56 // Kenyataan

"Apa benar Anda ayahnya Sofia?" tanya Adrian pada Pak Bradias. Dia berharap saat inilah ia mendapatkan jawaban tentang Sofia.

Dia ingin tahu kepingan puzle yang selama ini hampir membuatnya kehilangan Sofia. Membuatnya kembali menjadi laki-laki paling bodoh.

"Kau tidak tahu?" Pak Bradias menatap Adrian heran. Apa mungkin?"

"Maaf sebelumnya tapi, Sofia memang tidak pernah memberitahuku siapa orang tuanya." Adrian melihat perubahan raut wajah Pak Bradias.

"Lagipula, aku sudah mencari tahu tentang Sofia Aruna. Semua akses tentangnya tertutup rapi. Bahkan orang-orang kepercayaanku saja tidak bisa melacaknya. Membuatku berpikir kalau keberadaannya memang sengaja ditutupi atau disembunyikan," kata Adrian. Dia bahkan tidak berusaha menyembunyikan nada sindiran dalam suaranya.

Jadi benar. Putrinya bahkan tidak menggunakan namanya lagi dan menyembunyikan tentang dirinya. Bahkan pada laki-laki di depannya ini.

"Sofia putriku. Satu-satunya putri kandungku."

Adrian terkejut dengan kenyataan ini. Sungguh ada begitu banyak hal yang tidak Adrian mengerti.

Kenapa Sofia hidup sendiri? Kenapa orang tuanya menutup akses terhadap data tentang putrinya? Ada masalah apa sebenarnya? Apalagi mengingat sekacau apa Sofia waktu dia menceritakan tentang hal itu.

Pak Bradias tersenyum. Ia tahu apa yang dipikirkan laki-laki ini tapi ia membiarkannya.

"Om. Kau sudah sampai? Maaf aku tidak bisa menjemputmu."

Adrian menoleh ke belakang. Rahangnya mengeras dan tangannya mengepal." Untuk apa dia datang kemari ,"batinnya marah.

"Tidak apa-apa Yasa," kata Pak Bradias."Bagaimana keadaan Anneke?"

Yasa menghela napas panjang. "Dia masih di ICU Om. Kondisinya belum stabil," jawab Yasa.

"Kau mau menjenguk Sofia?" Pak Bradias bertanya.

"Iya Om," ucap Yasa.

"Ayo masuk. Kau bisa bicara dengan Sofia sementara kami melihat keadaan Anneke," ajak Pìak Bradias.

"Sial," batin Adrian melihat keakraban Yasa dengan Pak Bradias.

Mereka bertiga masuk ke ruangan Sofia. Sofia dan ibunya menoleh ke arah pintu yang terbuka. Sofia terkejut melihat Adrian dan Yasa yang berada di belakang ayahnya.

Wajah Yasa yang tersenyum karena bisa bertemu Sofia, sangat kontras dengan wajah Adrian yang mengeras dan memberikan tatapan dinginnya pada Sofia.

Sofia mengernyit melihat kemarahan yang saat ini di perlihatkan Adrian padanya.

Apalagi Adrian hanya bersandar di dekat tembok dan memperhatikannya. Membuatnya salah tingkah.

"Sayang, Yasa ingin bicara denganmu. Ayah dan ibu akan melihat kondisi Anneke sebentar. Apa kau tak keberatan?" tanya Ibunya.

Meski Anneke jahat padanya. Sofia tidak mendendam.

"Tidak apa-apa Ibu," jawab Sofia tersenyum tulus.

"Kalau begitu Ayah dan ibu akan meninggalkan kalian berdua bicara," kata Pak Bradias.

"Maaf. Kami bertiga di sini" Adrian menginterupsi.

"A, aku ingin bicara berdua dengan Yasa," ucap Sofia yang membuat Yasa tersenyum bangga tapi membuat Adrian semakin kesal.

"Tidak bisa." ucap Adrian.

"Semalaman kamu menungguku. Kamu pasti gerah dan mengantuk. Kamu bisa minum kopi dulu di kantin." Sofia berusaha memberi saran sambil tersenyum sangat lembut, agar Adrian mengikuti kata-katanya.

Dia butuh waktu berdua untuk bicara dengan Yasa. Dan dia ingin Adrian cepat keluar dari ruangannya.

Sofia malu karena orang tuanya masih di sana dan memperhatikan debat konyol mereka.

"Aku sedang tidak ingin kopi." Adrian masih tetap kukuh.

"A. Kalau kamu tidak mau ke kantin sekedar minum kopi. Kamu bisa pulang, mandi dan tidurlah," kata Sofia dengan suara yang terdengar kesal.

Adrian hendak memprotes ucapan Sofia tapi dengan cepat Sofia berkata."Supaya kamu bisa lebih segar menjagaku nanti malam."

Senyum Adrian terkembang sedikit. "Baiklah. Aku akan ke kantin, permisi."

Sofia menghela napas panjang. Kenapa Adrian bisa bersikap kekanakan seperti itu.

Bahkan dia bersikap seperti itu di depan kedua orang tuanya hanya untuk membuat Yasa tahu kalau dialah yang lebih berhak padanya.

"Sepertinya dia posesif sekali?" ucap Yasa. Ibu Sofia tersenyum lembut.

"Baiklah. Kami akan melihat Anneke sebentar. Kami pergi dulu sayang." Nyonya Widjaya mencium lembut puncak kepala putrinya sebelum keluar dari ruangan.

"Maafkan aku," ucap Yasa memegang tangan Sofia. Mata mereka bertemu.

Kerinduan terlihat jelas di mata Yasa. "Aku yang minta maaf. Kau sudah banyak berkorban untukku," ucap Sofia yang sudah menangis.

"Kau lupa. Aku tidak suka melihatmu menangis." Yasa mengusap air mata yang mengalir di wajah Sofia.

"Kenapa kamu melakukan semua ini? Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Sofia beruntun.

"Anneke mengancam akan mencelakakanmu kalau aku tidak bersamanya. Tentu saja aku menolak. Tapi kemudian dia membuktikan ucapannya. Dia menabrakmu waktu itu."

"Apa? Jadi waktu kau mendorongku dan mobil itu menabrakmu, itu suruhan Anneke?" Sofia menutup mulutnya tak percaya.

Waktu itu saja dia sudah sanggup untuk melenyapkan nyawanya. Dan Yasa rela mengikuti melakukan semua itu demi dirinya.

Dan dia dengan mudahnya membenci Yasa. "Maafkan aku," ucap Sofia lagi terisak di depan Yasa.

"Apapun akan aku lakukan untukmu," kata Yasa.

"Boleh aku memelukmu sekali saja?" pinta Yasa memandang sendu Sofia. Sofia mengangguk dan Yasa langsung memeluk Sofia.

"Maafkan aku," kata-kata maaf itulah yang keluar dari bibir Sofia.

"Aku merindukanmu malaikat kecilku," ucap Yasa memeluk Sofia erat.

Mereka menangis dan berpelukan bersama. Menangisi takdir yang seolah mempermainkan mereka. Mencampakkan cinta yang dulu begitu besarnya.

Bukankah pengorbanan itulah arti dari cinta yang sesungguhnya.

Di luar Adrian mengepalkan tangannya erat. Dadanya bergemuruh melihat Sofia menangis dan berpelukan dengan laki-laki brengsek itu.


***

Hayuuuu sapa yang gak lope ama cowok macam Yasa???

Wkwkwk

Author gaje lagi manjah...pengennya di manjah ni sama vomen kalian, Hold Me udah ada bau-bau ending, buat the last revisinya sarannya dings 😂😂😂

Dah ah...jangan lupa follow IG akubya Dewie_Sofia

Lup yu pul 😚

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top