Bab 9 - I do NOT want to Marry You
Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
IG @Benitobonita
Pertemuan demi pertemuan yang disengaja oleh Daniel berlangsung selama beberapa bulan. Baron Arvie yang bahagia melihat investasinya membuahkan hasil, selalu menyambut tamunya dengan tangan terbuka untuk berkunjung atau menginap beberapa hari di rumah.
Pria itu masih menggunakan taktik semula, mengirimkan buku-buku yang telah dirobek beberapa halaman kepada Virginia dan menggunakan lembarannya sebagai suap agar gadis itu bersedia pergi berjalan-jalan ke taman atau menonton opera.
Sikap Virginia juga semakin bersahabat, walau tetap menolak berada terlalu dekat dengan Daniel, tetapi perempuan itu sudah tidak lagi memasang wajah masam atau mengucapkan kata-kata kasar.
Berpikir sudah waktunya untuk melamar Virginia. Daniel mengenakan pakaian terbaiknya lalu pergi mengunjungi rumah Baron Arvie. Turun dari kereta kuda, pria itu mengetuk pintu rumah.
Pintu terbuka dan Paul, penjaga pintu, menyambut pria itu dengan terkejut. "Selamat sore, Mister Wellington. Saya tidak menyangka Anda akan datang hari ini."
Daniel menyeringai. "Apa Baron Arvie ada di rumah?"
"Baron ada di ruang kerja," jawab Paul, mengamati cara berpakaian tamunya yang lebih formal dibandingkan biasanya. "Mister, Anda rapi sekali hari ini. Apa ada hal spesial?"
Senyum pria itu semakin lebar. Mengintip ke dalam rumah, Daniel balik bertanya, "Bagaimana dengan Miss Virginia, apa dia ada?"
"Miss, ada di perpustakaan," jawab Paul, memasang ekspresi penasaran. "Tidak ada yang memberitahukan ke saya kalau Anda akan datang."
Daniel tertawa kecil. "Memang saya datang tiba-tiba, sepertinya saya akan mengunjungi Miss Virginia terlebih dahulu baru ke tempat Baron."
Membungkuk sedikit, Paul balas menyeringai. "Saya rasa, saya cukup memberitahukan kedatangan Anda kepada sang Baron."
Menepuk pelan bahu pelayan yang telah menjadi penggemarnya, Daniel berjalan menuju tempat kekuasaan Virginia.
*****
Virginia duduk melipat kedua kaki ke sisi kanan dan membaca ulang buku-buku pemberian Daniel untuk yang kesekian kali. Dia menyukai semua cerita yang dibacanya. Namun, kisah yang paling membuatnya terpesona adalah perjuangan para misionaris dalam melakukan penyebaran agama di benua asing yang jauh dari tempat kelahiran mereka.
Merapikan rambut yang terlepas dari sanggul dengan menyelipkannya ke belakang kuping, perempuan itu tidak tahu bahwa Daniel sudah cukup lama berdiri, bersandar pada pintu masuk, dan memperhatikan dirinya.
Mata Daniel melembut menatap gadis itu bergelung nyaman di sebelah perapian yang dinyalakan. Tingkah Virginia mengingatkan dirinya akan seekor kucing, mudah mencakar, tetapi terlihat jinak di saat-saat seperti ini.
Pandangan Daniel turun ke arah bibir gadis itu. Hingga saat ini, dia tidak pernah mencicipi bibir Virginia. Peraturan sosial bangsawan yang sama sekali tidak berguna, hanya mengizinkan seorang laki-laki menggandeng tangan lawan jenisnya yang belum menikah.
Virginia menghela napas, dia ingin buku baru. Namun, enggan meminta kepada Daniel. Akhir-akhir ini pria itu bertingkah semakin menjadi-jadi dan menyeret dirinya ke berbagai tempat dengan iming-iming selembar kertas.
Menggigit bibir, Virginia memeluk buku kesayangannya dalam posisi berdiri lalu meletakkan dagu pada benda itu.
"Virginia, kau membuat aku cemburu terhadap sebuah buku," ucap Daniel menahan tawa.
Terkesiap, Virginia mendongak menatap ke arah pria kurang ajar yang sedang tersenyum arogan.
Segera menyingkirkan benda yang membuat dirinya malu, gadis itu bertanya dengan nada dingin. "Apa yang sedang kau lakukan di sini? Bagaimana caranya kau melewati Paul?'
Berjalan mendekat, Daniel menjawab, "Aku datang karena merindukanmu dan Paul mengizinkan aku masuk."
Virginia memperbaiki posisi duduk dan mengutuk para pelayannya yang tidak memiliki kesetiaan kepada perempuan itu. Berulang kali dia sudah memberikan teguran agar mereka tidak membiarkan Daniel berkeliaran seenaknya di dalam rumah. Namun, lagi-lagi perintah darinya sama sekali tidak diacuhkan.
Duduk tanpa permisi di sebelah gadis itu, Daniel meraih buku yang baru saja dibaca oleh Virginia. "Kau sepertinya selalu membaca buku ini setiap aku datang, mungkin aku harus menambah beberapa koleksi bacaan yang sejenis di rumah kita."
Mata Virginia melotot kaget saat mendengar ucapan pria itu. "Apa yang baru saja kau katakan?"
Mengalihkan tatapan ke arah wajah perempuan itu, Daniel menjawab, "Aku berencana menambah buku bacaan pada perpustakaan kita, agar kau tidak bosan saat aku pergi bekerja."
Virginia menarik napas cepat lalu bangkit dari sofa. "Apa kau sudah kehilangan akal?! Siapa bilang aku bersedia tinggal di rumahmu?!"
Mengangkat kepala, pria itu tersenyum kecil. "Seorang perempuan selayaknya tinggal serumah bersama suaminya, bukan?"
Jantung Virginia berdebar cepat. Dia sudah berulang kali menunjukkan sikap tidak menyukai kehadiran pria bebal itu. "Dengarkan saya, Mister Wellington. Satu-satunya alasan saya bersedia menemani Anda berjalan-jalan karena saya tidak suka membaca cerita yang tidak memiliki akhir. Namun, saya sama sekali tidak tertarik memiliki hubungan lebih dari itu."
Manik hitam Daniel berbinar geli, calon istrinya benar-benar persis seekor kucing yang sedang menunjukkan cakarnya. "Dengan menikah denganku, kau dapat membaca seluruh buku yang ada di rumah kita," ucapnya menyeringai.
"Aku tidak mau menikah denganmu!" bentak Virginia galak, "sudah kukatakan berulang kali kalau aku tidak menyukaimu!"
Daniel menarik napas dalam-dalam, dia harus menahan hasratnya untuk tidak menarik Virginia dan melecehkan gadis itu di tempat ini. Bangkit dari sofa, dia berkata, "Aku harus pergi, aku yakin Baron Arvie menungguku."
Terperangah melihat pria itu pergi begitu saja, Virginia berseru, "Daniel! Aku serius tidak mau menikah denganmu!"
Tidak menanggapi teriakan calon istrinya, Daniel melangkah menuju ruang tempat ayah Virginia berada dan berniat untuk mengajukan lamaran secara resmi.
*****
Baron Arvie berjalan bolak-balik dengan menautkan jemari pada punggung. Hatinya gelisah menerima laporan dari pelayannya akan kedatangan Daniel. Dia tahu hari ini akan tiba. Tingkah rekan bisnisnya yang menginginkan Virginia sangat jelas terbaca.
"My Lord, Mister Wellington ingin bertemu," ucapan Paul yang kedua kali menghentikan langkah pria tua itu.
Berjalan menuju sofa, Baron Arvie duduk lalu meraih gelas minuman keras yang terisi penuh dan menegaknya sebelum berkata, "Masuk."
Pintu dibuka oleh Paul dan Daniel melangkah masuk.
"Selamat sore, My Lord," sapa Daniel berjalan mendekati pria itu.
"Duduklah," balas Baron Arvie lalu melihat ke arah Paul. "Siapkan teh untuk Mister Wellington."
Sedikit membungkuk, pelayan itu kembali menutup pintu.
Daniel duduk di seberang pria itu. Alisnya bertaut saat melihat gelas minuman keras yang hampir kosong di meja. Seingat pria itu, Baron tidak pernah menyentuh minuman keras.
"Ada keperluan apa?" tanya Baron Arvie basa-basi. Pria tua itu sudah mengetahui maksud kedatangan Daniel dan sedang menyusun kata-kata untuk menolak niat baik tamunya.
Memusatkan perhatian kepada tuan rumah, Daniel menjawab, "My Lord, saya datang dengan niat melamar Virginia."
Manik biru Baron Arvie menunjukkan rasa iba. Dia menyukai pria yang duduk di seberangnya dan mengetahui dengan baik usaha gigih Daniel dalam mendapatkan putrinya.
Terdiam beberapa lama, akhirnya pria tua itu berkata, "Mister Wellington, saya menghargai niat baik Anda, tetapi saya minta maaf tidak dapat merestui keinginan Anda."
Mata Daniel mengeras. Dia menginginkan Virginia, maka dia akan mendapatkan gadis itu.
"My Lord, saya tidak membutuhkan mas kawin dari Anda," ucap Daniel. Pria itu tahu bahwa masalah mas kawin dalam kalangan bangsawan merupakan hal yang penting, tetapi dia bukanlah bangsawan dan kekayaannya lebih dari cukup untuk menghidupi istrinya kelak.
Baron Arvie menghela napas. Dia memiliki sebidang tanah yang dikhususkan untuk putrinya. Namun, pria tua itu tahu bahwa Virginia tidak akan pernah membutuhkannya.
"Mister Wellington, maaf, tetapi bukan itu masalahnya."
Suara Daniel melembut. "Apakah karena saya bukan dari kaum bangsawan?"
Baron Arvie membalas tatapan manik hitam pria yang jauh lebih muda darinya. Seandainya Virginia seperti gadis lainnya, dia dengan senang hati menerima lamaran Daniel.
"Mister Wellington, saya hanyalah seorang Baron, status sosial tidak terlalu berpengaruh untuk saya," jawab Baron Arvie, "tetapi Virginia telah bertekad tidak akan menikah untuk seumur hidupnya dan saya menghargai keinginan putri saya."
Daniel menarik napas cepat. "My Lord, apabila Anda berbohong agar saya tidak tersinggung ...."
"Tidak, saya mengatakan yang sejujurnya," potong Baron Arvie, "Anda bisa bertanya langsung kepada Virginia."
Daniel mengertakkan gigi. Virginia jelas-jelas sudah menolaknya, satu-satunya harapan adalah memperoleh restu dari ayah gadis itu.
"My Lord, apa Anda tidak dapat mempertimbangkannya lagi? Virginia masih terlalu muda untuk mengambil keputusan sepenting itu."
Menggelengkan kepala, Baron Arvie menjawab, "Maafkan saya, Mister Wellington."
Mereka terdiam cukup lama sebelum akhirnya Daniel bangkit. "My Lord, kali ini saya menerima keputusan Anda, tetapi bukan berarti saya menyerah."
Ikut bangkit, Baron Arvie berujar, "Mister Wellington, demi kebahagiaan Anda, lupakan keinginan itu. Virginia tidak akan pernah menjadi istri siapa pun."
Namun, Daniel sudah bertekad. Mengucapkan salam perpisahan, pria itu mencari cara untuk dapat mendapatkan gadis yang dia inginkan.
Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda bintang.^^
Sakadar survei ... lebih suka membaca cerita versi e-book atau buku cetak? Dan kenapa?
Terima kasih bagi yang bersedia menjawab.^^
23 September 2017
Benitobonita
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top