Bab 2 - Miss Arrogant
Karya ini dilindungi oleh undang-undang hak cipta no. 28 tahun 2014. Segala bentuk pelanggaran akan diselesaikan menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
IG @Benitobonita
Menghirup napas dalam dan mengembuskannya, Daniel melangkahkan kaki menyusuri maze yang terbuat dari semak mawar merah. Udara sore hari di halaman milik Duke of Bolton terasa segar. Berbeda dengan daerah perindustrian di London yang harus dia datangi untuk melakukan proses tawar menawar dan jual beli barang dagangan.
Sebuah kolam tempat beberapa ekor angsa tinggal merupakan tujuan pria itu. Namun, saat dia hampir berhasil mencapai tujuan, perhatiannya teralih kepada sosok gadis yang sedang duduk di dalam gazebo putih pada sisi kolam.
Perempuan muda itu tengah menunduk, membaca sebuah buku dan tidak menyadari kehadirannya. Mengambil kesempatan, Daniel kembali mengamati gadis yang menarik hatinya dengan saksama.
Tiupan angin kencang yang tiba-tiba, membuat lembaran buku yang tengah dipegang, bergerak menutup bersamaan dengan helaian rambut keemasan milik gadis itu yang lolos dari ikatan.
Virginia mendengkus kesal. Dia menyukai keindahan taman milik tuan rumah mereka, tetapi tiupan angin yang sering mengganggunya, membuat perempuan itu menggerutu. Saat ini dia tengah berpetualang dalam salah satu cerita rakyat milik orang Asia dan khayalannya harus terhenti karena ulah angin nakal yang kembali menggodanya.
Menggunakan jari tangan kanan, gadis itu kembali menyelipkan rambut miliknya ke balik telinga, sebelum manik birunya bertemu dengan tamu asing yang tengah berdiri, bersandar pada batang pohon dengan bersedekap.
"Halo, sepertinya kita bertemu lagi," sapa Daniel tersenyum bersahabat.
Jantung Virginia tiba-tiba berdebar tanpa dirinya mengerti. Dia tidak pernah menyukai kaum pria, hanya kakak dan ayahnya yang dapat membuat dirinya nyaman. Namun, laki-laki yang tengah berdiri di depannya, membuat dirinya sedikit tertarik.
Hanya sedikit, bisik gadis itu dalam hati, mencengkeram bukunya lebih erat
Daniel berjalan mendekati Virginia. "Kita belum berkenalan secara resmi," ucap pria itu, "perkenalkan, nama saya Daniel Wellington."
Virginia mendongakkan kepala, pria itu hampir setinggi kakaknya, itu berarti sekitar 180 cm. "Sore, Mister atau Sir Wellington?"
"Mister," jawab Daniel menyeringai, "darah saya merah bukan biru."
Rasa tertarik kembali menggelitik gadis itu. Memiringkan kepala, dia kembali bertanya, "Kau seorang seniman?"
Tawa kecil keluar dari bibir Daniel, menyandarkan kedua lengan pada teralis putih yang menjadi dinding sepinggang bangunan kecil, dia menjawab, "Saya bahkan tidak dapat melukis."
Virginia mengamati kulit Daniel yang berwarna cokelat keemasan lalu menarik kesimpulan. "Kau seorang pedagang."
Daniel menyukai kecerdasan yang ditunjukkan oleh gadis itu, tersenyum tipis, dia kembali berkata, "Saya belum mengetahui nama Anda."
"Apakah itu perlu?" tanya Virginia. Embusan angin kembali mengacak-acak rambut panjang perempuan itu, sehingga membuatnya menekuk wajah karena kesal.
Napas Daniel tercekat. Gambaran gadis itu berbaring di atas ranjang yang beralaskan seprai putih terbayang jelas. Mengerjapkan mata, dia bertanya, "Apa semua gadis bangsawan seangkuh dirimu?"
Menarik napas terkejut, Virginia membalas tatapan pria itu. "Anda tidak memiliki sopan santun!"
"Darah merah, bukan darah biru," jawab Daniel menyeringai. "Jadi siapa namamu?"
Mata Virginia berapi-api, pria yang berdiri di depannya semakin kurang ajar. Bangkit dari kursi yang terbuat dari batu putih, gadis itu berniat kembali ke kamarnya.
"Miss Angkuh," ucap Daniel keras saat gadis itu berlalu melaluinya.
Langkah Virginia terhenti, menoleh ke belakang, dia bertanya, "Apa yang baru saja Anda katakan?"
"Kau tidak mau memberitahukan namamu, maka aku akan memanggilmu Miss Angkuh," jawab Daniel membalikkan tubuh lalu menyandarkan kaki pada tiang gazebo.
Virginia mengertakkan gigi. Sejak bertemu dengan pria arogan itu, ketenangan hidupnya menjadi terganggu.
"Virginia," jawab gadis itu pada akhirnya, "dan saya harap Anda berhenti menggunakan nama panggilan yang menyinggung perasaan."
"Virginia," ucap Daniel tersenyum, "nama yang indah."
Lagi-lagi jantung Virgina berdebar tidak beraturan. Mengabaikan dorongan untuk membalas senyuman, gadis itu segera melangkah meninggalkan Daniel yang masih memperhatikan dirinya.
"Putri seorang Baron," bisik pria itu kepada dirinya sendiri, "tetapi memiliki keangkuhan seperti seorang Ratu."
Tertawa kecil, Daniel melangkah mendekati kolam tujuannya semula. Mengeluarkan kantong roti dari saku celana, pria itu mengeluarkan isinya lalu memecah kecil-kecil sebelum melemparkan remah-remah ke arah angsa yang berenang dengan anggun.
*****
Waktu makan malam tiba, Virginia dengan bantuan seorang pelayan wanita, mengganti gaunnya dengan pakaian khusus bersantap. Membiarkan rambutnya yang sepanjang punggung dijalin dengan hiasan bunga hidup, gadis itu menatap bayangannya yang berada di dalam cermin.
Ucapan pria kasar itu kembali terngiang pada telinganya. Bukan hanya sekali dia memperoleh julukan yang tidak menyenangkan, tindakannya yang menolak perhatian dari para kaum laki-laki, menyebabkan dia memperoleh julukan Putri Es. Namun, baru kali ini ada seorang pria yang berani terang-terangan menghina dirinya.
Tanpa sadar, gadis itu mencengkeram gaun berwarna pastel miliknya. Kaum adam memang luar biasa menjijikkan, gerutunya, menekuk wajah.
"Miss, kalau Anda memasang ekspresi seperti itu, secantik apa pun bunga yang menghiasi rambut Anda, tidak akan memberikan hasil yang baik untuk penampilan Anda," tegur pelayan perempuan yang berumur 30 tahun-an.
Pipi Virginia merona merasa tersindir. Berdeham, dia berkata, "Maafkan aku, Martha, hari ini aku mengalami hari yang menjengkelkan."
Merasa simpatik, wanita paruh baya itu bertanya, "Apa yang menyebabkan, Miss, gusar?"
Menatap pelayan yang selalu mengurus keperluannya setiap dirinya berkunjung melalui cermin, dia menjawab, "Apa kau mengenal tamu Duke of Bolton? Dia memperkenalkan diri dengan nama Daniel Wellington."
Mata Martha berbinar geli. "Apa Mister Wellington menggoda Anda? Saya akan melaporkannya kepada sang Duchess."
Semburat merah muda merambat pada wajah Virginia. "Pria itu tidak dapat menjaga mulutnya."
"Dia seorang pedagang, Miss, apa yang Anda harapkan dari pria seperti itu," balas Martha, mundur beberapa langkah, mengamati hasil karyanya, "walau saya tidak dapat mengingkari pria itu tampan sekali."
"Martha!" tegur Virginia tidak suka. Baginya semua laki-laki tidak ada yang dapat mengalahkan ketampanan ayahnya yang sudah berumur hampir 60 tahun.
Wanita paruh baya itu terkekeh kecil. "Walau dia bukan golongan bangsawan, tetapi Mister Wellington memiliki kekayaan setara Earl yang dihasilkan dari kapal dagangnya, bahkan sebuah desas desus mengatakan bahwa dia mempunyai beberapa kapal Galleon, atas seizin dari Duke."
Virginia mendengkus meremehkan. "Itu hanya desas desus, tidak mungkin seorang pedagang dapat memiliki izin mempunyai kapal Galleon."
"Saya tidak tahu, Miss, hanya rasanya tepat bila membayangkan Mister Wellington berada di atas dek, memimpin penyerangan kapal bajak laut," balas Martha, mulai merapikan peralatan dandan. "Miss, Anda sudah siap untuk pergi ke ruang makan."
Bangkit berdiri, Virginia menatap bayangannya sekali lagi pada cermin lalu tersenyum kepada pelayannya. "Terima kasih, Martha, tetapi dalam bayanganku, pria itu hanya seorang pedagang bermulut besar."
Tidak menunggu tanggapan dari wanita gemuk itu, Virginia melangkah keluar menuju ruang makan.
Pembaca yang baik hati, tolong tekan tanda bintang.^^
*Kapal Galleon adalah kapal raksasa yang bisa membawa meriam untuk menyerang bajak laut atau kapal dari negara musuh.
16 September 2017
Benitobonita
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top