8 // Radio
Adrian baru saja membersihkan dirinya, saat mendengar suara langkah kaki yang berat memasuki kamarnya.
"Lo terlambat 30 menit,"
ucap Adrian setelah melihat jam dindingnya menunjukkan pukul setengah delapan.
"Apa gaji gue akan di potong?" tanya Alan.
"Ide yang bagus," ucap Adrian.
"Iiiiihhh ini menjijikkan!" seru Alan saat ia terkena lemparan handuk basah milik Adrian dan Alan langsung melemparnya sembarangan.
"Sorry gue kira keranjang baju kotor," ucap Adrian sambil tertawa.
"Brengsek lo. Ada apa nyuruh gue datang, kalau nggak penting gue mau pergi," jelas Alan berbaring di atas kasur Adrian dan meletakkan kedua tangannya di bawah kepalanya.
"Brengsek teriak brengsek, lagi ngetren tuh," sahut Adrian.
"Kita ngomong di ruang tamu, entar kamar gue bau menyan kalau lo lama-lama di sini," ajak Adrian santai.
"Shit, memangnya gue jin, ada beer dingin nggak?" tanya Alan sambil melangkah keluar dari kamar Adrian.
Adrian duduk di atas karpet, membiarkan Alan mengambil sendiri minumannya, ia sedang mencari frekuensi radio milik anak-anak fakultas teknik.
Adrian memang selalu memantau acara puisi setiap malam pukul 20.00 sampai 21.00, ada juga yang hanya sekedar curhat dan meminta saran dari sang penyiar ataupun dari pendengar lainnya.
Tapi Adrian hanya fokus mendengar puisi-puisi yang dikirimkan. Ia meminta seluruh anak didik di kelasnya untuk ikut serta, entah itu puisi, cerpen ataupun sajak, sebagai jurusan sastra setidaknya mereka turut berpartisipasi.
Selain itu, ia juga selalu menyukai puisi-puisi yang di kirimkan seseorang, kata-katanya seperti benar-benar menggambarkan perasaaan seseorang bukan hanya sekedar imajinasi.
"Ini," ucap Alan menyodorkan sekaleng beer dingin.
"Masih mendengar radio heh," cibir Alan.
"Hm, sekarang ceritakan apa yang terjadi di club waktu itu?" desak Adrian.
" Hm, apa ya?" tanya Alan tak acuh.
"Jangan coba-coba mengarang indah, nilaimu C dalam pelajaran bahasa," sahut Adrian.
"Ya ya gue tahu, cuma ketemu seorang teman lama, tetangga di Jogja dulu, sebelum mama sama papa ngajak pindah ke Jakarta, dia gadis yang sangat manis," ucap Alan tak sadar mengembangkan senyumnya.
"Adik ketemu gede," goda Adrian, kemudian ia melanjutkan,"kalau di lihat dari senyum lo begini nggak mungkin mood- lo memburuk malam itu.
"Masalahnya dia melihatku saat Melany duduk di pangkuanku dan menciumku."
"Wanita malam itu ya?" tanya Adrian.
"Jelas siapa yang brengsek sekarang," ucap Adrian dengan senyum penuh kemenangan.
"Itu bukan salah gue, lagipula dia bukan siapa-siapa, jadi tidak masalah kalau dia melihat gue dengan wanita lain."
Alan berusaha mengelak yang dikatakan Adrian.
"Jadi, apa yang membuat mood-lo buruk?"
"Entahlah, melihat tatapannya membuat gue merasa gelisah. Ada perasaan tidak tenang dan gue nggak tahu kenapa gue kehilangan mood," ucap Alan sambil menggelengkan kepalanya berusaha mengusir rasa tidak nyaman di hatinya mengingat pertemuannya malam itu.
Bertemu dengan Kirani membuatnya mengingat dia. Dan karena itu perasaannya menjadi semakin kacau.
"Lo jatuh cinta padanya?" selidik Adrian.
"Ah, hahaha... tidak mungkin,"
ucap Alan kemudian menenggak beer-nya.
"Kenapa tidak?"
"Karena memang tidak ada apa-apa di antara kami, mungkin ini hanya perasaan canggung karena sudah sangat lama tidak bertemu," kata Alan meyakinkan.
"Baguslah. Gue nggak mau perusahaan gue rugi kalau lo nggak fokus."
"Gue kira lo peduli sama gue" ucap Alan.
"Tentu saja gue peduli sama lo. eh...ssstttt dengar," ucap Adrian memberi isyarat.
"Selamat malam para pendengar tercinta, bagaimana kabar sobat-sobat yang ada di rumah atau yang sedang nongkrong asyik di seputaran kampus, semoga baik-baik saja ya and happy forever," sapa si penyiar.
"Malam ini kita mendapat 10 kiriman puisi, dan dua orang yang katanya ne mau nembak calon ceweknya wah pasti seru neh," sahut si penyiar lainnya.
"Kita bacakan saja puisinya dulu ya, sebenarnya aku ingin membacakan puisi dari pengirim favoritku terlebih dahulu tapi karna banyak yang menantinya aku baca di tengah saja ya."
Puisi-puisipun mulai dibacakan.
"Apa semua pengirim puisi-puisi itu mahasiswa lo?" tanya Alan.
"Ada beberapa yang menggunakan nama aslinya jadi gue tahu itu mahasiswa gue, tapi banyak juga yang memakai nama samaran," jawab Adrian.
"Lalu yang mana yang selalu lo tunggu?"
"Here is it, keep silent," ucap Adrian sambil memberi isyarat pada Alan.
"Wah sampai juga pada puisi favoritku, langsung saja ya sobat-sobat aku juga sudah tak sabar."
*
''Adakah tempatku bersembuyi, saat kegelapan tak mampu menjagaku,
aku tahu aku sendiri Aku tahu aku tak sekuat yang terlihat tapi aku juga tak selemah yang kukira." @S_Run
Adrian mengecilkan volume radionya, akhirnya ia bisa mendengar puisi singkat itu. Setelah satu minggu ini si penulis tidak mengirimkan puisinya, mungkin dia sedang sibuk atau belum mendapatkan ide(nya) tebaknya asal.
"Bagaimana menurut lo?" tanya Adrian.
"Gue nggak ngerti," sahut Alan cuek.
"Dasar kepala bodoh."
"Bodoh-bodoh juga gue yang jalanin perusahaan dan satu lagi gue dikelilingi wanita-wanita cantik, indah bukan," ucapnya sambil memejamkan mata.
Adrian bangkit dari duduknya, kemudian masuk ke kamar, tak lama ia pun keluar dengan membawa jaketnya.
"Mau ke mana?" tanya Alan
"Ke suatu tempat, kenapa lo belum pergi? bukankah tadi lo bilang mau cepat-cepat pergi dari sini," usir Adrian.
"Thanks sudah di ingetin. Tadi juga lo yang maksa gue ke sini," jawab Alan ketus . Merekapun keluar bersama, dan menuju basement apartemen dan memasuki mobil kemudian melajukannya ke tujuan masing- masing.
***
Sofia sedang membereskan barang-barangnya, jam kerjanya selesai tiga puluh menit yang lalu.
"Rosa, gue pulang dulu, sampai jumpa besok siang," ucap Sofia.
"Hati-hati dan jangan lupa istirahat," pesan Rosa.
"Baik kakak yang galak," ucap Sofia terkekeh pelan.
"Gue serius," jawab Rosa dengan tatapan tajam.
"Peace," kata Sofia sambil mengangkat dua jarinya tanda damai.
"Tolong beritahu Bos ya, bye."
"Beres, hati-hati!" teriak Rosa lagi.
Sofia bersyukur bisa mengenal Rosa, mereka sudah seperti saudara, pernah saat liburan semester dulu Sofia ikut bersama Rosa ke kampung halamannya di Bandung, suasana pedesaan dan kehangatan keluarga sangat kental ia rasakan di sana.
Meski ia memiliki sahabat seperti Sandra, Dion dan Rosa yang sudah seperti kakak baginya, tapi tetap saja ia tidak bisa mengatakan derita yang dialaminya.
Sofia selalu menutup diri jika mereka mulai menanyakan tentang keluarganya, dan jangan panggil Sofia jika ia tak pandai mengalihkan perhatian, hingga akhirnya mereka menyerah untuk bertanya, karena tidak sekalipun Sofia menunjukkan kelemahannya.
Hanya ia yang tahu berapa air mata yang sudah keluar dari mata cantiknya itu, ia selalu terlihat riang dan ceria bukan sekedar untuk menutup dirinya dari masa lalu tapi memang seperti itulah dia.
Sofia melangkah keluar dari Rose Cafe menuju halte bus, bus terakhir yang akan membawanya ke rumah sederhana yang ia kontrak, belum sampai di halte bus, suara nyaring klakson berbunyi dari arah samping kirinya.
Tin tin tin tin tin
Sofia merasa terganggu dengan suara klakson mobil yang terdengar berisik itu, akhirnya ia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah mobil itu.
Seorang laki-laki keluar dan melangkah ke arah Sofia, merasa laki-laki itu mendekat ke arahnya Sofia melangkah mundur, ia tidak bisa melihat wajah laki-laki itu dengan jelas karena jalanan di dekat halte itu cukup gelap
"Berhenti!" teriak Sofia kemudian melihat laki-laki itu terus berjalan ke arahnya.
Sofia takut tentu saja, bagaimana kalau ia diculik dan dijual ke luar negeri. Sofia bergidik ngeri membayangkan apa yang akan terjadi padanya.
"Hahahahahaha," suara tawa yang begitu keraspun ia dengar dari mulut laki-laki itu, ia merasa tidak asing dengan suara itu.
"Hei ini aku, kenapa kamu takut?" tanya laki-laki itu sambil berjalan ke arah lampu yang ada di pinggir jalan sehingga wajahnya terlihat jelas.
Sofia membulatkan mata dan mulutnya setengah menganga, tak percaya kalau laki-laki yang ia kira tadi penculik ternyata Adrian, laki- laki ini selalu saja muncul seenaknya.
"Maaf, aku hanya bercanda," katanya kemudian.
Sofia yang masih diliputi ketakutan berbalik dan langsung pergi, ia tidak mengatakan apapun, perasaannya campur aduk, antara marah, kesal dan takut, jantungnya pun masih berdetak kencang efek kejadian tadi, ia tidak ingin melihat Adrian yang selalu saja mengerjainya.
Adrian yang melihat Sofia seperti itu merasa bersalah, mungkin ia sedikit keterlaluan .
"Hei tunggu."
"Apa maumu? kamu belum puas mengerjaiku hah," bentak Sofia marah.
"Maaf, aku tidak bermaksud menakutimu," bela Adrian.
"Kenapa kamu selalu mengikutiku, apa maumu?" tanya Sofia dengan suara yang sudah sedikit bergetar dan matanya yang sudah berkaca-kaca.
Sungguh kejadian tadi membawa efek yang luar biasa pada dirinya, emosi yang selama ini ia sembunyikan seakan keluar begitu saja.
Sofia teringat dirinya yang hanya hidup seorang diri. Tak terasa air matanya pun lolos dengan mulusnya di kedua pipinya, ia menangis sejadi-jadinya di depan Adrian.
Sofia tidak peduli lagi, ia mengeluarkan semua rasa sesak yang selama ini mengganjal hatinya, ia lelah sangat lelah.
Adrian yang melihat reaksi Sofia seperti itu, hanya bisa melongo, ia tidak tahu harus berbuat apa.
"Oke, aku memang kelewatan,tapi bukankah ini reaksi yang berlebihan." ucapnya dalam hati.
***
Maafkan typo ya...
Folow IG : Dewie Sofia
Luph u phul 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top