Bab 25 - Keputusan -
Sinar matahari mulai menyusup masuk ke dalam kamar kos Asya membuat kedua insan yang tengah tertidur pulas tersebut mulai merasa risih karena sinar matahari yang begitu terik.
Deon menjadi orang pertama yang bangun. Pria itu mendudukkan tubuhnya dan matanya berkedip beberapa kali, menyesuaikan cahaya yang ada dan setelahnya pria itu menatap dalam wajah perempuan yang tidur tepat di sampingnya.
Bayangan kejadian subuh tadi masih membekas di benaknya sehingga tidurnya tadi menjadi tidak nyenyak.
Cukup lama Deon memperhatikan pacarnya itu yang tengah tertidur pulas. Tak lama kemudian, dia merasa ingin buang air kecil.
Semalaman dia menahan diri untuk tidak bangun agar tidak mengganggu ibadah pacarnya dan kini dia sudah tidak bisa menahannya lagi.
Tidak mau membuang-buang waktu, Deon memutuskan untuk pergi mandi setelah membuang air kecil karena dia juga harus pulang sekarang sesuai janjinya semalam.
Semakin lama berada di kamar Asya, semakin perasannya menjadi gelisah padahal dulu wajah Asya selalu berhasil membuat Deon tersenyum. Namun kini, semuanya berbeda.
Cukup lama Deon berada di kamar mandi dan setelah pria itu selesai, dia cukup terkejut karena pacarnya itu sudah terbangun dan tengah asyik membuat minuman.
"Mau teh, atau susu?" tanya Asya dengan ramah.
"Teh," jawab Deon singkat sembari berjalan menuju balkon kamar Asya.
Dia menjemur handuk yang sebelumnya dia pakai, entah kenapa setelah tinggal bersama Asya dulu dia menjadi lebih rapi dan mau mengurus dirinya sendiri padahal di rumahnya saja ada pembantu yang melakukan semuanya, tetapi jika di kamar Asya, Deon menjadi orang yang berbeda.
Deon memperhatikan lapangan yang berada di belakang bangunan kos Asya, di sana ada banyak anak laki-laki yang tengah asik bermain bola.
Senyumnya kemudian terlukis tanpa sadar, karena dulu dia tidak pernah bisa seperti itu. Bebas tanpa kendali dari orang tua.
Karena terlalu asik memperhatikan lapangan, Deon tidak menyadari bahwa kini Asya sudah berdiri di sampingnya dengan dua buah gelas di masing-masing tangannya.
"Eh, sejak kapan lo di sini?" tanya Deon dengan wajah terkejut.
Asya hanya tersenyum manis saat menanggapi pertanyaan Deon. Perempuan itu kemudian menyodorkan gelas yang dia pegang kepada pacarnya itu. Gelas yang berisikan teh hangat. "Nih, tehnya."
Keduanya kemudian larut dalam pikiran masing-masing. Namun di sisi lain, Deon terus melirik ke arah Asya yang kini ikut memperhatikan lapangan yang tengah ramai itu.
"Sya," panggil Deon pelan yang berhasil membuat Asya memperhatikannya.
Kini, pusat perhatian perempuan itu berpindah dari lapangan ke wajah pacarnya yang ternyata tengah tidak baik.
"Kenapa?" tanya Asya sembari mengusap bahu Deon dengan pelan.
Tanpa sadar, pria itu menjauhkan dirinya dan membuat Asya kebingungan. "Eon, lo nggak papa?" tanya Asya lagi dan Deon tidak mampu melihat wajah pacarnya itu. Pasti ada raut wajah kekecewaan dari Asya dan Deon menjadi merasa bersalah.
"Kalau lo ada masalah, coba cerita."
Deon menggeleng pelan, menolak ucapan Asya yang sebelumnya.
"Terus, kenapa? Kok lo nggak mau natap mata gue?" tanya Asya lagi, entah kenapa perempuan itu menjadi agresif dan penuh penasaran atas sikap yang diberikan pacarnya.
Deon mencoba membuka suaranya setelah berkali-kali berdoa di dalam hati. "Sya, Gue tau, lo baru aja dapet masalah ... ."
Deon sengaja menahan ucapannya dan pria itu tiba-tiba saja mengangkat wajahnya untuk bertatapan dengan Asya. Sekarang, matanya berubah sendu dan nyaris menangis.
"Tapi, gue nggak bisa nahan semuanya."
Dahi Asya mengerut bingung karena mendengar ucapan Deon yang tiba-tiba. "Lo kenapa sih?"
Deon menarik tangan Asya yang sebelumnya berada di bahunya. Pria itu kemudian mengusap pelan tangan pacarnya itu dengan jempol.
"Semalaman gue nggak bisa tidur, gara-gara mikirin ini dan sekarang, gue udah tau jawabannya."
Deon menghela nafasnya ketika berhenti berbicara. Pria itu menaruh gelas yang sebelumnya diberikan oleh Asya ke atas meja yang ada di balkon kamar kos perempuan itu.
"Sya, gue nggak tau mau mulai bicaranya dari mana," jelas Deon dengan bimbang. "Tapi, yang jelas, gue mau kita akhiri hubungan ini."
Mata Asya melolot kaget saat mendengar ucapan pacarnya itu atau bisa dibilang mantan pacarnya itu. "Makud lo?" tanya Asya dengan nada yang cukup tinggi.
"Lo berhak buat marah sama gue, gue tau gue salah. Tapi .... ." Deon kembali menahan ucapannya dan mencoba memperbaiki alunan nafasnya yang kini tidak stabil, kemudian pria itu menatap lapangan yang sebelumnya mereka perhatikan. "Lo liat nggak? Anak-anak itu?"
Tatapan mereka menuju arah yang sama sekarang dan tanpa sadar Asya mengangguk pelan. "Kalau kita maksain, mereka yang jadi korban. Maksud gue, anak kita entar yang jadi korban."
Asya terdiam sesaat, mencerna ucapan Deon itu. Kini, perasannya ikut gelisah memikirkan apa yang mungkin terjadi kelak.
"Hubungan yang kita buat sekarang nyatanya akan berakhir dan sebaiknya sebelum semuanya berlambat, biarin gue yang menjadi orang jahatnya. Lo bisa maki gue sekarang, lo bisa mukul gue sekarang ... ."
Belum sempat Deon selesai berbicara, Asya tiba-tiba memukul dada pria itu. Tidak kuat. Namun, cukup mengagetkan.
Hanya satu pukulan dan setelahnya, Asya menyenderkan tubuhnya di dada Deon. Menahan tubuhnya agar tidak jatuh dengan mencengkeram baju kaus yang pria itu gunakan.
"Gue tau, semua ini nggak bakal berakhir indah, tapi ... Kenapa harus sekarang?" tanya Asya dengan suara seraknya.
Perempuan itu nyaris menangis sekarang. Namun, dia berusaha menahannya dengan sekuat tenaga.
"Sya," panggil Deon pelan.
"Kenapa, Eon, kenapa sekarang!" bentak Asya dengan suara yang nyaris menghilang.
Perempuan itu berlutut di hadapan Deon dan membuat Deon merasa bersalah. Pria itu kemudian ikut berlutut dan membawa Asya ke dalam pelukannya.
Asya menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan Deon dan pria itu hanya mampu mengelus punggung mantan pacarnya tanpa tau harus berbuat apa.
"Sya, gue tau, omongan gue nggak pantes sekarang, tapi gue cuman mau lo bahagia, sekarang lo bisa nyari cowok yang seagama sama lo. Tanpa lo pusing mikirin hubungan kita."
Asya yang sebelumnya menangis, kini tiba-tiba saja menghentikan tangisnya. Wajahnya terangkat dan mata mereka berdua kemudian bertemu.
"Gue bisa ketemu cowok lain, deket, pacaran, tapi perasaan gue cuman buat lo," jelas Asya dengan sekuat tenaga.
Deon menjauhkan tubuh Asya dan membawa kedua tangan perempuan itu ke dalam genggamannya. "Sya, walau kita nggak bareng lagi, gue pastiin, gue bakal berada di sisi lo terus. Lo bisa genggam tangan gue sampe kapanpun. Gue siap jadi orang pertama yang lo recokin, gue siap jadi orang pertama yang denger semua keluh kesah lo, Sya."
Memang benar, hubungan percintaan mereka kandas. Namun, hubungan pertemanan mereka tetap harus berjalan. Tidak ada yang melarang untuk keduanya berteman walau berbeda agama.
"Eon, lo yakin?" tanya Asya memastikan dengan wajah sedih yang membuat hati Deon bergetar.
Deon harus tegas sekarang, pria itu tidak hanya memikirkan dirinya sendiri. Namun, juga Asya. Hubungannya ditentang oleh orang tua Deon dan mungkin juga orang tua Asya ketika beliau mengetahuinya.
"Sebelum semuanya terlambat, lebih baik kita akhiri sekarang, Sya."
Ucapan terakhir Deon itu, menutup kisah percintaannya dengan Asya. Pria itu kemudian pergi meninggalkan Asya yang kini kembali menangis. Jika terlalu lama bersama Asya, dia takut akan berubah pikiran lagi.
Biarkan saja, dia menjadi orang paling jahat dalam hubungan mereka agar nantinya tidak ada masalah baru yang muncul.
Perpisahan nyatanya menyakitkan. Namun, jika tetap bertahan akan lebih menyakitkan. Kini, Deon dan Asya memutuskan untuk berpisah walau berat mereka harus melakukannya.
***
Done yeaayyu.
Semoga suka ya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top