4 // Mimpi
"Kau percaya takdir?" tanya seorang laki-laki pada seorang gadis.
"Tentu saja, bukankah kita hidup sudah memiliki takdir masing-masing," jawab gadis itu.
"Apa yang akan kau lakukan jika takdirmu tidak seperti yang kau inginkan?"
Gadis itu tersenyum, matanya memandang lurus ke tengah pantai, seolah mencari di mana ujungnya.
Kemudian ia berkata, "Apa yang kujalani saat ini bukanlah yang aku inginkan.Tapi meski begitu, aku yakin takdir itulah yang aku butuhkan, aku hanya harus menjalaninya," katanya lirih.
Mereka duduk berdampingan di pinggir pantai, menatap senja yang semakin tenggelam. Terdengar nada kegetiran dalam suara lirihnya.
Ia menarik tubuh gadis di sampingnya, memeluknya dengan sangat erat, memberi kekuatan dan kehangatan padanya.
Gadis itu memeluknya, menenggelamkan kepalanya pada leher laki-laki itu berusaha menyerap kekuatan dan kehangatan yang diberikan padanya.
"Aku lelah, apa aku harus percaya padamu?" batin gadis itu.
Pelukan ini terasa begitu nyaman, ia ingin selalu seperti ini.
"Aku akan bersamamu, selalu," batin laki-laki itu.
Setelah beberapa lama laki-laki itu mengurai pelukannya, ia menarik wajah gadis di pelukannya, agar ia bisa melihat wajahnya dengan jelas, dan....
Kriiiinggg Kriiiiinggg Kriiingggg
Adrian terbangun, ia mengatur napasnya sebentar kemudian meraih handphone-nya di atas nakas.
Jam menunjukkan pukul 07.00 pagi. Ia duduk kemudian menyandarkan punggunggnya ke belakang.
"Mimpi itu lagi," gumamnya pelan.
Mimpi yang sama, mimpi yang akhir-akhir ini menghiasi tidurnya, entahlah, apa itu bisa dikatakan mimpi buruk ataukah tidak, karena mimpi itu terus saja menghantui dan mengusik hatinya.
Ia tidak tahu siapa gadis itu, dan apa maksud dari mimpinya, dan kenapa mimpi itu begitu nyata. Bahkan ia masih merasakan kehangatan pelukannya pada gadis itu, bahkan saat terbangun pun ia masih merasakannya.
"Apa dia gadis di masa lalu gue?" tebaknya sendiri."Apa gue pernah hilang ingatan?" pikirnya lagi.
"Ah, gue mandi aja, pikiran ini makin ngawur," ucap Adrian.
"Hari ini nggak ada jadwal mengajar," kata Adrian bicara pada dirinya sendiri.
Meski hari sabtu Adrian harus mengecek beberapa berkas laporan perusahaannya.
Santi sekretaris Adrian sudah menyiapkan di mejanya. Alan juga akan ke kantor untuk membahas beberapa pengajuan proyek baru. Adrian bergegas ke kamar mandi. Butuh waktu dua puluh menit untuknya membersihkan diri. Setelah selesai ia bersiap-siap menuju kantornya.
Adrian mengenakan pakaian santainya, hanya celana jeans berwarna biru serta kaos polo berwarna putih. Penampilan Adrian terlihat lebih modis, hampir menyamai mahasiswanya apalagi ia tidak mengenakan kacamata bacanya.
Adrian tiba di kantornya empat puluh lima menit kemudian, kantornya nampak sepi.
"Sudah lama Al?" tanya Adrian begitu melihat Alan yang sedang duduk bersama security di depan.
"Belum terlalu lama," jawab Alan santai sambil menghisap rokoknya.
"Pagi Pak Mun," sapa Adrian pada security.
"Pagi Pak Adrian," sapa Pak Mun.
"Apa ada sesuatu yang mendesak?" tanya Adrian pada Alan.
"Selalu ada yang mendesak, banyak perusahaan baru yang menawarkan kerja sama, gue sama Santi sampai kewalahan mengatasinya terus menerus. Kapan sih lo kembali ke perusahaan?" tanya Alan.
"Kalau sudah waktunya, pasti gue kembali bergabung ke perusahaan, untuk sementara biarkan seperti ini dulu," jawab Adrian dengan suara datarnya.
"Sampai kapan?" tanya Alan lagi dengan suara putus asa.
Adrian mengernyitkan dahi dan menatap sahabatnya itu, "Sampai kapan apanya? Gue kan nggak ninggalin urusan kantor? Lo segitu kangennya sama gue." Kata Adrian.
Alan berdecak kesal. "Sampai kapan lo akan sembunyi? Lo masih belum bisa ngelupain dia?" tanya Alan terus menerus. Alan penasaran, apa sahabatnya ini belum bisa move on atau malah terjebak dalam cerita masa lalunya.
Adrian orang yang tertutup kalau menyangkut masalah hati, jadi ia harus memastikannya. Adrian menghela napasnya berat, kemudian meninggalkan Alan bersama Pak Mun. Adrian melangkah menuju lift dan menekan tombol ke lantai empat, tempat ruangannya berada tanpa menjawab pertanyaan Alan.
Setelah di ruangannya Adrian langsung memeriksa berkas-berkas yang disiapkan Santi. Alan masuk ke ruangan Adrian dan ikut memeriksa berkas lainnya secara acak.
"Ini nggak ada hubungannya sama dia Al, gue udah nggak ada masalah lagi," jawab Adrian tegas tanpa melihat wajah Alan.
"Nggak ada masalah lagi bukan berarti melupakan bukan?" balas Alan tanpa menghentikan kegiatannya.
"Kita memang nggak bisa ngelupain apa yang ingin kita lupain, tapi jangan anggap hal itu jadi masalah lagi, dengan begitu hati dan pikiran kita tidak akan terbebani," jawab Adrian tenang.
"Lo yakin?" tanya Alan kali ini melihat Adrian.
"Apa lo akan terus menginterogasi gue sepanjang hari ini hah, paling tidak lo bantu gue nyelesein berkas- berkas ini," oceh Adrian sebal.
"Gue bantu cek sedikit aja, selebihnya lo kerjain sendiri," kini Alan yang mendengus sebal padanya.
"Baiklah, lo diam aja kalau nggak mau membantu, nanti siang gue traktir lo makan oke," kata Adrian.
"Yes, begitu dong. Oya A, nanti malam lo ada acara nggak?" tanya Alan.
"Nggak ada," jawab Adrian singkat.
"Kita ke club," ajaknya sambil memainkan kunci mobil.
"Prita bagaimana?" tanya Adrian.
"Gue udah nggak jalan lagi sama si Prita itu," jawab Alan kesal.
Adrian menghentikan aktivitasnya, ia melihat ke arah sahabatnya sambil memasang wajah heran.
"Apa ada yang aneh?" tanya Alan sarkastik melihat tatapan sahabatnya itu.
"Jangan bilang kalau lo di campakkan?" tanya Adrian.
"Siapa bilang? Gue nggak di campakkan kok. Gue yang mutusin hubungan. Dia pikir gue ATM berjalan apa, tiap hari harus bayarin dia tas, sepatu ataupun baju-baju branded lainnya, iiiihhhhh dasar wanita jalang," umpatnya.
"Hahahahahahaha...."
Adrian tertawa terpingkal-pingkal sambil memegang perutnya mendengar cerita sahabatnya.
"Puas banget lo?" kata Alan dengan tatapan membunuh.
Adrian mengangkat kedua tangannya tanda menyerah karena meski tak bersuara dengan keras ia belum bisa menghentikan tawanya.
"Sorry, sorry, oke kita ke club nanti malam," ucap Adrian setelah berhasil meredakan tawanya.
"Biar gue selesain berkas ini dulu," ucapnya.
"Terserah," balas Alan, ia membuka ponselnya membuka game COC kemudian memainkannya.
Tak terasa waktu menunjukkan pukul dua siang, Adrian merapikan berkas-berkasnya setelah memberi beberapa note dan menandatangani berkas yang di anggapnya sudah benar.
"Kita pergi sekarang. Gue udah lapar banget," ajak Adrian.
"Kita makan di mana?" tanya Alan.
"Ikut aja," balas Adrian
Adrian dan Alan memasuki mobilnya masing-masing, karena memang mereka berangkat sendiri-sendiri tadi pagi.
Setelah beberapa lama, Adrian memarkirkan mobilnya di depan sebuah cafe. Ia keluar dari mobil, begitupun dengan Alan.
"Hah, Rose Cafe," tanya Alan dengan tatapan tak percaya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top