13. Jejak Petualang
"Ini nggak ada tempat yang lebih jauh?"
Illxa menarik gasnya. "Pegangan." Motor kopling yang kami naiki menyelinap di antara kesibukan kendaraan lain. "Siapa aja nama anak SMP-mu yang ada di daftar Garuda?"
Aku menaikkan kaca helm dan mendekat ke sisi kiri wajahnya. "Alexa, Reno, sama Nora." Kucengkeram kedua pundaknya saat Illxa mendadak mengganti gigi dan menikung tajam. "Pelan-pelan, Kai. Aku mau mati keren, bukan keserempet truk telolet."
"Nanti kuajak mati yang keren—sekarang pegangan yang waras!"
[Event spesial!]
[Temukan titik merahmu kurang dari 2 jam dan jalankan misi rahasiamu!]
Kami melepas helm dan mulai menjejakkan kaki di tanah kuning yang tertutup dedaunan cokelat lembap. Meski sudah jam sepuluh pagi, ketika kami memasuki hutan Pertamina, sekeliling kami seakan memiliki dunia dan zona waktu tersendiri. Hawa teduh sejuk dan semilir angin bahkan tak berhenti memeluk kami.
Sejak setengah dekade lalu, kompleks Pertamina di bagian ini sudah merelokasi penduduknya untuk kepentingan pembangunan. Itu sebabnya Illxa tega meninggalkan motornya di salah satu pekarangan rumah kosong tanpa takut dicuri orang. Aku kurang tahu kapan lebih tepatnya perusahaan minyak itu akan membangun sesuatu di sini, tetapi orang-orang sangat menyayangkan rumah dengan arsitektur yang tidak biasa itu ditinggalkan terbengkalai selama bertahun-tahun.
Sangking lamanya ditinggalkan, beberapa rumah benar-benar menyatu dengan alam, dijadikan sanggahan tumbuhan merayap, bahkan tempat tinggal bagi para anjing liar yang baru saja membuntuti kami. Illxa bergidik ngeri, bukan karena hewan atau ketakutannya. "Jangan jilat sisa Jumat berkahku."
Lima belas menit setelah meninggalkan motor, hutan semakin lebat. Sisa waktu kami semakin sedikit. Kalau dikurangi waktu di jalan raya, tersisa satu seperempat jam lagi. Titik merah masih lumayan jauh dan sekarang aku mulai digigit nyamuk.
"Siapa sebenernya Bara ini?" tanyaku memecah lenggang di antara derik ngengat. Aku menendang biji kecil, seperti cemara tetapi lebih kecil.
"Ada." Illxa bahkan tak menoleh sedikitpun. Dia sibuk membukakan jalan, melibas sulur-sulur dan ranting yang menjulur. "Kau nggak perlu tau."
Keningku mengernyit. "Aku jelas perlu tau. Ini kayak kau yang harus tau siapa Talia, dan masa lalu segelap pantat panci itu." Tak kunjung mendapat jawaban dari Illxa, aku kembali memutar otak agar dia mau membuka suara. "Denger, kalo kau mau aku bantuin nyari siapapun dengan nama Bara, kau juga harus ngasih tau siapa dia sebenarnya. Bisa jadi sebenernya dia buronan sekarang."
Illxa tetap bergeming, sorot mata dinginnya ogah menatapku. Namun, dari belakang aku tahu anak itu tengah berpikir.
Maka, kususul langkahnya dan memasang tubuh di hadapannya. Illxa berhenti, menatapku dengan ekspresi kosong, seolah nyawanya sudah lenyap dan sosok yang tadi di rumahku itu adalah arwah lain. "Minggir, ngalangin jalan."
Namun, aku ikut bergeming. Ini lumayan berbahaya, Illxa bisa jadi kehilangan akal sehat dan semuanya menjadi kacau. "Sejak kita bikin perjanjian, sudah jadi tugasku buat mastiin kau nggak salah jalan. Aku nggak mungkin ngebiarin kau jatoh sendirian ke lubang buaya."
Pupilnya getir menatapku. Illxa menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan sambil menutup mata dan mendongak memijat pangkal hidung. Sejenak, kudengar dia menyebut dengan nada rendah. "Sambil jalan." Dia melewatiku begitu saja.
Aku memutuskan diam dan mendengarnya tanpa menyela.
"Dia kakak sepupuku," Illxa memulai. "Orang tuaku sibuk kerja, jadi aku diurus keluarganya. Dia cuma setaun lebih tua dari kita, harusnya barusan lulus, tapi dia ngilang." Napasnya seakan tercekat, tetapi anak itu dengan tenang menutupi kegelisahannya. "Nggak ada yang tau kapan tepatnya Bara hilang, aku sendiri baru tau kabar itu pas kenaikan kelas. Meski aku anak tunggal, Bara udah kayak kakak kandungku sendiri. Dia yang ngajarin coding, ngehack CCTV, masuk ke dalam sistem, banyak. Sejak aku masuk SMA, kita mulai jarang ngobrol. Terakhir kudengar anak itu ikut pertukaran pelajar, jadi kita nggak tinggal serumah lagi."
Langkahnya tanpa sadar semakin pelan, membiarkanku menyusul dan berjalan di sampingnya. Dalam manik mata gelap itu, aku bisa melihat perasaan yang campur aduk, hampir sama seperti saat aku kehilangan Talia; marah, sedih, bingung, nyaris putus asa. Bedanya, Illxa memiliki harapan yang lebih, karena di data Garuda nama Bara masih hitam. Setidaknya, untuk saat ini orang itu masih hidup.
Kalau setelah ini Illxa menjadi lebih bersemangat dan berapi-api main Clade ketimbang aku, itu pasti karena dia tahu bahwa menangkap Gagak sama saja mendapatkan Bara. Bisa jadi setelah ini Bara yang diincar karena termasuk anggota Garuda yang masih hidup.
"Jangan gegabah," kataku mengaktifkan ponsel, melihat titik merah yang semakin dekat.
"Aku tau."
Dua titik hijau yang menyimbolkan kami semakin dekat dengan titik merah. Perasaan awas timbul dalam dadaku, waspada dan siaga. Seakan di depan sana akan ada sesuatu yang besar tengah menunggu kami.
Semakin dekat, Illxa maju selangkah di depanku dan memperlambat langkah. Tubuhnya mengendap, menaikkan satu tangan untuk memastikan aku tetap berada di belakangnya dan menunggu aba-aba. Aku sendiri tidak bisa melihat dengan jelas apa yang ada di depan sana karena bahu Illxa yang lebih lebar.
Kulirik satu sisi wajahnya, dan ketika Illxa sadar, dia berbisik, "Kita nggak sendirian."
Aku cukup peka untuk menyadari bahwa yang dimaksudnya adalah sosok yang tidak kami inginkan. Bukan bapak-bapak biasa, atau anak SMA yang memburu titik merah: mereka memburu kami.
Darahku berdesir cepat, jantungku dua kali lebih aktif dari biasanya. Getaran tiba-tiba di tanganku sukses membuat organ itu nyaris kabur duluan dari rongga dada. Dalam hening, ponselku bergetar berkali-kali. Illxa yang sadar kini memelototiku agar mematikan apapun itu yang bergetar.
Sebuah pesan. Satu lagi. Lagi. Disusul yang lainnya. Aku menekan SMS itu agar getarannya berhenti dan memandangi tulisan-tulisan itu bergerak naik otomatis.
+62*********67 [Sabtu, 10.17]
"ERSA."
"PERGI DARI SITU!"
"ABAIKAN TITIK MERAHNYA, SEKARANG!"
"ITU JEBAKAN."
"MEREKA MENUNGGU DI SANA."
"ERSA!"
+62*********67 [Sabtu, 10.18]
"PERCAYALAH, MEREKA BERSENJATA."
"JANGAN SAMPAI KALIAN TERTANGKAP."
"MENYINGKIR DARI SANA."
"SEKARANG!"
Kini, jantungku rasanya sudah perosotan sampai dengkul. "Kai," panggilku, sambil berjongkok menarik satu ujung hoodienya. Tak kunjung menoleh, kutarik lagi dia lebih keras. "Kayaknya kita harus pergi."
Menyadari diriku mengubah posisi, Illxa langsung menarik diri dan berjongkok. Kusodorkan ponselku dan membiarkannya membaca sekilas, sementara aku mengendap melongokkan kepala demi melihat siapa yang ada di balik semak tinggi.
Dua orang, pakaian hitam-hitam, tinggi dan sedang, sepertinya laki-laki dan perempuan. Jubah panjang bertudung itu sukses membuat mereka tampak seperti pemuja illuminati. Dari belakang, aku bahkan tak bisa melihat atau mengidentifikasi siapa mereka, dan apakah aku mengenal mereka.
Aku menyipitkan mata, berusaha melihat detail apa lagi yang bisa kudapat. Ketika tanpa aba-aba salah satu dari mereka menoleh ke arahku. Tubuhku mematung, kepalaku langsung memikirkan seribu satu cara untuk kabur dari situasi ini.
Topeng Plague Doctor melekat di wajahnya, persis seperti yang kulihat lima tahun lalu, juga sketsa kasar di catatan Sensei kimia. Si tinggi, bahunya lebih kecil, dia mungkin perempuan. Aku menelan ludah susah payah saat membayangkan dia menarik sebuah pistol keluar dan mengarahkannya padaku.
Panik, aku celingukan. Illxa pun demikian. "Ayo pergi!" Aku mengucap tanpa suara.
"Tapi titik merahnya?" Illxa membalas, mengernyitkan dahinya dalam-dalam.
Anak itu ada benarnya. Tanpa titik merah, kami tidak akan mendapat clue siapa korban selanjutnya. Kami juga tidak bisa membuang-buang waktu mengejar tiga nama orang yang belum pasti siapa yang akan mati hari ini.
Kulirik lagi dua sosok itu, dan kini keduanya menoleh pada kami. Ide brilian tiba-tiba saja lewat di tengah-tengah otakku yang panik, ide yang mungkin membuat kami terbunuh, tetapi lebih baik dari berdiam diri. "Berpencar, Kai."
"Mereka berdua! Mereka juga bisa berpencar buat nangkep kita!"
"Siapa bilang mereka bakal ngejar?" Aku tersenyum, menyadari bahwa partnerku kini benar-benar bisa berguna. "Lempar ponselku. Aku bakal ke sisi satunya buat nangkep. Buat dapet titik merah, mereka cuma butuh GPS dari ponsel yang lewat, bukan kita."
Illxa mengangkat jempolnya. Pandangan anak itu tampak sangat yakin bahwa rencana ini akan berhasil.
Jelas. Anak itu kan kancil pencetak gol basket. Itu sebabnya kini kuserahkan ponselku padanya dan mengendap ke sisi lain sambil terus mengintip para Gagak dari kejauhan. Ketika aku dan Illxa bergerak saling menjauhi, kedua orang bertopeng itu tidak bergerak sama sekali. Sepertinya mereka tidak menyadari kami mulai hilang.
"Kau liat sesuatu?" Suaranya berat, laki-laki itu bicara. Kisaran kepala dua, mungkin kuliah atau baru saja bekerja. Aksennya berbeda dengan orang Balikpapan, seperti orang ibukota.
Si tinggi mengangkat satu tangannya, kemudian mulai melangkah mendekat ke tempatku berjongkok tadi.
Aku memalingkan wajah dan fokus bergerak ketika seekor anjing kecil menjulurkan lidahnya padaku.
Anjing.
Kutarik napas dalam. Dia nggak bakal gigit kalo aku jadi temennya, batinku melawan rasa ingin menjerit dan kabur. Aku benci anjing. Aku pernah dikejar.
Aku melirik lagi, mereka semakin dekat dengan tempatku sebelumnya. Ini kesempatan bagus untuk melempar ponsel, tetapi anjing ini justru menghalangi. Kutempelkan telunjuk di bibir dan mendesis.
Anjing liar itu duduk dan memiringkan kepalanya. Bulunya putih dengan bulat-bulat hitam. Aku tidak tahu jenis anjing, tapi semoga yang satu ini tidak menggonggong padaku.
Perlahan aku mencoba menggeser kaki dan memutarinya. Kepala anjing kecil itu mengikuti ke mana arahku bergerak. Bagus, bagus, dia tidak menggonggong. Aku melirik lagi ke arah dua manusia hitam-hitam itu. Saat kurasa mereka tidak akan melihat, aku mengangkat tangan, memberi Illxa sinyal bahwa aku siap di posisi.
Sebuah tangan terangkat, membidik sedetik, kemudian melemparnya dengan cepat tanpa membuat keributan. Masalahnya ada padaku. Ponsel itu nyaris tak tertangkap dan jatuh di semak tebal. Cukup mudah mengambilnya, tetapi cukup pula membuat keributan.
Sial sial sial!
Anjing itu masih bergeming melihatku panik, sementara dua orang berjubah itu kini mengalihkan pandangannya ke arahku. Terdesak, aku berpikir cepat.
Nah, anjing. Saatnya membuat dirimu berguna.
Kulempar ranting berlawanan arah, berharap anjing kecil itu akan mengejar seperti di film-film. Namun, aku bodoh, dan anjing itu tetap bergeming memiringkan kepalanya. Habis akal, tanganku nekat meraih anjing itu dan melemparnya berlawanan arah sambil memasang wajah senyum paling terpaksa—Illxa bilang mukaku yang itu jelek.
Anjingnya kabur.
Aku ikut kabur.
"Cuma anjing. Emang kau yakin anak-anak itu bakal ke sini?" Si laki-laki pendek berjengit, melompat-lompat menghindari si anjing.
"Petinggi sendiri yang mengutus. Tugas kita cuma mengeksekusi." Suaranya dalam dan lembut. Perempuan, seperti ibu-ibu yang menunggu anaknya pulang dengan tangan menggenggam gagang sapu. Mungkin umurnya lebih muda dari itu. "Ini titik merahnya, mau nggak mau mereka harus lewat sini."
Si pendek mendengus singkat. "Kau yakin mereka bukan Garuda? Mereka selalu berhasil nemuin mayatnya, seolah mereka tahu siapa korban selanjutnya."
Wah, aku sedang dibicarakan.
"Mungkin. Itu sebabnya Petinggi meminta kita menanganinya." Si tinggi mengganti tumpuan kaki dan berkacak pinggang ke arah lain. "Anak-anak kayak gitu berpotensi ganggu rencana utama."
Di sisi terjauh yang berlawanan dari dua orang itu, Illxa melambai rendah. Aku mendekat, masih dengan jantung berdebar. Aku bahkan tidak percaya rencana ini berhasil.
Illxa lekas menarikku menjauh dari sana sambil jongkok-jongkok. Kami berhasil kabur, dengan selamat dan mendapat titik merah. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa seperti agen mata-mata di Mission Impossible.
Setelah merasa cukup jauh, Illxa mengembuskan napas keras-keras dan mengacak-acak rambutnya frustrasi. "Gila." Dia mendongak, terduduk di rumput dan menyangga tubuh dengan satu tangan. "Padahal kita sedekat itu sama pembunuhnya."
"Jangan gegabah, Kai."
"Seandainya mereka nggak bawa senjata."
"Kau nggak bisa ngelawan mereka," kataku, kemudian memeriksa ponsel. Notifikasi masuk dari game Clade membuatku gatal ingin membukanya sekarang.
Illxa bangkit, mengulurkan tangannya. "Kata siapa?"
Kusambut uluran tangannya dan berdiri menepuk-nepuk celana. "Kata orang yang pernah membantingmu."
Dia meringis. "Pinggangku jadi ngilu." Lagi, dia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. "Makasih."
"Buat apa?"
"Ngingetin kalo aku nggak boleh kebawa emosi." Illxa tersenyum. Dua pasang lesung pipinya tampak sempurna menjiplak. "Nah, Cantikku yang Berbahaya, kita masih punya urusan setelah ini."
[Titik Merah ditemukan!]
Dalam film pun, Alexa mengkhianati Barbie.
[]
Misi Utama: Lengkapi Puzzle
Sub Misi: [Barbie dan Suling Sunda]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top