9. Gedung Merah Rahasia
Pangeran Berkuda tidak jatuh cinta pada Putri Salju. Dia hanya menginginkan tubuhnya. Kini, Pangeran Berkuda akan mendapatkan balasannya.
[Nairaers_ & Kaillxa, waktu yang tersedia untuk memecahkan teka-teki adalah 2 jam!]
[Selamat bermain!]
Aku ditinggal solat Jumat. Illxa akhirnya cukup rasional untuk tidak mengajakku ke saf laki-laki bersama Bang Ruv'an. Sementara dua cowok itu ngacir ke masjid, aku duduk sendirian di tengah toko milik Bang Ruv'an.
Lima menit pertama kuhabiskan memandangi setiap detail yang ada di sekitarku. Lima menit kedua, punggungku sudah terbaring lemas di karpet yang ada di tengah toko. Lima menit selanjutnya, aku teringat ada teka-teki yang harus kukerjakan, jadi punggungku kembali bangkit sambil memelototi ponsel dengan serius.
Pangeran Berkuda tidak jatuh cinta pada Putri Salju. Siapa yang dimaksud Pangeran Berkuda dan Putri Salju di sini, siapa Pangeran Berkuda yang hanya menginginkan tubuh Putri Salju? Seseorang yang berkaitan dengan masa laluku dan Talia. Laki-laki yang hanya menginginkan tubuh pacarnya? Mana ada anak SMP yang sudah kepikiran sampai sana?
Waktu terus berjalan dan aku masih belum mendapat jawabannya. Illxa jelas tidak bisa membantuku, anak itu bahkan tidak ada di sana saat semuanya kacau, dan kami cuma punya waktu satu jam setelah menunggunya selesai solat Jumat.
Seandainya aku sudah menemukan siapa Pangeran Berkuda yang dimaksud, aku harus ke mana untuk menyelamatkannya? Astaga, semua ini benar-benar bisa membuat kepalaku botak seketika! Aku terpaksa mengingat-ingat lagi apa yang hampir kulupakan.
Putri Salju. Sosok baik hati dan penyayang. Jelas bukan aku orangnya. Talia sepuluh juta persen lebih cocok dengan deskripsi itu. Namun, siapa yang menginginkan tubuh Talia? Anak itu bahkan tepos macam tripleks, dan dua manusia yang pernah memperebutkannya hanya Reno dan Fauzi. Mereka berdua, meskipun menyebalkan, tetapi mereka bukan tipe orang bejat yang hanya mau memanfaatkan bentuk tubuh perempuan. Mereka tidak sehina itu.
Namun, setidaknya aku sudah mendapat dua nama yang berpotensi menjadi Pangeran Berkuda. Sosok yang berpotensi menjadi Putri Salju selain Talia adalah Sera, tetapi gadis itu sama sekali tidak pernah dekat dengan laki-laki, mentok-mentok cuma Alam karena rumah mereka dekat sekaligus teman sekelas.
Sejenak kulupakan orientasi waktu dan tiba-tiba saja dua laki-laki itu sudah muncul dengan sarung dan peci. Aku lekas bangkit dan membetulkan seragamku yang sedikit berantakan setelah berguling-guling di lantai.
"Udah selesai teka-tekinya?" Illxa menyambar tasnya yang tergeletak di sebelahku. "Bang, boleh pinjem laptopnya nggak?"
Aku menggeleng lesu. "Terlalu banyak kemungkinan, dan kalo emang berhubungan sama SMPku, cakupannya masih terlalu luas." Kuikuti anak itu dan mengambil tasku. "Meski udah dikurangi sama yang masuk ke sekolah lain di luar SMA kita, tetep aja masih banyak."
Bang Ruv'an mendekat, menyerahkan satu laptopnya pada Illxa. "Kalian ngomongin apa, sih?"
"Yang deket sama dirimu doang?" Illxa menerima uluran laptop dari sepupunya, tetapi tak mengindahkan pertanyaan Bang Ruv'an dan memfokuskan perhatian padaku.
Kepalaku berpikir sejenak. "Selain anak SMAC, kayaknya nggak ada."
"Nah!" Illxa menjentikkan jarinya. "Kalo mau dipersempit kemungkinan, ambil nama sepuluh orang yang pas itu dipanggil ke ruang BK. Bakal lebih gampang nyeleksinya. Kau curiga sama siapa?"
"Reno sama Fauzi."
Mereka memang nama yang paling memungkinkan. Selain pernah dekat dengan Talia, mereka juga bagian dari masa laluku yang menyebalkan. Kalau sosok yang membuat teka-teki ini memanglah Talia, itu artinya anak itu memang masih hidup. Setidaknya, salah satu bagian dari hatiku merasa sedikit lega. Setelah semua ini selesai, aku akan membawa Talia untuk kembali.
Waktu kami tersisa satu jam untuk mencari di mana Reno dan Fauzi. Naasnya, kedua manusia itu tidak mengangkat panggilan telepon kami. Illxa curiga ponsel mereka masih dalam keadaan silent mode setelah solat Jumat.
Aku sudah panik duluan mengingat nyawa seseorang bisa jadi sedang berada di ujung tanduk. "Bang Ruv'an nggak bisa ngelacak orang dari nomor WhatsApp?"
Illxa menggeleng tegas. "Tenang dulu, Er. Kita liat dulu kondisinya gimana. Percuma kalo ngejar korban selanjutnya tapi nggak tau dia di mana."
"Makanya kita minta tolong Bang Ruv'an aja." Sebisa mungkin kujajari langkahnya. Kami sudah hampir tiba di pintu depan Mall setelah berpamitan dengan sepupu Illxa.
Suara kesibukan jalan raya langsung terdengar begitu kami keluar dari Mall. Illxa mempercepat langkahnya. "Tadi Fauzi bilang dia mau langsung pulang, jadi harusnya anak itu ada di rumah. Kita ke rumahnya dulu, kalo nggak ada baru kita ke rumahnya Reno."
Satu jam adalah waktu yang lebih dari cukup untuk mengunjungi dua rumah mereka yang lumayan dekatd dengan posisi kami sekarang. Illxa membawaku melaju di tengah padatnya jalanan kota Balikpapan yang panas.
Rasanya baru kali ini Illxa tidak tersenyum seharian. Keningnya terus-terusan berkerut ke dalam. Anak itu benar-benar serius dengan kasus ini, padahal aku tak menemukan benang merah antara Clade dengan syarat yang dia berikan waktu itu.
Hanya butuh waktu beberapa menit bagi Illxa untuk mencapai rumah Fauzi, memasuki kawasan Gunung Sari Ilir yang dekat dengan sekolah. "Kau tunggu di sini aja, aku yang ke sana."
Jadi aku menunggu, dan tak lama kemudian Illxa kembali sambil menggelengkan kepala. "Ibunya bilang Fauzi belum pulang dari solat Jumat, katanya mau sekalian beli sesuatu di Gramedia."
"Ke rumah Reno dulu, Kai. Kalo nggak ada, kita susul ke gramed."
Illxa benar-benar irit kata hari ini. Tidak ada gombalannya yang biasanya membuat perutku mual. Dia melakukan semuanya dalam diam. Begitu juga saat anak itu memarkirkan motornya di depan halaman rumah Reno.
Manusia yang kami cari-cari juga tidak ada di rumah. Kediamannya bahkan kosong seperti tak ada kehidupan di dalamnya. Sekali lagi, Illxa membawaku mengarungi arus lalulintas kota Balikpapan dengan cepat. Kami hanya memiliki sisa waktu setengah jam untuk menemukan Fauzi di mall sebelumnya.
"Gimana kalo bukan Fauzi target selanjutnya?" Kulepas helm yang kukenakan dan meletakkannya di atas jok motor Illxa.
"Hampir nggak mungkin bukan dia," jawabnya yakin. "Katamu yang pernah deket sama Talia cuman Fauzi sama Reno, 'kan?"
Aku mengangguk, berlari kecil menjajari langkahnya yang lebar-lebar.
"Tapi cuma Fauzi yang pernah pacaran sama Talia. Jadi, siapa lagi kalo bukan anak itu?"
"Terus kenapa tadi ke rumahnya Reno?"
Illxa terdiam sejenak. "Aku cuman penasaran." Kami berbelok, sedikit lagi mencapai toko buku yang dimaksud. "Kau cari di bagian novel, aku cari bagian alat tulis."
Tanpa perlu disuruh lagi, aku memisahkan diri dari Illxa. Kutelusuri rak-rak buku panjang sambil sesekali mencoba menghubungi ponsel Fauzi. Hasilnya sama saja, baik orangnya maupun nomornya, sama-sama tidak membuahkan hasil.
Mataku melirik tenggat waktu di game Clade, hanya tersisa dua puluh menit sebelum teka-teki itu berakhir. Waktu kami semakin sempit.
Lima menit kemudian, Illxa menyuruhku kembali ke pintu masuk. Dia juga tidak menemukan Fauzi di sini. "Aku udah nyoba nanya sama kasir, tapi katanya belum ada pengunjung laki-laki abis solat Jumat."
Ke mana anak itu sebenarnya? "Udahlah, Kai. Kalo Bang Ruv'an bisa ngelacak di mana ponselnya Fauzi, kenapa enggak?"
"Er, ini masalah kita. Jangan sampe banyak orang yang tau."
"Tapi kita nggak bisa nyelesaiin ini sendirian, Kai!" Tanpa sadar suaraku meninggi. Secuil rasa putus asa menjalari hatiku. Lagi pula, kenapa Illxa bisa secemas itu, padahal urusan Clade adalah masalahku.
Illxa mengusap wajahnya kasar. Sejenak kupikir aku mendengarnya menyebut. "Sori, sori. Kayaknya aku kebawa banget sama teka-teki kali ini." Anak itu mengembuskan napas panjang-panjang. "Biar aku yang nyari Fauzi."
Illxa tidak pernah bilang kalau dia juga bisa menggunakan komputer sejago orang-orang yang bisa meretas. Anak itu mengajakku duduk di salah satu kursi di tengah mall, seolah hal yang kami kerjakan adalah makalah yang besok harus dipresentasikan. Padahal, nyatanya kami sedang meretas kamera keamanan mall ini.
"Kau nggak pernah bilang bisa beginian?"
Anak itu terkekeh bangga, tampaknya sekarang dia sudah lebih santai. "Kakak sepupuku yang ngajarin pas awal masuk SMA."
Aku sama sekali tidak paham apa yang dia kerjakan di laptop Bang Ruv'an, tetapi beberapa menit kemudiannya layarnya menampilkan kotak-kotak terpisah dengan gambar yang bergerak di dalamnya. Illxa benar-benar berhasil meretas kamera keamanan mall ini. "Ini aman? Maksudku, ntar kalo ketauan sama bagian keamanan gimana?"
Illxa hanya mengangkat pundaknya. "Keamanan di mall ini nggak secanggih istana negara, Er. Mereka nggak bakal sadar kalo aku masuk ke sistem mereka dan ngeliat rekaman CCTV." Jemarinya bergerak lincah di atas. "Lagian, meretas udah jadi pelajaran yang paling dasar di dunia mata-mata. Sekarang kita liat di mana batang hidung Fauzi."
Hanya perlu beberapa detik buatnya memutar ulang rekaman dan menemukan Fauzi memasuki lorong utama mall. Illxa mempercepat rekaman, mengikuti ke mana arah target kami berjalan. Yang sedikit mengejutkan, anak itu sama sekali tidak melewati Gramedia bahkan naik ke lantai dua, melainkan tetap berjalan lurus hingga taman belakang mall di lantai dasar. Illxa terus berpindah dari satu kamera ke kamera lain demi mengikuti Fauzi. Hingga anak itu berdecak sebal dan berhenti menekan keyboard.
Rekaman menunjukkan waktu tiga puluh menit yang lalu. Artinya, saat kami pergi dari tempat ini, Fauzi baru saja tiba. Kini, aku dan Illxa hanya bisa menatap punggung anak itu perlahan lenyap di balik bangunan setengah jadi yang direncanakan akan menjadi apartemen mewah tepi pantai.
"Nggak ada CCTV lagi di sana?" tanyaku melongokkan kepala pada layar laptop. Fauzi berbelok di tikungan paling ujung dan setelahnya anak itu benar-benar lenyap.
Illxa mengangguk. "Coba kucepetin, kita liat ke mana anak itu abis ini."
Waktu di sudut layar dipercepat berkali-kali, tetapi yang bergerak di sana hanyalah pepohonan yang tertiup angin pantai dan debu-debu berterbangan. Fauzi sama sekali tidak terlihat. Sampai rekaman menunjukkan waktu yang sama dengan jam di ponselku sekarang, Fauzi tak kunjung kembali.
Aku berdiri, memeriksa jam. Masih ada sepuluh menit sebelum waktunya habis. "Fauzi masih di sana, masih bisa kita kejar."
Illxa lekas menutup laptopnya dan memasukkannya ke tas.
Orang-orang mungkin melihat kami sebagai anak sekolah yang kurang kerjaan sampai lari-lari di dalam mall. Illxa tampaknya tidak peduli dengan anggapan itu dan tetap mengejarku di belakang. Kami menuruni eskalator tergesa-gesa dan langsung menuju taman belakang mall.
Dinginnya bagian dalam mall berbanding terbalik dengan panasnya siang di khatulistiwa. Saat aku keluar dari pintu kaca, perubahan suhu yang drastis itu bisa kurasakan dengan sangat jelas. Tanpa mengurangi kecepatan, aku berlari membelah taman belakang mall yang sepi pengunjung siang-siang.
Semakin dekat dengan gedung apartemen setengah jadi, kututupi mulut dan hidungku dengan telapak tangan. Terlalu banyak debu dari konstruksi di sini. Mataku bahkan sudah beberapa kali kemasukan debu. Mau tidak mau, kuperlambat langkahku beberapa meter sebelum belokan tempat Fauzi menghilang.
Illxa menyusulku, napasnya juga terengah-engah disela batuk. "Cepet amat larinya." Dia mengusap wajah pelan, rambutnya berpilin dimainkan angin pantai.
Aku celingukan lebih dulu, melangkah lebih dekat dengan bangunan setengah jadi yang tidak dirampungkan itu. Garis kuning pembatas membentang di sekitar area gedung, menghalau kami agar tidak mendekat. Awalnya aku enggan masuk ke dalam sana. Selain gelap, di dalam juga pasti lebih berdebu dan punya lebih banyak potensi rusak kalau dilangkahi sembarangan. Namun, setelah mendengar suara berdentum keras dari dalam, aku ragu kalau beton bisa jatuh sendiri.
Illxa rupanya memikirkan hal yang sama denganku. Dia menyingkap garis kuning itu dan melewatinya dengan mudah, aku menyusul di belakangnya. Illxa menyembunyikanku di balik punggungnya, tidak membiarkanku jalan lebih dulu.
Meskipun pintu dan jendela belum dipasang pada bangunan ini, bagian dalam gedung tetap saja gelap. Aku sampai perlu menyalakan lampu flash dari ponsel untuk penerangan ketika kami semakin jauh masuk ke dalam. Penurunan suhu juga membuat bulu kudukku meremang, udara lembab di dalam sini.
Lantai semen yang kupijak licin oleh pasir. Sebisa mungkin kami bergerak tanpa suara. Dalam hening aku mengamati lantai satu dengan cepat. Ada tangga di dua sisi ruangan super besar yang nantinya bakal jadi lorong utama. Pegangannya belum dipasang, hanya berupa bongkahan batu berjajar naik.
Begitu bunyi debuman selanjutnya menggema di langit-langit, tubuhku nyaris terpanjat dan memeluk lengan Illxa—yang untungnya tidak betulan terjadi.
"Dari sini, Kai," bisikku, menarik lengannya cepat. Suara debuman itu tidak berasal dari ruangan besar ini. Suara yang kami tangkap terasa jauh, artinya memang berasal dari ruangan lain, dan hanya ada satu ruangan lain di lantai ini.
Samar-samar saat mendekati ruangan yang kumaksud, sepasang langkah kaki tertangkap indra pendengaranku. Illxa langsung paham dan mematikan lampu flash kami. Di tengah gulita, perlahan mataku menyesuaikan minimnya cahaya.
Kurapatkan punggungku dengan dinding yang membatasi dua ruangan. Perlahan melongokkan kepala sambil mengintip. Total tiga orang di depan sana. Satu tergeletak di tengah ruangan, satu temannya mengguncang bahu sosok yang tergeletak di lantai.
"Kau ngapain, hah?!" seru sosok yang berjongkok menuding sosok yang masih berdiri dengan nada emosi. "Kau apain Fauzi?!" bentaknya sekali lagi.
Suaranya tak asing di telingaku. Kalau dinilai sekilas, sosok yang tergeletak itu bisa disimpulkan adalah Fauzi.
"Aku? Bukannya kau yang nggak suka sama dia?" Itu suara yang amat kukenal sejak dulu. "Aku bakal lapor polisi. Aku nggak nyangka kau bakal sejauh ini."
Jantungku seperti berhenti berdetak. Apa kami gagal lagi? Lututku lemas, perlahan tubuhku merosot ke bawah. Astaga, padahal sudah sedekat ini!
Illxa menahan lenganku beberapa saat sebelum ikut berjongkok di sebelahku. Anak itu mendesis, "Tenang dulu, kita nggak bisa manggil polisi atau ambulans sekarang." Illxa menarikku untuk keluar dari gedung itu secepatnya, sebelum dua orang tadi menyadari keberadaan kami.
"Terus apa?" tanyaku di tengah jalan. "Kita grebek aja mereka! Paksa ngaku siapa yang bunuh Fauzi, interogasi, tangkap—"
Illxa buru-buru membekap mulutku sebelum nada suaraku semakin tinggi. "Iya, Cantik." Telunjuk panjang itu menempel di bibirnya. "Diem dulu, kita belum tau Fauzi masih hidup atau udah mokad. Kalo nangkep mereka sekarang, yang ada kita malah bunuh diri. Apalagi ada Nusa di sana."
Aku masih mau meledak-ledak emosi, kecewa pada diriku sendiri yang lagi-lagi gagal menyelamatkan seseorang. Padahal sudah tepat di depan mata, sudah sedekat itu, tetap saja aku gagal. Namun, setelah kami sampai di luar, Illxa menarikku lebih dekat ke sisinya. Satu lengannya merangkulku.
"Nah, diem dulu." Matanya fokus pada ponsel, mengerjakan sesuatu di sana. "Kalo Fauzi beneran mati, aku harus ngehapus rekaman CCTV kita jalan ke sini, terus ngedit biar kayaknya rekaman itu nggak pernah diretas."
Kutarik napasku dalam-dalam, kemudian mendorong Illxa menjauh dariku dengan segenap hati. "Jangan deket-deket." Ujung mataku jadi berair. Perasaan bersalah masih terus menggentayangiku. Satu sisi dalam dadaku ingin berlari ke tempat Fauzi dan memastikan keadaannya, apakah anak itu benar-benar mati atau cuma pingsan.
Illxa menarikku ke teras mall yang bersisian dengan taman belakang. Anak itu kembali membuka laptopnya dan mengerjakan sesuatu di sana. Sementara aku masih memandang kosong ke arah bangunan apartemen setengah jadi itu.
Pikiranku melayang ke mana-mana. Bagaimana caranya dua orang yang lain ada di sana tanpa tertangkap kamera keamanan? Illxa sudah memutar rekaman keseluruhan yang menyorot gedung itu, tetapi yang terlihat masuk ke sana hanya Fauzi, dua orang lainnya masuk lewat mana?
"Denger, Er. Aku nggak tau harus mihak yang mana antara Nusa atau Reno." Illxa memulai, tetapi matanya tetap fokus pada layar laptop. "Nusa temen kita, dan meski aku kesel sama dia, aku nggak punya alasan buat nuduh dia bunuh orang—iya kalo Fauzi mati."
"Gimana caranya mereka sampe sana kalo CCTV nggak nangkep mereka?"
Hening sejenak. "Ada jalur samping yang lolos dari jangkauan CCTV. Jalur stok barang, biasanya dilewatin sama staf mall." Illxa menutup laptopnya, meregangkan jemari dan mulai berdiri. "Kau tunggu sini, aku mau meriksa sesuatu bentar."
"Ikut—"
Illxa mengangkat telapak tangannya. "Jagain laptopnya. Bentar doang, kok. Lima belas menit lagi balik." Setelahnya, anak itu balik kanan bubar jalan, menghilang di antara kerumunan orang dan masuk kembali ke dalam mall.
Kuembuskan napas panjang, menghempaskan punggungku pada sandaran kursi. Reno memang memiliki dendam pada Fauzi sejak dulu, semua orang tahu itu, tetapi apa anak SMA mampu berbuat sejauh itu? Membunuh temannya sendiri dengan ceroboh? Kuacak-acak rambutku sendiri frustrasi. Aku bahkan belum tahu siapa yang ada di atas, benda apa yang menyebabkan dua kali bunyi berdebum itu.
Lagi, kenapa Nusa ada di sana? Bukannya dia bilang sudah tidak mau ikut-ikutan lagi masalah Clade? Ini bukan kebetulan, tempat itu jelas jarang diekspos masyarakat awam. Nusa pasti punya janji tertentu yang sudah direncanakan. Tapi dengan siapa?
[]
Misi Utama: Lengkapi Puzzle
Sub Misi: [-]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top