Bab 6 - Bait to Lure You

Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.


IG @Benitobonita


Virginia mengerutkan alis saat berjalan ke ruang makan. Matahari sudah hampir tinggi, tetapi tiga orang pelayan perempuan dan satu orang pelayan laki-laki miliknya tidak terlihat di mana pun. Bahkan Paul, penjaga pintu, juga tidak berada di tempat yang seharusnya.

Meletakkan keranjang bunga pada meja tamu, Virginia berjalan menuju dapur untuk menegur mereka karena melalaikan tugas. Dalam perjalanan, perempuan itu mendengar suara tawa dan gumaman dari tempat yang dia tuju.

Rasa penasaran mengetuk hati gadis itu. Perlahan, dia berdiri di balik dinding lalu mengintip melalui jalur masuk dapur yang tidak tertutup. Mata Virginia melotot terkejut saat melihat pria yang menjadi tamu ayahnya ternyata penyebab hilangnya semua pelayan yang dia miliki.

Daniel dengan tidak merasa bersalah, sedang berdiri dan bersandar pada sisi dinding yang mengarah ke tempatnya bersembunyi dan dengan suara lantang, bercerita mengenai petualangannya di laut.

"Mister, jadi Anda berhasil meloloskan diri dari kejaran para perompak?" tanya salah satu gadis pelayan dengan wajah terpesona.

"Dengan sedikit keberuntungan dan beberapa tembakan meriam," jawab Daniel menyeringai. Persahabatannya dengan Duke of Bolton, memberikan kemudahan untuknya dalam mengurus perizinan senjata.

Suara napas tertahan dan gumaman pujian kembali terdengar. Ekspresi penuh pemujaan menatap Daniel terlihat dari para penonton.

Mengepalkan tangan karena kesal, Virginia berniat menghalau pria pembuat masalah dari dapur miliknya. Namun, perempuan itu menghentikan niatnya saat dia mendengar ucapan Daniel selanjutnya.

"Apa kalian pernah mendengar suku Indian yang tinggal di daerah Amerika? Saya tanpa sengaja bertemu dengan mereka."

Berharap dapat mendengar kelanjutan cerita yang terputus, Virginia merapatkan diri pada dinding. Menguping kisah yang akan diceritakan oleh Daniel.

Daniel melirik ke arah jalur masuk saat dia melihat ujung gaun Virginia yang mengintip. Mata pria itu berbinar geli. Kembali menoleh ke arah para penonton, dia mulai mengulang kisah yang telah didengar Virginia.

Gadis itu menahan napas saat Daniel akan melanjutkan ceritanya. Namun, tiba-tiba pria itu menghentikan kisahnya lalu berkata, "Saya sudah terlalu lama berada di tempat ini, lain kali saya akan datang untuk melanjutkan."

Virginia mengertakkan gigi karena kesal, bersamaan dengan gumaman kekecewaan dari para pelayan.

"Saya pamit dulu untuk menemui Baron, mungkin saja dalam perjalanan saya akan berpapasan dengan nona kalian," sindir Daniel kembali melirik ke arah tempat Virginia bersembunyi.

Mata Virginia melebar, dia tidak mau tertangkap basah sedang menguping. Membalikkan tubuh, perempuan itu segera mengangkat gaun dan melarikan diri.

Daniel tertawa kecil. Melangkah santai, pria itu menyusul gadis yang tengah berlari terbirit-birit.

*****

Virginia baru berhenti berlari saat mencapai ruang tamu yang berada di depan pintu masuk. Perempuan itu bernapas tersengal-sengal, belum pernah dalam hidupnya dia berlari secepat itu. Meletakkan kedua tangan pada dada, tempat jantungnya berpacu, dia berulang kali menelan ludah.

"Kau seperti baru mengikuti lomba lari." Perkataan Daniel membuat Virginia tersentak kaget. Membalikkan tubuh, dia melihat pria itu berdiri dalam keadaan santai memperhatikannya.

Pipi Virginia merona. Berusaha mengatur napas, gadis itu menjawab ketus, "Itu bukan urusanmu!"

Sudut bibir Daniel berkedut menahan senyum. "Kurasa kau butuh minum."

"Sudah kukatakan itu bukan urusanmu!" ujar Virginia kesal lalu membalikkan tubuh, hendak pergi meninggalkan pria yang menjengkelkan itu.

"Virginia, aku tahu bahwa kau tadi menguping. Kau hanya tinggal meminta agar aku melanjutkan kisahku."

Wajah Virginia merah padam karena malu. "A-aku tidak tahu maksud perkataanmu," ucap gadis itu segera melangkah meninggalkan ruangan untuk bersembunyi di tempat lain.

Daniel menghela napas, perempuan itu sangat angkuh, tetapi dia menyukainya. Berjalan menuju perpustakaan, pria itu berpikir untuk mengisi rak dengan beberapa buku yang akan membuat Virginia teringat akan dirinya.

*****

Baron Arvie tengah bersantai di ruang kerja. Mengangkat kaki dan meletakkannya di atas meja, pria tua itu meletakkan kedua tangan pada perut lalu menatap ke arah jendela yang menunjukkan sinar matahari sore.

Dua buah kursi kayu yang saling berhadapan dengan meja di tengah, terletak pada bagian tengah ruangan. Sebuah lemari berisi minuman berada di sisinya. Pria itu memang tidak pernah menyukai kegiatan membaca atau mengurus surat-surat, lemari buku yang berada di seberang ruangan hampir tidak berpenghuni.

Suara ketukan halus merebut perhatiannya. Menoleh, dia melihat putrinya mengintip dari balik pintu. "Papa, apa aku boleh masuk?"

Manik biru Baron Arvie melembut. Dia mencintai putrinya. Setelah kematian istrinya dan kekacauan yang terjadi, pria tua itu bersyukur Virginia masih dalam keadaan hidup, walau ada kerusakan yang tidak akan pernah dapat diperbaiki.

"Masuklah," ucap pria tua itu menurunkan kaki.

Virginia melangkah masuk lalu menutup pintu. "Apa aku mengganggu?"

Pria tua itu tersenyum. "Kau tidak pernah menggangguku."

Hati Virginia menghangat. Ayah dan kakaknya adalah dua orang penting dalam hidup gadis itu. Berjalan mendekat, dia bertanya, "Papa, apa Papa tahu cerita tentang suku Indian yang berada di Amerika?"

Baron Arvie mengerjapkan mata. Memasang ekspresi heran, dia balas bertanya, "Indian?"

Pipi gadis itu bersemu. "A-aku hanya penasaran."

"Dari siapa kau mendengar cerita itu?"

"Bu-bukan dari siapa-siapa," jawab Virginia terlalu cepat. "Kupikir Papa tahu tentang mereka."

"Aku tidak tahu," jawab Baron Ervie menyesal, "tetapi, aku rasa Daniel mengetahui hal-hal seperti itu, bagaimana pun dia sering berpergian."

"Ja-jangan tanya ke dia!" balas Virginia hampir memekik ketakutan, sudah cukup Daniel mengetahui bahwa dia telah mencuri dengar. "Papa, kumohon, jangan pernah bertanya soal Indian ke pria itu!"

Pria tua itu lagi-lagi mengerjapkan mata. Kelakuan Virginia berbeda dari biasanya. "Virginia, apa kau baik-baik saja?"

Pipi putrinya merona, dia tidak ingin memberitahu kepada ayahnya bahwa kisah dari tamu mereka telah membuat dirinya sangat penasaran. "A-aku baik-baik saja, Papa, berjanjilah jangan bertanya ke Daniel."

Terdiam sesaat, akhirnya Baron Arvie berkata, "Baiklah."

Virginia menghela napas lega. "Aku masih harus menentukan menu makan makan kita, apa Papa tidak keberatan kalau malam ini kita hanya menyantap  daging domba?"

Mata pria tua itu melembut. "Virginia, seharusnya Papa yang bertanya, apa kau tidak apa-apa hidup tidak semewah yang lain? Karena kebodohan Papa kita hampir kehilangan segalanya."

Tubuh gadis itu tiba-tiba gemetar dan ekspresinya berubah menjadi pucat pasi.

Terkejut, Baron Arvie bangkit dari kursi lalu berjalan mendekati putrinya. "Virginia, maaf, bukan maksud Papa membahas masa lalu."

Virginia melangkah mundur, menghindar dari sentuhan ayahnya. "A-aku harus pergi sekarang, tukang masak menungguku."

Membalikkan tubuh, Virginia berjalan cepat keluar ruangan. Dia mencintai ayahnya, tetapi di sudut tergelap dalam hati gadis itu, ada rasa benci dan amarah terpendam yang dirasakan olehnya.

Mencoba mengatur napas yang mulai tidak beraturan, gadis itu memperbaiki langkahnya. Dia masih hidup. Itu yang terpenting. Berjalan dengan kecepatan normal, Virginia menuju ke dapur untuk memberikan tugas kepada para pelayan.

Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda bintang.^^

20 September 2017

Benitobonita

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top