulikan Bagas yang menyumpah serapahinya karena ia ditinggalkan sendirian.
Setelah menikmati beberapa wahana pasar malam, keduanya memutuskan untuk menaiki bianglala.
Senyum lebar terpampang di wajah keduanya. Dengan langkah mantap Theana memasuki bianglala disusul dengan Araz yang duduk dihadapannya.
Ketika bianglala mulai berputar Theana memejamkan matanya menikmati semilir angin malam yang menerpanya lewat lubang-lubang besi di sekelilingnya. Araz yang melihat gadis di depannya terpejam ikut memejamkan mata mencoba untuk menghilangkan rasa nyeri akibat di tinggalkan Laira tadi.
Lelaki sudah berjanji, bahwa setelah malam ini tidak akan ada lagi Laira dalam hatinya. Begitu juga Theana. Gadis itu terus merapal dalam hati bahwa semuanya sudah benar-benar berakhir dan harus kembali pada posisi semula.
Tanpa kata Theana maupun Araz hanyut dalam pikirannya masing-masing. Bersama putaran bianglala yang membawa keduanya naik lalu kemudian turun. Bersama itu pula kisah pilu harus segera berakhir. Layaknya putaran bianglala yang kembali pada titik semula.
---
Kritik dan saran ditunggu😊
Sumber gambar dari google
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top