3. Bawang Putih dan Selendang Merah

Bawang Putih yang malang, dibutakan rasa iri terhadap kakaknya. Membalik fakta seakan Bawang Merah adalah sosok antagonis. Nyatanya, baik tidaknya seseorang tergantung dari siapa dia diceritakan.

Sekolah dibubarkan setelah beberapa jam kami menjadi tawanan. Reputasi SMA nomor wahid se-Kalimantan Timur terancam, sebagaimana rambut palsu kepala sekolah kami setelah serentetan wawancara melelahkan. Berita meninggalnya salah satu murid pencetak kejuaraan bola basket SMA itu dengan cepat menyebar. Keluarga berbelasungkawa, doa bersama digelar, dan imbauan-imbauan menyembul dari sana-sini.

Tadinya aku hampir berencana tidur siang dengan nyenyak di atas kasur empuk dan angin sepoi-sepoi dari jendela kamar yang hangat. Wacana itu nyaris hancur setelah Illxa menarikku dan Nusa ke kelas dari ruang BK. Di tengah kebingungan teman-teman sekelas, tidak ada yang sadar salah satu penyusup dari kelas IPS berhasil duduk di kursi paling belakang dan bicara serius dengan dua manusia mabuk teka-teki.

Satu paragraf singkat tentang legenda Bawang Merah dan Bawang Putih itu sukses membuat kami memutar otak; apa maksudnya cerita itu. Dalam cerita asli bawang-bawangan, protagonis diceritakan sebagai Bawang Putih yang baik hati dan dermawan, direndahkan oleh saudari dan ibu tirinya. Semua anak Indonesia seharusnya tahu cerita itu. Bicara soal Bawang Putih, aku jadi teringat ikon utama aplikasi Clade.

"Terus kita disuruh apa?" Pertanyaan Nusa mewakili kami semua.

Dalam versi Clade, Bawang Putih menjadi antagonis. Oke. Pesan yang mau disampaikan, bahwa baik buruknya seseorang tergantung siapa yang menceritakan. Oke. Lantas kami harus apa? Clade adalah game AR yang membuat kita harus bertarung dengan avatar lain untuk mendapatkan kartu dan karakter lain.

Beberapa menit merenung, menghela napas panjang, pikiran kami tetap buntu untuk quest kali ini. "Atau kita skip aja quest-nya?"

Aku mengangguk. Itu ide yang bagus ketimbang kami membuang-buang waktu mencari jawaban tak tentu. "Ganti ke mode normal aja kalo gitu."

Kami tampak seperti kepiting di sudut ruangan sementara teman sekelas yang lain seperti segerombol sarden riuh tak keruan di tengah kelas. Suasana itu tak bertahan lama setelah pemberitahuan pulang cepat dan belajar di rumah hari ini. Selagi yang lain sibuk mengemasi barang-barang dan bersyukur bisa pulang lebih cepat, kami masih berkutat dengan ponsel.

Nusa orang pertama yang menyalurkan keluhannya, "Nggak mau diubah jadi mode normal. Ini nge-bug apa gimana?"

Illxa mengamini di sebelahku. "Punyaku juga nggak bisa." Dia mengusap dagu, bergaya sedang berpikir. "Atau gara-gara pake token yang kau kasih tadi, Nus, makanya bisa main mode quest doang."

"Sembarangan! Aku dapet token itu dari sepupuku di sini juga. Dia main oke-oke aja, tuh?"

"Berapa lama tenggat waktu quest pertama ini?" tanyaku setelah menyerah mencoba log out akun dan selalu berakhir gagal. Terlalu dini untuk mengalami bug di dalam game yang baru rilis kembali.

"Dua belas jam," Illxa menjawab. "Kita bisa nunggu sampe quest-nya lewat dan ngerjain quest selanjutnya."

Saat itu, kami pikir pulang segera adalah tindakan yang paling benar. Melewatkan quest pertama dan menjalani hari seperti biasanya. Sementara aku memulai mode suuzon setelah menyadari Pak Aldy tak mungkin dipanggil ke ruang BK tanpa alasan yang jelas. Beliau seharusnya punya ketentuan yang cukup jelas untuk bisa dipanggil dan dicurigi sebagai tersangka, bukan karena hampir semua tersangka adalah anak didik ekskulnya.

Nasib sial yang didapatkan Pak Aldy sebagai pembina SMAC, adalah mendapatkan anak didik yang modelnya sepertiku dan Illxa. Kemudian Reno dan Fauzi—meski dia ketua OSIS, anak laki-laki tetaplah anak laki-laki yang bandel—, juga anak-anak kelas akhir yang masih mau menikmati masa-masa terakhir di SMA sebelum terpontang-panting menghadapi dunia perkuliahan.

Sebulan adalah waktu yang cukup lama, dan kami, para siswa SMA semester akhir, tidak mau membuang-buang waktu. Pak Aldy mengumumkan bahwa sebulan ke depan ekskul SMAC tidak akan berjalan, itu artinya pengambilan gambar untuk video kenang-kenangan terakhir angkatanku akan ditunda. Sementara akhir bulan depan kami sudah memasuki masa-masa sibuk ulangan semester.

Reno sebagai ketua ekskul mengambil tindakan cepat, membuat rencana jalan-jalan-berkedok-syuting-di-hutan-kota malam itu juga. Yang bisa-bisa saja, dan keesokan harinya, di sinilah kami.

Pintu masuk hutan kota Balikpapan, di atas sebuah bukit, bersebelahan dengan proyek tambang minyak Chevron. Masih pukul empat sore, angin berembus pelan, cahaya matahari estetik, dan dari atas sini, aku bisa melihat lautan diapungi kapal-kapal besar yang seukuran upil di mataku. Illxa memarkirkan motornya di salah satu pekarangan rumah penduduk, katanya itu rumah teman SMPnya, jadi bukan masalah kalau Illxa yang meminta izin.

"Aman aja, Kai," sahut gadis yang katanya teman SMPnya Illxa itu. Rambut ikalnya tergerai, bergerak pelan ditiup angin. "Bapakku bakal patroli jam 5, pastiin kau sama temenmu udah keluar dan nggak buang sampah sembarangan."

Illxa memasang senyum tipis dan mengangkat ibu jarinya. "Thanks, Re." Kemudian anak itu ngacir ke arah kerumunan kami di depan gerbang hutan kota yang lebih mirip pintu sel tahanan.

Ada tujuh manusia termasuk aku dan Illxa yang ikut. Tidak bisa ramai-ramai amat karena sisanya punya jadwal les yang padat, juga kesibukan lain—pacaran, misalnya. Satu-satu kami lewati pagar itu, tidak cukup besar karena wilayah ini memang belum dilirik sepenuhnya oleh pemerintah pusat.

"Harusnya presiden lebih sayang Balikpapan," Illxa menyeletuk. "Hutannya masih banyak. Jakarta, mah—"

"Stop," potongku cepat. Omongan Illxa terlalu menyakiti hati kalau sampai didengar Presiden.

"Minimal kalo kita ambil syuting di sini, terus videonya viral, kali aja Pak Presiden ngelirik hutan kota," gumamnya lagi, melompati akar pohon yang menyembul dari jalan setapak.

Yang terakhir terdengar lebih manusiawi meskipun agak terlalu tinggi ekspektasinya. Aku mengangguk saja biar anak itu puas, kemudian menyusul Nusa di depan kala dalam kepalaku terbersit sebuah ingatan. "Nus!" panggilku mendekat.

Tanpa menghentikan langkah, Nusa berbalik ke arahku. Alisnya terangkat, menungguku bicara.

"Quest kemaren apa kabar?"

Dia mengangkat bahu. "Lewat, Bung. Kayaknya, Bawang Putih bakal marah," guraunya tertawa santai. "Paling bentar lagi ada quest baru." Dan benar saja, setelah Nusa selesai mengatakannya, ponselku bergetar panjang. "Tuh, 'kan. Baru aja dibilang."

Sesuatu yang panjang tiba-tiba melingkari leherku. "Wih, bahas apa, nih?"

Kutepis cepat lengan Sera cepat, nyaris menyangka itu ular yang mungkin saja jatuh dari atas. "Kau nggak diajak, minggir sono," usirku pura-pura jahat.

Sera tak berkutik, malah balas memelukku dengan gemas. "Hih! Kucekek kau!" ancamnya cekikikan. "Weh, main Clade juga anaknya."

"Bukannya dirimu juga main?"

"Yoi. Bareng Nora, Alam, sama Alexa. Ya, 'kan, Lex!" Yang dipanggil mendekat, melompati beberapa batu-batuan yang tidak simetris ratanya, kemudian mengangguk sementara matanya masih di ponsel. "Buset, chatan sama siapa, sih?"

Alexa mendongak, kemudian nyengir kuda. "Rahasia, deh. Kepo!" Melihat ponsel Nusa yang terekspos layarnya, menampilkan Clade yang masih loading, Alexa melolong, "Woh, main Clade juga! Tapi kok agak beda?"

Semua mengernyit, menyisakan Illxa, Fauzi, dan Reno di belakang. Nusa sampai memperbaiki kacamatanya, berusaha mengingat-ingat dengan jelas. "Apanya? Perasaan sama aja?" sahutku.

Gadis modis modelan bihun—tinggi putih kurus—itu menunjuk layar ponsel Nusa. "Ini, punya kalian ada peta tambahannya gitu. Terus ada quest juga? Padahal, 'kan, quest pertama masih minggu depan?"

"Quest apa?"

"Itu, lho. Big Bang, event besar pertamanya Clade. Di Balikpapan bakal diadain di belakangnya mall BC. Nanti bakal banyak karakter yang bisa diakses, sama pertandingan besar-besaran." Alexa sekali lagi melompati batu yang menyembul, membuat rambut panjangnya ikut mengambang di udara sejenak. Tampaknya anak itu tahu banyak.

Apa itu karena token yang diberi Nusa? Kode itu memberikan kami beberapa fitur yang cukup istimewa, misalnya karakter langka yang terbuka dan bisa digunakan selama tokennya belum habis. Mungkin, fitur quest satu ini juga salah satunya.

Sementara Nusa meladeni cewek-cewek yang makin mendesakku untuk bertukar posisi—mereka yang semakin dekat dengan Nusa—aku memilih mundur ke barisan paling belakang dan menjajari tiga anak laki-laki lain untuk mencari ketenangan. Aku penasaran bagaimana penghuni gaib hutan sedang melihat kami? Maksudku, tujuh anak remaja kurang kerjaan, masih pakai seragam hari Rabu baik hitam Kalimantan, turun ke hutan cuma untuk menggambil gambar dan mengisi waktu luang.

Di sebelahku, nyaris berbatasan dengan jurang yang cukup landai di sisi kanan, Illxa tampak santai mengamati ponselnya. Dua laki-laki lain berjalan di depan, membahas sesuatu yang memang seharusnya didiskusikan para ketua ekskul dan organisasi. Aku memilih merapat dengan dinding kawat besi menyilang yang membatasi area Chevron dan hutan kota, takut tiba-tiba terpeleset dan mati konyol dikerumuni biawak.

"Woh, Er. Kau kudu liat, titik merahnya deket sama kita!" Illxa berseru tertahan, mencoba merendahkan suaranya agar yang lain tidak mendengar.

Aku melongok, ikut mengeluarkan ponsel tanpa memalingkan muka dari ponsel Illxa dan peta kotak-kotak itu. Ada tiga titik berwarna hijau di sana, menggambarkan diriku, Illxa, dan Nusa. Sementara titik merah berada beberapa meter di depan Nusa. Tidak ada dimensi yang terlihat menghalangi kami, tetapi tampaknya pohon-pohon lebat dan padat menjulang di antara kami.

Tanpa aba-aba Illxa menarik ponselnya. "Aku nengok ke sana duluan, oke." Tanpa takut mati terperosok ke jurang, Illxa menyalip Reno dan Fauzi. Ketika melewati Nusa, anak itu seperti bicara sebentar lantas berlari kecil melewati semua orang hingga punggungnya lenyap di balik pepohonan.

"Gila anak itu. Mau ke mana dia, Er?" Fauzi memegangi dadanya, menengok sebentar padaku.

Aku mengangkat bahu tak acuh. "Kumpul bareng sodaranya kali," jawabku asal.

Tanah mulai menurun, jalan setapak yang tadinya bersisian dengan pagar Chevron kini berbelok menjauhinya. Suasana hutan yang lebih lebat menyapa kami, terlebih setelah rumah-rumah dan pagar lain tak lagi terlihat, digantikan pepohonan sejauh mata memandang. Kesiur angin juga makin terasa sejuk, beserta bau tanah lembab dan beberapa derik serangga bersahutan.

Hutan kota tidak "sehutan" itu, tenang saja, kami tidak akan tersesat selama mengikuti jalan setapak. Ada banyak papan penunjuk arah untuk pengunjung, juga beberapa gazebo di setiap pos untuk berteduh dan kegiatan alam.

Diam-diam aku menghitung jumlah kami. Di depanku ada dua orang, di depannya lagi ada tiga ... tunggu. Nusa kenapa? Di depan sana, anak itu tampak gelisah memainkan kacamatanya. Dia kebelet?

"Eh, Reno. Kita jadi pake gazebo utamanya, 'kan?" Tiba-tiba Nusa menoleh, membiarkan Sera dan Alexa berjalan duluan sambil cekikikan.

Yang ditanya mengangguk singkat. "Buat act awal. Makanya kita ke sana dulu, kalo udah beres lanjut ke lokasi lain." Jeda sejenak, Reno menoleh pada Fauzi. "Anak OSIS jadi mau ngambil di sini juga?"

Aku tak begitu memperhatikan percakapan mereka, ponselku bergetar lagi. Kali ini lebih panjang dan bernada. "Illxa Hood." Ngapain pula anak ini meneleponku?

"Ha—"

"Er, tolong ke sini cepet." Tidak ada suara bercanda dari seberang sana. "Sendirian. Jangan bawa yang lain. Bilang aja mau nyusul Illxa."

Sengaja kulambatkan langkahku agar menjauh dari kerumunan. "Apa, kau di mana? Nggak usah aneh-aneh, Kai."

Anak itu mendesah resah. "Buruan. Aku di pos Sungai Seribu."

Panggilan dimatikan sepihak, nyaris membuatku membatu beberapa detik sebelum memantapkan tekad. "Ren!" Panggilku, berlari kecil mendatanginya. "Aku nyusul Illxa dulu, ya. Kau ke pos utama Pasak Bumi aja, ntar aku nyusul sama Kai." Kutepuk pundaknya singkat.

Tiga laki-laki itu menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Ketika mata mereka saling bertukar pandangan, senyum kecil terbentuk di sana. "Asal kau nggak ritual, monggo." Reno mempersilakan, membukakan jalan dengan cengiran tengil.

"Inside jokes apa lagi ini?" Aku mengernyit, memilih cepat lewat ketimbang isi pikiran mereka makin menjadi-jadi.

Kuturuni hutan dengan cepat, mengikuti jalan setapak hingga mencapai dasar turunan: pos utama yang akan kami gunakan untuk pengambilan video. Kubaca cepat denah dan menemukan pos Sungai Seribu yang dimaksud Illxa. Itu bagian yang belum pernah kumasuki karena tahu di sana tidak ada apa-apa selain sungai kecil nan dangkal. Apa pula yang anak itu lakukan?

Jalanan semakin licin setelah aku berbelok ke barat. Batuan pada jalan setapak ditumbuhi lumut dan sesuatu yang aku tak tahu namanya tetapi bentuknya seperti bola-bola kotoran serangga. Jalanannya lebih dekat dari yang kuduga, tidak sejauh gerbang masuk dengan pos utama. Dalam beberapa menit berlari kecil aku sudah mencapai gazebo kosong yang lantai keramiknya sudah berdebu dan ditumbuhi jamur pada sisi-sisinya.

Pos ini sepertinya jarang dikunjungi, dilihat dari jalanan dan kondisinya sekarang. Terus kenapa Illxa manggil ke sini?

Lagi-lagi ponselku bergetar pelan, bertanda notifikasi yang masuk.

[Selamat! Titik Merah Kedua Ditemukan!]

"Illxa!" panggilku tak kunjung melihat batang hidungnya. Langkahku mengambil arah sembarang mencarinya. "Kai, kau di mana, bah?"

Dari sini bisa kudengar gemericik air dari kejauhan. Berjalan sedikit lagi ke arah barat, aku menemukan jalanan yang lebih terjal mengarah ke bawah, tepatnya ke sungai kecil di bawah sana.

Jangan bilang aku harus ke sana sendirian. "Illxa—" jantungku melonjak cepat kala sebuah tangan membekap mulutku.

Tak sempat mengambil napas, kuayunkan satu kakiku mencari kaki sang pembekap mulut di belakang. Ketika betisku menemukan tulang keringnya, cepat kubalik posisi kami. Kucengkeram tangannya, memutar tubuhku sedemikian rupa sehingga sosok di belakangku hilang keseimbangan. Sekuat tenaga kutarik satu tangannya melewati bahuku, dan pada detik berikutnya seonggok tubuh itu sudah melayang dan terbanting di tanah yang lembab.

Napasku terengah, bahu kananku sedikit sakit kurang pemanasan. Begitu pikiranku sadar sepenuhnya, sosok asing yang kulihat merintih di tanah berubah menjadi Illxa.

"Anjir, ternyata gini rasanya dibanting cewek." Illxa mengaduh, berusaha bangkit dan memegangi bahu kanannya juga.

Aku kehilangan kata-kata. Lekas aku memutarinya dan mengulurkan tangan. "Astaga! Sumpah, sori, Kai!"

Illxa menjabat tanganku, berdiri tertatih sambil berusaha melirik punggungnya. "Gila, kau belajar dari mana?!"

"Ahahaha," tawaku canggung. "Otodidak." Bohong. Dulu Talia memaksaku ikut Taekwondo bersamanya sejak SD. Aku berhenti dari cabor setelah dia menghilang. "Sori," kataku sekali lagi.

Dia menepuk-nepuk punggungnya yang kotor ditempeli dedaunan. Untungnya anak itu mendarat di tumpukan daun, bukan tanah kuning Kalimantan, jadi bajunya hanya berpasir dan sedikit lembab. "Asal kau nggak ngebanting aku lagi." Dilemparkannya tatapan sakit hati sambil menggerak-gerakkan bahunya. "Yang lebih mendesak, kau harus liat sendiri ke bawah sana."

Mendengarnya menyuruhku saja aku sudah merinding. "Jangan seret aku ke sana. Titik merahnya di sini—"

"Cassey meninggal."

Hah? "Bukannya anak itu izin? Kau sendiri yang tadi siang denger dari ketua kelasnya." Benar, hari ini aku sudah dua kali ke kelasnya meminjam dan mengembalikan buku paket sejarah, tetapi anak itu benar-benar tak tampak batang hidungnya.

"Aku nggak mungkin salah orang, Er. Makanya kau kudu ke bawah dan liat sendiri. Kau kuat liat mayat, 'kan?" Illxa memegang kedua bahuku dengan tatapan serius.

Apa yang sebenarnya mau ditunjukkan titik merah ini? Kenapa setiap ada sesuatu, game ini selalu menuntunku ke tempat yang tidak biasa.

Akhirnya aku menyerah, membiarkan Illxa menuntunku hingga ke bawah dan menanggalkan sepatu sekolah kami demi masuk ke air yang dingin. Hanya sampai mata kaki, tetapi cukup tinggi untuk membuat sepatuku dijemur seharian. Illxa menggulung bagian bawah celananya, sementara rokku yang sampai batas lutut takkan bisa digapai air.

Illxa mencengkeram pergelangan tanganku, memegangi dan minta dipegangi jika sewaktu-waktu salah satu dari kami mau jatuh. "Kau inget teka-teki game yang kemaren?"

"Bawang Putih itu?"

Dia mengangguk. "Kayaknya, itu bukan kebetulan. Antara teka-teki kemaren sama titik merah hari ini." Telunjuknya mengarah ke satu titik di atas sana.

Tidak perlu menyipitkan mata, dilihat sekilas pun aku tahu. Sosok mayat yang bergelantung, menyisakan kepala dan bagian torso berbalut seragam hari Selasa itu adalah Cassey.

Lututku nyaris terasa seperti jelly. Beruntung Illxa memegangiku. "Sinting." Lehernya dililit selendang merah yang menjuntai dari dahan pohon di atas. "Semuanya balik ke lima tahun lalu."

Aku memandangnya tak percaya. Sosok yang kemarin masih diinterogasi di ruang BK bersamaku, kini kaku menggantung di antara dua tebing dengan sebuah selendang merah. Jangan tanya aku ke mana perginya sepasang tangan dan kakinya. Yang tersisa di atas sana hanya kepala dengan rambut panjang berantakan bak kuyang, baju PSL dengan lengan yang sudah loyo menandakan ketiadaan lengannya, dan rok PSL yang mudah ditiup angin.

"Kita harus lapor polisi," lirihku merinding. "Ini pembunuhan berencana. Cluenya ada di game Clade."

Illxa melepas pegangan tanganku, beralih cepat pada kedua bahuku. "Tenang dulu, kau kenapa, bah?" Rautnya panik, tetapi aku justru lebih panik lagi. "Kemaren kau berani melototin mayat Jonathan. Apa bedanya sama yang ini?"

Dia tidak tahu. Illxa hanya tidak pernah berada di posisiku. Lima tahun lalu, di hutan yang sama, aku pernah kehilangan banyak hal.

Bayang-bayang sosok bertopeng gagak dengan pisau babi itu berputar-putar di kepalaku. Merahnya bercak di rumput dan baju yang kukenakan saat mencari Talia sore itu, tiap gurat yang membentang dari satu sisi ke sisi lain wajahku. Aroma petrikor dan sejuknya hawa matahari sore.

Darah merembes di bawah kakiku lima tahun lalu. Talia menghilang tanpa jejak, tanpa peringatan, tanpa petunjuk ke mana aku harus mencarinya.

Satu kali gerakan, Illxa mendekapku separuh badan. Bahu kiriku menempel pada dadanya, satu tangan Illxa merangkulku hingga sisi bahu lainnya. "Tenang, Bung. Kau ini kenapa, heh?" Telapak tangannya menutupi dua mataku sekaligus. "Alamak, kupikir kau kebal sama beginian."

Napasku tersengal sejenak. Kalau begini terus, aku takkan bisa menemukan Talia.

"Aku oke, Kai." Kutepis pelan telapak tangannya di wajahku sedikit kesal. Aku hanya sedikit panik, mayat itu bukan apa-apa. Bisa kudengar jantung Illxa berdegup berirama, gemericik air mengalir di bawah kakiku, kesiur angin yang semakin dingin. Aku harus mengendalikan diriku. Cassey bukan Talia. Talia masih hidup, dan dia tidak akan berakhir seperti Cassey atau Jonathan.

Kutarik napas dalam-dalam. Apapun masalahnya, cepat selesaikan dan jangan diulangi. Kuulang mantra itu berkali-kali dalam kepalaku.

Apapun masalahnya, cepat selesaikan dan jangan diulangi.

Ini bukan kebetulan, pikirku, mendorong Illxa sedikit menjauh. Pemberitahuan dari TU waktu Jonathan ditemukan tewas bersamaan dengan kami login Clade. Lokasi titik merah muncul setelah aku komplain di TKP. Kami harus lapor polisi. Pesan singkat itu, nomor yang tidak diketahui, kalau benar itu Talia, artinya dia masih hidup dan ini langkah awal menggapainya.

Melihat wajahku, reaksi anak itu sedikit berbeda dari yang kuharapkan. "Kau nyembunyiin sesuatu." Aku tahu pada akhirnya Illxa akan sadar.

Aku diam, bingung harus menjawab apa. Illxa benar, aku tahu sesuatu yang tidak dia ketahui. Sekarang aku butuh bantuanmu, sebagai orang yang dianggap masih hidup, untuk mengakhiri pembantaian lima tahun lalu. Kalimat itu terus menggentayangiku. Dua kematian beruntun teman sekolahku bukan kebetulan, dan itu jelas berhubungan dengan pembantaian lima tahun lalu. Namun, bukan hanya Talia yang perlu bantuan.

"Aku butuh bantuanmu. Ayo, kita lapor polisi aja—" Aku hendak membuka ponsel saat benda itu bergetar beberapa kali dalam genggamanku.

+62*********76 [Rabu, 16.47]

"Kompensasi meninggalkan misi, Ersa. Percayalah bahwa semua ini nyata."

"Sekali lagi, aku butuh bantuanmu menangkap pembunuhnya."

"Ini bukan permainan yang kita mainkan dulu. Sekarang lebih dari itu, nyawa seseorang di tanganmu."

Jantungku nyaris berhenti saat membacanya. Sekali tarikan napas, jempolku bergerak sendiri.

Naira [Rabu, 16.47]
"Di mana kau?"

"Kau yang membuat teka-teki itu? Kenapa nggak bilang langsung nama korban?"

Naira [Rabu, 16.48]
"Talia!"

Kuketik pesan itu dalam beberapa detik yang singkat, kemudian melengos, mengeram kesal sekaligus senang Talia masih hidup. Talia tidak akan membalas pesanku, dia akan menggunakan nomor yang lain untuk pesan selanjutnya.

Tak tega melihat Illxa yang seperti digantung, kutawarkan ponselku yang layarnya belum berubah. Illxa meraihnya, membaca cepat dan mengembalikan ponsel itu.

"Ini berhubungan sama kakakmu, hm?" tanyanya mendapat benang merah dari korelasi hal yang kami kerjakan sekarang. "Jadi gosip murah itu betulan," Illxa terkekeh memalingkan wajah.

Aku bergeming.

Dia ikut melengos di sebelahku. "Aku mau bantu," katanya, menunduk menatap sepasang kaki kami yang tenggelam dalam arus pelan. "Tapi ada harganya."

[Aduh! Kalian gagal menyelesaikan misi!]

[Nantikan titik merah selanjutnya untuk mendapat misi baru!]

[]

Misi Utama: Lengkapi Puzzle
Sub Misi: [-]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top